Krisis ekonomi global memang makin berat menekan bangsa Indonesia. Presiden pernah memberi sinyal-sinyal dalam pidatonya beberapa waktu lalu di media-media TV, juga pada acara milad PKS di Gelora Bung Karno (lihat artikel Menyambut 2009). Menjadi presiden memang pasti berat, walaupun dalam protes-protes mahasiswa terhadap rencana kenaikan harga BBM dikesankan bahwa posisi presiden begitu-begitu aja. Seorang komentator di radio mengatakan dia juga bisa menjadi presiden, bahkan mungkin adik mahasiswa yang sedang di studio. Pernyataan seperti ini dan gelombang protes mahasiswa sangat populis sifatnya dan mungkin tidak dapat ditanggapi hanya dengan pendekatan rasional saja. Kita harus dapat membaca di antara baris-baris yang ditulis dan mendengarkan yang tidak terucap.
Saya pribadi membaca bahwa protes mahasiswa bukan semata-mata ditujukan pada kenaikan harga BBM. Apabila tekanan pasar global demikian berat, memang tidak rasional mempertahankan level harga BBM bersubsidi seperti saat ini. Protes mahasiswa tersebut seolah-olah menyoroti rencana kenaikan harga BBM sebagai kebijakan yang salah besar. Hakikatnya kalau ditelusuri, yang jadi soal adalah kesejahteraan rakyat yang terabaikan, terlepas dari tingkat harga BBM. Persoalan ini semakin serius ketika kita dihadapkan pada kenyataan semakin lebarnya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Nah, bertepatan dengan peringatan Tragedi Semanggi sepuluh tahun lalu, kita seyogyanya melihat protes yang merebak sebagai upaya artikulasi pembelaan terhadap rakyat. Lima fraksi di DPR yang menyatakan menolak rencana kenaikan harga BBM juga harus disikapi sama. Kita nggak perlu lagi mengobral prasangka buruk di hadapan publik, walaupun bisa jadi mahasiswa dan lima fraksi itu punya motivasi lain selain memperjuangkan pembelaan terhadap kaum tertindas.
Walaupun mengapresiasi gerakan penolakan kenaikan harga BBM, saya menilai gelombang protes yang cenderung pada tindakan anarkis tidak dapat diterima. Ketidakpuasan terhadap mekanisme yang telah disepakati boleh dan sah saja dilakukan, tapi itu berarti perlu koreksi terhadap mekanisme tersebut. Gerakan anarkis tidak akan mampu menjawab segalanya, dan kalau kebablasan akan mengembalikan kita pada titik nol lagi. Tekanan-tekanan yang dilakukan tidak perlu dimatikan begitu saja. Lagipula gelombang protes yang terjadi belakangan ini jauh lebih ringan intensitasnya dibandingkan yang terjadi kurang lebih satu dekade yang lalu. Kalau Presiden Habibie mampu bertahan dan mengeluarkan bangsa Indonesia dengan cara bermartabat melalui pemilu demokratis, seharusnya SBY dan JK lebih mampu lagi menghadapi situasi ini. Yang diperlukan Bapak Presiden saat ini adalah memikirkan alternatif-alternatif solusi dan alternatif eksekusinya di lapangan.
Izinkan saya mencoba memberikan saran-saran berikut. Pertama, buat mahasiswa. Niat yang lurus sangat menentukan nilai amalan Saudara. Oleh sebab itu, luruskanlah niat. Masyarakat juga mulai paham bahwa sebagian pejabat publik saat ini adalah para aktivis mahasiswa pada zamannya. Kita tentu tahu idealisme sulit untuk dipelihara. Sekali lagi, luruskanlah niat. Setelah niat, Saudara harus paham pada saatnya nanti, bisa cepat bisa lambat, Saudaralah yang akan mengisi posisi jabatan publik di negeri ini. Untuk itu, terus belajar dan juga mengajar dengan giat (lihat artikel Pembelajaran: Pengolahan Informasi Paling Strategis). Tantangan masa depan akan sangat berat. Jika ternyata tidak menempati posisi jabatan publik, Saudara tetap akan memainkan peran sangat penting di sektor swasta dan sosial lewat yayasan-yayasan yang mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Kalau Saudara masih suka nyontek, tinggalkan! Kerja sama dalam belajar sangat diperlukan, tapi bukan pada saat Saudara dilarang bekerja sama. Kalau kemampuan Bahasa Inggris Saudara masih lemah, cepat benahi! Globalisasi akan menggilas orang-orang yang tidak siap. Oya, jangan lupa arahkan protes Saudara tidak hanya kepada pemerintah tapi juga ke DPR dan DPD, karena itulah saluran demokratis Saudara. Kalau kecewa dengan yang ada, pilih alternatif lain yang relatif lebih baik.
Kedua, untuk masyarakat. Hidup penuh tantangan akan membuat kita lebih kreatif. Kita pernah mendengar bagaimana seorang warga di Medan mengolah sampah organik menjadi pupuk secara menguntungkan. Kita pula pernah mendengar seorang warga Jawa Barat mengolah sampah organik menjadi briket yang dijual sebagai alternatif BBM. Juga menguntungkan! Hidup mudah tidak selamanya baik. Oleh karena itu, tidak ada salahnya kita sama-sama bersiap-siap menghadapi kompetisi global yang kian berat, dengan jantan. Memang banyak wilayah lokal yang tidak dapat dimasuki oleh pesaing dari luar negeri, tapi ingat banyak juga wilayah yang justru lebih bernilai tambah yang dapat didominasi asing. Sekarang pun sudah terjadi. Mengandalkan kebaikan pemerintah saja tidak cukup. Kompetisi global memasuki apa yang disebut Thomas L Friedman dalam bukunya The World is Flat, Globalisasi 2.0. Bukan negara lagi yang bersaing satu dengan yang lain. Bukan pula perusahaan. Di Era Globalisasi 2.0, kita-kita ini para individu bersaing satu dengan lain secara global. Makanya terus tingkatkan diri dengan belajar. Jangan berhenti belajar setelah tamat sekolah. Itu nasihat dari seorang guru manajemen abad 20 dan 21, Peter Drucker (lihat ringkasan buku Managing in the Next Society karya Peter Drucker). Mengenai suara kita pada pilkada dan pemilu berikutnya, jangan lagi berikan kepada pihak-pihak yang tidak dapat menjaga amanah. Jangan curang dan jangan bantu kecurangan.
Ketiga, untuk pemegang jabatan publik terutama Bapak Presiden dan Para Anggota DPR yang terhormat. Saudara dipilih oleh rakyat dengan harapan memperbaiki kesejahteraan. Saudara adalah teladan. Bisa teladan baik, juga bisa teladan buruk. Kalau Saudara tidak dapat mengusung kebaikan dan kemuliaan, mungkin ini saatnya buat Saudara berpikir untuk tidak mencalonkan diri lagi. Amanah yang Saudara pegang sungguh sangat berat dan panas. Ini bukan saatnya enak-enakan. Dorong kreativitas masyarakat. Mudahkan masyarakat berusaha. Hapuskan praktik korupsi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Sediakan pendidikan yang mengena buat masyarakat sesuai potensi kawasannya. Sediakan fasilitas kesehatan yang memadai. Perbaiki infrastruktur. Tangani kriminalitas yang menyebabkan ketakutan warga. Lengkapnya, lihat Arsitektur Informasi Masyarakat Bekasi yang disusun mengikuti balanced-scorecard yang harusnya relevan pula buat pemerintah pusat. Kalau semua itu telah dilakukan, kiranya harga BBM berapapun yang dikehendaki pasar tidak perlu menyebabkan kehidupan yang tidak layak, karena masyarakat telah mandiri dan pandai mencari alternatif. Tentunya semua itu dapat Saudara lakukan jika niat Saudara tulus dan Saudara jujur kepada masyarakat dan kepada diri sendiri.
Akhirnya, secara khusus saya ingin mendiskusikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dijanjikan pemerintah sebagai jaring pengaman sosial (social safety net) dalam rangka mengantisipasi tekanan kenaikan harga BBM bersubsidi. Idenya sudah bagus, yaitu jaring pengaman sosial. Di negara maju, warga yang kurang beruntung dan warga yang telah lanjut usia ditanggung keselamatannya oleh jaring ini. Waktu di Amerika, saya lihat warga miskin - termasuk teman mahasiswa dari Indonesia yang beasiswanya nggak cukup - harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan hak-hak tertentu, di antaranya kupon belanja sembako. Memang sulit menirunya dalam kondisi birokrasi dan sistem distribusi di negeri ini yang belum sepenuhnya efisien. Mengingat keterbatasan negeri ini, menurut hemat saya pemberian BLT memang bukan pilihan yang tidak rasional. Hanya yang perlu diantisipasi oleh pemerintah adalah mekanisme penyalurannya. Jangan sampai nenek-nenek yang tidak berdaya terinjak-injak warga yang lapar. Sistem antrian yang baik semestinya dapat mencegah kejadian seperti itu. Harusnya warga lanjut usia, miskin pula, benar-benar dilayani dengan mulia. Kalau mau sulit dikit, BLT untuk warga usia produktif diubah saja menjadi upah atas layanan publik yang dilakukannya, misalnya sebagai tukang sapu jalan, tukang bersih parit, tukang pilah sampah organik, atau pekerjaan lain yang kalau dipikirkan benar-benar bisa panjang daftarnya. Saya pikir bantuan dalam bentuk upah atas layanan publik jauh lebih mendidik. Nggak sempet ya? Makanya pikirkan dari jauh hari. Jangan sudah kepepet baru mikir.
Rabu, 14 Mei 2008
Protes Mahasiswa dan Harga BBM
Label:
demokrasi-politik,
ekonomi-bisnis,
nilai-nilai
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
addthis
Kategori
- bahasa-matematika (23)
- demokrasi-politik (51)
- ekonomi-bisnis (71)
- lebih personal (42)
- manajemen (111)
- nilai-nilai (137)
- review buku (68)
- sistem informasi (37)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar