Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Senin, 11 Februari 2008

Kasus: Manajemen Sampah Kota Bekasi

Setelah membaca buku The Tipping Point, saya tergugah untuk mencari kasus yang sekiranya dapat digunakan untuk menerapkan prinsip-prinsip dalam buku tersebut. Ketika menuliskan artikel ini di KRL yang siap berangkat tepat di depan hidung saya seorang wanita tanpa rasa bersalah membuang sampah keluar pintu. Sebetulnya sih, sudah sangat sering terlihat perilaku seperti itu. Cuman yang ini pas banget timing-nya.

Jauh sebelumnya, saya sudah coba memikirkan masalah ini. Walaupun bukan ahli di bidang persampahan, saya memberanikan membuka percakapan mengenai sampah dengan kenalan-kenalan. Kenalan saya, seorang lurah di Jakarta Barat mengakui ketidakmampuan menangani sampah secara optimal disebabkan ketiadaan anggaran. Yang lainnya, seorang anggota DPRD mengakui kesulitan ini dan menyebutkan beberapa peraturan daerah tidak dieksekusi. Saya tidak tahu alasannya. Kemudian dia mengatakan kesadaran masyarakat mengenai masalah ini rendah. Ini membutuhkan edukasi, dalam berbagai bentuk seperti himbauan dan sosialisasi.

Nah, setelah Pilkada Januari lalu yang kelihatannya sudah cukup jelas perolehan suara masing-masing kandidat, timbul pertanyaan dalam diri saya mampukah masyarakat Kota Bekasi dengan pimpinan walikota baru mengatasi persoalan sampah. Pernah juga saya ngobrol informal dengan katakanlah mantan ahli kesehatan lingkungan yang sudah pensiun. Beliau mengatakan bahwa sarana pengolahan sampah yang ideal membutuhkan biaya yang sangat besar. Beliau merujuk bandingannya dengan negara maju, seperti Singapura dan Amerika Serikat. Ciut juga nyali saya mendengar penjelasan seperti itu, apalagi mengingat kebocoran anggaran yang cukup parah. Akankah pemerintah kota menempatkan masalah sampah ini sebagai prioritas? Apakah walikota mendapatkan insentif jika mengeluarkan dana yang besar untuk ini? Apakah jika ia sukses dalam hal ini, poin baginya dan partainya bertambah dalam pemilihan berikutnya?

Kembali ke saat ngobrol dengan anggota DPRD seperti saya ceritakan di atas, saya mendapat bocoran salah satu kandidat menempatkan masalah pengolahan sampah, terutama di pasar, dan sistem drainase akan menjadi program utamanya jika terpilih, tapi apakah walikota terpilih seperti itu, saya tidak tahu. Saya dengar ia lebih mementingkan yang serba gratis: pendidikan gratis dan kesehatan gratis, suatu janji mulia juga.

Singkatnya, persoalan sampah di Bekasi dan di tempat-tempat lain berada pada situasi menyedihkan: incompetence dan ignorance. It seems implacable and hopeless. Nevertheless, we do have a chance to make a difference. Buktinya kata mantan ahli kesehatan lingkungan yang saya ceritakan di atas ada seseorang di Medan yang mampu mengolah sampah organik menjadi kompos. Ia bahkan membeli, ya betul-betul membeli, sampah organik dari orang lain sebagai tambahan bahan baku kompos yang ternyata secara bisnis menguntungkan.

Kalau pemerintah dan masyarakat Kota Depok, juga Bogor kalau tidak salah, berhasil menciptakan epidemic membuat sumur resapan, mengapa epidemic pengolahan kompos tidak diupayakan di Kota dan Kabupaten Bekasi? Kalau suatu epidemic membutuhkan connectors, salesmen, dan mavens, saya berharap ada 'komunitas sampah' tersebut, dengan dukungan pemerintah atau tidak, yang akan membantu mengatasi persoalan sampah di Kota Bekasi. Mungkin saja memang sudah ada yang bergerak. Kalau pemulung bisa bergerak untuk membantu daur ulang sampah non organik, mengapa 'pemulung' sampah organik tidak? Yes indeed we do have a chance.

4 komentar:

Rod Sandhana mengatakan...

Akhirnya bisa juga akses ke blog ini, cukup bagus untuk membuka mata (&) hati terhadap masalah sampah. Mungkin benar menurut guru saya, masalah yang ada sekarang memang sudah sistemik kita sebagai bangsa. Sangat kompleks dan bagaikan benang kusut yang sulit diurai. Tidak hanya pada masalah sampah itu sendiri, tetapi lebih pada mentalitas bangsa yang semakin terpuruk. Mudah2an dari sedikit individu menjadi sebuah komunitas yang bisa menggugah. Selamat berkarya.

Y Pan mengatakan...

Terima kasih Rod untuk kunjungan dan komentarnya. Mudah-mudahan epidemi kebaikan terus menjalar kemana-mana, sampai betul-betul prevalen.

Oya, saya kira tadi Rod Steward, ternyata Rod Sandhana, seems very familiar. Your international name ya? Cool.

Anonim mengatakan...

Akhir minggu yang lalu, saya kebetulan menonton acara di salah satu tv. Acara itu tidak melulu mengenai sampah, malahan (kalau tidak salah, karena saya tidak menonton secara lengkap) mengenai gerakan sekelompok remaja di suatu kompleks perumahan untuk membangun kebiasaan positif masyarakat di lingkungannya, termasuk dalam membuang sampah pada tempatnya.

Kelompok remaja tersebut secara rutin mendatangi satu per satu rumah sambil membagikan kantong sampah dan memberitahukan/mengingatkan penghuni rumah yang didatangi untuk membuang sampah pada tempatnya.

Saya tidak tahu bagaimana akhir dari 'kisah' tersebut, tetapi bagi saya yang menarik adalah adanya gerakan dari masyarakat sendiri (mungkin karena pemerintah sudah acuh) untuk membenahi sampah di lingkungannya masing-masing. Yang membuat saya lebih kagum adalah prakarsa ini diambil oleh kelompok remaja. Mudah-mudahan apa yang saya tonton bukan merupakan sinetron.

Mungkin gerakan-gerakan seperti ini bisa diperbanyak di berbagai kota di Indonesia sehingga dapat mengetuk hati pemerintah provinsi/kabupaten/kota untuk membenahi sampah, kalau masih ada rasa malu.

Y Pan mengatakan...

Terima kasih Pak / Bu atas komentarnya. Mudah-mudahan gerakan seperti itu bisa tumbuh subur.

addthis

Live Traffic Feed