tag:blogger.com,1999:blog-56241129515827145882024-03-05T17:31:23.771+07:00Y PancawijayaPondok Diskusi Ringan: Manajemen, Informasi, Manajemen Informasi, Sistem Informasi, Review Buku ManajemenY Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.comBlogger267125tag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-53194889705861760702018-03-31T22:34:00.000+07:002018-03-31T22:43:13.213+07:00Implementasi Data Vault Ketika LiburanJika pekerjaan membebani sedemikian rupa, sering kali hidup kita menjadi tidak imbang. Boleh jadi proyek pengembangan properti kita bikin pusing sejak membuat gambarnya. Setelah itu pendanaan bikin kita bolak balik depresi. Saat pekerjaan yang sesungguhnya bergulir, yaitu konstruksi, waktu tidur semakin dipepet. Pagi harinya kita butuh lebih banyak kopi dan doping.
<br />
<br />
Syukurlah tiga tahun terakhir saya beruntung punya kesempatan <i>off</i> dari pekerjaan. Perjalanan ibadah atau sekedar melancong menjadi mimpi lama yang terwujud. Sebenarnya perjalanan bisnis bisa juga punya efek rekreasi. Tapi kerja tetap kerja. Kita butuh waktu <i>off</i> untuk mengasah gergaji kita. Melihat keindahan dan kebesaran alam. Terlebih lagi Penciptanya. Melihat ragam budaya, sejarah, dan bahasa. Membina lagi hubungan agar lebih positif. Tentu saja dengan aktivitas fisik harian ribuan langkah dan “puluhan lantai” atau ratusan meter elevasi.
<br />
<br />
Lima belas tahunan yang lalu, saya terlibat dalam proyek pengembangan data warehouse. Sebelumnya saya sudah bereksperimen dengan proyek OLAP, sambil belajar dari buku Ralph Kimball, The Data Warehouse Toolkit. Pendekatan Kimball terkesan sederhana. Memang itu yang jadi sasaran beliau. User tidak butuh kompleksitas, kata beliau dalam suatu seminar di Jakarta sekitar tahun 1997. Model star schema adalah yang cocok untuk pengguna. Memang begitu...
<br />
<br />
Namun demikian, mengimplementasikan pendekatan star schema bisa jadi cerita lain, tergantung skala pengembangannya. Jika skalanya kecil, pendekatan ini paling baik. Pengalaman saya lima belas tahunan yang lalu menunjukkan proyek EDW dengan banyak subyek area - katakanlah puluhan tabel fakta dengan dimensi antara lima puluh sampai seratus atau bahkan lebih (jangan bahas dulu variasi kompleksitas dimensi dan tabel fakta - memakan waktu yang lama. Tiga tahun! Sakit kepala bertambah ketika kami sadar kebutuhan user sudah berubah selama tiga tahun itu. Proyek lanjutan untuk penyesuaian EDW yang sudah dibangun tidak dapat dikatakan sederhana. <i>Conformed dimensions</i> sulit dijaga. Akhirnya harus kompromi. Hasilnya adalah <i>unconformed conformed dimensions</i>
<br />
<br />
Liburan? Ah... situasi sulit dalam pengembangan dan enhancement EDW bikin liburan ga nyaman. Itupun kalau sempat. Kritik dan ketidakpuasan user terbayang-bayang terus. Apakah ini memang harus terjadi? Terjadi terus? Tentu saja tidak! Ada cara bekerja yang lebih cerdas, efektif, dan efisien. Pengguna bisa <i>happy</i>. Kita juga bisa. Coba deh bayangkan jalan-jalan ke tempat ini, sementara EDW berbasis Data Vault dari Dan Linstedt, yang sudah berkali-kali kita <i>deploy</i> tiga tahun terakhir dengan <i>time to market</i> yang mengesankan, berjalan lancar. Liburan makin menyenangkan karena proyek-proyek di tangan tetap terkendali dengan baik. Makasih ya, Laksmi.
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhebWIw_-fguG-vCK058kAk5iH7BK8pBc-gHqY39U1FE0eoqd2rBHA0snvRkxr3ji2VvLfXPDn0pUyb04vNVpxk4aalsbjrHKowA0S-vbRMa6dDP-jEf5n0mgICo_6l_j5cnmYaiHfAmn8/s1600/2018-03-27-PHOTO-00000163.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1280" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhebWIw_-fguG-vCK058kAk5iH7BK8pBc-gHqY39U1FE0eoqd2rBHA0snvRkxr3ji2VvLfXPDn0pUyb04vNVpxk4aalsbjrHKowA0S-vbRMa6dDP-jEf5n0mgICo_6l_j5cnmYaiHfAmn8/s320/2018-03-27-PHOTO-00000163.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcrjUJYdbyBBfs4wqWtC3t4R-ldMy0AUpwnIlFSDjyNy89qzo2Ij3qzK6HeOeOHoe52bTyvfbu7DPq2k9mzqdgqfo2ceU3rTLgWdvLGgHi9k8YAkZlzaU1hF4rUxrbJ_vXYY0_kuTG_Pg/s1600/2018-03-27-PHOTO-00000126.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="1280" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcrjUJYdbyBBfs4wqWtC3t4R-ldMy0AUpwnIlFSDjyNy89qzo2Ij3qzK6HeOeOHoe52bTyvfbu7DPq2k9mzqdgqfo2ceU3rTLgWdvLGgHi9k8YAkZlzaU1hF4rUxrbJ_vXYY0_kuTG_Pg/s320/2018-03-27-PHOTO-00000126.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
Bagaimana? Mengesankan bukan? Gambar di atas saya ambil di Pamukkale, Turki, baru-baru ini. Sumber air panas menjadi sebab tempat ini menarik bagi bangsa Helenik untuk membangun Hierapolis. Air panasnya masih mengalir hingga kini, dan saya sempat merasakan hangatnya ketika merendamkan kaki di alirannya. Air panas ini juga mengaliri kontur yang berbukit-bukit membentuk <i>travertine</i>. Atau barangkali kisah penganut Nasrani bersembunyi di Goreme dari bangsa Romawi mampu menginspirasi kita dengan nilai kesabaran dan kecerdasan dalam membangun kota dan hunian yang aman dan reliable, seperti gambar-gambar berikut.
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiV7OIcnsTV21pb3RYOd7u_cQSp6x6FthBSETZap8YxO_OVRV2xCTWR7iiZ5dA87YtTkHDXyHIKyGohVaoCbPgpFJY1tmtbpwl75k-zWkShOQibfPNJsPcRKKDVDerjHQmY7EvZ4eXgmbI/s1600/2018-03-28-PHOTO-00037292.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1024" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiV7OIcnsTV21pb3RYOd7u_cQSp6x6FthBSETZap8YxO_OVRV2xCTWR7iiZ5dA87YtTkHDXyHIKyGohVaoCbPgpFJY1tmtbpwl75k-zWkShOQibfPNJsPcRKKDVDerjHQmY7EvZ4eXgmbI/s320/2018-03-28-PHOTO-00037292.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwiA0s4YPmHi7Tdyio_aX5wZpwDQfrIdCCXmoT2UeY_ZC3xyksXl1QqSjOP5UDmGdS6ImwIvL-fhyphenhyphenhgF5Qq7Fk_4S6whIyWGURVXLh-0bQjmBb0hyQfZ1EZ8g6Dd3F8_aI5Uex4QgxljM/s1600/2018-03-28-PHOTO-00037296.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1280" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwiA0s4YPmHi7Tdyio_aX5wZpwDQfrIdCCXmoT2UeY_ZC3xyksXl1QqSjOP5UDmGdS6ImwIvL-fhyphenhyphenhgF5Qq7Fk_4S6whIyWGURVXLh-0bQjmBb0hyQfZ1EZ8g6Dd3F8_aI5Uex4QgxljM/s320/2018-03-28-PHOTO-00037296.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
Kembali dari perjalanan yang luar biasa ini, saya masih terbayang dengan peradaban masa lalu yang sangat mencengangkan. Kemudian melewati jalan-jalan mulus antar dan di dalam kota-kota di Turki menambah keyakinan bagaimana penataan yang benar mampu membangkitkan kembali peradaban di masa sekarang menyongsong masa depan, setara dengan bangsa-bangsa maju lainnya.
<br />
<br />
Kota-kota yang bersih dan tertata rapi mengingatkan saya pada <i>hubs</i> di pemodelan DV. Jalan-jalan yang menghubungkan antar kota atau yang menghubungkan satu jalan dengan lainnya mengingatkan saya pada <i>links</i>. Baik kota maupun jalan memiliki properti detilnya masing-masing. Membuat jalan baru tidak harus membongkar jalan dan jembatan yang sudah dibangun sebelumnya dengan benar. Mengembangkan kota tidak berarti harus membongkar terlebih dahulu apa yang sudah dikembangkan sebelumnya dengan benar. Semua ini membuktikan manusia mempunyai kemampuan menata dengan baik, asalkan tahu cara-cara menata yang benar tersebut. Secara <i>top down</i> dan sekaligus <i>bottom up</i>, dengan mengkombinasikan kebaikan dari keduanya. Kalau ga percaya, tanya ke Yudha. Kami telah melewati perjalanan ini bersama. Implementasi EDW berbasis DV maksudnya, bukan ke Turki, tapi kayaknya dia tertarik jalan-jalan ke Turki.
<br />
<br />
Saya sih berpikir positif bahwa pembaca percaya dengan kehebatan Data Vault. Setidaknya mulai percaya. Itu langkah awal keberhasilan implementasi EDW saat liburan. Kuncinya? Buka pikiran dan belajar dari ahlinya, serta... jangan malas baca! Jangan hanya mengandalkan pendekatan star schema (star schema punya nilai tambahnya sendiri; <i>don’t get me wrong!</i>) yang terbukti tidak <i>robust</i> untuk membangun EDW - EDW sebagai saksi sejarah kehidupan. Saya pinjam istilah saksi sejarah ini dari Ahmal, yang selalu mampu menjawab tantangan pekerjaan. Tentu saja dengan sedikit penyesuaian mengikuti konteks tulisan
Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-10741120564687051502018-02-23T21:23:00.004+07:002018-02-25T20:00:49.921+07:00Data Warehouse di HadoopSejak teknologi Hadoop ngetren beberapa tahun lalu, banyak praktisi yang berpikir untuk menerapkan <i>data warehousing</i> dengan teknologi big data ini. Bahkan muncul juga istilah baru (<i>yes, another buzzword</i>) <i>data lake</i> sebagai pengganti atau pelengkap data warehouse. Di kantor kami, ada juga wawasan ke sana, tetapi masih belum betul-betul bergulir implementasinya.<br />
<br />
Sebelum kita menjajaki lebih jauh kemungkinan penerapan data lake atau apapun istilahnya dengan menggunakan Hadoop, perlu kita ketahui alasan atau latar belakang munculnya gagasan ini. Ada beberapa alasan. Yang pertama, banyak perusahaan yang menerapkan <i>data warehousing</i>, setelah sukses pengembangan dan implementasinya di tahun-tahun pertama, menghadapi masalah skalabilitas. Pengalaman yang berulang kali terjadi, saya dengar, adalah keharusan untuk merombak atau mengembangkan ulang data warehouse setelah tiga sampai lima tahun. Tentunya konsekuensi biayanya bikin hati miris. Opsi penggunaan teknologi alternatif NoSQL seperti Hadoop untuk mengganti data warehouse yang lama menjadi menarik.<br />
<br />
Kedua, teknologi Hadoop adalah teknologi <i>open source</i> yang dipersepsi lebih murah dibandingkan RDBMS seperti katakanlah Oracle dan MS SQL, meskipun pada akhirnya ada biaya yang tetap harus dikeluarkan jika perusahaan membutuhkan <i>support</i> yang dapat diandalkan, misalnya dengan men-<i>subscribe</i> Cloudera atau Hortonworks atau yang lain. Biaya ini tidak terhindarkan, tapi tetap persepsinya lebih murah. Yang bikin masalah adalah Hadoop tidak mengenal fitur <i>update</i>, padahal dalam beberapa hal <i>data warehousing</i> membutuhkan <i>update</i>. Untuk mengatasinya dibutuhkan pendekatan yang berbeda dari sebelumnya. Muncullah beberapa pendekatan baru, di antaranya <i>data lake</i>.<br />
<br />
<span class="fullpost">
Ketiga, perusahaan membutuhkan segala jenis data, baik yang terstruktur, setengah terstruktur, maupun tidak terstruktur sama sekali. RDBMS tidak pas untuk mengolah data yang setengah terstruktur, apalagi yang tidak terstruktur sama sekali. Teknologi Hadoop dengan s<i>chemeless repository</i> punya keunggulan signifikan dibandingkan RDBMS. Pada ujung yang paling ekstrem, katanya, kita bisa cemplungkan segala sesuatu ke dalam Hadoop tanpa harus peduli dengan skema atau struktur tabelnya. Skema baru dibutuhkan ketika membaca data, tidak pada saat menulis data ke Hadoop. Tentu saja kita mesti hati-hati dengan pandangan ekstrem yang <i>too good to be true</i> seperti itu.
<br />
<br />
Keempat, teknologi Hadoop memungkinkan proses yang sangat paralel dengan mendistribusikan beban pemrosesan ke <i>distributed nodes</i> yang secara mandiri masing-masing memiliki <i>computing power</i> dan <i>storage</i> sekaligus. Karena sifatnya terdistribusi ke simpul-simpul mandiri yang sendirinya memiliki <i>computing power</i> dan <i>storage</i> sekaligus, <i>cluster</i> Hadoop tidak butuh banyak <i>data movement</i>. Itu salah satu sebabnya Hadoop bisa sangat cepat. Di sini kita tidak akan mengelaborasi lebih dalam mengenai arsitektur Hadoop, mekanisme kerja, dan jeroannya. Cukuplah pembaca mencari sendiri di internet artikel-artikel yang hampir tidak terbatas mengenai hal teknis ini. Sebetulnya kemampuan pemrosesan secara paralel ini ada juga di RDBMS seperti Oracle, tapi jika kita menerapkan Hadoop, kita tidak membutuhkan server <i>high end</i>. Ini artinya lebih murah. Jika suatu saat diperlukan tambahan kapasitas, kita tinggal menambah sejumlah server <i>mid range</i> atau bahkan bisa juga <i>low end</i> ke <i>cluster</i> Hadoop yang telah kita miliki. Skalabilitas yang mengagumkan!
<br />
<br />
Kembali pada gagasan membuat data warehouse di atas Hadoop, saya ingin menceritakan sedikit mengenai pemodelan dan metodologi Data Vault, saat ini sudah DV 2.0, yang diciptakan oleh Dan Linstedt. Meskipun tidak pernah ketemu langsung dengan beliau, saya berinteraksi intensif dengan teman-teman yang memiliki sertifikat dari Dan Linstedt, sebagiannya anggota atau mantan anggota tim saya, sebagiannya lagi tim Hasnur Ramadhan. Hasnur Ramadhan adalah satu dari sedikit orang Indonesia yang memiliki sertifikasi DV. Bahkan dia berkali-kali memperbaharui sertifikatnya. Tidak heran kalau dia dekat dengan Dan Linstedt.
<br />
<br />
Dari interaksi dengan orang-orang hebat tersebut dan belajar dari materi Data Vault yang dibawa oleh Ginanjar dan Laksmi waktu dulu mereka berguru ke Dan Linstedt di Colorado ataupun materi yang tersedia di internet, saya dapat memahami metodologi DV ini secara konseptual. Malah pada kondisi tidak tersedia bahan belajar yang cukup, <i>somehow I am capable of connecting the dots</i>. Pemikiran pribadi sering saya diskusikan dengan tim saya, di antaranya Yudha dan Ahmal, dua anak muda berbakat yang memampukan kami menerapkan Data Vault di kantor, tentu saja pada beberapa hal dibantu dan terinspirasi oleh Pak Hasnur dan timnya yang hebat - ketika mereka menjadi konsultan kami di 2015 di proyek Julia.
<br />
<br />
Baru-baru ini, akhir Januari, Pak Hasnur kasih khabar ke saya. “Lagi di Berlin, ngambil DV 2.0 Bootcamp,” katanya. Tentu saja khabarnya dilengkapi foto berdua Dan Linstedt, yang kelihatan lebih berisi badannya. Saya minta sampaikan salam ke Daniel. Sayang acara sudah selesai dan beliau tidak ketemu lagi dengan Dan Linstedt. Setelah itu, baru berapa hari lalu, Pak Hasnur pamer sertifikat DV 2.0 ke saya lewat pesan WA. Dia juga kasih oleh-oleh gambar arsitektur DV 2.0 terbaru. Dia kemudian menawarkan integrasi DV dengan Cloudera. Kontan aja sifat usil saya muncul. Lantaran tahun 2015 waktu ngobrol dengan Pak Hasnur, saya sudah bilang mau implementasi DV di Hadoop, dan kebetulan saat ini kami memang sedang mencobanya. Saya bilang Pak Hasnur kali ini harus belajar ke kami, tapi dasar dia dari dulu ga mau kalah sama saya. “Ga <i>certified</i>,” katanya! Saya tunjukkan percakapan WA itu ke Yudha dan Ahmal. Kami tertawa-tawa. Lalu salah satunya bilang (bercanda) bahwa itu ofensif. Saya nyantai aja.
<br />
<br />
Perlu diketahui bahwa DV 2.0 sudah beberapa tahun lalu dipublikasi oleh Dan Linstedt. DV 1.0 jauh lebih awal di tahun 2000-an, yang diciptakannya berdasarkan pengalaman bertahun-tahun sebelumnya menjadi konsultan pengembangan sistem-sistem besar dengan skala terabyte bahkan petabyte. Saya mengikutinya di dunia maya. Saya juga mengikuti Dan Linstedt bubar dengan beberapa rekannya di awal-awal mempromosikan Data Vault. Kemudian dia bermitra dengan orang baru. Pada saat-saat itu, lahirlah DV 2.0.<br />
<br />Terus terang saya mengikuti newsletter dari Dan Linstedt dan rekannya. Beberapa artikel di email dan beberapa video dari "Dan and Sanjay" (ya orang India) saya pelajari. Secukupnya sih, selama saya ada waktu di tengah pekerjaan yang menumpuk. Di tahun 2015 itu, saya sudah tahu dari kiriman email “Dan and Sanjay” bahwa DV 2.0 bisa diterapkan di atas Hadoop. Saya tidak perlu sertifikasi untuk mengatakan bahwa kami akan terapkan DV di atas Hadoop. Saya juga tidak perlu menunggu sertifikasi untuk menerapkan <i>hash key</i> di DV, menggantikan <i>sequence key</i>. Beda dengan Pak Hasnur. Beliau lebih butuh landasan akademik dan profesional. Hal ini bisa dipahami karena beliau adalah konsultan yang jualan di industri.
<br />
<br />
Mungkin pembaca ada yang ragu juga. Apa memang bisa menerapkan EDW berbasis Data Vault di atas Hadoop? Untuk pembaca yang seperti itu, ada baiknya ikut DV 2.0 Bootcamp atau kelas DV 2.0 lainnya. Jadwalnya sudah dipublikasi. Berdasarkan pengalaman tahun-tahun lalu, penyelenggaraannya tersebar di Amerika, Eropa, dan sedikit di Australia. Di Indonesia? Sayang sekali belum. Kalau Dan Linstedt mau buka kelas di Jakarta, pasti in syaa Allah saya hadir. Malah saya mau traktir dia, tentu saja kalau dia berkenan, dan saya mau pertemukan dia dengan tim saya yang warbiasah.
<br />
<br />Pada titik ini, saya ingin menyarankan pembaca yang berencana membuat data warehouse di Hadoop atau membuat <i>data lake</i>, pakailah pemodelan dan metodologi DV 2.0. Data mudah ditata di dalam Data Vault. Menambahkan data baru - apakah hanya kolom baru, atau satu tabel transaksi, atau sekian banyak tabel baru - sangat mudah, tanpa mengganggu tabel-tabel yang sudah ada di DV. Sangat fleksibel! Proses ELT-nya sangat standard dan polanya mudah di-<i>reuse</i>. Kalau ada uang, DWA (Data Warehouse Automation) tools seperti BIReady dan WhereScape akan sangat membantu. Atau pembaca bisa bikin sendiri sistem DWA.
<br />
<br />
Apakah <i>performance</i> DV akan turun seiring dengan bertambahnya data dan tabel? Tidak, karena DV punya skalabilitas yang tinggi dan mendukung proses yang sangat paralel, terserah mau menggunakan Hadoop atau RDBMS yang mendukung MPP. DV juga sangat sangat sedikit melakukan proses <i>lookup</i> dalam tahapan ELT-nya. Ini tentu mendukung <i>performance</i> yang prima, dan yang tidak kalah penting tidak ada <i>update </i>di dalam proses ELT-nya. Fitur tidak ada <i>update</i> ini yang memungkinkan penerapan DV di Hadoop. Banyak lagi keunggulannya. Kami sudah membuktikannya di tempat kami. Faktanya, penerapan DV di seluruh dunia sangat sangat banyak dan terus tumbuh.
<br />
<br />
Jika pembaca masih belum percaya dan memilih metode lain atau berusaha membuat sendiri metodenya atau mengabaikan perlunya metodologi sembari mencemplungkan segala sesuatu ke dalam Hadoop, maka bersiaplah untuk membangun <i>data lake</i> tetapi pada akhirnya hanya menghasilkan <i>data swamp</i>! Atau mungkin ada juga yang berpikir persetan dengan Hadoop dan akan tetap menggunakan RDBMS kalau perlu berupa <i>appliance</i>, sembari tetap mengandalkan hanya <i>star schema</i> atau <i>snowflake schema</i> dari Ralph Kimball. Untuk yang memilih jalan ini, siap-siap saja dalam waktu tiga tahun untuk merombak data warehouse yang sudah dikembangkan, sambil menyalahkan infrastruktur!</span>
Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-2555540532793552322018-01-20T17:52:00.002+07:002018-02-23T22:02:56.023+07:00Dan Linstedt, Data Vault, dan EDW di Kantor Kami<div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Saya kenal Dan Linstedt lewat dunia maya saja. Dalam pencarian pendekatan yang lebih efektif dalam mengembangkan sistem informasi, data warehouse khususnya, saya ga sengaja berkunjung ke situs tdan.com di mana Dan Linstedt menjadi salah satu penulisnya. Itu sekitar tahun 2008. </span></div>
<div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Dia menulis mengenai Data Vault (sekarang sudah DV 2.0) yang diklaimnya mendapat pengakuan dari Bill Inmon, mbahnya data warehouse. Saya sudah kenal Bill Inmon terlebih dahulu yang bersama Claudia Imhoff memperkenalkan konsep data warehouse berupa Corporate Information Factory (CIF). Saya juga sudah kenal terlebih dahulu dengan Ralph Kimball yang pendekatannya kami gunakan dalam mengembangkan EDW di kantor dari 2002 sampai 2007. </span></div>
<div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Dapat dikatakan pendekatan Kimball yg kami gunakan cukup berhasil. Kami ga perlu membuat model data <i>top down</i> ideal <i>enterprise-wide</i> untuk mengembangkan EDW. Jadinya bisa cepat menghasilkan. Murah tentu saja. Tapi dengan berjalannya waktu menjadi semakin sulit untuk menambahkan dan mengintegrasikan data baru ke EDW. Penyakitnya yang utama di antara beberapa hal lainnya adalah kesulitan memelihara tabel <i>conform dimensions</i> seiring dengan penambahan subyek area baru. Dan Linstedt menyebut penyakit ini <i>dimensionitis</i>. </span></div>
<div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;"><span class="fullpost">
</span>
</span><br />
<div style="color: #454545;">
<span class="fullpost" style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Sebenarnya sebelum ketemu konsep DV Dan Linstedt, saya menemukan DW 2.0 Bill Inmon terlebih dahulu. DW 2.0 dimaksudkan Inmon sebagai koreksi dari penyimpangan-penyimpangan istilah dalam perkembangan dunia data warehouse. Di 2008, saya minta Laksmi dan Ginanjar mempelajari keduanya: DW 2.0 dari Inmon dan DV (waktu itu sebut saja masih DV 1.0) dari Dan Linstedt.</span></div>
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;"><span class="fullpost">
</span>
</span><br />
<div style="color: #454545;">
<span class="fullpost" style="font-family: Times, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<span class="fullpost" style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">
</span>
<div style="color: #454545;">
<span class="fullpost" style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Kebetulan sekitar tahun 2008 itu, saya tidak lagi <i>in charge</i> dalam pengembangan EDW di kantor. Saya waktu itu dipindah tugas ke QA dan PMO. Kami berusaha mendapatkan <i>buy in</i> terhadap DW 2.0 dan DV. Toh yang mengerjakan adalah kolega kami yang lain. Laksmi dan Ginanjar yang sudah mendapat sertifikasi <i>DV modeling</i> dari Linstedt langsung di Colorado, dengan saya sebagai promotornya, tentunya punya kewajiban moral agar investasi pengetahuan ini tidak sia-sia. </span></div>
<span class="fullpost"><span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">
</span><div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Apa mau dikata, pembenahan EDW di kantor kami waktu itu tidak bergulir. Pengembangannya stagnan. Operasional EDW yang telah dibangun 2002-2007 terseok-seok. Sampai suatu hari, setelah serangkaian reorganisasi dan dinamika lainnya, tahun 2013 saya ditugaskan kembali menangani EDW di kantor kami. Beruntung divisi baru yang saya pimpin ini diperkuat oleh beberapa kolega lama yang pernah punya eksposur dalam pengembangan EDW sebelumnya, termasuk Laksmi dan Julia.</span></div>
<div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Saya juga merasa beruntung sekali dengan masuknya dua anak muda cerdas dan berbakat, yg ternyata dari satu sekolahan. Ahmal yang duluan masuk, 2013, kurang lebih berbarengan dengan masuknya saya ke divisi ‘lain sendiri’ itu. Disusul Yudha tahun 2014. Bersama Ahmal, saya berhasil melalui masa survival EDW paling sulit di 2013 dan 2014. Keberhasilan melalui masa paling sulit dengan kondisi <i>morale</i> paling rendah menjadi titik tolak bagi kami untuk menyongsong era baru. </span></div>
<div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Selanjutnya, bersama Yudha dan Ahmal, kami berhasil menerapkan DV 2.0 hingga saat ini kami mampu mengembangkan EDW yg sangat modern dengan <i>time to market</i> yang luar biasa. <i>Performance</i> ETL/ELT? Itu juga luar biasa! Penambahan data 250 juta record bisa selesai beberapa jam saja, meskipun hanya dengan server database Oracle menengah. Rencananya mesin database akan kami ganti dengan yang <i>high end</i>, malah Yudha dan Ahmal sedang saya tugaskan untuk bersiap menerapkan DV 2.0 di atas Hadoop, sehingga EDW kami segera masuk ke skala “<i>petabytes and beyond</i>” dengan <i>performance</i> dan skalabilitas yang sangat memuaskan.</span></div>
<div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Sebenarnya kekuatan dari sisi teknis bukan segalanya, tetapi dalam pengembangan EDW yang ga pernah ada habisnya, kapasitas yang bagus dari sisi teknis merupakan <i>key success factor</i>. Kita dapat menghemat waktu menyelesaikan isu teknis dan dapat mengalokasikan lebih banyak waktu untuk ketemu user. User merasa puas dan yang paling penting “<i>keep coming back</i>” kepada kami. Tentu saja bukan tidak ada masalah sama sekali, tapi masalah dapat diselesaikan, dengan kolaborasi yang baik dan kadang dengan sedikit marah-marah, misalnya pas akhir 2017 kemarin (maaf ya gaes).</span></div>
<div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Rasa terima kasih tentunya harus juga saya tujukan ke kolega-kolega saya lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Dari pihak eksternal, Pak Hasnur Ramadhan dengan tim yang luar biasa juga telah memberikan warna tersendiri dalam warisan kami di divisi yang sekarang ‘menceng dewe’ ini. Bagaimana kisah survival-revival kami mungkin perlu satu buku tersendiri - setidaknya satu artikel tersendiri - untuk menceritakannya. </span></div>
<div style="color: #454545;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545;">
<i><span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">O God... I am very grateful for this wonderful experience. </span></i></div>
</span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-61986645190122406452014-11-26T11:30:00.001+07:002018-01-20T18:10:39.084+07:00Big Data: Big Untung<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);">Seperti penjelasan sekenanya di artikel <i>Big Data: Big Bingung</i>, teknologi <i>big data</i> adalah suatu teknologi yang memungkinkan pengolahan catatan digital yang terus menerus tercipta setiap saat dengan <i>velocity</i> tinggi dan volume besar, baik lokal maupun global, menjadi informasi yang bernilai tinggi. Sumber data digital tersebut bermacam-macam. Variasi dan formatnya juga bermacam-macam. <i>Data scientist</i> menggunakan <i>big data analytics</i> untuk menemukan (men-<i>discovery</i>) informasi yang bernilai tinggi tersebut, yang kemudian dapat digunakan dalam proses produksi.</span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);"><br /></span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);">Biasanya artikel mengenai big data menyebut internet dan jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter sebagai sumber <i>big data</i>. Ya, contoh itu memang paling mudah. Yang agak sulit dimengerti, meskipun sudah berjalan di perusahaan-perusahaan besar, adalah <i>big data</i> berupa <i>streaming</i> yang bersumber dari sensor-sensor yang mengukur dan kemudian mengirim ukurannya ke tempat pengolahan. Misalnya sensor yang terpasang di turbin-turbin produksi General Electric (GE) yang jumlah turbinnya saja di seluruh dunia luar biasa banyak. Apalagi jumlah sensor dan data yang diproduksi secara keseluruhan. Mungkin kita bertanya-tanya apa untungnya buat GE mengumpulkan semua data yang segunung itu?</span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);"><br /></span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);">Ayo, kita hela nafas dikit... Ga apa. Wajar aja kalau <i>big bingung</i> dengan <i>big data</i>. Bayangkan jika data dari sensor turbin-turbin GE yang terpasang di seluruh dunia itu bisa diolah oleh para <i>data scientist</i> GE untuk mengetahui keadaan dari setiap turbin. Setiap saat! Lebay ya? Apakah turbinnya, misalnya di padang pasir Timur Tengah, masih berjalan normal. Apakah kinerja mulai menurun? Apakah ada fungsi yang tiba-tiba tidak berjalan. Dengan pengetahuan itu saja, GE mampu menyediakan layanan yang sangat cepat tanggap ke pengguna turbinnya. Lebih jauh lagi, GE bisa lebih efisien mengelola <i>service</i> termasuk <i>site visit</i> ke padang pasir dengan lebih murah. GE untung. <i>Customer</i>-nya juga untung. Keuntungan dari <i>big data</i>!</span></div>
<span class="fullpost">
</span>
<div>
<span class="fullpost"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);"><br /></span></span></div>
<span class="fullpost">
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);">Contoh yang lebih sehari-hari misalnya dalam manajemen lalu lintas. Barangkali Bu Airin tiba-tiba terinspirasi menerapkannya di Tangsel. Memang kasus ini agak ngarang sih, tapi <i>who knows</i>? Umpamanya Pemkot Tangsel bisa memasang sensor di seluruh jalanan, untuk permulaannya misalnya di tiap perempatan atau lampu lalu lintas. Sensor itu berfungsi mengukur kondisi lalu lintas. Berapa kecepatan kendaraan? Berapa kendaraan yang lewat? Misalnya saja itu bisa dilakukan. Kemudian setiap sensor mengirim data pengukurannya ke kantor pengelola lalu lintas. Dengan <i>data scientist </i>yang cakap yang kemudian bisa membuat algoritma ciamik untuk pemantauan, kondisi lalu lintas tiap jalanan di Tangsel bisa diketahui setiap saat.</span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);"><br /></span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);">Sebenarnya Bu Airin punya alternatif lain. Bisa saja Bu Airin menyewa satelit khusus memotret dan mengirim gambar Tangsel setiap berapa waktu. Perangkat lunak <i>analytics</i> yang mampu mengolah gambar memang masih harus dibeli, tapi kalau mampu, lagi-lagi Pemerintahan Bu Airin bisa mengetahui kondisi jalanan setiap saat. Dengan pengetahuan itu, manajemen lalu lintas bisa lebih baik. Misalnya, lebih cepat memutuskan kapan harus mengirim petugas. Ke lokasi mana saja. Kantor manajemen lalu lintas kemudian bisa memberikan penerangan ke pengguna jalan agar menghindari area tertentu atau merekomendasikan jalur alternatif, bekerja sama dengan stasiun radio atau lewat akses langsung para pengguna <i>mobile app</i> Pemkot Tangsel. Lebih canggih lagi seandainya dari data satelit atau sensor di atas, yang pasti volumenya luar biasa, Bu Airin dan staf bisa mengembangkan <i>automated traffic control system</i>.</span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);"><br /></span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);">Mahal? Mau murah? Mungkin bisa bekerjasama dengan GoogleMap atau Waze. Basisnya pengumpulan data dari jejaring sosial. Jadi 'sensor' dalam hal ini adalah para pengendara itu sendiri yang mengirim sinyal lokasi dan kecepatannya masing-masing. Saya mendengar dari seorang kawan. Katanya dia pernah membaca berita bahwa Jakarta bermaksud bekerjasama dengan Waze dalam kaitan dengan manajemen lalu lintas ini.</span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);"><br /></span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);">Lalu apa lagi manfaat <i>big data</i>? Kan sayang kalau sudah menyimpan <i>big data</i> yang amat bejibun, tetapi tidak banyak manfaatnya? Mau untung malah buntung. Kita-kita ini pengguna teknologi sudah semestinya berhati-hati. Tidak boleh percaya begitu saja pada vendor. Vendor biasanya mengatakan yang bagus-bagus saja. Malah vendor cukup sering mengiyakan pemanfaatan suatu teknologi yang sebetulnya kurang tepat. Bahasa kerennya: <i>business use case</i> tidak cocok. Pengamat yang berada di pinggiran malah jadi sinis. Wah... si fulan menginisiasi proyek terkait <i>big data</i> atau teknologi apa saja hanya untuk <i>manjang-manjangin</i> pengalaman kerja (<i>credential</i>). Ada apa pula dia dengan vendor itu?</span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);"><br /></span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);">Runyam kan kalau kondisinya jadi penuh curiga gitu? Begini... Saya mau <i>share</i> dikit. Saya diminta baca buku <i>big data @ work</i> karangan Thomas Davenport. Bagus bukunya. Beliau memang bukan orang yang tahu detil mengenai IT. Beliau mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai penulis strategi. Di bukunya, beliau membuat tiga kategori <i>business case</i> pemanfaatan big data.</span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);"><br /></span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto;">Yang pertama adalah <i>cost/time reduction</i>. Yang kedua adalah <i>new products and services.</i> Yang ketiga adalah <i>internal business decision support</i>. Untuk yang ketiga ini perlu sedikit hati-hati. Thomas Davenport mengatakan:</span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto;"><br /></span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto;"><i>"Traditional information manajement and analytics were primarily about supporting internal decisions. Big data is somewhat different in this regard..."</i></span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto;"><br /></span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto;"><i>"... instead of creating reports or presentations that advise senior executive on internal decisions, data scientists commonly work on customer-facing products and services."</i></span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto;"><br /></span></div>
<div>
<span style="-webkit-text-size-adjust: auto;">Namun demikian, menurut Davenport, bukannya tidak ada kasus yang bagus untuk pemanfaatan <i>big data</i> dalam mendukung keputusan. Ada ga contoh-contohnya? Ah, tunggu ya, masih ada dua bab yang belum selesai saya baca. In syaa Allah, saya lanjutin di artikel berikutnya. Kalau untuk mendukung riset, ada ga? Mestinya ada. Saya pernah baca, ada peneliti yang menggunakan Google Trend untuk mengikuti 'keyword' tertentu kemudian membandingkannya dengan indikator yang biasa diperoleh secara konvensional.</span></div>
</span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-70898602860226819732014-11-10T15:40:00.001+07:002018-01-20T18:07:10.652+07:00Big Data: Big Problem<span style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0 , 0 , 0 , 0.701961); font-family: "uictfonttextstylebody"; text-decoration: -webkit-letterpress;">Di artikel sebelumnya, Big Data: Big Promise, saya sudah sampai pada penjelasan bagaimana para pembisik berkolaborasi dalam memberikan suplai bisikan ke tuannya. Dengan model SECI dari Nonaka-Takeuchi, kita bisa mengelompokkan kegiatan kolaborasi para pembisik dalam empat kegiatan: sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi, dan internalisasi. Di artikel itu juga saya sudah menyinggung dalam melakukan empat kegiatan itu, khususnya internalisasi, para pembisik memerlukan data yang diaksesnya dari <i>data warehouse</i>, <i>database</i>, atau DARI MANA SAJA.</span><br />
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<br /></div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
Huruf kapital yang digunakan untuk frasa DARI MANA SAJA mencerminkan agitasi dan intimidasi, karena memang jika kita masih <i>big bingung</i> dengan <i>big promise</i> dari <i>big data</i>, tidak perlu terlalu lama menyimpulkan kita menghadapi <i>big problem</i>. Eits... jangan buru-buru. Sebelumnya, mungkin kita perlu meninjau kebalikannya, <i>little data: little problem</i>, dulu.</div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<br /></div>
<span class="fullpost">
<br />
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
Dari dulu, buku-buku maupun konsultan suka sekali dengan gambar piramida. Mungkin karena bentuknya memberi kesan kokoh, maka model ini menggoda untuk digunakan. Lagipula Piramida adalah salah satu keajaiban dunia. Dasar piramida mewakili data yang diperoleh dari sumbernya. Masih mentah, <i>raw data</i>. Tengah-tengah piramida hingga puncaknya mewakili hasil pengolahan data dari dasar piramida, untuk menghasilkan informasi bahkan pengetahuan. Di puncak piramida, sang tuan sudah menunggu asupan dari bawah untuk mengambil tindakan atau keputusan!</div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<br /></div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<div class="separator" style="clear: both;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhkkX51lxaPm7SuXCF5bDhLoA2GJSTZ5v2FJarjxEaVMPgOqL0BoGD75orSQP69tz8JKY6ApiJrxFsduFmIw_z2f1B9ElKzw9gO5DpfBcGQNhjk8_9ceckm9aLrTqDBkrx0V79DkfspLF0/s640/blogger-image-1246426857.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhkkX51lxaPm7SuXCF5bDhLoA2GJSTZ5v2FJarjxEaVMPgOqL0BoGD75orSQP69tz8JKY6ApiJrxFsduFmIw_z2f1B9ElKzw9gO5DpfBcGQNhjk8_9ceckm9aLrTqDBkrx0V79DkfspLF0/s640/blogger-image-1246426857.jpg" /></a></div>
<br /></div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<br /></div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
Kalau piramida itu digunakan untuk menggambarkan sistem informasi atau aplikasi, maka dasarnya adalah <i>transaction processing systems</i>, tengahnya <i>management information systems</i>, dan atasnya <i>decision support systems</i> atau <i>executive information systems</i>. Keren kan? </div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<br /></div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
Ini dia masalahnya. Keren sih keren, tapi secara pribadi, gambar itu tidak saya sukai. Pertama, ada nuansa bahwa dasar piramida harus terisi utuh dulu sebelum tengah-tengah dan puncak piramida dapat dibangun. Seorang teman kantor, dulu juga saya pernah, ngomong bagaimana mungkin kita bisa membuat MIS dan EIS yang bagus kalau kualitas TPS kita masih rendah, malah banyak yang manual. Sekarang saya tidak sependapat dengan pandangan ini.</div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<br /></div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody;">
<span style="text-decoration: -webkit-letterpress;">Kedua, piramida itu memang terkesan kokoh, tapi tidak menampilkan unsur manusia secara tepat, padahal manusia adalah elemen terpenting dalam suatu sistem informasi, khususnya sistem informasi konsumsi pimpinan strategis. Pembisik-pembisik itu tidak tergambar di piramida. Akhirnya saya bikin model saya sendiri. Staf saya menyebutnya <u>belah ketupat terbelah awan</u>. Hahahaha.</span></div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<br /></div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
Ini gambar belah ketupat terbelah awan ala saya.</div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<div class="separator" style="clear: both;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJSNtyrzU-rE_T4ICh7rLNAOursoP1R4L1gohNTlGRb6yQjoXhcifz_xfU_vcHAuB284LUZ6KNY1uCs_lqb-3oC8sz2KC_teQKQcZo7j2s8YpfKDcQNWy8lkavxVBAfCpY_sA0OUZzTbc/s640/blogger-image--1706403878.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJSNtyrzU-rE_T4ICh7rLNAOursoP1R4L1gohNTlGRb6yQjoXhcifz_xfU_vcHAuB284LUZ6KNY1uCs_lqb-3oC8sz2KC_teQKQcZo7j2s8YpfKDcQNWy8lkavxVBAfCpY_sA0OUZzTbc/s640/blogger-image--1706403878.jpg" /></a></div>
<br /></div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<br /></div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
Lho koq dasar piramida yang kokoh dihilangkan? Iya, menurut saya harus dihilangkan. Kekokohannya hanya ilusi. Tumpuan sistem informasi modern tetap saja pada orang-orangnya, yaitu para pembisik. Bagian bawah yang runcing mewakili filosofi saya bahwa untuk mengintegrasikan data dari berbagai sumber diperlukan pendekatan <i>one bite at a time</i>. Ini tidak berarti harus satu sumber saja pada satu saat, tapi integrasikanlah beberapa sumber yang telah tersedia. Ada pertimbangan <i>manageability</i>. Pilihlah yang signifikan. Pake hukum Paretto. Ga perlu kita menunggu semua TPS lengkap dan berkualitas, baru bikin <i>enterprise data warehouse</i>.</div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<br /></div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
Tahu ga? Realitanya para pembisik sudah biasa mencukupkan diri dengan keterbatasan data yang ada dan tetap harus ngasih bisikan. Memang mereka ngedumel, tapi keluh kesahnya itu positif dan memicu kreativitas. Apatah lagi sang tuan? Dalam kondisi tidak ada data sama sekali, ketika tindakan harus diambil, tetap aja beliau buat keputusan. Memang kondisi tanpa data sama sekali adalah ekstrem. Dalam dunia nyata, kondisinya selalu di tengah-tengah. Data ada. Informasi tersedia, tapi ga sempurna. Bualan informasi sempurna hanya ada di ideologi ekonomi yang itu tuh.</div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<br /></div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<i>One bite at a time</i> memang menggeser tumpuan. Menggeser tanggung jawab dari aplikasi TPS dan MIS semata ke para pembisik. Itu sebabnya para pembisik itu harus digambarkan lebih eksplisit lagi di dalam model. Hingga saat ini, saya masih nyaman dengan gambar awan. Kesannya buat saya adalah <i>magic</i>. Ajaib... Dengan segala keterbatasan, bisnis tetap berjalan. Hidup para pembisik!</div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<br /></div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
Oya, penting juga dicatat proses kolaborasi para pembisik dapat difasilitasi dengan solusi <i>enterprise content management</i>. Sekarang ini, minimal harus difasilitasi email, kemampuan akses secara <i>mobile</i>, dan integrasi dengan <i>office</i>. Idealnya... semua konten terkelola dengan efektif dan efisien di 'satu' tempat dan dapat ditemukan kembali dengan mudah. Kalau saja saya salah satu pembisik, saya barangkali perlu mengetahui bisikan saya di periode yang lalu apa aja, kemudian bisikan orang lain dalam menanggapi bisikan saya seperti apa. Saya mungkin perlu juga me-<i>reuse</i> atau me-<i>leverage</i> bisikan-bisikan orang lain ke dalam bisikan saya. Proses kombinasi!</div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<br /></div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
Masih bersama saya? Mudah-mudahan masih ingat, meskipun artikel ini mulai kepanjangan, <i>one bite at a time</i> ini juga kembali ke <i>joke</i> yang saya lempar di atas, <i>little data: little problem</i>. Model belah ketupat terbelah awan hemat saya cukup mewakili filosofi dan pendekatan ala saya di atas. Model piramida gimana? Kalau model piramida itu, <i>little data: big problem</i>. Manfaat terbatas, tapi masalah banyak. Cape deh. Pekerjaan ga selesai-selesai.</div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<br /></div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
Nah ini saatnya kita masuk ke penjelasan yang lebih mendalam mengenai <i>big data: big problem</i>... Ah, katanya gambar mewakili ribuan kata. Kira-kira gambar berikut ini mampu menyampaikan pesan ga ya? </div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<br /></div>
<div style="-webkit-composition-fill-color: rgba(130, 98, 83, 0.0980392); color: rgba(0, 0, 0, 0.701961); font-family: UICTFontTextStyleBody; text-decoration: -webkit-letterpress;">
<div class="separator" style="clear: both;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvDKUyrwS4BFCNZxQLuA6Z1jqKa736npP8Gzkv16rHlkA6-fsvOcC7CxX6gAUlYDmEWSq4MDdHCjL66W501QcAHFToEVVZ39Q0mGsfWB_03l47aWpasqZR1r3H15JqEndUdWgi92U8hTk/s640/blogger-image--520576781.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvDKUyrwS4BFCNZxQLuA6Z1jqKa736npP8Gzkv16rHlkA6-fsvOcC7CxX6gAUlYDmEWSq4MDdHCjL66W501QcAHFToEVVZ39Q0mGsfWB_03l47aWpasqZR1r3H15JqEndUdWgi92U8hTk/s640/blogger-image--520576781.jpg" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both;">
Area baru yang merupakan wilayah <i>big data</i> sangat berbeda dengan area <i>little data</i>. Sumbernya tidak konvensional DARI MANA SAJA dan variasinya luar biasa, di samping <i>volume</i> dan <i>velocity</i>-nya berkali-kali-kali lipat, sampai mencapai APABYTE, hehehe. Area baru ini bisa seluas-luasnya area yang menjadi <i>concern</i> pengambil keputusan. Kalau pengambil keputusan dimaksud adalah pengambil kebijakan ekonomi yang berskala nasional dengan dampak nasional bahkan <i>beyond</i>, bisa dibayangkan seberapa luas area <i>big data</i> yang berpotensi masuk radar beliau. Lagi-lagi, peran pembisik sangat vital, bahkan lebih vital lagi.</div>
<div class="separator" style="clear: both;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both;">
Dengan struktur yang ga jelas, <i>big data</i> harus diolah sedemikian rupa oleh pembisik agar berguna. Kalau tidak begitu, cuma menuhin tempat aja, padahal keputusan tetap dapat diambil dengan data seadanya, <i>little data</i>. Malahan dalam perspektif tertentu, <i>big data</i> harus bisa ditransformasi oleh para pembisik menjadi <i>little data</i> yang sudah lebih jelas manfaatnya. Dalam perkataan lain, <i>big data</i> masih bernilai rendah. Potensinya masih harus diolah untuk menghasilkan <i>little data</i> yang lebih bernilai tinggi.</div>
<div class="separator" style="clear: both;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both;">
Akhirnya... persoalan-persoalan di atas, meskipun sudah mulai difasilitasi dengan teknologi baru, seperti Hadoop, <i>analytics</i>, <i>information discovery</i>, dan sebagainya, tetap menjadi persoalan, <i>big problem</i>. Barangkali yang terbesar adalah bagaimana manajemen bisa meng-<i>upgrade</i> para pembisiknya menjadi ahli dalam pemanfaatan <i>big data</i>. Ini peran baru para pembisik sebagai ilmuwan data, <i>data scientist</i></div>
</div>
</span>
Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-73064336604198380322014-11-03T17:59:00.001+07:002018-01-20T18:11:54.799+07:00Big Data: Big Promise<div>
<span style="font-family: "helvetica neue light" , , "helvetica" , "arial" , sans-serif;">Solusi TI dari dulu sering mengumbar janji-janji manis. Mungkin kelakuan mengumbar janji ini akan terus berlanjut. Para vendor sangat lihay memunculkan istilah baru yang katanya bisa memenuhi janji-janji yang pernah diumbar sebelumnya, ditambah tentunya dengan janji baru yang lebih manis. <i>Big data</i> adalah salah satu janji manis itu - <i>big promise</i>.</span></div>
<div>
<br /></div>
<div>
Masih segar dalam ingatan kita, tidak terlalu lama sebelum ini ada janji manis berupa teknologi <i>database</i>, kemudian <i>data warehouse</i>, terus <i>data mart</i>, <i>data mining</i>, malah pernah ada <i>data lake</i>. Masih banyak <i>buzzword</i> lain, tapi sudahlah. Memang sih ga semua janjinya cuma pepesan kosong, tapi mengklaim janji-janjinya terpenuhi semua juga ga tepat. Nah, ketika <i>big data</i> datang dengan janji manis baru, tidak terlalu salah kalau pengguna-pengguna seperti kita ini agak skeptis di satu sisi, tapi juga penuh harap di sisi lain.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Menurut saya pribadi, sikap skeptis terhadap janji-janji dari vendor TI, termasuk <i>big data</i>, adalah sikap yang tepat. Memang harus imbang sih. Jangan sampai sikap skeptis itu menjadi negatif sehingga menutup peluang-peluang baru yang boleh jadi sudah menunggu setelah tikungan di depan. <i>Anyway</i>, pertanyaan skeptis yang sering muncul di benak saya adalah, "Apa bedanya dengan yang lalu?"</div>
<span class="fullpost">
<div>
<br /></div>
<div>
Ayo kita ingat-ingat lagi teknologi sebelumnya dulu kasih janji apa dan yang mana yang belum terwujud. Menyusuri ingatan seperti ini kadang menyakitkan karena membuka luka lama. Mari mulai dengan yang satu ini: <i>database</i>. Teknologi <i>database</i> sudah memberi sumbangannya, meskipun ada kurangnya. Koq ya tumpukan data di <i>database</i> yang berasal dari transaksi-transaksi perusahaan kita tidak mudah di-<i>query</i>? Jangan ngomong dulu mengenai sejumlah <i>database</i> perusahaan yang tidak nyambung satu dengan yang lain. Kalaupun <i>query</i> terpaksa dilakukan, ada risiko kegiatan operasional yang didukung <i>database</i> dimaksud mengalami gangguan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>Data warehouse</i> katanya bisa mengatasi masalah integrasi dan gangguan ketika <i>query</i> dilakukan. Data dari berbagai sumber ditarik ke <i>warehouse</i>, diintegrasikan, dan disimpan secara historis. Ketika <i>query</i> dilakukan ke <i>warehouse</i>, sistem-sistem <i>database</i> operasional tidak bakal terganggu, karena proses penarikan dan transformasi data dilakukan malam hari. Itupun bebannya banyak di <i>data warehouse</i>, bukan di <i>database</i> sumber. Selesai? Tidak juga. Integrasi tetap menjadi isu. Data sebenarnya berhasil diintegrasikan, tapi seiring kompleksitas yang makin meningkat, integrasi kembali menjadi isu. Ini berarti semakin sulit mengintegrasikan data dari sumber-sumber baru. Jangan bicara dulu mengenai masalah <i>performance</i> baik pada proses penarikan dan transformasi (biasa disebut ETL atau ELT) maupun proses <i>query</i> untuk menghasilkan informasi.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>Data mart</i> bisa mengatasi masalah <i>performance</i> dari <i>query</i>, karena lebih kecil dan spesifik untuk kebutuhan tertentu. Iya sih, tapi kalau <i>data mart</i> dibentuk langsung dari penarikan data di sumber-sumber tertentu, masalah integrasi tidak terpecahkan. Antara satu <i>data mart</i> dengan yang lain betul-betul independen dan ga nyambung. Pendekatan Ralph Kimball berupaya mengatasinya dengan suatu <i>bus architecture</i>, tapi lagi-lagi ketika proyek sudah sukses, kemudian muncul kebutuhan-kebutuhan baru, pendekatan ini pada akhirnya menemui kesulitan yang sama.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Lain lagi kalau menggunakan <i>data mart</i> yang dependen terhadap <i>data warehouse</i>. Solusi seperti ini yang diusung oleh Bill Inmon memang menjamin <i>data mart</i>-<i>data mart</i> dibentuk dari <i>data warehouse</i> yang sebelumnya sudah terintegrasi. Pertanyaan kembali muncul terhadap tingkat integrasi <i>data warehouse</i> itu sendiri. Dengan pendekatan asli dari Inmon, relatif sulit untuk secara <i>agile</i> mengintegrasikan data dari sumber-sumber baru ke <i>warehouse</i>. Pendekatan modern dari Dan Linstedt sepertinya bisa menjadi solusi buat Kimball dan Inmon: mengatasi kelemahannya masing-masing sekaligus memanfaatkan kekuatan masing-masing.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Apa masalah sudah beres? Anggaplah kita mampu mengimplementasi pendekatan Inmon-Linstedt-Kimball, apakah semua janji terpenuhi? Belum. Pengambil keputusan dalam tiap-tiap institusi tidak dapat memutuskan hanya berdasarkan informasi dari <i>data warehouse</i> atau <i>data mart</i>. Menurut bacaan saya dulu, semakin tinggi dan strategis level pengambil keputusan, semakin tidak terstruktur prosesnya, semakin tidak terstruktur inputnya, semakin dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal keputusannya. Bagaimana mungkin keputusan diambil dengan output <i>data warehouse</i> saja.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Saya tidak mengatakan bahwa proses pengambilan keputusan di level strategis tidak ada pola atau sistematikanya. Yang ingin saya sampaikan adalah prosesnya itu semakin tidak mekanistis, meskipun tetap ada mekanismenya. Prosesnya semakin tidak terstruktur, meskipun tetap ada strukturnya. Semakin tidak pasti faktor-faktor keputusan itu, meskipun ada kejelasannya. Dengan lain perkataan, teknologi belum mampu menggantikan sistem informasi paling canggih yang inheren dalam diri manusia, dalam diri pengambil keputusan dan para pembisiknya itu.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Untuk sederhananya, saya kembali menggunakan istilah pembisik, seperti pada tulisan yang lalu, <i>Big Data: Big Bingung</i>. Tidak jarang pengambil keputusan mengambil suatu keputusan atas dasar bisikan pembisiknya. Apakah ini 100% ngawur? Tidak sama sekali. Kalau si pengambil keputusan yakin dengan kemampuan dan kualitas pembisiknya, justru praktik ini sangat efektif dan efisien. Bagaimana pembisik itu bisa menghasilkan bisikan yang berkualitas untuk tuannya? Barangkali di belakangnya ada pembisik lagi. Barangkali dia mengakses <i>data warehouse</i>.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Apakah cukup dari <i>data warehouse</i> atau <i>database</i>? Pasti tidak. Hanya persoalan yang sangat diketahui <i>nature</i>-nya yang bisa diotomasi dan didukung penuh dengan teknologi. Sebagian besar persoalan pengambil keputusan, khususnya di lembaga-lembaga besar mengandung faktor-faktor yang masih tersembunyi di dalam lipatan-lipatan platonik yang tidak dapat diantisipasi. Makanya perlu kolaborasi para pembisik. Kalau data yang dibutuhkan belum tersedia di <i>data warehouse</i> atau <i>database</i>, sudah pasti kreativitas para kolaborator itu akan membawa mereka ke kemungkinan perolehan data secukupnya. Sang tuan harus segera dibisiki!</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Bagaimana para pembisik berkolaborasi? Pembisik yang satu mengetahui kualitas para pembisik di sekitarnya. Oya, di lembaga-lembaga serius, pembisik ini mungkin disebut analis, kadang disebut peneliti, malah ada yang disebut ekonom dan ilmuwan. Kembali ke pembisik, mereka bekerja mengikuti struktur tertentu, entah itu formal atau informal. Struktur formal misalnya mengikuti struktur organisasi. Jadi, ada pembisik pemula, ada pembisik madya, dan ada pembisik eksekutif, serta ada kepala pembisiknya. Mereka kenal satu dengan yang lain. Saking kenalnya, kepala pembisik selalu memberi penugasan ke pembisik tertentu yang dia sudah tahu kualitas dan/atau loyalitas ybs. Itu di satu sisi. Di sisi lain, ada yang dikucilkan, menjadi pembisik bisu, yang paling-paling berbisik untuk diri sendiri.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Para pembisik itu mempraktikkan empat kegiatan utama. Pertama, mungkin yang paling manusiawi, adalah sosialisasi. Para pembisik kongkow-kongkow bertukar bisikan. Yang kedua adalah eksternalisasi bisikannya menjadi tulisan-tulisan, laporan, jurnal ilmiah, atau sekedar tulisan di medsos yang kemudian dibaca oleh tuannya. Yang ketiga adalah kombinasi. Maksudnya pembisik membaca beberapa tulisan pembisik-pembisik lain, lalu mengkombinasikannya menjadi tulisan baru. Barangkali dalam proses mengkombinasi itu, ada penyaringan, ada penekanan, dan ada pengabaian. Yang terakhir, keempat, disebut internalisasi. Di modus ini, seorang pembisik mempelajari tulisan-tulisan yang ada dan berusaha memasukkannya dalam pemahaman. Mungkin termasuk juga dalam modus ini adalah si pembisik mempelajari data yang dia dapatkan dari <i>data warehouse</i>, <i>database</i>, atau DARI MANA SAJA (sengaja huruf besar, yang ini merupakan area <i>big promise</i> dari <i>big data</i>), kemudian mempelajari segala korelasi, dan kemudian membuat suatu kesimpulan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Ah, panjang juga penjelasan mengenai empat kegiatan utama para pembisik atau para kolaborator di paragraf terakhir di atas. Supaya saya ga disebut curang, mending saya sebut saja sumber pembisik saya, yaitu Nonaka dan Takeuchi dengan model SECI, <i>socialization-externalization-combination-internalization</i>. Pasti kita semua sudah melakukan kegiatan-kegiatan itu. Model SECI hanya untuk memudahkan penjelasan saja.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Waduh, saya masih perlu mengelaborasi artikel ini, khususnya memberi penekanan di area <i>big promise of big data</i>, tapi ini udah kepanjangan. Tunggu ya di artikel selanjutnya.</div>
</span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-22802538336413970852014-10-27T16:25:00.001+07:002018-01-20T18:13:19.633+07:00Big Data: Big Bingung<div>
<span style="font-family: "helvetica neue light" , , "helvetica" , "arial" , sans-serif;">Teknologi informasi (TI) memang berkembang cepat cepat cepat sekali. Sekarang ini data digital yang tercipta setiap harinya di seluruh dunia sudah meledak sampai hitungan 10 pangkat entahlah. Medsos seperti Facebook dan Twitter saja setiap hari ketambahan data dalam hitungan APABYTES. Seiring dengan ledakan data digital yang sangat luar biasa itu, para inovator menciptakan teknologi baru, yaitu <i>big data</i>.</span></div>
<div>
<br /></div>
<div>
Apa sih sebenarnya teknologi <i>big data</i>? Jawaban serampangannya yang mungkin agak bodoh adalah terkait dengan teknologi yang memungkinkan menyimpan dan mengolah data sampai APABYTES tadi, hehe... Mungkin kita bertanya-tanya apakah kita mesti peduli dengan teknologi ini. Apa manfaatnya buat kita pribadi? Atau pertanyaan yang lebih canggih: apa manfaatnya buat perusahaan kita?</div>
<span class="fullpost">
<div>
<br /></div>
<div>
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, izinkan saya disklaim terlebih dahulu. Tulisan ini tidak akan banyak mengulas detil teknologi <i>big data</i> itu sendiri, tapi akan lebih pada ulasan konseptual seputar apa dan mengapa serta perspektif posisi <i>big data</i> dalam konsep sistem informasi. Ulasan mengenai bagaimananya barangkali bisa didapatkan lewat <i>googling</i> aja. Banyak koq artikel yang sudah membahas masalah itu. Yang lebih dalam kayaknya mesti lewat kursus atau sekolahan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Saya ngaku aja dulu bahwa sejak beberapa tahun lalu, saya mulai enggan menulis di blog ini. Saya punya tanggung jawab yang lebih banyak sekarang, baik di kantor maupun di rumah (narsis). Selain itu, saya sudah ga mau terlalu eksis lagi di dumay, mungkin karena sedikit ketakutan terhadap ancaman seperti yang dialami oleh Will Smith di film lama <i>Enemy of the State</i>... Status Facebook sesekali aja di-<i>update</i>. OL ke Facebook dan LinkedIn juga hanya sekilas info doang.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Sampai hari ini, <i>big data</i> yang bikin <i>big</i> bingung ini akhirnya berhasil mengusik saya keluar dari gua persembunyian.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Nah, untuk mengulas <i>big data</i>, rasanya harus mulai dari konsep kuno dulu. Saya pernah menulis Apa Sih Sistem Informasi? Pernah juga R/evolusi Informasi, tapi yang pertama itu lebih mendasar. Tahun 90-an awal saya pernah disuruh membaca buku teks <i>Management Information System</i>, oleh PENULIS ITU, sebagai bagian dari kuliah Pak Husni di Bandung. Intinya sistem informasi melayani penggunanya dengan penyediaan informasi yang relevan sebagai dasar keputusan dan tindakan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Tidak harus pake komputer kata beliau! Lampu lalulintas yang memberi sinyal kapan berhenti dan kapan boleh jalan sudah bisa didefinisikan sebagai sistem informasi. Di kasus lain yang juga ekstrem, sistem informasi bisa saja lebih bertumpu kepada para pembisik yang hanya menggunakan teknologi kuno berupa pulpen dan secarik kertas. Bahkan kalau dibolehkan dan pada saat tertentu diharuskan, sang pembisik menyampaikan informasi yang relevan kepada tuannya langsung dari mulut ke kuping secara harfiah.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kapan pake secarik kertas dan kapan cuma pake modal mulut semuanya tergantung aturan yang ditetapkan oleh sang tuan. Untuk rekap definisi yang sayup-sayup saya ingat dari buku teks yang diwajibkan Pak Husni untuk kami baca, komponen sistem informasi terdiri dari alat (<i>hardware</i> dan <i>software</i>), orang, dan aturan. Iya deh kayaknya kurang lebih begitu.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Mana <i>big data</i>-nya nih? Koq masih muter-muter di konsep kuno itu. Iya ini sudah mau dijelaskan. Sabar dikit ya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Seperti air, informasi mengalir dari sumber mencapai tujuannya, yaitu pengguna. Seperti produk, informasi melalui tahap-tahap produksi yang masing-masing menambah nilai. Dalam dunia yang agak filosofis, terdapat perbedaan definisi mengenai data, informasi, dan pengetahuan, tapi di sini anggaplah ketiganya sama, meskipun kita tahu berbeda. Oya, jangan campuradukkan pengetahuan tok dengan ilmu pengetahuan ya. Yang belakangan ini agak serem jelasinnya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kebelet pengen tahu beda ketiganya? Ah, cukup rasakan nuansanya saja: informasi di hulu masih bernilai rendah (masih bernuansa data saja), sementara di hilir tempat para pengambil keputusan dan tindakan, informasi bernilai tinggi (bernuansa pengetahuan). Di satu sisi, kata-kata dan data yang keluar dari mulut para pembisik di telinga pengambil keputusan itulah yang bernilai tinggi. Di sisi lain, fakta dan data yang masih harus dikumpulkan dari sumbernya masih bernilai rendah dan mungkin ada yang sama sekali tidak relevan. Kadang jarak antar sumber data dengan pengambil keputusan dekat. Kadang jauh, seperti Bengawan Solo.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Lalu kita perlu sadar bahwa para pembisik berkolaborasi di antara sesamanya. Mereka saling bisiki satu dengan yang lain, yang kemudian bisa saja mengubah isi bisikannya ke sang tuan. Masing-masing pembisik mempunyai <i>informan</i> (Koq bukan <i>dataman</i> ya? Ah udahlah). Bisa saja mereka langsung mengobservasi suatu fenomena. Dalam dunia yang semakin digital ini, barangkali mengobservasi suatu fenomena menjadi demikian mudahnya. Ini seperti catatan amal digital yang diperlihatkan ke kita sebagai pelaku dalam menciptakan fenomena. Catatan digital itu membuat kita terperanjat!</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Terperanjat? Ternyata di catatan itu ada jejak kunjungan kita ke situs-situs web, baik yang normal maupun yang nyerempet. Di catatan itu ada juga jejak lokasi kita lengkap dengan status yang kita <i>update</i> dari waktu ke waktu. Ada juga panggilan telpon kita lengkap dengan rekamannya. Malah foto kita waktu melanggar lalu lintas di NYC juga ada. <i>Medical record</i> sampai belanjaan kita juga ada catatannya. Hmm ini baru sebagian kecil aja. Maka waspadalah, jangan beramal buruk. Ga usah nunggu pengadilan akhirat. Di sini saja kita bisa dibuat malu karena catatan amal digital kita.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Poinnya ini nih. Teknologi <i>big data</i> memungkinkan catatan digital yang terus menerus tercipta setiap saat baik lokal maupun global dapat diolah menjadi informasi yang bernilai tinggi. Yang mengolah siapa atau apa? Ya harusnya para pembisik itu yang mengolahnya dengan bantuan alat, yaitu teknologi <i>big data</i>. Teknologi <i>big data</i> yang canggih tanpa pembisik yang mampu mengolah <i>big data</i> ga ada artinya. Pembisik-pembisik itu harus meng-<i>upgrade</i> diri mereka dari peranan analis semata menjadi penemu data, istilah kerennya <i>data scientist</i>. Artinya para pembisik itu harus bekerja keras dan cerdas menggali tumpukan catatan digital dan menemukan data yang relevan untuk selanjutnya menyimpulkannya untuk kebutuhan sang tuan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Udah mulai ngerasa <i>sense</i>-nya? Belum? Ya, ternyata nulis <i>big data</i> dalam konteks yang benar ga bisa hanya dengan beberapa paragraf. Tunggu ya di artikel berikutnya. Saya akan mencoba mengulas hubungan antara <i>big data</i> dengan para pembisik dan dua rumpun teknologi yang sudah biasa digunakan, yaitu <i>enterprise content management</i> (ECM) dan <i>enterprise data warehouse</i> (EDW). </div>
</span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-22067185818986385222013-03-29T16:56:00.001+07:002018-01-20T17:55:43.843+07:00Kuliah Habibie di As SalamTerus terang saya dari kecil mengidolakan beliau. Hampir saja menjadi salah satu binaan beliau lewat beasiswa ke luar negeri, karena satu dan lain hal, saya memilih kuliah di Bandung saja. Pada kesempatan lain kemudian, waktu kuliah, saya sempat magang di BPPT awal tahun 90-an dan sesekali melihat beliau saat shalat Jum'at.<br />
<br />
Apa perasaan ngefans ke beliau berhenti di situ? Ga juga. Waktu itu, beliau mendirikan ICMI, bersama tokoh-tokoh Islam lainnya. Saya ikut larut dalam atmosfir itu dan bahkan ikutan share ke harian Republika di awal pendiriannya. Hingga waktu mau masuk kerja di tempat saya sekarang, ketika ditanya siapa tokoh idolamu, aku tulis aja Prof. Dr. B. J. Habibie.<br />
<br />
Hari ini pas kebetulan ke Solo, jenguk Rani dan Aisyah, Pak Habibie menyempatkan memberi kuliah di PPMI As Salam. Betul-betul pas-pasan, saat kami berdua tiba di masjid, ga berapa lama tausiyah beliau dimulai. Sambutan santriwan dan santriwati sangat meriah. Mungkin efek buku dan film Ainun dan Habibie yang bikin beliau populer di generasi hari ini.<br />
<br />
Apa pokok pelajaran yang disampaikannya? Seperti dulu intinya adalah nilai tambah. Bagaimana agar nilai tambah bisa tinggi? Semua bermula dari imtaq dan iptek - perasaan dan akal. Masing-masing dikembangkan melalui pembudayaan dan pendidikan. Sinergi positif - bisa dikatakan jodoh yang sebenarnya - antara perasaan dan akal itu menjadi modal dalam penciptaan sinergi positif yang lebih besar.<br />
<br />
Gelombang yang lebih besar itu punya tiga elemen. Pertama interaksi pribadi dengan sesama manusia, terutama dengan jodohnya dan kemudian keluarganya Kedua adalah interaksinya dengan karya-karya umat manusia. Yang ketiga interaksinya dengan pekerjaannya. Jadi semuanya ada lima elemen yang harus diperhatikan untuk menciptakan sinergi positif atau nilai tambah yang besar.<br />
<br />
Perasaan, akal, interaksi dengan umat manusia, interaksi dengan karya-karya umat manusia, dan interaksi dengan pekerjaan!<br />
<br />
Memang kuliah Pak Habibie jauh lebih lengket (sticky) dan lebih punya daya tarik. Beliau menyampaikan pokok pikirannya itu dengan cerita-cerita. Sedikit kisahnya dengan Ainun. Pernikahannya tahun 62. Praktis belum punya apa-apa. Kemudian lompatannya di tahun 72. Pada waktu itu beliau telah memiliki rumah yang pekarangannya 1,5 hektar. Kemudian lompatannya lagi dengan memiliki pesawat pribadi.<br />
<br />
Setelah mengemukakan semua itu, akhirnya Pak Habibie mengungkap satu rahasia besar. Dua saudara kembar yang dibesarkan dengan proses pembudayaan dan pendidikan yang persis sama masih saja dapat menghasilkan nilai tambah yang berbeda. Lima elemen dalam proses penciptaan nilai tambah itu haruslah dilandasi sesuatu yang lebih agung, yakni Cinta.<br />
<br />Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-69322244660591676072013-03-21T10:46:00.000+07:002013-03-21T10:46:33.905+07:00Nilai Bahasa Okezone 65Saya sudah lama beralih dari portal berita <a href="http://detik.com/">detik.com</a> ke <a href="http://okezone.com/">okezone.com</a>. Yah, soalnya di detik, komentar-komentarnya banyak yang sadis. Lho kan ga harus dibaca komentar itu. Iya, bener, tapi tetap saja saya ogah satu forum dengan pembaca-pembaca yang kurang beradab. <br />
<span class="fullpost"><br />Di <a href="http://okezone.com/">okezone.com</a>, komentar memang tidak sebanyak di detik, mungkin karena pengunjungnya juga relatif tidak sebanyak detik. Yah udah, saya terima aja kondisi itu. Nah, pada tulisan ini saya ingin mengangkat penilaian saya terhadap penggunaan bahasa di okezone. <br /><br />Seperti setiap proses penilaian, tentu saja pihak yang dinilai boleh aja keberatan, misalnya dalam hal ini dengan menggunakan hak jawab. Hehehe, terlalu GR ya? Memang sih, saya ragu tulisan ini benar-benar bakal dibaca oleh dewan redaksi, tapi... Siapa tahu lah? <br /><br />Nilainya 65. Lho? Iya perhatikan saja dua paragraf yang saya cuplik dari <a href="http://m.okezone.com/read/2013/03/19/519/778157">http://m.okezone.com/read/2013/03/19/519/778157</a>, sbb: <br /><br />"Seharusnya DPR yang membuat undang-undang tidak serta merta menggulirkan pasal tentang santet. Artinya, dalam KUHP masih <em>memerlukuan</em> sejumlah penyempurnaan. <br /><br /><em>Contonya</em>, persoalan waktu dalam proses <u><strong>penyelidikkan</strong></u>, <u><strong>penyidikkan</strong></u>, pemberkasan, pra-penuntutan dan lain-lain. Proses tersebut juga tidak mencantumkan waktu." <br /><br />Gramatika memang tidak sempurna, tapi itu bisa diterima karena pilihan penggunaannya yang tidak rigid mungkin dimaksudkan untuk meluweskan tulisan. Toh ini bukan tulisan ilmiah. <br /><br />Ejaan? Ini yang menyedihkan. Kesalahan ketik seperti dua kata yang dimiringkan terlalu banyak muncul dalam dua paragraf. Harusnya dari seluruh artikel, kesalahan ketik maksimal tiga. Jadi terpaksa saya diskon nilai bahasa okezone menjadi 90. <br /><br />Sudah cukup? Belum. Di kutipan di atas memang tidak ada kasusnya, tapi saya yakin setiap kata 'sekitar' yang harusnya muncul, malah 'sekira' yang kebaca. Saya belum tahu ada penggunaan kata 'sekira' yang seperti ini. Mungkin asalnya dari 'kira-kira' ya? Jadi, untuk mengatakan 'sekitar jam 7 pagi' okezone menggunakan 'kira-kira jam 7 pagi' yang kemudian ditulis 'sekira jam 7 pagi' dalam frasanya. Kalaupun ini benar, saya tetap tidak merasa pas dan memberi diskon 10 tambahan. Nilainya menjadi 80. <br /><br />Sudah? Masih ada lagi dan ini parah. Dari kutipan di atas, perhatikan dua kata yang <u>digarisbawahi</u> sekaligus <strong>ditebalkan</strong>. Apa pasal? Begini, okezone menggunakan pasangan awalan-akhiran yang salah, yaitu pe- dan -kan. Pasangan itu tidak dikenal dalam pembentukan kata benda dari kata dasar kata kerja. Seharusnya, pasangan yang digunakan adalah pe- dan -an. <br /><br />Bagaimana koreksinya? Ya, seharusnya 'penyelidikan' dan 'penyidikan' saja. Kalaulah 'penyelidikkan' dan 'penyidikkan' adalah dua kata yang benar, harusnya frasa di atas itu diikuti dengan 'pemberkaskan' dan 'pra-penuntutkan' tapi kan nggak seperti itu. Yang benar tetaplah 'pemberkasan' dan 'pra-penuntutan' dan lalu... Apa yang menghalangi okezone menggunakan 'penyelidikan' dan 'penyidikan' dalam kalimat itu? <br /><br />Terpaksa deh didiskon lagi dan mesti lebih besar dari yang tadi. Nilai akhirnya 65! Mau protes? Silakan. <br /><br />Terus apakah ini bakal bikin saya balik ke detik? Ah ga lah! Bahasa detik tidak lebih baik juga... Komentarnya? Tetap sadis! <br /><br />Berikut beberapa tulisan saya sebelumnya yang terkait. <br />
<br />
<a href="http://ypanca.blogspot.com/2008/01/penunjukkan-atau-penunjukan.html">http://ypanca.blogspot.com/2008/01/penunjukkan-atau-penunjukan.html</a><br />
<a href="http://ypanca.blogspot.com/2010/08/bentuk-kata-kerja-aktif.html">http://ypanca.blogspot.com/2010/08/bentuk-kata-kerja-aktif.html</a><br />
<a href="http://ypanca.blogspot.com/2008/01/awalan-di-atau-kata-depan-di.html">http://ypanca.blogspot.com/2008/01/awalan-di-atau-kata-depan-di.html</a></span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-41741871763965667852013-03-11T22:24:00.000+07:002013-03-18T13:25:31.976+07:00Semangat BaruHari ini dua orang teman menanyakan mengenai blog saya. Koq lama ga ada tulisan baru? Gitu kurang lebih. Keduanya mengatakan perlunya melanjutkan kebiasaan sharing. Tentu dalam hal ini lewat tulisan di blog. <br />
<br />
Terus terang saya sendiri heran mengapa saya berhenti menulis. Kadang yang jadi alasan adalah beban kerja yang bertambah banyak seiring dengan tanggung jawab baru di kantor. Kadang saya juga merasa ada yang salah di luar sana yang mematikan selera menulis. <span class="fullpost">
<br />
<br />
Memang menyalahkan faktor eksternal adalah jalan paling mudah untuk sekedar jadi nyaman. Nyaman dengan kondisi apa adanya, tanpa gelora untuk membuat suatu perbedaan. Betapapun kecil perbedaan itu. <br />
<br />
Saya masih punya alasan tambahan untuk argumen ini. Kan saya sudah bekerja seprofesional mungkin? Kontribusi saya cukup OK di pekerjaan. Setidaknya begitulah pikiran saya beralasan. Biarlah kekacauan di luar sana terjadi. Yang penting saya bekerja sebaik mungkin dan mendidik keluarga semampu saya. <br />
<br />
Oh, rupanya saya kecewa dengan keadaan dan mulai apatis. Dulu saya yakin harapan itu masih ada, tapi kenyataan menantangnya. Nomor satu adalah korupsi dan kecurangan di sektor apapun di level apapun. Yang lain adalah kriminalitas yang tak kunjung menurun. Jangan tanya kemiskinan dan kesenjangan. Prospek ekonomi global yang tetap saja menjajah ekonomi nasional? Bah! <br />
<br />
Oh, rupanya saya kecewa kepada pihak-pihak yang sempat saya titipkan harapan pada mereka. Intinya saya ngambek! Apa yang saya suarakan ga ngaruh. Lagian mungkin saya terlalu pede dengan kemampuan saya melakukan perubahan atau sedikitnya ikutan men-trigger perubahan. <br />
<br />
Saya ternyata ga ada apa-apanya. Oleh karena itu, sekarang saya sadari, blog ini jadi vakum karena apatisme, hingga dua orang teman memberi sentilan sedikit. Saya patut berterima kasih pada keduanya. Paralel dengan kejadian dan perenungan di atas, terjadi perubahan aura di lingkungan sekitar saya. Tiba-tiba salah satu komunitas mengangkat lagi urgensi taubat. Hehe klasik.<br />
<br />
Mungkin... Sekali lagi mungkin latar belakang diangkatnya urgensi taubat itu yang memberi hentakan. Memberi dorongan! Memberi energi baru untuk kembali membuat perubahan. Betapapun kecilnya perubahan itu yang dimulai dari diri sendiri, setelah adanya kesadaran akan kesalahan-kesalahan yang dibuat. <br />
<br />
Baru-baru ini, dalam suatu pertemuan, seorang motivator memberi gambaran dua sisi kehidupan. Sisi pertama adalah tujuan yang biasanya bersifat sangat mulia. Setidaknya mulia menurut subyektivitas sang subyek kehidupan. Yah, contohnya Ra's al Ghul yang ingin mengkoreksi dunia yang korup. Contoh di seberangnya tentu Bruce Wayne yang mati-matian membela kota Gotham dari makar Ra's al Ghul dan pengikutnya. Ah, dua contoh ini bukan dari motivator yang disebut di atas. Saya aja yang tiba-tiba kesamber pikiran yang melayang.<br />
<br />
Sisi kedua, balik ke beliau, adalah proses untuk mencapai tujuan itu. Nah, jika semua orang ingin menggunakan kesempatan dan sumber daya yang terbatas untuk mencapai tujuan masing-masing, otomatis yang bakal timbul adalah "rebutan kekuasaan" yang mana istilah ini lagi-lagi nyamber pikiran saya. Bukan dari beliau. <br />
<br />
Selanjutnya beliau mengatakan untuk bertahan dalam proses kehidupan itu diperlukan dua keterampilan. Manajemen perubahan dan manajemen konflik. Nah, karena tabiat proses kehidupan seperti ini, ga perlulah berkecil hati. Semua orang mengalaminya. Semua orang hebat melalui kehidupan yang penuh dengan konflik. Mau contoh?<br />
<br />
Nabi Yusuf, ini kata beliau, harus melalui dinamika kehidupan yang sangat panjang sebelum akhirnya menceritakan kembali perbuatan jahat saudara-saudaranya. Rentang antara peristiwa dijebloskannya Yusuf kecil ke dalam sumur dengan era kejayaannya sebagai salah satu penguasa Mesir adalah 40 tahun, atau di riwayat lain 80 tahun. Bahasa Indonesianya minimal delapan kali pemilu, atau enam belas kali pemilu. <br />
<br />
Jadi? Wahai diriku, Ga usah galau. Taubat, sabar, dan teguh aja! </span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-71140676099543992012011-09-18T19:56:00.005+07:002011-09-21T21:04:31.964+07:00Yuk NgarangKarena dunia tulis menulis adalah aktivitas berbahasa, kali ini saya coba membahas mengenai itu saja. Saya sering mengkhayal bagaimana caranya menjelaskan membuat karangan sebagai suatu proses mental. Penjelasan yang sederhana tapi mengena, mudah-mudahan, bisa mendorong siapa saja yang ingin menulis memulai keinginannya itu. Begini... Sesungguhnya karangan tidak lain adalah sekumpulan gagasan yang disusun sedemikian rupa melalui bab-bab, kemudian paragraf-paragraf, kalimat-kalimat, kata-kata, hingga ke huruf-hurufnya.<span class="fullpost"> <br /><br />Nah, ketika membuat karangan, misalnya dalam bentuk <span style="font-style:italic;">essay</span> satu atau dua halaman, kita bisa memulai dengan membuat kerangka karangan. Eh sebelumnya kita harus memikirkan topiknya. Setelah kerangkanya bagus, kita membuat topik-topik gagasan untuk tiap paragraf, yang semuanya mengalir menjadi suatu gagasan utuh sesuai dengan topik utama. Masing-masing topik paragraf itu sendiri kita buat menjadi suatu kalimat utama. Dulu waktu masih sekolah, kita diajarkan menempatkan kalimat utama di awal paragraf atau di akhirnya.<br /><br />Selanjutnya, paragraf yang sudah kita tentukan kalimat utamanya kita kembangkan dengan menambahkan kalimat-kalimat pendukung. Bentuknya dapat berupa uraian atau deskripsi atau contoh-contoh yang mendukung gagasan kalimat utama. OK, sebelum kejauhan, saya stop aja di sini. Bagi Anda yang membutuhkan penjelasan lebih lengkap perihal tulis menulis dapat mencari di sumber lain. Di <span style="font-style:italic;">world wide web</span> apa sih yang nggak bisa dicari? Saya ingin mengulasnya dari sisi yang lain.<br /><br />Dulu sesudah kita lancar membaca dan mulai mengenal kata-kata, guru kita meminta kita untuk menyusun kalimat sempurna. Tidak cukup hanya menuliskan satu kata, kira-kira di kelas dua, kita sudah diberi tugas menyusun ulang kata-kata acak menjadi suatu kalimat sempurna. Di tahap inilah, proses mental kita seharusnya naik ke level baru. Mengapa? Satu kalimat sudah lengkap gagasannya. Ia bisa berdiri sendiri. Coba bandingkan.<br /><br />Lapar… Saya lapar.<br />Ungu… Dia suka warna ungu.<br />Anak… Kalian adalah anak-anak yang baik.<br />…<br />Warna ungu membuat kalian menjadi anak-anak yang lapar!<br /><br />Beda kan? Satu kata memang berarti. Seribu kata apalagi. Itulah yang pertama kali diajarkan Allah kepada Adam. Pengetahuannya tentang kata-kata itu yang membuatnya lebih mulia dari para malaikat. Tapi coba bandingkan kata-kata yang berserak dengan satu kalimat sempurna. <span style="font-style:italic;">You know what I mean, don’t you?</span> Saya kira nggak perlu lagi uraian panjang lebar untuk menunjukkan tingginya kedudukan suatu kalimat.<br /><br />Kembali ke khayalan saya, sebetulnya tulisan itu tidak lebih dari sebuah kalimat, Judul karangan, walaupun biasanya dituliskan dalam suatu frasa saja, sebetulnya mewakili sebuah kalimat. Satu karangan yang terdiri dari ratusan atau ribuan kalimat selalu bisa dimampatkan menjadi satu kalimat sempurna saja. Contoh yang diberikan Nassim Nicholas Taleb buat saya sangat menarik. Ilustrasinya agak sinis yang bernada kurang lebih sebagai berikut: biografi seorang CEO hebat setebal 500 halaman dapat diringkas menjadi “CEO anu adalah orang yang beruntung pada waktu dan tempat yang tepat dengan teman-teman yang tepat.” <br /><br />Masih melanjutkan khayalan, suatu bab atau suatu paragraf selalu dapat dimampatkan menjadi satu kalimat sempurna saja. Ya iyalah. Satu buku aja bisa, apalagi hanya satu paragraph. Di sinilah saya ingin membuat satu argumen yang berat: pengetahuan kita tidak lain hanyalah SATU KALIMAT SAJA dengan pola SPOK: Saya hanya tahu sedikit saja! Atau: Segala sesuatu mempunyai hubungan dengan sesuatu yang lain! Atau: Hidup sungguh sangat singkat!<br /><br />Memang SATU KALIMAT SAJA itu bisa dielaborasi menjadi satu set kalimat-kalimat, jutaan mungkin, dengan susunan tertentu. Kita bisa mengubah fokus perhatian kita, seperti mikroskop, sehingga kita bisa turun naik dari satu level ke level granularity lainnya. Berapa level? Banyaklah! Level paling detail misalnya sejuta kalimat. Level ringkasan pertama mungkin 100 ribu kalimat. Level ringkasan kedua mungkin 10 ribu kalimat. Demikian seterusnya diringkas-ringkas terus sampai jadi SATU KALIMAT SAJA.<br /><br />Wah, wah, wah... Tulisan ini seharusnya belum berakhir, tapi koq rasanya sudah kepanjangan. Lain kali diterusin, insya Allah.<br /></span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-77501594755348121212011-08-30T09:45:00.009+07:002011-09-21T21:04:14.383+07:00Selamat Idul Fitri 1432HWalaupun saya mengikuti keputusan pemerintah mengenai jatuhnya 1 Syawwal 1432H pada hari Rabu, 31 Agustus 2011, masih terdapat catatan kecil di lubuk hati paling dalam. Sebelum curhat dilanjutkan, saya ingin mengucapkan terlebih dahulu:<br /><br />Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432H...<br />TaqobbalalLahu minna wa minkum...<br />Semoga Allah menerima amal dan tobat kita...<br />Mohon maaf lahir dan batin...<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9RW_hO6Cl79xYaYFA7YN2jRzAPZfnf0nVXNLQnuN1FVr5os0Mn3vePkNrAM814Ww86xojwEzEVa3AUXUpGqCizN-SyXDMFPOOGDLhB-Pi5Kd6PAwW2RDQnT2YFmdF0tsnX6R7gMD7DwA/s1600/28082011847.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9RW_hO6Cl79xYaYFA7YN2jRzAPZfnf0nVXNLQnuN1FVr5os0Mn3vePkNrAM814Ww86xojwEzEVa3AUXUpGqCizN-SyXDMFPOOGDLhB-Pi5Kd6PAwW2RDQnT2YFmdF0tsnX6R7gMD7DwA/s400/28082011847.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5646480962071466034" /></a><span class="fullpost"><br /><br />Nah, bagaimana kenyataan di lapangan. Kalender sudah jauh hari mengindikasikan hari raya jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011. Kantor pemerintah sih sudah kosong sejak Senin, 29 Agustus. berbeda dengan kantor pemerintah, seandainya punya usaha, kita pasti seminimal mungkin tutup warung, iya kan? Kalau bisa, cukup tutup dua hari saja atau malah satu hari. Kemarin pas jalan ke ITC BSD, pas mau nyari hadiah buat sunatan Hanif, banyak toko mainan yang menyatakan libur dua hari, mengikuti kalender.<br /><br />Sedih juga deh dengan realitas perbedaan hari raya yang sudah berlangsung dari tahun ke tahun dan mungkin masih akan terjadi bertahun-tahun ke depan. Buktinya toko mainan yang tutup itu aja. Cerminan kebingungan di akar rumput. Malah di berita, masyarakat miskin di Sulawesi kecewa karena sudah terlanjur menyiapkan hidangan lebaran buat hari Selasa dan tidak cukup punya uang untuk menyiapkan hari Rabunya. Komentar-komentar terhadap berita di media <span style="font-style:italic;">online</span> juga sama saja. Walaupun ada yang cukup arif menyikapi perbedaan, banyak yang bingung dan menyalahkan elit pemerintah dan ormas Islam.<br /><br />Ya udah deh... kata Rani, anak pertama kami... sabar aja, hidup penuh cobaan. Dan kalau kita melihat dari sudut pandang lain, situasi ini bisa aja justru membahagiakan. Setidaknya ada lelucon atau sindiran buat kita mentertawakan diri sendiri. Contoh sikap positif bisa dilihat pada foto di atas. Memang bukan dalam konteks perbedaan hari raya, tapi dalam konteks menghadirkan iklan yang berbeda dari kenyataan yang biasa-biasa saja. Pengumumannya begini:<br /><br />Libur Makan Bebek<br /><span style="font-style:italic;">Mulai Senin, 29 Agustus 2011</span><br />Mulai Makan Bebek Lagi<br /><span style="font-style:italic;">Kamis, 5 September 2011</span><br /><br />Kembali ke topik perbedaan hari raya, kepada elit pemerintah dan ormas Islam, walaupun harapannya tipis, saya berharap ke depan ada jalan keluar yang arif. Mungkin bisa dimulai dengan penentuan <span style="font-style:italic;">dateline</span> penanggalan hijriyah. Bisa saja <span style="font-style:italic;">dateline</span> hijriyah itu sama dengan <span style="font-style:italic;">dateline</span> penanggalan masehi yang membelah globe tepat di kawasan yang populasinya sedikit, karena kondisi kawasan berupa samudera pasifik yang teramat luas. Barangkali ada hikmahnya Allah menciptakan bentuk daratan di muka bumi ini seperti bentuknya yang sekarang.<br /><br />Mengapa kita nggak belajar dari kaum lain?<br /></span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-50435033036655224492011-08-28T17:22:00.004+07:002011-09-21T21:03:27.574+07:00Menulis LagiTahun ini kegiatan saya menulis sangat minimal. Mungkin karena waktu habis untuk aktivitas lain, seperti latihan catur. Alhamdulillah pada porsebi 2011 ini, tim kami mendapatkan emas. Buat saya sendiri, perak sudah pernah dapat, pada tahun pertama masuk kerja. Perunggu juga pernah didapat dua tahun lalu, ketika Pak Bahari mengajak saya kembali ke dunia catur. Sebelum pekan olah raga kali ini dimulai, saya sudah berniat berhenti dan kembali menekuni banyak hal lain yang sempat tertinggal, termasuk tulis menulis ini.<span class="fullpost"> <br /><br />Beberapa waktu lalu saya makan siang bersama beberapa mahasiswa yang sedang praktek kerja di kantor. Di luar dugaan, seorang di antaranya menanyakan mengenai blog saya. Setahun lalu atau dua tahun lalu, saya selalu mempromosikan blog pribadi ini, tapi sekarang agak malu karena <span style="font-style:italic;">update</span>-nya sangat jarang.<br /><br />Sambil makan siang, di antara topik-topik lain, kami berdiskusi mengenai manfaat menulis. Saya memberi kuliah bahwa menulis itu berarti harus membaca. Itu yang pertama. Yang kedua saya sampaikan menulis adalah kegiatan mental yang jauh lebih aktif daripada sekedar membaca. Dengan menulis, kita dipaksa meng-<span style="font-style:italic;">organize</span> gagasan dengan cara yang lebih baik. Di situlah proses pembelajaran terjadi di level yang lebih tinggi.<br /><br />Setelah dipikir-pikir lagi… ah mungkin kuliah itu jadi nggak berarti kalau saya sendiri meninggalkannya. Ya sudah… mulai hari ini saya akan coba lagi aktif mengisi blog. Itu artinya harus lebih banyak buku yang dibaca. Banyak artikel yang dibaca. Banyak fenomena yang harus diamati dan dituliskan, kecuali fenomena politik yang membuat selera menulis hilang entah kemana.<br /></span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-11196642927738011152011-05-11T21:50:00.005+07:002011-05-11T22:21:44.099+07:00Ke(tidak)bijaksanaan Elit<span style="font-style:italic;">Kayaknya para pengambil kebijakan nasional di sektor keuangan mesti hati-hati deh. Di Amerika, para pengambil kebijakan semasa Bush terus saja dituntut tanggung jawabnya atas resesi yang hingga saat ini belum berakhir. Contohnya adalah seperti yang ditulis oleh Paul Krugman berikut ini.<br /><br />Bukan tidak mungkin muncul banyak Krugman Indonesia yang punya legitimasi akademis untuk memberikan kritisi-kritisi yang amat berat bobotnya. Iya sih, Krugman adalah seorang "liberal" yang suka atau tidak suka sering dikaitkan dengan Partai Demokrat yang berseberangan secara ideologis dengan GOP (Partai Republik) yang "konservatif" tapi sejatinya sangat liberal menurut bahasa kita. Anyway, saran saya untuk para pengambil kebijakan nasional agar jangan cuma asal ikut-ikutan arus dengan alasan konvergensi hukum global. Toh, di sono para pengambil kebijakan mulai dicap tidak bijak.</span><br /><br />Terjemahan<br /><a href="http://www.nytimes.com/2011/05/09/opinion/09krugman.html" target="_new">The Unwisdom of Elites</a><br />By PAUL KRUGMAN<br />Published: May 8, 2011 at NYTimes<br /><br />Tiga tahun terakhir telah menjadi bencana bagi hampir semua perekonomian barat. AS memiliki tingkat pengangguran jangka panjang tertinggi untuk pertama kalinya sejak tahun 1930-an. Sementara itu, mata uang tunggal Eropa sedang tercabik-cabik di negara-negara anggotanya. Bagaimana semuanya bisa jadi begitu salah? <span class="fullpost"><br /><br />Apa yang makin sering kita dengar dari anggota elit pembuat kebijakan – yaitu orang-orang yang menilai diri bijaksana, para pejabat, dan pakar-pakar terkemuka – adalah klaim bencana itu sebagian besar akibat kesalahan publik. Idenya adalah bahwa kita masuk ke dalam kekacauan ini karena pemilih menginginkan sesuatu serba gratis, dan politisi yang berpikiran pendek mengakomodasi kebodohan pemilih. <br /><br />Nah, sepertinya inilah saat yang tepat untuk menunjukkan bahwa pandangan yang menyalahkan publik tersebut tidak hanya cenderung egois, tapi benar-benar salah. <br /><br />Kenyataannya adalah apa yang kita alami sekarang adalah suatu bencana dari orang atas, <span style="font-style:italic;">top down</span>. Kebijakan-kebijakan yang membuat kita jatuh dalam kekacauan ini bukan merupakan respon terhadap kebutuhan masyarakat. Kebijakan-kebijakan itu, dengan beberapa pengecualian, diusung oleh kelompok-kelompok kecil orang berpengaruh. Dalam banyak kasus, mereka adalah orang yang sekarang menceramahi kita semua agar serius. Dan dengan berusaha untuk menyalahkan masyarakat umum, para elit menghindari refleksi yang justru dibutuhkan terhadap kesalahan mereka sendiri.<br /><br />Izinkan saya fokus terutama pada apa yang telah terjadi di AS, dan kemudian sedikit berpendapat tentang Eropa.<br /><br />Hari-hari ini warga Amerika dicekoki ceramah terus menerus tentang perlunya mengurangi defisit anggaran. Fokus pada pengurangan defisit tersebut sebetulnya merupakan prioritas yang keliru, karena <span style="font-style:italic;">concern</span> jangka pendek kita saat ini mestinya pada pembukaan lapangan kerja. Tapi anggaplah kita diwajibkan fokus pada defisit tersebut dan bertanya: Apa yang terjadi dengan surplus anggaran yang dimiliki pemerintah federal pada tahun 2000?<br /><br />Jawabannya ada tiga hal utama. Pertama adalah pemotongan pajak Bush, yang membebani sekitar $2 triliun utang nasional selama satu dekade terakhir. Kedua adalah perang di Irak dan Afghanistan, yang menambahkan kurang lebih $1,1 triliun utang tambahan. Dan ketiga adalah resesi ekonomi, <span style="font-style:italic;">the Great Recession</span>, yang menyebabkan tidak hanya jatuhnya pendapatan tetapi juga naiknya pengeluaran secara tajam untuk program asuransi pengangguran dan jaring pengaman.<br /><br />Jadi, siapa yang bertanggung jawab atas masalah anggaran ini? Pastinya bukan orang kebanyakan di jalanan.<br /><br />Presiden George W Bush memotong pajak demi ideologi partainya, bukan demi memenuhi sentimen tuntutan masyarakat – dan gelondongan besar dari potongan tersebut dinikmati oleh segelintir minoritas yang super kaya.<br /><br />Demikian pula, Bush memilih untuk menyerang Irak hanya karena alasan ia dan penasihatnya ingin melakukan itu, bukan karena rakyat Amerika menuntut perang melawan rezim yang tidak ada hubungannya dengan 9/11. Bahkan dibutuhkan sebuah kampanye yang sangat menipu untuk mendapatkan dukungan rakyat Amerika terhadap invasi, dan meskipun begitu, pemilih tidak pernah bulat mendukung perang.<br /><br />Akhirnya, resesi didatangkan oleh sektor keuangan yang tak terkendali, akibat deregulasi yang sembrono. Dan siapa yang bertanggung jawab atas deregulasi itu? Orang-orang kuat di Washington yang memiliki hubungan dekat dengan industri keuangan. Izinkan saya memberikan sapaan-teriakan spesial untuk Alan Greenspan, yang memainkan peran penting dalam deregulasi keuangan dan pelolosan program pemotongan pajak Bush – dan beliau kini, tentu saja, di antara orang-orang yang mengintimidasi kita tentang defisit.<br /><br />Jadi j<span style="font-style:italic;">udgment</span> yang buruk dari elit lah yang menyebabkan defisit Amerika. Bukan keserakahan orang-orang biasa! Dan situasinya amat mirip untuk kasus krisis Eropa.<br /><br />Tak usah dikatakan bahwa bukan seperti itu yang Anda dengar dari para pembuat kebijakan Eropa. Penjelasan resmi di Eropa adalah bahwa pemerintah dari negara-negara yang bermasalah terlalu condong berpihak pada rakyat, terlalu banyak janji kepada para pemilih sembari mengumpulkan terlalu sedikit pajak. Dan itu adalah, sejujurnya, penjelasan yang cukup akurat untuk Yunani. Tetapi berbeda sekali dengan apa yang terjadi di Irlandia dan Spanyol, yang masing-masing memiliki hutang yang rendah sekaligus surplus anggaran tepat sebelum krisis.<br /><br />Kisah sesungguhnya dari krisis Eropa adalah bahwa para pemimpin menciptakan mata uang tunggal, euro, tanpa menciptakan lembaga-lembaga yang dibutuhkan untuk mengatasi siklus <span style="font-style:italic;">boom and bust</span> di dalam wilayah euro. Dan desakan mata uang tunggal Eropa sebenarnya merupakan proyek <span style="font-style:italic;">top-down</span>, suatu visi elit yang dipaksakan kepada pemilih yang sebetulnya sangat menolak.<br /><br />Hm, apakah semua ini penting? Mengapa kita harus peduli terhadap upaya menimpakan kesalahan kebijakan pada masyarakat umum.<br /><br />Jawabnya sederhana: akuntabilitas. Orang-orang yang menganjurkan kebijakan defisit anggaran selama periode Bush seharusnya saat ini tidak boleh menjadi kritikus defisit. Orang-orang yang memuji-muji Irlandia (rasanya Prof Krugman memasukkan Thomas L Friedman dalam kategori ini hehe – Y Pan) sebagai model percontohan seharusnya tidak boleh menguliahi kita tentang pemerintah yang bertanggung jawab.<br /><br />Akan tetapi, jawaban hakikinya adalah dengan mengarang cerita tentang nasib buruk yang sedang kita alami, sambil memberikan pemutihan ke orang yang bertanggung jawab, kita membuang kesempatan untuk belajar dari krisis. Kita perlu menimpakan kesalahan ke orang yang memang bertanggung jawab, untuk mengkoreksi mereka. Jika tidak demikian, mereka akan membuat lebih banyak kerusakan di masa yang akan datang.<br /></span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-78334738736050437932011-04-29T07:04:00.002+07:002011-04-29T07:10:39.183+07:00Muqaddimah: Diskusi Pendahuluan PertamaOleh: Ibn Khaldun<br /><br />Organisasi sosial adalah suatu kebutuhan. Filsuf mengungkapkan fakta ini dengan mengatakan: "Manusia itu politis secara alami". Artinya dia tidak bisa apa-apa tanpa organisasi sosial yang diistilahkan secara teknis oleh filsuf dengan "kota" (polis).<br /><br />Inilah arti peradaban. Karakter manusia terhadap organisasi sosial atau peradaban dijelaskan oleh fakta bahwa Allah menciptakan dan menyempurnakan manunisa dalam bentuk yang dapat hidup dan bertahan hanya dengan bantuan makanan. Dia membimbing manusia kepada dorongan alami terhadap makanan dan menanamkan dalam dirinya kekuatan yang memungkinkannya untuk memperoleh makanan.<br /><br />Namun, kekuatan individual semata tidak cukup bagi seorang manusia untuk mendapatkan makanan. <span class="fullpost">Artinya kekuatan individualnya itu tidak mampu memberikan makanan yang memadai yang dia butuhkan untuk hidup. Bahkan untuk batas absolut minimum, yaitu makanan yang cukup untuk satu hari, misalnya sedikit gandum, jumlah makanan tersebut dapat diperoleh hanya dengan proses-proses seperti menggiling, mengadon, dan memanggang. Masing-masing proses tersebut membutuhkan alat-alat yang tersedia hanya dengan bantuan pandai besi, tukang kayu, dan pengrajin keramik. Kalaupun kita beranggapan bahwa manusia bisa makan biji gandum yang tidak diolah, sejumlah besar operasi tetap diperlukan untuk memperoleh gandum: menabur, menuai, dan menggilingnya untuk memisahkan gandum dari batangnya. Setiap operasi memerlukan sejumlah alat dan lebih banyak keahlian dari yang telah disebutkan di atas. Hal ini di luar kemampuan seseorang untuk melakukan semuanya sendirian, atau bahkan sebagiannya saja. Jadi, ia tidak dapat melakukannya tanpa kekuatan gabungan dari sesama, jika ia berniat mendapatkan makanan bagi dirinya dan bagi mereka. Melalui kerjasama, kebutuhan sejumlah orang jauh lebih banyak daripada jumlah mereka sendiri dapat dipenuhi.<br /><br />Demikian juga, setiap individu membutuhkan bantuan orang lain untuk pertahanan hidup. Ketika Allah menyempurnakan kodrat semua makhluk hidup dan membagi-bagi kekuatan di antara mereka, binatang diberikan kekuatan yang lebih sempurna daripada manusia. Kekuatan kuda, misalnya, jauh lebih besar dari kekuatan manusia, dan begitu juga kekuatan seekor keledai atau lembu. Kekuatan singa atau gajah berkali-kali lebih besar dari kekuatan manusia.<br /><br />Agresivitas adalah sifat makhluk hidup. Oleh karena itu, Allah memberi mereka masing-masing anggota tubuh khusus untuk pertahanan menghadapi serangan. Bagi manusia, sebaliknya, Dia menganugerahkan kemampuan berpikir dan sepasang tangan. Dengan kemampuan berpikir, tangan mampu membuat peralatan. Peralatan, pada gilirannya, digunakan sebagai instrumen untuk melayani manusia, sebagai ganti kaki (dan cakar) yang digunakan hewan untuk pertahanan. Tombak, misalnya, mengambil peran tanduk untuk menanduk, pedang mengambil peran cakar untuk melukai, perisai mengambil peran kulit tebal, dan sebagainya. Masih banyak hal-hal lain seperti itu. Semuanya disebutkan oleh Galen di De usu partium.<br /><br />Kekuatan seorang manusia memang tidak sebanding dengan kekuatan binatang liar, apalagi kekuatan hewan pemangsa. Manusia umumnya tidak bisa mempertahankan diri melawan mereka sendirian. Tidak juga kekuatan individualnya cukup walaupun sudah dengan menggunakan peralatan pertahanan yang ada, karena peralatan itu begitu banyak dan butuh banyak keahlian dan tetek bengek lainnya. Oleh karena itu mutlak diperlukan kerjasama sesama manusia. Selama tidak ada kerjasama, ia tidak akan mampu mendapatkan makanan atau nutrisi pertumbuhan, dan kehidupan tidak bisa terwujud baginya, karena Allah telah menciptakannya sedemikian rupa sehingga ia harus makan untuk hidup. Tidak juga, tanpa senjata, ia dapat membela diri. Dengan demikian, ia menjadi mangsa hewan dan mati jauh sebelum waktunya. Dalam keadaan ini, spesies manusia akan punah. Ketika, sebaliknya, ada kerjasama timbal-balik, manusia dapat memperoleh makanan sebagai nutrisi dan senjata untuk pertahanan. Maka rencana Allah yang Bijaksana – bahwa ras manusia harus bertahan dan manusia sebagai spesies tetap terjaga – akan terpenuhi.<br /><br />Akibatnya, organisasi sosial menjadi keperluan spesies manusia. Tanpa itu, eksistensi manusia tidak akan lengkap. Keinginan Tuhan untuk menyempurnakan dunia dengan makhluk manusia dan untuk menjadikan mereka sebagai wakil-Nya di bumi tidak dapat terealisasi. Inilah arti peradaban, subyek ilmu pengetahuan yang sedang didiskusikan.<br /><br />Penjelasan panjang lebar di atas secara alami telah menetapkan keberadaan obyek pembahasan dalam bidang ilmu tentang peradaban. Seorang sarjana dalam disiplin tertentu sebenarnya tidak wajib memberikan penjelasan keberadaan obyek bahasan tersebut, karena secara logis sudah jamak diterima bahwa seorang peneliti ilmu tertentu tidak harus membentuk fondasi keberadaan obyek pembahasan dalam bidang ilmu tersebut. Dari sisi lain, para ahli logika tidak menganggap bahwa melakukannya adalah suatu yang terlarang. Ini adalah kontribusi sukarela.<br /><br />Tuhan dengan Rahmat-Nya memberikan kesuksesan.<br /><br />Ketika manusia telah membentuk organisasi sosial, seperti yang dijelaskan di atas, dan ketika peradaban telah menjadi kenyataan, masyarakat membutuhkan seseorang untuk memegang kendali dan menjaga hubungan antar individu, karena adanya sifat binatang berupa agresi dan ketidakadilan di dalam diri manusia. Senjata yang dibuat dalam rangka pertahanan manusia dari binatang agresif tidak cukup untuk menahan agresi manusia terhadap manusia lainnya, karena masing-masing dari mereka memiliki senjata tersebut. Makanya diperlukan sesuatu yang lain sebagai instrumen pertahanan agresi manusia terhadap satu sama lain. Dia tidak bisa datang dari luar, karena kemampuan semua binatang lain jauh lebih rendah dari persepsi dan inspirasi manusia. Orang yang memegang kendali dalam masyarakat, oleh karena itu, haruslah salah satu dari mereka sendiri. Dia harus mendominasi dan memegang kuasa dan otoritas atas mereka, sehingga tidak satupun dari mereka dapat menyerang yang lain. Inilah arti dari otoritas kekuasaan.<br /><br />Dengan demikian, menjadi jelas bahwa otoritas kekuasaan adalah kualitas alami manusia yang mutlak diperlukan bagi umat manusia. Filsuf menyebutkan bahwa otoritas kekuasaan juga ada pada beberapa hewan tertentu seperti lebah dan belalang. Seorang peneliti mengamati di antara mereka adanya otoritas dan ketaatan kepada pemimpin. Mereka mengikuti salah satu dari mereka yang dijadikan sebagai pemimpin berdasarkan tubuh dan karakteristik alamiahnya. Namun, di luar manusia, otoritas kekuasaan itu muncul semata dari hukum alam dan ilham ilahiyah, dan bukan hasil dari kemampuan berpikir atau mengelola. "Dia memberi segala sesuatu kodrat atau karakteristik alamiahnya dan kemudian membimbingnya."<br /><br />Para filsuf melangkah lebih jauh. Mereka berusaha untuk memberikan bukti logis dari adanya nubuah (kenabian) dan menunjukkan nubuah itu merupakan kualitas alami manusia. Dalam hal ini, mereka membawa argumen kepada konsekuensi akhirnya dan mengatakan bahwa manusia benar-benar membutuhkan otoritas kekuasaan untuk mengendalikan masyarakat. Mereka kemudian mengatakan bahwa kekuasaan pengendali ada melalui hukum agama yang ditetapkan oleh Allah dan disampaikan kepada umat manusia oleh seorang manusia. Manusia spesial ini dibedakan dari manusia lainnya dengan kualitas khusus bimbingan ilahi yang Allah berikan padanya, sehingga ia mendapati yang lain tunduk kepadanya dan siap menerima apa yang dia katakan. Akhirnya, otoritas kekuasaan di antara mereka dan atas mereka menjadi kenyataan tanpa sedikitpun penyangkalan atau perbedaan pendapat.<br /><br />Proposisi terakhir dari sebagian filsuf di atas tidak cukup logis, seperti dapat kita lihat. Keberadaan dan kehidupan manusia dapat diwujudkan tanpa adanya kenabian melalui perintah-perintah yang dirancang oleh seseorang pemegang otoritas atau dengan bantuan sentimen kelompok yang memungkinkannya untuk memaksa orang lain untuk mengikuti ke mana ia ingin pergi. Orang yang memegang kitab ilahiyah dan mereka yang mengikuti nabi hanya sedikit dibandingkan dengan semua kelompok masyarakat lain yang tidak memiliki kitab wahyu. Yang terakhir ini merupakan mayoritas masyarakat dunia. Namun, mereka juga memiliki raja-raja dan monumen, belum lagi kehidupan itu sendiri. Mereka masih memiliki raja-raja dan monumen tersebut pada saat ini di daerah utara dan selatan. Hal ini sangat kontras dengan kehidupan manusia di negara anarki, tanpa satu pemegang otoritas pengendali. Proposisi tersebut sungguh tidak mungkin.<br /><br />Ini menunjukkan bahwa para filsuf telah keliru ketika mereka menganggap bahwa kenabian ada karena kebutuhan. Keberadaan nubuah tidak terikat dengan logika. Karakteristiknya ditunjukkan oleh hukum agama, seperti keyakinan kaum Muslimin awal.<br /><br />Allah memberikan kesuksesan dan bimbingan.<br /></span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-2301529814579111652011-03-18T07:38:00.003+07:002011-03-18T08:11:56.773+07:00Pasukan Pengacara Digantikan SoftwareSMARTER THAN YOU THINK<br /><a href="http://www.nytimes.com/2011/03/05/science/05legal.html" target="_new">Armies of Expensive Lawyers, Replaced by Cheaper Software</a><br />By JOHN MARKOFF<br />Published (in the NY Times): March 4, 2011 <br /><br />Ketika lima studio TV tersangkut dalam gugatan anti-monopoli Departemen Kehakiman terhadap CBS, biaya yang keluar sangat besar. Sebagai bagian dari tugas yang agak nggak jelas berupa “penemuan” atau “penggalian” – untuk menyediakan dokumen yang relevan dengan gugatan – studio-studio itu memeriksa enam juta dokumen dengan biaya lebih dari $2,2 juta sebagian besar untuk membayar sekelompok pengacara dan asistennya yang bekerja selama berbulan-bulan dengan tarif tinggi per jam. <br /><br />Tapi itu terjadi pada tahun 1978. Sekarang, berkat kemajuan dalam kecerdasan buatan (<em>artificial intelligence</em>), software e-discovery dapat menganalisis dokumen dalam waktu jauh lebih singkat dengan biaya yang jauh lebih murah. Pada bulan Januari, misalnya, Blackstone Discovery di Palo Alto, California, membantu menganalisis 1,5 juta dokumen dengan biaya kurang dari $100.000. <span class="fullpost"><br /><br />Beberapa program bahkan melampaui lebih dari hanya menemukan dokumen yang relevan dengan cepat. Mereka dapat mengekstrak konsep-konsep yang relevan bahkan tanpa terminologi khusus, dan menyimpulkan pola perilaku yang dapat meringankan tugas para pengacara dalam memeriksa jutaan dokumen.<br /><br />"Dari sudut pandang tenaga kerja bidang hukum, itu berarti banyak orang yang dulu dialokasikan untuk meninjau dokumen tidak diperlukan lagi," kata Bill Herr, yang sebagai pengacara di sebuah perusahaan kimia besar biasa mengumpulkan pengacara dalam auditorium untuk membaca dokumen selama berminggu-minggu di akhir pekan. "Orang-orang bisa kelelahan, orang mengalami sakit kepala. Komputer tidak."<br /><br />Komputer semakin baik dalam meniru penalaran manusia – seperti penonton <a href="http://www.nytimes.com/2011/02/17/science/17jeopardy-watson.html?_r=2" target="_new">“Jeopardy!”</a> temukan ketika menyaksikan Watson mengalahkan musuh manusianya – dan mereka mengambil alih pekerjaan yang dulu dilakukan oleh orang-orang dalam profesi bergaji tinggi. Jumlah desainer chip komputer, misalnya, secara signifikan telah mengalami stagnasi sejak program perangkat lunak digunakan untuk menggantikan kerja yang dilakukan oleh sepasukan desainer.<br /><br />Perangkat lunak juga mulai merambah ke wilayah eksklusif para pengambil keputusan, seperti konsultan pinjaman dan KPR dan akuntan pajak.<br /><br />Bentuk-bentuk baru dari otomatisasi telah mengembalikan perdebatan hangat tentang konsekuensi ekonomi dari kemajuan teknologi.<br /><br />David H. Autor, profesor ekonomi di Massachusetts Institute of Technology, mengatakan ekonomi Amerika Serikat sedang mengalami fenomena "kekopongan" ("<em>hollowed out</em>"). Pekerjaan baru, katanya, terisi pada bagian bawah piramida kerja, di tengah-tengah hilang karena otomatisasi dan <em>outsourcing</em>, dan sekarang pertumbuhan kerja di bagian atas melambat karena otomatisasi.<br /><br />"Tidak ada alasan untuk menyimpulkan bahwa teknologi menciptakan pengangguran," kata Profesor Autor. "Dalam jangka panjang kita selalu dapat menemukan pekerjaan untuk orang lakukan. Namun, masalahnya, apakah perubahan teknologi selalu mengarah ke pekerjaan yang lebih baik? Sayang jawabannya tidak."<br /><br />Otomasi pekerjaan di bagian atas piramida mengalami percepatan karena kemajuan ilmu komputer dan linguistik. Baru-baru ini saja para peneliti dapat menguji dan menyempurnakan algoritma untuk sampel data yang besar, termasuk gunungan e-mail dari Enron Corporation.<br /><br />"Dampak ekonominya akan sangat besar," kata Tom Mitchell, ketua departemen pembelajaran mesin (<em>machine learning</em>, cabang <em>artificial intelligence</em>) di Carnegie Mellon University di Pittsburgh. "Kita berada pada awal periode 10-tahun di mana kita akan mewujudkan transisi dari komputer yang tidak mengerti bahasa ke situasi di mana komputer dapat mengerti sedikit tentang bahasa."<br /><br />Perkembangan ini paling tampak jelas di dunia hukum.<br /><br />Teknologi e-discopvery umumnya dapat dibagi ke dalam dua kategori besar yang dapat digambarkan sebagai "linguistik" dan "sosiologis."<br /><br />Pendekatan linguistik yang paling mendasar menggunakan kata-kata pencarian yang spesifik untuk mencari dan mengurutkan dokumen-dokumen yang relevan. Program yang lebih canggih menyaring dokumen melalui jaringan definisi kata-kata dan frase. Seorang pengguna yang mengetik "anjing" juga akan menemukan dokumen yang menyebutkan "teman terbaik manusia" dan bahkan gagasan "berjalan" (dalam kultur barat, anjing memang biasa dianggap sebagai "teman terbaik manusia" dan mesti diajak ”jalan” sekali waktu - Y Pan).<br /><br />Di atasnya, pendekatan sosiologis menambahkan suatu lapisan analisis inferensial, meniru kekuatan deduktif seorang Sherlock Holmes. Insinyur dan ahli bahasa di Cataphora, perusahaan skrining informasi yang berbasis di Silicon Valley, membuat software yang dapat menggali (<em>mining</em>) dokumen terkait kegiatan dan interaksi orang-orang – siapa yang melakukan apa kapan, dan siapa berbicara dengan siapa. Perangkat lunak tersebut memvisualisasikan rangkaian peristiwa. Ia mengidentifikasi diskusi yang telah terjadi melalui email, pesan instan, dan telepon.<br /><br />Kemudian komputer menerkam, ibaratnya, untuk menangkap "anomali digital" yang sering diciptakan penjahat kerah putih dalam usaha menyembunyikan aktivitas mereka.<br /><br />Sebagai contoh, ia dapat menemukan momen "telepon saya" – insiden ketika pegawai memutuskan untuk menyembunyikan tindakan tertentu dengan memulai percakapan pribadi. Biasanya ini melibatkan perubahan media, mungkin dari percakapan email ke pesan singkat, telepon, atau bahkan tatap muka.<br /><br />"Ia tidak menggunakan kata kunci sama sekali," kata Elizabeth Charnock, pendiri Cataphora. "Tapi ia adalah sarana untuk menunjukkan siapa yang membocorkan informasi, siapa yang berpengaruh dalam organisasi, atau kapan sebuah dokumen sensitif seperti laporan ke SEC sedang diedit dalam frekuensi yang tidak wajar oleh tipe atau jumlah orang yang tidak biasa."<br /><br />Software Cataphora juga mampu mengenali sentimen dalam sebuah e-mail – apakah seseorang positif atau negatif. Ia juga dapat mengidentifikasi yang disebut "berbicara lantang" – sebuah penekanan yang tidak biasa yang mungkin memberikan indikasi bahwa dokumen tersebut mencerminkan situasi stres. Perangkat lunak ini juga dapat mendeteksi perubahan halus dalam gaya komunikasi e-mail.<br /><br />Sebuah perubahan gaya penulisan email, dari santai tiba-tiba menjadi formal, dapat menyalakan sinyal adanya kegiatan yang tidak legal.<br /><br />"Anda cenderung untuk memisahkan lebih sedikit infinitif ketika Anda berpikir FBI mungkin membaca surat Anda," kata Steve Roberts, CTO Cataphora.<br /><br />Perusahaan e-discovery lain di Silicon Valley, Clearwell, telah mengembangkan perangkat lunak yang menganalisis dokumen untuk menemukan konsep, lebih dari sekedar kata kunci tertentu, yang dapat mempersingkat waktu untuk menemukan materi yang relevan dalam gugatan hukum.<br /><br />Tahun lalu, perangkat lunak Clearwell digunakan oleh konsultan hukum DLA Piper untuk mencari di antara setengah juta dokumen dalam batas waktu satu minggu yang ditetapkan pengadilan. Software Clearwell menganalisa dan mensortir 570 ribu dokumen (setiap dokumen dapat terdiri dari banyak halaman) dalam dua hari. Firma hukum Piper menggunakan hanya satu hari lagi untuk mengidentifikasi 3070 dokumen yang relevan dengan pengadilan.<br /><br />Perangkat lunak Clearwell menggunakan analisa bahasa dan cara visual yang mewakili konsep-konsep umum dalam dokumen yang memungkinkan satu saja pengacara melakukan pekerjaan yang sebelumnya mungkin dilakukan ratusan.<br /><br />"Masalahnya di sini adalah beban jumlah informasi yang berlebihan," kata Aaref A. Hilaly, CEO Clearwell. "Bagaimana caranya Anda mendalami hanya dokumen atau fakta tertentu yang relevan dengan permasalahan? Ini bukan soal pencarian, tapi ini tentang penyaringan atau skrining, dan itulah kekuatan perangkat lunak e-discovery."<br /><br />Untuk Neil Fraser, seorang pengacara di Milberg, sebuah firma hukum berbasis di New York, perangkat lunak Cataphora memungkinkannya lebih memahami cara kerja internal perusahaan yang sedang ia gugat, terutama ketika para pembuat keputusan yang sebenarnya tersembunyi dari sorotan.<br /><br />Ia mengatakan perangkat lunak ini memungkinkannya menemukan mantan Prajurit Wintergreens dalam suatu organisasi – sebuah sosok pegawai rendahan dalam novel "Catch-22" yang memegang kuasa yang besar karena mendistribusikan surat ke para jenderal dan mampu menahan atau mengirimkannya sesuai pertimbangannya sendiri.<br /><br />Alat seperti software di atas berhutang budi kepada sumber yang mungkin tidak pantas, yaitu database email peninggalan Enron (<a href="http://sgi.nu/enron/" target="_new">Enron Corpus</a>).<br /><br />Pada bulan Oktober 2003, Andrew McCallum, seorang ilmuwan komputer di University of Massachusetts, Amherst, membaca bahwa pemerintah federal memiliki koleksi lebih dari lima juta pesan dari penuntutan Enron.<br /><br />Dia membeli satu salinan database tersebut senilai $10.000 dan membuatnya bebas tersedia untuk para peneliti akademis dan korporasi. Sejak itu, ia telah menjadi dasar ilmu pengetahuan baru – nilainya luar biasa hingga saat ini, mengingat kendala batasan privasi biasanya membuat koleksi-koleksi e-mail seperti ini tak terjangkau. "Itu membuat perbedaan besar dalam komunitas riset," kata Dr McCallum.<br /><br />Enron Corpus telah menyebabkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana bahasa digunakan dan bagaimana jaringan sosial berfungsi, dan ia telah menyempurnakan upaya pengungkapan kelompok-kelompok sosial berdasarkan komunikasi email.<br /><br />Sekarang perangkat lunak kecerdasan buatan (<em>artificial intelligence</em>) telah mendapatkan tempatnya di meja negosiasi (dulu janji kehebatannya sudah begitu, tapi kayaknya sekarang udah mulai bener-bener terwujud - Y Pan).<br /><br />Dua bulan yang lalu, Autonomy, sebuah perusahaan e-discovery yang berbasis di Inggris, bekerja sama dengan pengacara pembela dalam suatu gugatan terhadap sebuah perusahaan minyak dan gas terkenal. Para penggugat datang dalam negosiasi praperadilan dengan daftar kata yang dimaksudkan untuk membantu memilih dokumen yang akan digunakan dalam pengadilan.<br /><br />"Para penggugat sebelumnya telah meminta 500 kata kunci untuk pencarian," kata Mike Sullivan, CEO Autonomy Protect, salah satu divisi Autonomy.<br /><br />Sebagai tanggapan, para pembela menggunakan kata-kata itu untuk menganalisis dokumen mereka sendiri selama perundingan, dan hasilnya membantu mereka lebih efektif dalam bernegosiasi, kata Mr Sullivan.<br /><br />Memang, beberapa ahli mengakui teknologi memiliki limitasi. "Dokumen-dokumen yang disaring keluar masih harus dibaca oleh seseorang," kata Herbert L. Roitblat dari OrcaTec, sebuah perusahaan konsultan di Atlanta.<br /><br />Sulit untuk mengkuantifikasi dampak dari penggunaan teknologi baru ini. Mike Lynch, pendiri Autonomy, percaya bahwa "bidang hukum adalah sektor yang mungkin bakal lebih sedikit mempekerjakan orang di Amerika Serikat di masa depan." Dia memperkirakan bahwa pergeseran dari penemuan dokumen secara manual ke penemuan otomatis (e-discovery) akan menyebabkan pengurangan tenaga kerja di mana satu pengacara saja akan cukup untuk pekerjaan yang sebelumnya memerlukan 500. Bahkan generasi terbaru perangkat lunak e-discovery yang dapat mendeteksi duplikasi dan menemukan pengelompokan dokumen-dokumen penting tentang topik tertentu, dapat mengurangi 50 persen tenaga kerja lagi.<br /><br />Komputer tampaknya menunjukkan kinerja baik dalam pekerjaan ini. Mr Herr, pengacara perusahaan kimia yang diceritakan di awal artikel ini, menggunakan perangkat lunak e-discovery untuk menganalisis ulang pekerjaan pengacara perusahaan tersebut di tahun 1980-an dan 90-an. Ternyata koleganya (sebagai manusia) hanya 60 persen akurat.<br /><br />"Bayangkan berapa banyak uang yang telah dibelanjakan untuk menjadi sedikit lebih baik daripada sekedar melempar koin (50 persen akurat – Y Pan)," katanya.<br /></span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-83069679452493990862011-02-02T21:20:00.001+07:002011-02-02T21:20:01.294+07:00Black to Play<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFWCn0qFWBZIKcfZpWwcS9UIyl3_pClMTbXzYc4uA5Hy06Ty7091VGb8c-5Bd_mpbzxVzINpwellYuKWnjibLH4rRpb1dNdJ15hPpILhAqA0tb37waA1beK7aockXIs1WiBOVqT4oiMgg/s1600/02022011760.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFWCn0qFWBZIKcfZpWwcS9UIyl3_pClMTbXzYc4uA5Hy06Ty7091VGb8c-5Bd_mpbzxVzINpwellYuKWnjibLH4rRpb1dNdJ15hPpILhAqA0tb37waA1beK7aockXIs1WiBOVqT4oiMgg/s400/02022011760.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5569089544180363778" /></a><br /><span class="fullpost"><br /><br />The game has reached this extraordinary position, as if the game were played by Tal and Kasparov. Black has a significant advantage in the king's side, while white has a dominant position in center and in the queen's side. Both white's and black's kings are in desperate situations.<br /><br />On our final analysis, the outrageous battle is concluded by a slight tempo advantage.<br /><br />Trying a sharp counter attack, white makes a very threatening move, i.e. d5xe6.<br /><br />What is the best move for black to conclude the game?<br /></span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-4681407330556807152011-01-31T21:50:00.001+07:002011-01-31T21:50:25.201+07:00Mitos Daya Saing<span style="font-style:italic;">Mungkin kita menganggap Amerika sama saja: kapitalis. Sebenarnya di sana terdapat dua ideologi yang bertolak belakang, walaupun bisa dikatakan keduanya masih di dalam kapitalisme. Setidaknya kita bisa belajar bahwa tidak semua ekonom Amerika pro 100% terhadap pasar bebas, sebagaimana pendapat Paul Krugman di bawah ini yang saya terjemahkan dari <a href="http://www.nytimes.com/2011/01/24/opinion/24krugman.html?_r=1&ref=paulkrugman" target="_new">kolom beliau di NYTimes</a> 23 Januari 2011. Barangkali Indonesia tidak perlu malu-malu untuk tidak selalu mengikuti kebijakan ekonomi Amerika, termasuk kebijakan pasar bebas itu.</span><br /><br />Sebelum pidato tahunan di depan Congress, Presiden Obama telah mengirimkan pesan utamanya, yaitu daya saing. Dewan Penasihat Presiden untuk Pemulihan Ekonomi telah berganti nama menjadi Dewan Presiden untuk Lapangan Kerja dan Daya Saing. Dalam pidato radio beliau pada hari Sabtu (22/1), Presiden Obama menyatakan bahwa Amerika tidak dapat disaingi oleh negara mana pun. <span class="fullpost"><br /><br />Ini mungkin saja politik yang cerdik. Dapat diduga, Mr. Obama menggunakan ungkapan klise untuk tujuan yang baik, sebagai suatu cara untuk menjual wacana kenaikan investasi publik kepada masyarakat yang keseluruhannya telah diindoktrinasi bahwa pengeluaran pemerintah selalu bersifat buruk.<br /><br />Tapi mari kita tidak membodohi diri sendiri: berbicara tentang daya saing sebagai suatu tujuan sebenarnya menipu. Kalaupun ada kebaikan di situ, ia minimal merupakan suatu diagnosis yang salah terhadap masalah kita (masalah US maksudnya - Y Pan). Pahit-pahitnya, ia dapat menggiring kebijakan-kebijakan berdasarkan ide yang keliru bahwa apa yang baik untuk korporasi selalu baik untuk Amerika.<br /><br />Tentang diagnosis yang salah itu: apa logikanya bahwa masalah yang kita hadapi saat ini berasal dari kurangnya daya saing?<br /><br />Memang benar kita akan lebih banyak menciptakan lapangan kerja jika kita lebih banyak mengekspor dan lebih sedikit mengimpor. Tapi kasusnya sama saja untuk Eropa dan Jepang, yang sedang mengalami depresi juga. Dan kita tidak dapat sama sekali mengekspor lebih banyak ketika kita lebih sedikit mengimpor, kecuali jika kita dapat menjual produk kita ke planet lain. Ya, kita dapat menuntut Cina mengurangi surplus perdagangannya - tapi jika Presiden Obama bermaksud menghadapi Cina, seharusnya ia dapat mengungkapkannya tanpa tedeng aling-aling.<br /><br />Lebih jauh lagi, meskipun Amerika mengalami defisit perdagangan, defisit tersebut masih lebih kecil dibandingkan defisit sebelum Resesi Besar sebelum perang. Akan membantu jika kita dapat membuatnya lebih kecil lagi. Apapun, ujungnya, kita berada pada kekacauan ini karena krisis finansial, bukan karena perusahaan-perusahaan Amerika kehilangan daya saingnya terhadap kompetitor asing.<br /><br />Bukankah, paling tidak, ada gunanya berpikir tentang negara ini sebagai Amerika Inc, yang berkompetisi di pasar global? Jawabanya tidak.<br /><br />Misalnya: Seorang pemimpin korporasi yang menaikkan profit dengan mengurangi pegawai dianggap sukses. Hm, memang inilah yang kurang lebih terjadi saat ini di Amerika: angka pengangguran naik, tapi profit menyentuh rekor baru. Siapa yang berani mengatakan ini suatu keberhasilan ekonomi?<br /><br />Memang, Anda dapat mengatakan bahwa berbicara mengenai daya saing membantu Mr Obama membungkam klaim bahwa ia anti-bisnis. Itu nggak masalah, selama ia menyadari bahwa kepentingan korporasi Amerika dan kepentingan negara, yang nggak pernah ketemu, semakin lebar kesenjangannya dari sebelum-sebelumnya.<br /><br />Ambil kasus GE, yang CEO-nya, Jeffrey Immelt, baru saja ditunjuk menjadi ketua dewan penasihat yang baru ganti nama. Saya tidak punya masalah dengan GE atau Mr Immelt, tapi dengan kurang dari setengah pegawainya berbasis di US dan kurang dari setengah pendapatannya berasal dari operasi di US, kesuksesan GE tidak ada kaitannya dengan kesejahteraan Amerika.<br /><br />Ngomong-ngomong, sebagian kalangan memuji penunjukan Mr Immelt setidaknya sebagai perwakilan suatu perusahaan yang benar-benar membuat produk nyata, dan bukan penjudi finansial. Mohon maaf, hari-hari ini GE mendapatkan revenue lebih banyak dari kegiatan finansialnya daripada manufaktur - bahkan GE Capital, yang mendapatkan jaminan pemerintah untuk hutang-hutangnya, merupakan salah satu penerima utama bailout yang dilakukan pemerintah terhadap Wall Street.<br /><br />Jadi apa yang ingin diajukan oleh pemerintah dari retorika daya saing terhadap kebijakan ekonomi? <br /><br />Penafsiran yang positif, sebagaimana saya ungkapkan, adalah ini semua merupakan kemasan untuk suatu strategi ekonomi yang berpusat pada investasi publik, investasi tentang menciptakan lapangan kerja dalam jangka pendek sembari mendorong pertumbuhan jangka panjang. Penafsiran negatif adalah bahwa Presiden Obama dan para penasihatnya betul-betul percaya bahwa permasalahan ekonomi US terjadi karena pemerintah terlalu keras pada bisnis (korporasi), dan bahwa Amerika membutuhkan pemotongan pajak korporasi dan deregulasi di semua sektor.<br /><br />Dugaan saya adalah ini semua merupakan kemasan saja, dan jika presiden benar-benar mengajukan kenaikan yang signifikan pada pengeluaran infrastruktur dan pendidikan, saya akan cukup puas.<br /><br />Namun demikian, meskipun ia membawa kebijakan yang baik, fakta bahwa Mr Obama membungkus kebijakan ini dengan metafora yang buruk adalah suatu yang patut disayangkan.<br /><br />Krisis keuangan 2008 merupakan momen pelajaran, suatu pelajaran mengenai bahaya percaya bahwa ekonomi pasar sepenuhnya dapat mengatur dirinya sendiri. Jangan pula kita lupakan bahwa ekonomi yang lebih diregulasi, seperti Jerman, dapat menjawab krisis dengan lebih baik daripada kita. Entah alasannya, sepertinya momen pelajaran itu belum juga terpahami.<br /><br />Mr Obama sendiri kelihatan baik-baik saja. Rating sokongan terhadap beliau naik, ekonomi menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dan peluangnya untuk dipilih kembali cukup bagus. Sedihnya, ideologi yang membawa bencana ekonomi 2008 kembali naik daun, bahkan kembali ke puncak - dan kelihatannya akan tetap berada di sana hingga ia kembali membawa bencana.<br /><br />Koreksi: 25 Januari 2011<br /><br />Pada kolom di atas, Paul Krugman mengatakan GE mendapatkan lebih dari setengah revenue-nya dari jasa finansial. Walaupun benar demikian sebelum krisis, segmen tersebut mengalami penurunan tingkat kepentingan sejak krisis.<br /><br />Lihat juga:<br /><a href="http://ypanca.blogspot.com/2008/10/kebijakan-berbalik-arah.html">Kebijakan Berbalik Arah</a><br /></span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-61736690618567787382010-12-31T21:35:00.002+07:002010-12-31T21:37:18.292+07:00Tahun 2010 dan 2011Sebentar lagi 2010 berlalu. <br />Ia akan segera menjadi masa lalu. <br />Seberapa banyak rencana kita terwujud? <br />Seberapa akurat prediksi kita? <br />Saatnya menilai... <br />Untuk menjadi lebih arif menatap masa depan. <span class="fullpost"><br /><br />Betapa sering kita menyanyikan, "Ku yakin hari ini pasti menang..." <br />Hanya untuk menyadari keyakinan itu sering hanyalah harapan belaka. <br />Bahkan dengan memanipulasi doa, seorang mubaligh yakin... <br />Tim Garuda akan menang besar... <br />Hanya untuk menyadari Allah tidak dapat dipaksa dengan doa. <br /><br />BMG pernah mengatakan April musim kemarau akan datang. <br />Tidak lama BMG mengkoreksinya menjadi bulan Juli. <br />Hujan tetap tak berhenti menimbulkan... <br />Istilah kemarau basah. <br />Kembali kita harus menyadari prediksi tetaplah hanya prediksi... <br />Karena Dia hanya mengungkap sedikit sekali ilmu-Nya untuk kita. <br /><br />Maka sadarilah hanya Allah yang Maha Tahu. <br />Milikilah sedikit kerendahan hati. <br />Waspadalah terhadap ramalan... <br />Apalagi ramalan bintang, ramalan ekonomi, dan ramalan politik. <br /><br />Jika harus membuat rencana untuk 2011 dan seterusnya... <br />Buatlah dengan rendah hati. <br />Sandarkan optimisme hanya kepada-Nya... <br />Karena kepada-Nya kita akan kembali. <br /></span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-44415960428967095252010-11-16T12:57:00.008+07:002010-11-26T11:10:04.600+07:00Pencari Sensasi dan Ahli KuburBagi kita yang masih hidup, kebanyakan para pencari sensasi lebih sering kita perhatikan daripada kebanyakan ahli kubur. Memang ada ahli kubur tertentu yang sampai hari ini kita sebut-sebut namanya karena prestasi mereka yang luarbiasa, tapi umumnya kita lebih sering terpikat oleh pencari sensasi. Buktinya, acara info seleb lebih laku di TV.<span class="fullpost"> <br /><br />Dulu ada film <em>Accidental Hero</em>. Sebuah pesawat nahas mengalami kecelakaan. Banyak penumpang tidak selamat. Kemudian muncul seorang misterius yang membantu para penumpang yang selamat. Dia kehilangan sebelah sepatunya selagi proses penyelamatan. Berdasarkan cerita mereka yang selamat, media kemudian mencari-cari siapa sih sang pahlawan.<br /><br />Dari cerita film itu, sang pahlawan, Bernie, sebenarnya seorang kriminal. Karena profesinya, ia menghilang dari lampu sorot wartawan, tapi temannya, John, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Dengan bekal sebagai seorang veteran dan sebelah sepatu Bernie, dia berhasil mengelabui publik, tentunya dengan bantuan media yang senang dengan kisah inspiratif. Di sini, sebetulnya ada kesalahan fatal, tapi karena cerita yang sensasional, kebenaran tertutupi dari publik. Bernie adalah pahlawan yang sebenarnya, walaupun itu kebetulan juga!<br /><br />Coba bayangkan di antara penumpang yang tewas, adakah seseorang yang benar-benar mengambil tindakan heroik untuk penyelamatan tapi kemudian gugur tanpa ketahuan jasanya? Boleh jadi figur itu memang ada, tetapi karena dia keburu jadi ahli kubur, nggak ada cerita yang menghiasi koran nasional. Demikian juga, pahlawan-pahlawan tak dikenal yang gugur melawan penjajah! Nama mereka tidak pernah menghiasi buku-buku sejarah. Boleh jadi, buku sejarah malah diisi pahlawan seperti John yang kebetulan masih bisa menuturkan cerita-cerita heroik meskipun palsu. Mungkin sekali pahlawan di buku-buku sejarah mempunyai kontribusi yang tidak lebih baik dari pahlawan tak dikenal yang keburu gugur.<br /><br />Anda pasti tahu GT, pegawai pemerintah yang ketahuan memiliki aset yang tidak sesuai gajinya, kan? Baru-baru ini dia bahkan bikin berita besar lagi setelah seseorang yang mirip dirinya diketahui berada di Den Pasar ketika dia sendiri masih mendekam di tahanan Brimob Kelapa Dua. Melihat besaran korupsinya kita sudah geleng-geleng kepala. Ck ck ck! Semakin dibesarkan sensasinya, semakin terlena kita dari kasus-kasus yang jauh lebih besar di kuburan. Kasus-kasus di kuburan itu tidak akan pernah buka suara dan membuat Anda mungkin berpikir mereka tidak pernah ada. Begitulah perbedaan sensasi dan kuburan.<br /><br />Ilustrasi yang lebih ilmiah dapat Anda baca di buku The Black Swan karya Dr Nassim Nicholas Taleb. Salah satunya mengenai bayi yang jatuh ke sumur di Italia pada akhir 1970-an. Karena kesulitan mengeluarkannya dari sumur, jadilah kisahnya suatu yang amat dramatis. Negeri Lebanon yang kala itu sedang mengalami perang saudara yang dahsyat bahkan heboh oleh tragedi bayi dari Italia itu sembari melupakan betapa banyak korban perang di rumah sendiri.<br /><br />Memang kegandrungan kita pada berita yang sensasional membuat kita justru melupakan fakta yang relevan yang ada di kuburan. Ini adalah kelemahan bawaan yang tertanam dalam otak kita yang sekaligus menjadi kekuatannya (baca juga <a href="http://ypanca.blogspot.com/2010/11/hebatnya-pikiran.html" target="_new">Hebatnya Pikiran</a> - Y Pan). Yang jadi soal tambahan adalah faktor eksternal yang suka mengekploitasi kelemahan kita, dengan tidak sengaja atau lebih parah lagi dengan sengaja. Untuk itu, nggak ada salahnya kita berhati-hati.<br /><br />Nah, di wilayah extremistan (baca juga <a href="http://ypanca.blogspot.com/2009/12/yang-belum-kebaca.html" target="_new">Yang Belum Kebaca</a>) - Y Pan), tempat bercokol kebanyakan masalah sosial, sikap hati-hati itu mesti lebih ditingkatkan lagi. Mengapa? Teman-teman kita mungkin suka mengolok-olok keyakinan kita dengan ganas, sampai kita keluar dari keyakinan itu dan akhirnya mengikuti jejak GT. Sanak kita mungkin menyalahkan profesi yang selama ini kita tekuni bergelimang dengan buku, percobaan, dan penelitian, tapi seret uang dan ketenaran. Karena tidak tahan, kita bisa saja keluar dari lembaga penelitian yang sudah membiayai sekolah kita sampai S3 ke luar negeri. Kita lalu lebih memilih bekerja di bank atau jadi pialang atau jadi pengamat yang dengannya sanak saudara tidak akan pernah memandang rendah lagi. Karena kita begitu menghargai imbalan segera, pihak eksternal dapat dengan mudah menjerumuskan kita ke kekeliruan yang kita sesali kemudian.<br /><br />Andaikan imbalan surga dapat dihadirkan ke dunia ini, tentunya kita akan siap sedia mengalami kerugian-kerugian kecil sepanjang waktu dan mengabaikan begitu saja olok-olok teman dan pandangan merendahkan sanak saudara. Kenapa? Karena kita yakin pada saatnya semua kerugian kecil itu tidak akan ada artinya di hadapan imbalan surga. Demikian pula, kita tentu tidak keberatan menunda keuntungan-keuntungan kecil sepanjang waktu mengingat keuntungan-keuntungan kecil itu tidak berarti apa-apa di hadapan neraka.<br /><br />Itulah sebabnya kita dapat mengerti bagaimana inginnya sosok seperti Khalid bin Walid tewas dalam peperangan yang diikutinya. Beliau bersusah payah mengikuti semua perang itu dengan luka-luka yang menggerogoti badan. Sungguh suatu ironi, semua perang itu dimenangkannya, tapi harapannya untuk syahid dalam perang tidak tercapai, hingga beliau meninggal di tempat tidur.<br /><br />Berikut ini satu ilustrasi lagi dari Dr Taleb. Misalkan sebuah obat menyelamatkan banyak orang dari penyakit berpotensi membahayakan. Sebaik-baik obat itu, ada risiko ia dapat menewaskan beberapa orang. Secara obyektif "berat bersih" untuk masyarakat positif banget. Apakah dokter mau meresepkannya? Rasanya tidak, karena pengacara para korban akan memburu sang dokter dan menggebukinya seperti anjing, sementara fakta bahwa banyak orang yang terselamatkan tidak akan membelanya sedikitpun. Nyawa yang terselamatkan adalah statistik (kuburan), sedangkan beberapa korban efek samping adalah anekdot yang gampang diceritakan dan disebarkan (sensasi).<br /><br />Menurut Dr Taleb, fenomena ahli kubur yang diilustrasikan di atas merupakan manifestasi bukti yang tidak bicara. Tugas kita adalah menghindari terjebak pada apa yang kita lihat (sensasi) saja, tetapi mencari apa-apa yang tidak kelihatan (kuburan). Seyogyanya dua-duanya sama-sama kita perhatikan dengan sungguh-sungguh. Bahkan kalau kita dapat mengidentifikasi suatu sensasi tidak relevan, kita sepatutnya segera mengabaikannya saja. Kalau tidak seperti itu, kita akan terjebak pada sensasi. Malangnya sensasi itu ternyata sering seperti John dalam <em>Accidental Hero</em> di atas, sementara bukti sebenarnya justru tidak bicara, diam seribu bahasa.<br /><br />Sekarang mari kita kembali ke sekolah. Teori dan ruang kelas sudah mengajarkan kita banyak hal dan sudah membawa peradaban manusia berkembang hingga saat ini. Namun demikian, teori dan ruang kelas seperti sudah dibuktikan secara konsisten dalam sejarah tidak lebih adalah sensasi itu sendiri. Apa yang kita pahami saat ini berdasarkan teori dari ruang kelas yang kita hadiri kemarin mengungkung pikiran kita dalam kotak teori itu sendiri. Padahal kenyataan lebih rumit dari teori itu. Di luar kotak teori itu bersemayam bukti yang tidak bicara. Dr Taleb memberikan ilustrasi yang sangat menawan yang telah mencerahkan banyak orang sekaligus membingungkan banyak orang lain. Saya harus cari-cari bahan dulu di internet dalam bahasa aslinya sampai bisa mengkoreksi terjemahan yang terlanjur saya baca.<br /><br />Tony yang Gemuk (Fat Tony) adalah seorang jalanan asal Brooklyn yang sangat sukses, sementara John yang Bukan Orang Brooklyn (Dr John) adalah seorang ahli yang berlatar akademis. Sungguh ilustrasi ini bukan untuk mengejek orang jalanan yang sukses ataupun seorang akademisi yang terlalu teoritis. Banyak akademisi yang menguasai jalanan dan tidak terlalu teoritis. Ada juga orang jalanan yang belajar sendiri banyak teori dan menguasasi banyak bahasa. Yang menyebalkan adalah orang jalanan yang sok teoritis. Perumpamaan Fat Tony dan Dr John hanya untuk menggugah pemahaman saja. Berikut ini percakapan antara Dr Nassim Nicholas Taleb (NNT) dengan keduanya.<br /><br /><em>NNT: Andaikan ada sebuah koin yang sempurna imbang (<em>terjemahan The Black Swan menggunakan istilah "koin yang adil" yang kelewat harfiah, hehehe - Y Pan</em>), yang memiliki kesempatan yang sama (50:50) untuk muncul sisi depan atau sisi belakang (<em>dalam istilah Bahasa Inggris <em>head or tail</em> yang males saya terjemahkan sebagai kepala atau ekor - Y Pan</em>) sewaktu diundi. Saya sudah melontarnya sembilan puluh sembilan kali dan selalu mendapatkan sisi depan. Bagaimana peluang saya mendapat sisi belakang pada lemparan berikutnya?<br /><br />Dr John: Pertanyaan gampang. Separo, tentu saja, karena Anda mengasumsikan peluang 50 persen untuk masing-masing sisi dan lontaran yang satu tidak terkait dengan lontaran yang lain.<br /><br />NNT: Bagaimana pendapat Anda, Tony?<br /><br />Fat Tony: Hemat saya tidak lebih dari 1 persen, tentu saja.<br /><br />NNT: Kenapa begitu? Saya telah memberimu asumsi awal bahwa koinnya betul-betul imbang, yang berarti peluang tiap sisi tepat 50 persen.<br /><br />Fat Tony: Anda entah bodoh sekali atau murni seorang pecundang bila menerima pandangan "50 pehcent" (mungkin logat Brooklyn - Y Pan) itu. Koinnya pasti sudah disetel (<em>versi asilnya <em>loaded</em>, tapi buku terjemahan menggunakan istilah "koin berhantu" yang bikin pembaca kayak saya bingung dan keburu merendahkan Fat Tony - Y Pan</em>). Nggak mungkin imbang! (Maksudnya setelah diterjemahkan Dr Taleb yang lebih sekolahan: Mungkin sekali asumsi bahwa koin itu imbang merupakan asumsi yang salah dibandingkan kenyataan setelah 99 pelemparan selalu muncul sisi depan.)<br /><br />NNT: Tapi Dr John mengatakan 50 persen.<br /><br />Fat Tony (berbisik di telinga NNT): Saya tahu orang macam ini dengan contoh-contoh aneh dulu waktu saya kerja di bank. Mereka berpikir terlalu lambat. Terlalu pasaran.</em><br /><br />Saya butuh beberapa kali membaca dialog di atas dan akhirnya memutuskan mencari sumbernya di internet. Dr Taleb menyediakan PDF yang bisa diunduh dari <a href="http://www.fooledbyrandomness.com/LudicFallacy.pdf" target="_new">http://www.fooledbyrandomness.com/LudicFallacy.pdf</a>. Saya pelajari tulisan aslinya hingga saya merasa memahaminya. Dr John berpikir sepenuhnya di dalam kotak, sementara Fat Tony sepenuhnya di luar kotak. Saya pikir keduanya bukan sosok ideal. Saya lebih senang sosok yang menguasai dalam dan luar kotak. Dalam definisi Dr Taleb, luar kotak adalah lipatan plato (<em>platonic fold</em>), suatu daerah yang belum dipahami (<em>non-platonic</em>) dan sering kita abaikan karena kita nggak nyaman dengan faktor yang misterius. Alih-alih mengekplorasi area di luar kotak dengan skeptis, kita sering memuaskan diri dengan apa yang sudah kita ketahui saja (<em>platonic</em>).<br /><br />Dalam kasus Fat Tony dan Dr John, walaupun keduanya bukan sosok yang ideal, saya menyimpulkan bahwa Fat Tony lebih baik dari Dr John. Kehidupan sehari-hari lebih sering mengandung banyak hal di luar kotak teori yang tidak steril dari ketidakpastian yang sesungguhnya. Mungkin banyak pembaca The Black Swan mendebat bahwa tidak mungkin ahli statistik seperti Dr John berlaku sangat lugu dan steril seperti itu. Dia pasti akan menguji dulu asumsi bahwa koinnya imbang dengan data empiris bahwa dalam 99 lemparan selalu muncul sisi depan.<br /><br />Memang selayaknya orang sekolahan tetap skeptis dengan apa yang "telah" diketahuinya dan melakukan pengujian empiris untuk mengeksplorasi area yang "belum" diketahuinya, tapi kenyataannya ada (untuk tidak mengatakan banyak - Y Pan) orang sekolahan yang gagal menggunakan prinsip-prinsip ilmiah dalam kehidupan sehari-hari. Kita sering terjebak menggunakan intuisi saja untuk suatu yang mestinya dipikirkan secara mendalam. Dengan <em>instinct</em>, kita sering menggunakan jalan pintas mungkin karena ingin cepat kabur dari buruan binatang buas.<br /><br />Kesalahan yang dilakukan Dr John, disebut kesalahan spontan (<em>ludic fallacy</em>), ternyata dilakukan juga oleh kasino-kasino. Mungkin kita berpikir kasino, apalagi di Amerika, sangat ahli di bidang peluang dan ketidakpastian. Koq bisa kasino dengan lugunya mengatakan koinnya imbang? Di dalam permainan memang koinnya imbang. Dengan koin yang imbang, saking semuanya sudah terhitung akurat, nggak mungkin sebuah kasino rugi dari bisnis judi ini. Yang nggak cerdas adalah para pengunjung kasino! Memang ada orang yang memiliki kemampuan, didukung alat ataupun tidak, untuk mencari keuntungan yang bersifat bukan untung-untungan dari judi di kasino. Orang-orang seperti itu, yang disebut curang, akan diamati dan ditangani sendiri oleh kasino. Pernah lihat kan adegannya di film-film?<br /><br />Lalu di mana letak kesalahan spontan yang dilakukan kasino? Dr Taleb menuliskan dari pengakuan pengusaha kasino sendiri bahwa sumber kerugian kasino bukan dari permainan itu, tapi berasal dari luar yang mereka tidak antisipasi. Contohnya? Pertama, pawang harimau untuk atraksi di kasino diterkam oleh harimaunya sendiri. Kedua, seorang kontraktor kecewa terhadap kasino dan berencana meledakkan kasino itu. Ketiga, pegawai kasino lalai menyampaikan formulir-formulir pajak ke kantor pajak yang mengakibatkan denda yang luarbiasa besar. Keempat, putri pemilik kasino diculik untuk tebusan sejumlah besar uang.<br /><br />Contoh-contoh mengenai kerugian kasino di atas kelihatannya mendorong Dr Taleb dengan sinis mengatakan kasino berjudi dengan dadu yang salah! Artinya permasalahan dalam kehidupan tidak dapat disterilkan seperti ruangan kasino itu sendiri. Menurut Dr Taleb, peluang berjudi di dalam permainan-permainan kasino sih gampang dihitung. JUSTRU ANGSA HITAM BERSEMAYAM DI LUAR KOTAK permainan kasino itu sendiri. Dia ada di kuburan dan tidak terlihat sensasional!<br /><br /><em>* Setelah membaca artikel ini, ada baiknya jika berkenan, Anda baca sendiri buku The Black Swan agar Anda dapat mengidentifikasi konsep asli Dr Taleb dari kata-kata yang saya tambahkan sendiri dan dari kata-kata yang saya tidak suka masukkan di sini.<br /><br />Diinspirasi oleh The Black Swan: Bab 7: Hidup di Beranda Sebuah Harapan (Living in the Antechamber of Hope), Bab 8: Giacomo Casanova yang Terus Beruntung: Masalah Bukti yang Tidak Bicara (Giacomo Casanova's Unfailing Luck: The Problem of Silent Evidence), Bab 9: Kesalahan Spontan, atau Ketidakpastian Si Kutu Buku (The Ludic Fallacy, or The Uncertainty of The Nerd)</em><br /><br />Baca artikel terkait sebelumnya: <a href="http://ypanca.blogspot.com/2010/11/hebatnya-pikiran.html">Hebatnya Pikiran</a><br /></span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-47217909106953032672010-11-13T06:25:00.001+07:002010-11-13T06:28:05.871+07:00Hanya Khutbah BiasaShalat Jum’at kemarin, seperti biasa kalau nggak dinas atau libur, saya ikuti di masjid kantor. Khotibnya Ustadz Muchlis Abdi. Walaupun belum pernah berguru langsung kepada beliau, saya menganggap beliau salah satu guru saya (beliau belum tentu mengakui saya sebagai murid sih, tapi nggak apa – Y Pan). Karena mendekati hari Arafah, topik khutbah seperti biasa penjelasan mengenai keluarga Ibrahim AS. Sudah berkali-kali mendengar khutbah seperti itu, saya pun berpikir ini akan menjadi suatu khutbah biasa.<span class="fullpost"> <br /><br />Sebelum menceritakan kisah keluarga Ibrahim, Ustadz Muchlis memaparkan bahwa ibadah haji adalah satu-satunya ibadah yang bersifat internasional dan terikat dengan tempat tertentu. Beliau menyampaikan bahwa Allah mendesain ibadah haji seperti itu antara lain untuk menjadi contoh nyata bagi seluruh umat manusia perihal akibat yang baik bagi orang-orang yang baik.<br /><br />Kalau Anda membaca artikel saya sebelumnya, <a href="http://ypanca.blogspot.com/2009/12/yang-belum-kebaca.html" target="_new">Yang Belum Kebaca</a> dan <a href="http://ypanca.blogspot.com/2010/11/hebatnya-pikiran.html" target="_new">Hebatnya Pikiran</a>, yang terinspirasi the Black Swan agar kita skeptis terhadap narasi sebab akibat, mohon jangan menganggap saya tidak yakin dengan ajaran agama saya sendiri. Berbeda mungkin dengan Dr Taleb, saya skeptis dengan perkataan siapa saja, tapi tidak jika ia bersumber dari RasululLah SAW, al-Amin.<br /><br />Nah, kembali ke khutbah, Ustadz Muchlis menjelaskan lebih lanjut dengan menapaktilasi teladan keluarga Ibrahim, para peragu yang mengatakan ajaran al-Qur’an hanya teoritis dan hanya bagus dalam lembaran-lembaran tulisannya ditantang dengan bukti-bukti nyata di depan mata. Pergilah kamu ke Mekkah, maka kamu akan melihat bukti-bukti agung itu. Memang sih, kita masih tetap bisa menolak., tapi itu nggak masalah. Tidak ada paksaan dalam agama (keyakinan).<br /><br />Demikianlah kisah dimulai. Ternyata tidak seperti khutbah biasa mengenai keluarga Ibrahim, khutbah ini benar-benar membawaku ke suasana penghayatan. Entah karena cara bertuturnya atau karena latar belakang akademisnya atau karena memang tingkat ruhiyah sang penyampai pesan!<br /><br />Dalam usia yang sudah senja. Rumah tangga Ibrahim belum juga dapat tertawa lepas bersama kehadiran anak-anak yang dicintai. Bukan karena anak-anak itu akan membuktikan kenormalan beliau sebagai laki-laki, tetapi karena anak-anak itu diharapkan dapat melanjutkan perjuangan. Dengan persetujuan istrinya yang pertama, Nabi Ibrahim menikahi seorang perempuan lagi yang masih muda. Karena kehendak Allah jua, setelah itu hamil keduanya. Betapa senang hati beliau.<br /><br />Tiba saatnya, istri pertama Nabi Ibrahim melahirkan seorang anak laki-laki. Anak yang dinanti-nanti. Anak yang membuat keluarga ini dapat tertawa senang. Karena itu, ia diberi nama Ishak. Menyusul berikutnya, istri kedua melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail, yang bermakna doa yang dipenuhi. Situasi kemudian berubah. Terjadilah ketegangan di dalam keluarganya.<br /><br />Setelah mendapatkan instruksi dari Allah, Nabi Ibrahim membawa istri keduanya dan putranya Ismail pergi dari rumah di Kanaa, Palestina bagian selatan, menuju ke arah selatan. Berjalan berbulan-bulan, akhirnya beliau mendapat wahyu agar berhenti di suatu tempat bernama Bakkah, yang bermakna tempat penuh duka. Di tempat itu tidak ada air sedikitpun. Tidak ada tanda kehidupan sama sekali.<br /><br />Ustadz Muchlis tidak menceritakan detil mengenai dialog panjang penuh kesedihan dan perpisahan Ibrahim dengan keluarganya di Bakkah, tetapi tetap saja kata-katanya membuat sulit linangan air mata. Hanya ketika istrinya memahami bahwa ini wahyu Allah Swt, perpisahan tersebut bagaimanapun beratnya terjadi juga. Ustadz tidak menceritakan bagaimana akhirnya sumur Zam Zam muncul di kaki Ismail, tapi cukuplah di benak saya sudah ada cerita itu dan menambah kepedihan perasaan ditinggal di lembah duka.<br /><br />Sepuluh tahun berlalu. Nabi Ibrahim tidak turut membesarkan Ismail, tapi pada saat itu diterimalah wahyu untuk mengunjungi keluarganya di Bakkah. Di pihak lain, karena tidak mungkin hanya mengandalkan air Zam Zam untuk bertahan hidup. Ismail kecil dan ibunya telah terbiasa beredar di kawasan sekitar Bakkah, sekarang Mekkah. Hingga mereka biasa berada di Arafah. Di sinilah Nabi Ibrahim bertemu kembali dengan keluarganya.<br /><br />Betapa bahagia keluarga ini bersatu kembali Tanpa mengikuti tumbuh kembang anaknya, Nabi Ibrahim mendapati anaknya sudah remaja dan berperilaku sholeh. Sungguh suatu ni’mat luar biasa dari Tuhannya. Namun tiba-tiba di Muzdalifah, Nabi Ibrahim mendapat wahyu untuk menyembelih anaknya. Kalau kita disuruh melakukan hal seperti ini, bisa dibayangkan betapa banyak deraian air mata mengalir! Alternatifnya, betapa dahsyat perseteruan dalam keluarga! Berbeda dengan kita, Ibrahim adalah seorang RasululLah.<br /><br />Nabi Ibrahim mendekati anaknya dan menceritakan di dalam mimpinya ia menyembelih anaknya itu. Nabi Ibrahim tentu sudah siap menerima jawaban penolakan dari anaknya, karena ini memang sangat berat. Tanpa disangka, Ismail menjawab, ”Lakukanlah Ayah apa yang diperintahkan itu, insya Allah engkau dapati aku termasuk orang-orang yang sabar.” SubhanalLah!<br /><br />Berdua, mereka kemudian mengajukan hal ini ke Ibunda Ismail. Kali ini Nabi Ibrahim pun telah siap menerima jawaban penolakan dari istrinya. Wong dia nggak merasakan suka duka membesarkan anak ini. Tanpa disangka, Ibunda Ismail juga membenarkan Nabi Ibrahim. Begitulah seorang Rasul dan keluarganya. Ismail mengajukan tiga permintaan terakhir. Ibundanya juga mengajukan satu permintaan.<br /><br />Ismail meminta agar pedang yang digunakan untuk menyembelih benar-benar diasah setajamnya agar tidak terlalu sakit, walaupun tetap sakit. Kemudian, yang kedua, ia meminta matanya ditutup agar sang ayah tidak merasa iba dan ragu. Yang terakhir, baju yang dikenakan yang akan berlumuran darah dimintanya untuk diserahkan ke Ibundanya sebagai kenang-kenangan. Oh, betapa mengharukan! Sementara itu, Ibunda Ismail meminta diri untuk tidak mengikuti prosesi penyembelihan. Maka tinggallah ia di Muzdalifah. Di dalam manasik, kita mabit di sini sebelum ke Mina.<br /><br />Nabi Ibrahim dan Ismail (yang kemudian menjadi salah seorang RasululLah juga dan kemudian melahirkan Nabi Muhammad SAW) pergi mencari tempat pelaksanaan penyembelihan. Di jalan mereka menemui hambatan dari setan yang kemudian mereka hadapi secara fisik dengan melemparinya. Tempat kejadian itu sampai sekarang menjadi situs jamarat, tempat jemaah haji melempari setan! Akhirnya ditemukan juga lokasi yang sesuai di Mina.<br /><br />Mata Ismail sudah ditutup, pedang sudah dibuka dari sarungnya, pelipis Ismail telah diletakkan di tanah... oh... Nabi Ibrahim meletakkan pedangnya di tempat yang paling tepat agar darah deras mengucur yang akan menyebabkan kematian Ismail... oh... Nabi Ibrahim menggerakkan tangannya dan mengucur deraslah darah... oh... Nabi Ibrahim masih memejamkan matanya karena tidak tega... oh...<br /><br />Bagaimana kalau saya yang disuruh melakukan ini terhadap anak yang dinanti-nanti? Ya Allah, jadikanlah aku mencintai anak-anakku karena Engkau, bukan hanya karena mencintai mereka saja. Ya Allah, jadikanlah aku tidak terlalu mencintai anak-anakku sehingga melampaui cintaku pada-Mu. Padahal aku sangat mencintai mereka... Dan tiap kali aku melihat wajahnya dan rasa cinta itu membuncah, aku bersyukur dan berdo’a agar cinta itu membawa kami ke surga.<br /><br />Akhirnya, Nabi Ibrahim mendengar suara gaib yang menjadi klimaks yang mengharukan. Ternyata yang disembelihnya adalah seekor Qibas yang gemuk, sementara Ismail berdiri di depannya tanpa kurang suatu apapun. Allahu akbar wa lilLahi l-hamd.<br /><br />Heran... walaupun sudah berulangkali mendengar kisah ini, selalu saja keharuan tidak dapat ditahan. Bahkan kali ini, seperti yang saya katakan di atas, entah karena cara bertuturnya atau karena latar belakang akademiknya atau karena tingkat ruhiyah sang penyampai pesan, keharuan kali ini lebih mendalam. Ya Allah selamatkanlah keluargaku dan masukkanlah kami ke dalam surga-Mu, amin.<br /><br />Dengan kondisi ruhiyah yang sangat kondusif, tidak sulit sama sekali untuk menerima suatu pelajaran yang dieksplisitkan oleh Ustadz Muchlis Abdi di akhir khutbah pertamanya. Dalam situasi negeri yang sangat memprihatinkan, kita hendaknya meneladani keluarga Ibrahim. Kalau tidak dapat memperbaiki, minimal jangan membuat kerusakan!<br /><br />Mengangkat negeri dari krisis yang tidak habis-habis dapat menjadi kontribusi dan upaya kita, tapi kita tidak dapat melakukannya kalau kita masih berada di tataran materi alias kita masih materialistis atau matrek. Kita bisa ikut berkontribusi dalam perbaikan masyarakat hanya jika kita sudah berada di tataran spiritual, seperti keluarga Ibrahim!<br /><br /><span style="font-style:italic;">* Sebagaimana biasa, setelah shalat, dilakukan pendalaman materi khutbah. Sebenarnya menarik. Ada tiga pertanyaan. Salah satunya mengenai kontroversi penentuan Hari Raya, tapi tulisan ini sudah terlalu panjang...</span><br /><br />Baca juga cerita:<br /><a href="http://ypanca.blogspot.com/2010/07/kekuatan-cerita.html">Kekuatan Cerita</a><br /><a href="http://ypanca.blogspot.com/2009/11/qurban-memaknai-syukur.html">Qurban Memaknai Syukur</a><br /><a href="http://ypanca.blogspot.com/2009/09/cerita-jenaka.html">Cerita Jenaka</a> dari kyai yang sedang mendapatkan ujian karena wanita (kita doakan agar masalah beliau segera selesai)<br /></span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-70606978656513018652010-11-07T15:30:00.001+07:002010-11-11T11:31:42.755+07:00Hebatnya PikiranPernah nggak kita sekilas melihat teman kita di balik tikungan? Baru hidungnya yang kelihatan, kita udah tahu itu si fulan. Kemampuan ini sangat canggih, sampai-sampai komputer paling canggih yang memiliki kemampuan <span style="font-style:italic;">image processing</span> paling canggih di dunia iri sekali.<span class="fullpost"> <br /><br />Kemampuan mengenali pola katanya berada di bagian kiri otak kita. Saya sendiri tidak terlalu peduli dengan kategori otak kiri, otak kanan, bahkan belakangan ini otak tengah. Yang jelas manusia, alhamdulillah, diberi karunia yang luarbiasa. Kalau nggak seperti itu, mungkin pas kita berpapasan dengan anak atau istri kita, kita butuh beberapa menit atau malah satu jam lebih untuk mengenalinya. Hehehe, dengan kondisi seperti itu, umur kita yang rata-rata di sekitar 60 tahun nggak akan cukup untuk menambah nilai dan memberi manfaat bagi sesama karena sibuk mengenali penampakan.</span><br /><br />Saking efisiennya cara kerja pikiran kita, bukan perkara yang sulit bagi kita untuk membedakan berbagai spesies binatang dan tumbuhan. Untuk kita orang awam, mungkin sudah cukup mengenali perbedaan kucing dan jaguar, ulat dan ular, kadal dan komodo, lalat dan lebah, dan seterusnya. Untuk para ahli, tingkatnya sampai membedakan hal yang sangat detil, misalnya perbedaan dalam bentuk taringnya atau cara bertelurnya atau bunyi khasnya, hehehe.<span class="fullpost"> <br /><br />Kemampuan pengenalan pola tidak hanya terbatas pada perkara fisik saja, tapi juga kita gunakan untuk perkara-perkara yang lebih abstrak dan tidak fisik sifatnya. Misalnya waktu tes psikologi, kita disuruh menebak angka apa yang muncul berikutnya setelah kita diberikan sederet angka. Bukan cuma angka, malah ada juga tes pola gambar tertentu, misalnya setelah garis, segi tiga, dan segi empat, kita diminta menebak yang berikutnya. Ada juga pola kata-kata, apakah itu analogi, lawan kata, ataupun sinonim. Nah, kemampuan mengenali dan memahami ini kemudian dijadikan salah satu indikator tingkat kecerdasan seseorang.<br /><br />Melanjutkan contoh-contoh di atas, tanggapan kita kepada fenomena alam juga sangat didukung oleh kemampuan kita dalam mengenali pola berdasarkan pengalaman. Kalau mendung di langit Jakarta sudah berat banget, ditambah angin yang bertiup tak henti-henti, pertanda banjir... eh salah... genangan air akan menyebabkan macet di mana-mana. Contoh lain? Status Merapi dari waspada, siaga, menjadi awas, dan kemudian diikuti perluasan area berbahaya juga sepenuhnya perkara pengenalan pola yang membuat antisipasi bencana menjadi lebih baik, walaupun ada sebagian kalangan yang mengikuti kategori bahaya dari juru kunci, bukan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana.</span><br /><br />Jika kita terus menambah cakupan dan kompleksitas masalah, misalnya yang berhubungan dengan interaksi sosial, otak kita tetap saja bekerja dengan efisien. Sampai-sampai kita dapat segera mengenali aliran atau mazhab seseorang dari cara bicaranya, atau cara shalatnya, atau posting-posting yang dikirimnya ke milis, atau bahkan komentarnya terhadap posting tertentu.<span class="fullpost"> Di tim kami, kalau ada dokumen penting yang tidak berada di tempat yang seharusnya, perhatian langsung mengarah kepada sosok yang sudah dicap suka, lebih tepatnya pernah, meminjam arsip tanpa mengembalikan, padahal belum tentu beliau yang salah, hehehe (maaf Mas, cuma buat ilustrasi).<br /><br />Satu ilustrasi lagi mari kita ambil dari tanah Paman Sam. Di Amerika, opini atau tulisan yang berpihak ke Republik dan yang ke Demokrat cukup mudah dibedakan. Yang agak sulit dibedakan mungkin sikap moderat yang ngambang di tengah. Porsi kelompok moderat yang bisa <span style="font-style:italic;">swing</span> ke Demokrat maupun Republik menurut laporan justru lebih besar daripada porsi orang Amerika yang secara definitif mencap diri sendiri sebagai konservatif (cenderung ke Republik) maupun liberal (cenderung ke Demokrat), tapi publik hanya tahu dua partai saja (memang ada yang lain, tapi sungguh tidak signifikan – Y Pan).<br /><br />Menurut pemahaman saya, liberal lebih ke kiri (lebih sosialis) dalam ideologi, sedangkan konservatif lebih ke kanan (sangat ekstrem pro pasar dalam kebijakan ekonomi yang kurang percaya pada redistribusi kekayaan melalui pajak). Saya mengira publik Amerika sudah muak dengan ideologi ultra liberal dalam ekonomi yang sangat menguntungkan orang-orang yang super kaya yang jumlahnya di bawah 1%, seperti ditunjukkan Bush dalam dua periode kepemimpinannya. Saya kaget ternyata hanya butuh dua tahun, di pemilu sela 2010, partai Presiden Obama mengalami kekalahan telak di DPR (House), walaupun masih mendominasi DPD (Senat). Rupanya ada yang keliru! Kenyataan terlalu rumit untuk dijelaskan dengan teori atau cerita sederhana.<br /><br />Dari sedikit contoh di sini, kita sudah dapat melihat bahwa pengenalan pola yang kita lakukan bisa salah. Lebih parah lagi, dalam kasus tertentu, sikap yang kaku menambah faktor risiko. Akibatnya bisa fatal, seperti kesalahan dalam menanggapi bahaya Gunung Merapi. Akibat lain, misalnya, seseorang atau suatu kaum kita perlakukan tidak adil, karena kebencian yang sangat dan karena cap yang sudah kita berikan secara serampangan.<br /><br />Menurut Nassim Nicholas Taleb, kesalahan seperti ini disebut kesalahan naratif (lihat juga artikel sebelumnya <a href="http://ypanca.blogspot.com/2009/12/yang-belum-kebaca.html" target="_new">Yang Belum Kebaca</a>). Saya sih lebih senang menamakannya kesalahan dalam berteori. Ini disebabkan kita kurang peka membedakan proses memahami dengan proses menjelaskan. Sekali kita berteori atau membangun cerita yang masuk akal, seketika itu pula pemahaman kita bias mengikuti kecenderungan kita dalam membuat penjelasan.<br /><br />Baru-baru ini di koran saya menemukan satu contoh cara belajar induktif yang menggelikan dari Bang Foke. Beliau menyatakan fenomena curah hujan akhir-akhir ini tidak dapat diprediksi, karena tahun lalu rata-rata curah hujan bulan-bulan ini di Jakarta 0... ya NOL mm. Hihihi, sebelum mengambil kesimpulan itu, baiknya Bang Foke menambah dulu sampelnya, dengan data sepuluh tahun kek atau malah data curah hujan seabad ke belakang. Kalau perlu, beliau dapat menambahkan faktor atau dimensi lain, misalnya apakah ada badai tropis.<br /><br />Memang prediksi tetap tidak dapat sepenuhnya akurat walau dengan variabel dan sampel yang lebih banyak, tapi penjelasan Bang Foke kesannya terlalu lugu. Kayaknya Dr Nassim Taleb harus datang sendiri ke Jakarta untuk meluruskan pola berpikir beliau. Kita berharap beliau suatu saat tidak lagi berkata bahwa tidak ada tuh angsa hitam karena tahun lalu sama sekali tidak ada. <br /><br />Pertanyaannya adalah mengapa Bang Foke dan kita semua, termasuk saya, gampang sekali terjebak dalam kesalahan berpikir seperti ini. Seperti disinggung di atas, otak kita secara biologis membutuhkan pola untuk mengingat lebih banyak informasi. Artinya pikiran kita senang mendapatkan suatu yang terpola. Di sini jebakannya. Alih-alih mendapatkan pola dari kenyataan yang sebenarnya, pikiran kita sering tertipu oleh sesuatu yang seolah terpola, padahal tidak. Nah, cerita atau teori terhadap bias berpikir seperti bensin terhadap api.<br /><br />Dalam salah satu bagian bukunya, Dr Taleb mengutip novelis E. M. Forster perihal kisah wafatnya Raja dan Ratu. Coba telaah dua narasi berikut. Pertama: Raja wafat dan Ratu pun wafat. Kedua: Raja wafat, dan belakangan Ratu meninggal karena berduka. Pikiran kita cenderung lebih tertarik dengan yang kedua, karena ia “lebih bercerita” dari yang pertama. Ia mengandung pola sebab akibat.<br /><br />Masalah dengan narasi kedua adalah walaupun narasinya mengandung lebih banyak kata-kata (informasi), sesungguhnya narasi ini telah tereduksi. Seolah-olah Ratu memang wafat karena berduka, padahal bisa saja ada faktor atau dimensi lain. Sama seperti Bang Foke, seolah-olah curah hujan hanya ditentukan curah hujan tahun lalu di bulan-bulan yang sama. Malangnya, karena ceritanya lebih mudah dijejalkan ke otak kita, penjelasan yang bias seperti ini justru mudah dijual. Wartawan yang katanya sangat kritis pun ikut menjual alasan Bang Foke atas ketidaksiapannya mengantisipasi banjir.<br /><br />Masak sih Bang Foke demikian lugunya? Begitu mungkin Anda membelanya. Kan dia itu doktor dan penyandang titel kesarjanaan lainnya? Ya begitulah. Bahkan profesor internasional yang ditemui Dr Taleb pada suatu konferensi estetika di Roma tahun 2004 dengan mudah terjebak oleh kesalahan naratif ini. Ketika itu, sang profesor memuji-muji wawasan Dr Taleb tentang ketidakpastian. Seketika kemudian sang profesor menunjukkan sebab mengapa Dr Taleb dapat berwawasan seperti itu: karena ia dibesarkan di Timur Tengah yang ortodoks dibandingkan komunitas Protestan yang mengajarkan sebab-akibat antara usaha dan ganjaran.<br /><br />Hehehe, banyak contoh yang dituliskan Dr Taleb dalam bukunya The Black Swan mengenai kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh banyak orang terdidik, termasuk ahli statistik yang sama sekali melupakan prinsip-prinsip statistik ketika berhadapan dengan persoalan sehari-hari. Jadi Bang Foke nggak perlu malu.<br /><br />Bukan cuma Bang Foke. Wartawan juga nggak perlu malu. Dr Taleb mengungkap Bloomberg News suatu hari di bulan Desember 2003 mengaitkan naiknya US Treasuries dengan sebab tertangkapnya Saddam Hussein. Suatu yang sensasional! Setengah jam kemudian Bloomberg News mengaitkan turunnya US Treasuries dengan musabab tertangkapnya Saddam. Koq bisa? Begitulah manusia, bahkan yang mengaku ahli. Kita bisa membuat kesalahan yang lebih parah.<br /><br />Mengapa otak kita menyukai narasi walaupun bias? Ketika kita sudah menyusun teori atau narasi – dan itu secara biologis cenderung kita lakukan bahkan tanpa sadar – kita kemudian dapat mengingat lebih jelas fakta-fakta yang cocok dengan narasi itu sembari melupakan sama sekali fakta lain yang tidak cocok. Ini memberi kita keyakinan yang bikin nyaman! Sayangnya keyakinan itu kadang keliru. Untuk menghindari jebakan kesalahan naratif ini, dalam proses berpikir kognitif, kita wajib waspada terhadap intuisi yang sering tanpa sadar kita gunakan, terutama ketika masalahnya di wilayah Extremistan.<br /><br />Intuisi memang sangat efisien, cepat, dan kadang sensasional (baca juga salah satu buku favorit saya, Blink oleh Malcolm Gladwell, dan saya suka menggunakan intuisi – Y Pan), seperti ketika melihat hidung si fulan di balik tikungan. Seperti juga ketika seorang polisi terlibat dalam situasi tembak menembak yang kritis dengan penjahat yang membuatnya hanya melihat obyek penjahat saja dan “buta” dari yang lainnya. Seperti ketika kita langsung ingat bahwa Ratu wafat karena berduka.<br /><br />Nah, lain kali ketika hendak menyimpulkan sesuatu, jangan mudah terjebak dengan narasi. Ketika hendak mengatakan semua kekacauan ini disebabkan oleh Inggris, introspeksi dulu. Ketika hendak mencap seseorang sebagai penganut aliran tertentu dan kemudian hendak mencap aliran tertentu itu sangat berbahaya, coba ambil wudlu, duduk, dan berhenti mengambil kesimpulan!<br /><br /><span style="font-style:italic;">* Setelah membaca artikel ini, ada baiknya jika berkenan, Anda baca sendiri buku The Black Swan agar Anda dapat mengidentifikasi konsep asli Dr Taleb dari kata-kata yang saya tambahkan sendiri dan dari kata-kata yang saya tidak suka masukkan di sini.<br /><br />Diinspirasi oleh The Black Swan: Bab 4: Seribu Satu Hari, atau Bagaimana Supaya Tidak Mudah Tertipu (One Thousand and One Days, or How Not to Be a Sucker), Bab 5: Konfirmasi Informasi (Confirmation Shmonfirmation!), Bab 6: Kesalahan Naratif (The Narrative Fallacy)</span><br /><br />Baca artikel terkait sebelumnya: <a href="http://ypanca.blogspot.com/2009/12/yang-belum-kebaca.html">Yang Belum Kebaca</a><br /></span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-86138786476380278612010-10-25T15:51:00.001+07:002010-10-25T16:04:03.506+07:00Masalah Ekonomi DuniaSatu dekade lalu, masalah krisis ekonomi pasti mengarahkan perhatian seluruh dunia ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Saat ini, kalau bicara mengenai masalah ekonomi, perhatian justru mengarah ke negara-negara maju, terutama AS dan negara-negara Eropa. Pemulihan ekonomi yang terjadi katanya berjalan lambat di negara-negara maju, sementara di negara-negara berkembang, terutama Asia, lebih cepat. Para ekonom konon khabarnya sedang berdiskusi hangat mengenai kebijakan baru untuk menyeimbangkan kembali ekonomi yang gonjang-ganjing terkena tsunami yang berpusat di AS.<span class="fullpost"> <br /><br />Kebijakan baru yang sangat bertolak belakang dengan sebelumnya harus bersifat multilateral dan butuh koordinasi antar negara dan wilayah. Katanya untuk mencegah <em>regulation arbitrage</em>. Hehehe, jangankan melangkah bersama, dulu ekonom berpikir bahwa tidak perlu upaya bersama yang terkoordinasi . Pasar pasti akan mengkoreksi ketidakseimbangan. Bahkan intervensi harus seminimal mungkin. Rupanya perkembangan ekonomi dan sistem keuangan dunia akhir-akhir ini sepenuhnya di luar perkiraan para ekonom dan ahli keuangan pada masa itu. Kemungkinan besar sih sudah ada yang sadar, tapi entah kenapa, mungkin karena faktor ideologi, kegilaan dibiarkan sedemikian parah. Para penari di sektor keuangan tidak akan berhenti menari sepanjang musiknya masih hidup. Tariannya semakin dan semakin liar dan akhirnya sampai juga pada suatu titik musiknya mesti dimatikan. Titik. Suka atau tidak.<br /><br />Ekonom senior Indonesia yang lama malang melintang di AS (saya nggak berani mengutip namanya karena tulisan ini nggak level untuk beliau, walaupun saya sangat bangga dengan beliau) di suatu konferensi internasional yang diselenggarakan bank sentral baru-baru ini, menyatakan kini saatnya para ekonom dengan rendah hati mengakui keterbatasan konsep-konsep mereka selama ini. Beliau menjelaskan dengan gamblang masalah aliran dana yang bersifat “<em>round tripping</em>” yang bikin proses intermediasi antar wilayah surplus dengan wilayah defisit menjadi tidak efisien. Semuanya mesti terkumpul dulu di AS untuk kemudian kembali lagi ke wilayah asal. Nah, konon ceritanya instrumen keuangan yang ada sangat tidak memadai untuk mendorong investasi yang lebih efisien di sektor riil. Jadi, nggak heran kemudian kalau ada tuntutan untuk mereformasi sistem keuangan, sampai ke instrumen-instrumennya.<br /><br />Ah, masak sih? Coba kita lihat lagi prestasi sektor keuangan global selama ini.<br /><br />Bukankah para praktisi perbankan dan sistem keuangan secara umum telah begitu sukses menghadirkan pertumbuhan yang luar biasa? Karenanya mereka menikmati juga berbagai insentif dari prestasi tersebut, baik insentif dari penguasa maupun dari pasar itu sendiri. Krisis keuangan global yang ditandai dengan runtuhnya raksasa keuangan dunia membuka mata semua orang bahwa dinamika sektor keuangan lebih dipicu oleh perilaku pengambilan risiko yang kian berisiko. Judi! Pasar memang menghargai perilaku spekulasi tersebut. Ironisnya pihak yang berwenang membiarkannya dan justru mendorongnya lebih jauh, melalui mekanisme pengamanan yang bersifat fatamorgana, seperti sekedar <em>deposit insurance</em>. Belum lagi di sektor keuangan terdapat mentalitas <em>too big to fail</em>. Yang paling parah, pihak berwenang seolah tidak mau kelihatan bodoh dengan mempertanyakan inovasi-inovasi di sektor keuangan yang makin rumit dan tidak jelas. Alasannya pasar pasti dapat menilai suatu produk keuangan. Ternyata pasar salah menilai!<br /><br />Ah, masak sih? Kayaknya masih sulit dipercaya.<br /><br />Coba deh perhatikan tingkat keuntungan industri keuangan dan industri sektor riil. Dapat dipastikan tingkat keuntungan (<em>return</em>) di sektor keuangan jauh lebih tinggi. Lebih dari itu, dalam setengah abad terakhir, pertumbuhan sektor keuangan jauh melampaui pertumbuhan sektor riil. Sebelum itu, menurut statistik yang saya perhatikan sambil lalu di seminar, pertumbuhan sektor keuangan seiring sejalan dengan pertumbuhan sektor riil. Kesimpulannya, dulu sektor keuangan layak disebut industri jasa (<em>service industry</em>) karena bermanfaat untuk pelanggannya, yaitu sektor riil, namun sekarang sektor keuangan lebih cocok disebut industri yang melayani diri sendiri (<em>self-serving industry</em>). Ini yang disebut-sebut sebagai tipuan sektor keuangan (<em>financial sector fallacy</em>). Hehehe pilihan kata terjemahannya berat ya? Tapi begitulah adanya. Nah, untuk itulah diperlukan apa yang disebut regulasi prudensial secara makro, untuk melengkapi regulasi prudensial secara mikro yang sudah ada.<br /><br />Kalau di Indonesia, regulasi secara mikro saat ini dilakukan oleh Bapepam dan Bank Indonesia. Menurut UU, regulasi mikro ini akan diselenggarakan oleh lembaga baru yang disebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Di semua negara, regulasi prudensial makro, berbeda dengan kebijakan ekonomi makro baik fiskal maupun moneter, belum merupakan praktik yang ajeg. Sebetulnya, prinsipnya sederhana, yaitu untuk mencegah perilaku pengambilan risiko yang berlebihan. Kalau di jalanan kota-kota di Indonesia, nama kerennya polisi tidur atau <em>speed bump</em>. Siapa yang berwenang? Kalau bicara jalanan, harusnya polisi atau dishub. Kenyataannya, hampir setiap orang bisa bikin polisi tidur. Aneh! Hehehe, balik ke masalah di sektor keuangan, tentunya perlu juga lembaga pengatur polisi tidur sektor keuangan. Pemerintah? Bank sentral kayaknya lebih tepat! Dan harus terkoordinasi secara global.<br /><br />Saya pribadi melihat perkembangan sistem ekonomi dan keuangan akhir-akhir ini cukup menggembirakan. Bukan karena krisisnya, tapi karena tanggapan ekonom dan ahli keuangan yang cenderung membalikkan arah “kebijakan” selama ini. Pasti tetap ada yang kaya dan ada yang miskin. Itu sunatullah. Bahkan di teritori ekstremistan menurut Nassem N Thaleb, orang yang berhasil seperti Bill Gates dan Steve Jobs cenderung super kaya banget. <em>The winners take all</em>. Jumlah mereka sangat sedikit dengan sebagian besar profit dan kekayaan. Cocok kan dengan sektor keuangan? Salah! Kalau di sektor keuangan, <em>the winners take all and more</em>. Orang lain, pembayar pajak misalnya, rugi menanggung kelakukan spekulatif mereka. Dengan konsep dan kebijakan yang berbalik arah, wilayah ekstremistan di sektor keuangan haram hukumnya melebihi dinamika ekstremistan di sektor riil. Malah mungkin harus lebih konservatif, mengarah ke mediokristan sedikit.<br /><br />Caranya gimana? Ya belum tahu... Ekonom dan ahli keuangan, baik praktisi maupun akademisi, saja belum bisa menjawab semuanya. Konferensi internasional yang saya singgung di atas, menurut pengakuan salah seorang moderatornya, merupakan tempat mendiskusikan masalah dan wacana. Solusinya masih harus dipikirkan setelah pulang ke rumah! Artinya apa nih? Ya, reformasi sektor keuangan dan regulasi prudensial secara makro, baik institusi maupun instrumennya, masih perlu dipikirkan lagi lebih mendalam, terlebih lagi katanya diperlukan kesepakatan internasional, Basel III atau Basel IV, hmm. Wah, susah juga ya. Kalau geraknya nggak cepat, <em>status quo</em> akan tetap bertahan dalam waktu yang cukup lama, takutnya krisis berikutnya terlanjur terjadi! Wow, kalau yang kemarin disebut <em>melting down</em>, yang berikutnya bisa-bisa <em>bursting up</em>... ih ngeri.<br /><br />Mungkin saatnya nih ekonom dan ahli keuangan syariah menunjukkan jalan pencerahan. Sayangnya di konferensi yang saya sebut di atas, nggak ada tokohnya baik dari timur maupun barat yang hadir. Nggak diundang kali?<br /><br />Baca cerita lain:<br /><a href="http://ypanca.blogspot.com/2009/03/bankir.html">Bankir</a><br /><a href="http://ypanca.blogspot.com/2008/12/dunia-perlu-di-restart.html">Dunia Perlu Di-Restart</a><br /><a href="http://ypanca.blogspot.com/2008/10/kebijakan-berbalik-arah.html">Kebijakan Berbalik Arah</a><br /><a href="http://ypanca.blogspot.com/2008/10/menggugat-warisan-greenspan-1.html">Menggugat Warisan Greenspan</a><br /></span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-58153915790289853412010-09-28T05:58:00.000+07:002011-02-02T21:18:23.962+07:00Maafkan DuluKadang-kadang saat kita capek, anak-anak yang kita sayangi malah bikin gara-gara. Pertama, dia mungkin hanya menunjukkan manjanya. Karena tidak mendapat cukup perhatian, kemudian dia mengeskalasi aksinya. Darah mulai panas dan makin panas. Akhirnya dia bikin darah kita mendidih. Anak ini harus diperbaiki. Caranya? Penalti atau sanksi!<span class="fullpost"><br /><br />Dulu waktu belum pengalaman mendidik dan belum cukup pengetahuan, penalti berupa pukulan walaupun ringan sering jadi senjata pertama. Sungguh menyesal rasanya begitu mudah menyakiti buah hati sendiri. Sejak memahami hukuman berupa time-out, anak kedua kami sampai yang kelima sekarang nyaris bebas dari pukulan fisik. Hukuman duduk di pojok, duduk di kursi lengket, atau kurungan kamar terasa cukup efektif sebagai sarana pengendalian. Sesekali hukuman fisik saya terapkan juga.<br /><br />Nah, suatu saat anak kelima kami yang masih balita bikin ulah. Entah gara-gara apa, dia akhirnya didiamkan oleh istri saya. Memang anak bungsu kami ini termasuk jarang terkena time-out. Sebagiannya mungkin karena dia lebih anteng dari kakaknya. Sebagian lain mungkin kami terkena sindrom memanjakan anak bungsu. Karena didiamkan terus oleh ibunya, akhirnya dia masuk ke modus akhir, yaitu nangis sekeras-kerasnya dan nggak putus-putus.<br /><br />Hehehe, rasanya kesal banget waktu itu. "Ayolah Dik, penuhilah apa maunya anak ini." Demikian saya coba bujuk istri, soalnya si anak nggak mau deal sama siapa-siapa, kecuali ibunya. Akhirnya terungkap juga. Rupanya anak ini sempat menyakiti ibunya. "Dia harus minta maaf dulu," demikian kata istri saya. Ah, rupanya sanksi yang diterapkan istri adalah kewajiban Ahmad untuk minta maaf dulu. Ya, memang kita harus menanamkan nilai-nilai penghormatan kepada orangtua.<br /><br />Sementara itu, suasana belum reda juga. Anak bungsu kami rupanya sudah mengunci modusnya, nangis keras-keras. Akhirnya ibu mertua saya yang kebetulan sudah beberapa hari di rumah kami berkata ke istri saya, "Maafkanlah. Maafkan dulu." Setelah istri saya melepaskan kekesalannya dengan memaafkan, meskipun mungkin baru sebagian, si anak akhirnya bisa dibuat berhenti menangis. Koreksi kemudian baru mungkin dilakukan.<br /><br />Cerita di atas terjadi kurang lebih setahun lalu. Berbulan-bulan kemudian, tepatnya hari ke-29 Ramadhan lalu, saya mengikuti kuliah dzuhur di masjid kantor. Kata ustadz, kita bisa membalas perlakuan buruk orang lain dengan yang setara, tapi akhlak yang lebih baik adalah jika kita memaafkan. Yang lebih baik lagi adalah jika setelah memaafkan kita melakukan perbaikan. Misalnya, kalau mobil kita diserempet, kita maafkan saja, lalu kita ingatkan besok-besok jangan begitu lagi.<br /><br />Rupanya contoh itu nggak terasa mengacu ke kejadian serempetan antar alumni perguruan tinggi terkemuka di Jakarta dengan alumni perguruan tinggi terkenal di Bandung. Waktu dengerin ceramah, saya nggak langsung sadar, mungkin sebagian karena lapar. Setelah saya ingat-ingat isi kuliah dzuhur itu di rumah, ngertilah saya sang ustadz dengan cara yang sangat halus menyindir banyak atau bahkan sebagian besar pengguna jalan yang bermaksud memperbaiki kelakuan orang lain.<br /><br />Saya sering kesal di jalan ketika pengendara lain berperilaku seenaknya. Rasanya ingin sekali memperbaiki kesalahan itu. Saya juga sering kesal kalau di kantor ada rekan yang seolah ingin bikin masalah terus. Ingin rasanya mengkoreksinya. Di rumah juga begitu. Di toko, di restoran, di antrian bank, di kantor layanan pemerintah, di masjid dekat rumah, di sekitar rumah, dan seterusnya dan seterusnya.<br /><br />Kesal mungkin kosakata yang negatif untuk Anda. Sebaiknya saya ganti dengan kata peduli. Peduli kemudian menimbulkan aspirasi untuk perbaikan. Namun demikian, ketika tindakan koreksi diambil tanpa memaafkan terlebih dulu, betapapun positif kata peduli itu, lebih sering malah timbul masalah baru. Justru orang yang mau kita tuntut tanggung jawabnya itu serta merta menuntut balik ke kita, bahkan menyalahkan dan mencela kita.<br /><br />Siklus saling mencela itu mudah sekali kita lihat di sekitar kita. Aliran atau mazhab yang satu mencela aliran yang lain. Itu dibalas dengan celaan lagi. Eskalasi sertamerta terjadi. Salah-salah malah jadi adu tonjok, seperti yang dialami dua pengemudi yang serempetan itu. Malah eskalasinya menyebar ke milis alumni. Untung masalahnya tidak berkepanjangan. Karena apa? Karena ada maaf.<br /><br />Nah, kalau kita bicara lebih spesifik mengenai perselisihan khilafiah antar mazhab Islam, rindu sekali kita akan suatu diskusi yang santun. Miris rasanya kita menyaksikan aksi saling hujat. Bahkan saling hujat ulama masing-masing, padahal ulama-ulama yang dihujat itu telah berijtihad dan bekerja. Yang lebih sedih lagi, perselisihan ini mudah sekali menimbulkan kesan negatif terhadap Islam.<br /><br />Alangkah indahnya ketika dialog atau bantahan yang dilakukan benar-benar dilakukan dengan cara yang baik. Jika ada yang tidak bisa diselesaikan lewat dialog, biarlah jalur yang disediakan pihak berwenang yang menjadi saluran utama penyelesaiannya, tentu dengan kelapangan dada menerima perbedaan yang belum dapat disatukan itu.<br /><br />Akhirnya, kita tetap perlu menyadari bahwa usaha perbaikan dalam banyak hal tidak langsung efektif hanya dengan satu-dua tindakan. Makanya dibutuhkan banyak sekali kesabaran. Satu truk nggak cukup! Untuk itu, mudah memaafkan mesti jadi bagian karakter kita. Seperti akhlak Nabi Muhammad SAW -lah. Walaupun sikap mudah memaafkan pihak lain dapat dimanfaatkan atau dimanipulasi oleh pihak lain tersebut, jelas ia jauh lebih baik dibandingkan sikap mudah menyalahkan dan mencela!<br /></span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5624112951582714588.post-75398710634180266182010-09-25T05:32:00.001+07:002010-09-28T05:52:55.434+07:00Di Luar atau DiluarSeorang pengunjung blog ini, Mas Fajar mengajukan mana yang betul...<br /><br />di luar atau diluar<br /><br />Saya memang belum pernah membahas masalah ini yang menurut saya memang tidak bisa hitam-putih begitu saja. Sementara, saya menganggap dua-duanya dapat digunakan. Lho koq pragmatis banget? Ya, kesannya pragmatis, tapi sebetulnya alasannya tidak pragmatis. Begini alasan saya...<span class="fullpost"><br /><br />Kata dasar luar sesungguhnya menunjukkan tempat, sebagaimana dalam, atas, bawah, depan, belakang, samping, kiri, dan kanan. Aslinya begitu, tapi penggunaannya terkadang agak samar. Misalnya, kita sering mengatakan, "Di samping itu, ada masalah yang lebih penting." Nah, kata samping dalam kalimat ini bernuansa tempat, walau agak samar. Maksudnya bukan tempat secara fisik, tapi "tempat" dalam tataran ide yang lebih abstrak.<br /><br />Nah, mengikuti argumen di atas, bisa disimpulkan bahwa penggunaan frasa-frasa di bawah ini tul-betul-betul belaka.<br />di dalam<br />di atas<br />di bawah<br />di depan<br />di belakang<br />di samping<br />di kiri<br />di kanan<br /><br />Inilah aturan aslinya, dan dalam hal ini, "di" adalah kata depan. Kalau begitu, diluar keliru dong. Ok, menurut aturan asli memang keliru, tapi pernah mungkin kita bertanya-tanya apakah kata "into" dan "onto" dalam Bahasa Inggris aslinya memang begitu. Ternyata tidak! Mereka berasal dari "in to" dan "on to" yang kemudian digabung. Penggabungan kata seperti ini dikenal juga dalam tata bahasa kita.<br /><br />Contoh penggabungan dua kata... Dua kata "orang tua" menjadi "orangtua" yang artinya bukan sekedar orang yang sudah tua, tapi ayah atau ibu atau pendahulu kita. Dua kata "ke luar" menjadi "keluar" yang bukan hanya berarti ke arah luar, tapi suatu aktivitas atau kerja. Bahasa Arabnya khoroja dan Bahasa Inggrisnya exit. Malah turunannya ada lagi, seperti mengeluarkan dan dikeluarkan.<br /><br />Kasus "di luar" menjadi "diluar" mirip kasusnya dengan "out side" menjadi "outside" ya nggak? Tapi diluar bukan dibentuk dari awalan di- dan suatu kata kerja, karena luar bukan kata kerja sama sekali meskipun bisa aja kemudian diikuti kata kerja atau kata-kata yang bernuansa aktivitas. "Di" tetap saja asalnya adalah kata depan yang digabung dengan "luar" yang merupakan kata bernuansa tempat. "Diluar" seperti "outside" menjadi satu kata sendiri.<br /><br />Nah, jebakannya di sini. Tidak semua pasangan dua kata, khususnya yang menggunakan kata depan, dapat digabungkan. Lho emang kenapa? Ya, karena memang begitu. Yang berikut ini mungkin bisa jadi ilustrasi.<br /><br />dikantor tetap salah, mestinya di kantor<br />dijakarta tetap salah, mestinya di Jakarta<br />dikiri tetap salah, mestinya di kiri<br />... dan seterusnya...<br /><br />Yang boleh digabung dan kemudian membentuk kata baru: keluar, kemana, kesana, kemari, diluar, dimana, tapi tetap saja ada dorongan untuk menggabung semuanya, hehehe, walaupun kurang tepat, seperti yang ini: diatas, dibawah, disini. Yah, begitulah bahasa memang apa yang digunakan, sedangkan penggunaan apapun oleh makhluk yang bernama manusia selalu ada pengecualian yang keluar dari aturan asal.<br /><br />Anyway, akhirnya, kita tidak perlu banyak mengeluarkan energi untuk debat yang sifatnya seperti kasus belakangan ini. Khilafiah! Kita serahkan ke yang (tentunya aneh kalau kita gabung jadi keyang) berwenang aja. Artinya... Lihat kamus dong. Sayangnya Kamus Besar Bahasa Indonesia terkesan masih sulit diakses. PR pemerintah dan Lembaga Bahasa Indonesia.<br />!</span>Y Panhttp://www.blogger.com/profile/17784558351416768300noreply@blogger.com6