Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Senin, 27 Oktober 2014

Big Data: Big Bingung

Teknologi informasi (TI) memang berkembang cepat cepat cepat sekali. Sekarang ini data digital yang tercipta setiap harinya di seluruh dunia sudah meledak sampai hitungan 10 pangkat entahlah. Medsos seperti Facebook dan Twitter saja setiap hari ketambahan data dalam hitungan APABYTES. Seiring dengan ledakan data digital yang sangat luar biasa itu, para inovator menciptakan teknologi baru, yaitu big data.

Apa sih sebenarnya teknologi big data? Jawaban serampangannya yang mungkin agak bodoh adalah terkait dengan teknologi yang memungkinkan menyimpan dan mengolah data sampai APABYTES tadi, hehe... Mungkin kita bertanya-tanya apakah kita mesti peduli dengan teknologi ini. Apa manfaatnya buat kita pribadi? Atau pertanyaan yang lebih canggih: apa manfaatnya buat perusahaan kita?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, izinkan saya disklaim terlebih dahulu. Tulisan ini tidak akan banyak mengulas detil teknologi big data itu sendiri, tapi akan lebih pada ulasan konseptual seputar apa dan mengapa serta perspektif posisi big data dalam konsep sistem informasi. Ulasan mengenai bagaimananya barangkali bisa didapatkan lewat googling aja. Banyak koq artikel yang sudah membahas masalah itu. Yang lebih dalam kayaknya mesti lewat kursus atau sekolahan.

Saya ngaku aja dulu bahwa sejak beberapa tahun lalu, saya mulai enggan menulis di blog ini. Saya punya tanggung jawab yang lebih banyak sekarang, baik di kantor maupun di rumah (narsis). Selain itu, saya sudah ga mau terlalu eksis lagi di dumay, mungkin karena sedikit ketakutan terhadap ancaman seperti yang dialami oleh Will Smith di film lama Enemy of the State... Status Facebook sesekali aja di-update. OL ke Facebook dan LinkedIn juga hanya sekilas info doang.

Sampai hari ini, big data yang bikin big bingung ini akhirnya berhasil mengusik saya keluar dari gua persembunyian.

Nah, untuk mengulas big data, rasanya harus mulai dari konsep kuno dulu. Saya pernah menulis Apa Sih Sistem Informasi? Pernah juga R/evolusi Informasi, tapi yang pertama itu lebih mendasar. Tahun 90-an awal saya pernah disuruh membaca buku teks Management Information System, oleh PENULIS ITU, sebagai bagian dari kuliah Pak Husni di Bandung. Intinya sistem informasi melayani penggunanya dengan penyediaan informasi yang relevan sebagai dasar keputusan dan tindakan.

Tidak harus pake komputer kata beliau! Lampu lalulintas yang memberi sinyal kapan berhenti dan kapan boleh jalan sudah bisa didefinisikan sebagai sistem informasi. Di kasus lain yang juga ekstrem, sistem informasi bisa saja lebih bertumpu kepada para pembisik yang hanya menggunakan teknologi kuno berupa pulpen dan secarik kertas. Bahkan kalau dibolehkan dan pada saat tertentu diharuskan, sang pembisik menyampaikan informasi yang relevan kepada tuannya langsung dari mulut ke kuping secara harfiah.

Kapan pake secarik kertas dan kapan cuma pake modal mulut semuanya tergantung aturan yang ditetapkan oleh sang tuan. Untuk rekap definisi yang sayup-sayup saya ingat dari buku teks yang diwajibkan Pak Husni untuk kami baca, komponen sistem informasi terdiri dari alat (hardware dan software), orang, dan aturan. Iya deh kayaknya kurang lebih begitu.

Mana big data-nya nih? Koq masih muter-muter di konsep kuno itu. Iya ini sudah mau dijelaskan. Sabar dikit ya.

Seperti air, informasi mengalir dari sumber mencapai tujuannya, yaitu pengguna. Seperti produk, informasi melalui tahap-tahap produksi yang masing-masing menambah nilai. Dalam dunia yang agak filosofis, terdapat perbedaan definisi mengenai data, informasi, dan pengetahuan, tapi di sini anggaplah ketiganya sama, meskipun kita tahu berbeda. Oya, jangan campuradukkan pengetahuan tok dengan ilmu pengetahuan ya. Yang belakangan ini agak serem jelasinnya.

Kebelet pengen tahu beda ketiganya? Ah, cukup rasakan nuansanya saja: informasi di hulu masih bernilai rendah (masih bernuansa data saja), sementara di hilir tempat para pengambil keputusan dan tindakan, informasi bernilai tinggi (bernuansa pengetahuan). Di satu sisi, kata-kata dan data yang keluar dari mulut para pembisik di telinga pengambil keputusan itulah yang bernilai tinggi. Di sisi lain, fakta dan data yang masih harus dikumpulkan dari sumbernya masih bernilai rendah dan mungkin ada yang sama sekali tidak relevan. Kadang jarak antar sumber data dengan pengambil keputusan dekat. Kadang jauh, seperti Bengawan Solo.

Lalu kita perlu sadar bahwa para pembisik berkolaborasi di antara sesamanya. Mereka saling bisiki satu dengan yang lain, yang kemudian bisa saja mengubah isi bisikannya ke sang tuan. Masing-masing pembisik mempunyai informan (Koq bukan dataman ya? Ah udahlah). Bisa saja mereka langsung mengobservasi suatu fenomena. Dalam dunia yang semakin digital ini, barangkali mengobservasi suatu fenomena menjadi demikian mudahnya. Ini seperti catatan amal digital yang diperlihatkan ke kita sebagai pelaku dalam menciptakan fenomena. Catatan digital itu membuat kita terperanjat!

Terperanjat? Ternyata di catatan itu ada jejak kunjungan kita ke situs-situs web, baik yang normal maupun yang nyerempet. Di catatan itu ada juga jejak lokasi kita lengkap dengan status yang kita update dari waktu ke waktu. Ada juga panggilan telpon kita lengkap dengan rekamannya. Malah foto kita waktu melanggar lalu lintas di NYC juga ada. Medical record sampai belanjaan kita juga ada catatannya. Hmm ini baru sebagian kecil aja. Maka waspadalah, jangan beramal buruk. Ga usah nunggu pengadilan akhirat. Di sini saja kita bisa dibuat malu karena catatan amal digital kita.

Poinnya ini nih. Teknologi big data memungkinkan catatan digital yang terus menerus tercipta setiap saat baik lokal maupun global dapat diolah menjadi informasi yang bernilai tinggi. Yang mengolah siapa atau apa? Ya harusnya para pembisik itu yang mengolahnya dengan bantuan alat, yaitu teknologi big data. Teknologi big data yang canggih tanpa pembisik yang mampu mengolah big data ga ada artinya. Pembisik-pembisik itu harus meng-upgrade diri mereka dari peranan analis semata menjadi penemu data, istilah kerennya data scientist. Artinya para pembisik itu harus bekerja keras dan cerdas menggali tumpukan catatan digital dan menemukan data yang relevan untuk selanjutnya menyimpulkannya untuk kebutuhan sang tuan.

Udah mulai ngerasa sense-nya? Belum? Ya, ternyata nulis big data dalam konteks yang benar ga bisa hanya dengan beberapa paragraf. Tunggu ya di artikel berikutnya. Saya akan mencoba mengulas hubungan antara big data dengan para pembisik dan dua rumpun teknologi yang sudah biasa digunakan, yaitu enterprise content management (ECM) dan enterprise data warehouse (EDW). 

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed