Setelah mengajukan arsitektur informasi masyarakat Bekasi, paling tidak ide awal untuk pematangan lebih lanjut, saya akan mendiskusikan sistem informasi yang akan berfungsi mengumpulkan dan menyediakan informasi tersebut kepada masyarakat. Di sini kita akan mulai membahas aspek bagaimana (how) di samping aspek apa (what). Karena jenis informasi yang dikelola bersifat strategis untuk keperluan masyarakat selaku 'pemilik saham' sekaligus pelanggan, kita dapat kategorikan sistem informasi ini sebagai sistem informasi strategis, kelasnya di atas dua jenis sistem informasi lainnya, yaitu sistem informasi operasional dan sistem informasi manajemen. Kedua jenis sistem yang disebutkan belakangan lebih banyak menyediakan informasi dan fasilitas otomasi bagi pekerja operasional (clerk) dan bagi manajemen. Perlu dikemukakan pula bahwa sistem informasi yang disebutkan belakangan menyediakan sebagian informasi yang dibutuhkan sistem informasi strategis yang sedang kita diskusikan.
Dari teori konsep sistem informasi klasik yang pernah saya pelajari sejak akhir 80-an, semakin strategis suatu sistem informasi, semakin beragam informasi yang dibutuhkan dan dikelola. Sumbernya semakin banyak yang berasal dari luar (eksternal) perusahaan atau institusi, dalam hal diskusi kita artinya berasal dari luar institusi pemerintah daerah. Untuk perbandingan saja, sistem informasi operasional dan sistem informasi manajemen pemerintah daerah secara relatif lebih banyak mengelola informasi internal, misalnya proses pembinaan pegawai, proses pengerjaan proyek, proses pelayanan KTP. Memang nggak clear cut, tapi sudahlah idenya bisa ditangkap kan? Sementara, sistem informasi strategis pemkot, pemkab, atau pemprov harus menyediakan informasi mengenai harapan masyarakat dan seberapa puas masyarakat terhadap pelayanan pemerintah di segala segi. Sistem itu juga harus menyediakan informasi harapan, tuntutan, dan proses terkait lembaga lain, misalnya legislator, penegak hukum, auditor, dan pemerintah yang lebih tinggi.
Karakteristik sistem informasi strategis lainnya adalah sifat kejelasannya. Yang saya maksud adalah secara relatif informasi yang dikelola lebih rancu dan lebih mengandung ketidakpastian. Dengan demikian, dapat dipastikan sistematikanya lebih sulit dimodelkan. Kalau Anda ingin analogi yang sederhana tapi mengena, coba bayangkan seorang manusia dengan kemampuan rata-rata sebagai pengolah informasi, artinya orang tersebut adalah sistem informasi. Setiap saat, ia dibombardir oleh pesan-pesan informasi, mulai dari yang sifatnya paling primitif dan mundane hingga yang paling deliberate (lihat artikel sebelumnya Sistem Informasi... Apa Sih?).
Ajaibnya, dalam analogi di atas, orang mampu memilih, memilah, dan mengolah tumpukan informasi tersebut terus menerus sambil belajar dan bertambah pintar. Ketika situasi genting, fokus orang tadi semakin tajam hingga banyak fakta yang dijejalkan padanya diabaikan begitu saja. Hanya yang paling relevan saja yang diperhatikan dan diolah. Ketika dalam proses belajar, prosesor dan memorinya, yaitu otaknya, mampu mengatur dirinya sendiri (baca Mechanism of Mind, Edward de Bono) dan tidak sekedar merekam fakta apa adanya, tapi membuat asosiasi yang luar biasa banyaknya dalam tempo sesaat. Hasilnya adalah kecanggihan yang tidak dapat didekati komputer learning machine paling canggih sekalipun. Apa yang sesungguhnya terjadi di dalam zat yang beratnya hanya satu dua kilo di dalam kepala si orang tadi, tidak ada seorang pun yang tahu pasti. Demikianlah, semakin strategis suatu sistem informasi, semakin sulit dijelaskan apalagi diwujudkan.
Untung ada kita. Ya, bener kita, manusia yang merupakan komponen terpenting suatu sistem informasi. Manusia mampu bertindak strategis tanpa tahu mekanisme yang sebetulnya terjadi. Di sini, kita nggak usah repot memikirkan mekanisme persisnya di dalam kepala kita, yang penting kita harus mengeksploitasi sifat strategis pengolahan informasi oleh manusia. Singkatnya sistem informasi strategis itu harus melibatkan manusia secara intensif, kalau perlu manusia yang dilibatkan berjumlah sangat banyak. Ini agak sejalan dengan gagasan James Surowiecki dalam The Wisdom of Crowds. Seorang pengambil keputusan di tingkat pemda, kalau mengikuti teori Surowiecki, harus membiarkan sekian banyak orang, baik internal apalagi eksternal, memberikan penilaian terbaiknya secara independen. Kemudian si pengambil keputusan harus mengagregasi seluruh penilaian tersebut dan pada akhirnya keluar dengan satu penilaian akhir.
Salah seorang presiden republik ini pernah berkata bahwa ia terus menerus memonitor informasi baik dari dalam maupun dari luar, lewat TV maupun internet, juga lewat orang-orang tertentu yang mewakili subcultures tertentu, termasuk ponakannya sendiri yang agak nyentrik. Proses agregasi yang dilakukannya demikian intensif, sehingga rata-rata ia tidur hanya 3-4 jam setiap hari. Saya menduga apa yang dilakukan Bapak Presiden tersebut sejalan sekali dengan model cara kerja sistem informasi strategis yang sedang kita diskusikan. Ini nggak berarti bahwa presiden yang lain tidak bekerja seperti itu. Pendapat saya ini semata-mata berdasarkan informasi yang terungkap lewat koran, TV, maupun buku terkait.
Kembali ke sistem informasi kinerja pemda, saya ingin mengajukan mekanisme yang sama: pengumpulan informasinya berbasis kebijaksanaan kerumunan. Di manakah kebijaksanaan itu berada? Di setiap kepala anggota masyarakat yang ada di daerah tersebut. Di setiap kepala pengamat, baik internal maupun eksternal. Di setiap kepala petugas-petugas lembaga-lembaga yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pemda tersebut, termasuk partai politik. Ada pertanyaan tentunya. Bagaimana cara mengumpulkan semua kebijaksanaan tersebut dan kemudian mengagregasinya? Jawabannya sederhana: koran, buku, majalah, TV, internet, dan sistem operasional yang ada. Persis seperti yang dilakukan Bapak Presiden yang kita ceritakan tadi. Dan karena semua konten informasi tersebut semakin banyak dipublikasikan di internet, tugas kita membuat sistem informasi kinerja dalam diskusi ini menjadi relatif lebih mudah.
Kalau Anda curiga media nasional bias terhadap kepentingan tertentu, jangan kuatir karena sekarang seorang ibu rumah tangga atau seorang pelajar dapat membuat dan mempublikasikan koran sendiri, lewat blog. Ketika si ibu pagi-pagi ke pasar, ia melewati jalan-jalan yang sudah entah berapa lama dibiarkan seperti kubangan kerbau, ia dapat mengambil fotonya dengan HP dan mengulasnya di blog. Ketika seorang pelajar suntuk belajar di sekolah yang dekat dengan gunungan sampah, ia dapat mengambil fotonya dan memberikan penilaian di blog. Ketika ada wabah demam berdarah, seorang biasa dapat melaporkannya langsung di blog tanpa harus menuggu petugas puskesmas atau kecamatan. Dst, dst, ....
Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul adalah apakah semuanya bisa digunakan. Bukankah ada sampah di majalah, koran, TV, buku, dan khususnya internet? Benar! Oleh karena itu diperlukan suatu bobot relevansi terhadap setiap konten. Ini serupa sekali dengan yang dilakukan Google. Tapi yang saya maksud bukan hanya mekanisme Google, tetapi juga social tagging yang ramai juga dilakukan di internet, misalnya di Delicious. Intinya tetap sama, yaitu perlunya bobot relevansi suatu konten atau informasi atau kebijaksanaan yang tersedia, relevan terhadap kinerja pemda yang sedang dibicarakan, misalnya Pemkot Bekasi atau Pemkab Bekasi atau Pemprov Jawa Barat atau Pemprov DKI. Bobot tersebut juga harus secara inheren mengandung tingkat akurasi dan integritas suatu konten.
Sabtu lalu tiga pasang kandidat gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat menandatangani deklarasi damai yang difasilitasi oleh KPUD Jabar. Kompas Minggu menurunkan berita dengan judul kurang lebih mengenai kecurangan terhadap tata tertib yang telah disepakati bersama. Sementara, Tempo Interaktif Sabtu siang hanya menurunkan berita penjelasan atau dekripsi apa yang terjadi, tapi tetap kaya akan informasi. Blog-blog penuh dengan analisa konstelasi politik mengantisipasi hari pencoblosan awal April 2008. Banyak juga blog yang mendukung dan menggalang dukungan untuk para calon dengan alasannya masing-masing. Demikian juga analisa keikutsertaan artis kondang dan jendral purnawirawan dalam pertarungan ini muncul dan dapat ditemukan dengan mudah di internet. Bagaimana bobot relevansi semua konten tersebut? Ilustrasinya dapat Anda lihat pada hasil pencarian Google dengan kata kunci pilkada jawa barat. Ranking konten hasil pencarian setidaknya mencerminkan bobot relevansinya. Dengan Delicious, Anda dapat pula melihat ilustrasi relevansi pilkada.
OK, balik lagi ke topik sistem informasi kinerja pemda, dengan ide Google-ing dan Delicious-ing (social tagging atau social bookmarking), saya optimis sistem informasi dimaksud feasible diwujudkan. Hasilnya boleh jadi tidak sempurna karena budaya informasi kita masih di awal revolusinya terkait dengan perkembangan internet dan web 2.0, tapi dengan berjalannya waktu saya optimis kekurangannya akan terkoreksi sendiri. Mengikuti budaya demokrasi informasi yang masih relatif baru, saya senang dengan perkembangan dunia internet dan telepon cell dan kombinasi sinergis antara keduanya. Dengan dukungan pemerintah atau tidak, budaya tersebut akan terus bergulir dan berubah menjadi bola salju yang akan menghantam keangkuhan sikap anti transparansi. Pada saatnya nanti, akan lebih sulit buat walikota, bupati, gubernur, dan pejabat-pejabat publik lainnya untuk berbohong dan memanipulasi keluguan rakyat. Selain itu, dapat diharapkan pemerintah daerah justru ikut mempublikasikan informasi strategis yang berasal dari database internal pemda, kaitannya dengan aspek keuangan, proses pelayanan, dan SDM pemda.
Senin, 25 Februari 2008
Sistem Informasi Strategis: Kinerja Pemerintah Daerah
Label:
demokrasi-politik,
manajemen,
sistem informasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
addthis
Kategori
- bahasa-matematika (23)
- demokrasi-politik (51)
- ekonomi-bisnis (71)
- lebih personal (42)
- manajemen (111)
- nilai-nilai (137)
- review buku (68)
- sistem informasi (37)
1 komentar:
perencanaan sistem informasi harus disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan untuk mendukug strategi perusahaan, jadi yang paling penting dalam pengembangan perusahaan bukan hanya sekedar ikut trend tetapi perusahaan mengetahui dengan jelas apa kebutuhannya saat ini dan dimasa yang akan datang kemudian dikomunikasikan dengan jelas kepada pembuat program, sehingga dapat menghindari investasi IT yang sia sia
Posting Komentar