Jalan yang rusak kembali meminta korban. Kali ini korbannya seorang tokoh seni dan politik. Di antara hingar bingar dan nuansa kebangkitan nasional serta gelombang protes rencana kenaikan harga BBM bersubsidi, tentu kejadian ini akan terlupakan begitu saja. Ironis. Kalau sebab musabab utama dari kemalangan tokoh nasional seperti itu segera luput dari ingatan publik, kita bisa paham kalau angka korban rakyat biasa yang terus bertambah tidak akan memantapkan tindak lanjut dari yang berwenang.
Dalam suatu pertemuan pengajian, kami pernah mendiskusikan masalah ini. Seorang teman, seorang ustadz mengajukan argumentasi bahwa yang paling tinggi prioritasnya adalah membangun manusia, jiwanya, bukan jalan atau gedung-gedung, badannya. Hikmah ini tentu diambil dari teladan Rasulullah yang mulia. Saya ketika itu terdiam, bukan karena tidak punya komentar, tapi apa yang disampaikan merupakan argumen yang berat untuk didebat. Sebaliknya, di dalam hati berkecamuk berbagai rasa ingin diskusi. Bagi saya, teladan Rasul adalah teladan yang paling baik. Namun demikian, saya pikir perlu strategi komunikasi dan eksekusi yang mengena.
Jalan adalah infrastruktur kehidupan. Salah satu yang utama. Seperti bahasa, jalan menghubungkan warga masyarakat satu dengan yang lain. Dengan hubungan yang lancar, seperti juga ketika kita merasakan berbagai nilai lebih melalui internet, warga masyarakat akan terbantu dalam berbagai kiprahnya. Memang jalan dapat dipandang sebagai alat saja yang bebas nilai, bahkan penjahat pun terbantu kiprahnya dengan adanya jalan yang bagus. Stop dulu... Kalau argumen kembali seperti ini, saya akan terdiam lagi seperti pada pengajian itu. Kita tidak pernah melupakan prioritas membangun jiwanya, baru badannya, tapi kita perlu maju selangkah, bukan dengan melupakan prioritas itu.
Prioritas yang rumit di zaman rumit seperti sekarang ini perlu dikelola dengan seimbang. Walaupun bukan ahlinya, saya menilai pendekatan balanced-scorecard dan yang sejenis cukup mampu menjawab kerumitan seperti itu. Ketika negara Madinah telah berdiri, fokus pembangunan meluas ke beberapa segmen. Ketika ada warga yang kelaparan, khalifah sendiri yang memanggul makanan untuk diserahkan ke warga tersebut. Ini menunjukkan membangun badannya tetap prioritas serius, di samping membangun jiwanya. Bahkan terdapat juga pesan agama yang kurang lebih intinya adalah kondisi badan dapat berdampak negatif terhadap kondisi jiwa. Kekufuran dekat dengan kekafiran. Penguasa yang peduli, seperti khalifah yang memanggul sendiri karung gandum untuk warga yang kelaparan, sangat takut dengan ancaman tersebut, karena dia bukan hanya seorang ulama tapi penguasa yang berwenang.
Saya jadi teringat dengan cerita orang Indonesia yang tidak disiplin tiba-tiba bisa disiplin ketika di Singapura. Sebaliknya warga Singapura mendadak jorok ketika berada di Batam. Hasil penelitian Malcolm Gladwell yang dapat dibaca di The Tipping Point juga konsisten mengatakan kondisi infrastruktur dapat mempengaruhi perilaku orang. Keberhasilan New York City mengurangi tingkat kriminalitas, yang dimulai dari inisiatif membersihkan KRL dan stasiun-stasiunnya, patut dicontoh. Dalam hal ini, selain mengedukasi warga, pihak berwenang membenahi infrastruktur juga.
Kembali ke diskusi pada pengajian yang saya singgung di atas, pernyataan teman bahwa memperbaiki jalan dan fasilitas umum tidak penting dibandingkan berda'wah dapat kita pahami sebagai pernyataan seorang ustadz, bukan penguasa. Sayang sekali kalau pemahaman itu dimiliki oleh seorang ustadz yang sekarang sudah menjadi pejabat publik. Untuk pejabat publik, ustadz atau bukan, memperbaiki jalan yang rusak hukumnya wajib. Lebih dari itu, memperbaiki jalan merupakan da'wah juga, di bidang pelayanan publik. Makanya saya kagum sekali dengan seorang ustadz yang sangat senang tidak bertugas atau ditugaskan sebagai pejabat publik, baik di legislatif maupun eksekutif. Kalimat pertama yang seharusnya keluar dari ustadz seperti Ahmad Heryawan ketika terpilih sebagai Gubernur Jabar adalah Innaa lilLahi.
Mudah-mudahan Allah mengampuni kita, terutama pejabat publik yang seharusnya tidak lupa memberikan layanan publik yang memadai, termasuk memperbaiki jalan rusak. Mudah-mudahan Allah memberikan pahala yang besar kepada pejabat publik yang telah berusaha keras melakukan perbaikan. Mudah-mudahan Allah membukakan hati para pejabat publik, atau kalau tidak, mudah-mudahan Allah mengganti saja hati-hati yang beku dengan yang lebih baik. Amin.
Kamis, 22 Mei 2008
Korban Jalan Raya
Label:
manajemen,
nilai-nilai
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
addthis
Kategori
- bahasa-matematika (23)
- demokrasi-politik (51)
- ekonomi-bisnis (71)
- lebih personal (42)
- manajemen (111)
- nilai-nilai (137)
- review buku (68)
- sistem informasi (37)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar