Sebagaimana dikemukakan pada posting sebelumnya mengenai Greenspan, di masa akhir Administrasi Clinton, Amerika mengalami surplus anggaran pertama kali sejak resesi sebelum Reagan. Sukses itu dilengkapi dengan booming ekonomi Amerika yang bertahan paling lama dalam sejarah. Di satu pihak, Clinton dan Demokrat ingin menggunakan surplus itu untuk program sosial. Di pihak lain, Republik menginginkannya untuk tax cut. Greenspan sendiri menyarankan surplus digunakan untuk membayar hutang. Menurut Greenspan, dengan membayar hutang, tingkat saving dan produktivitas jangka panjang akan meningkat.
Di tengah sukses seperti itu, di dalam buku The Age of Turbulence, Greenspan mengaku sedih, bukan karena sukses itu, tapi karena kasus Clinton-Lewinsky. Dia nggak habis pikir bagaimana orang sehebat Clinton sampai bisa melakukan hal seperti itu, di Gedung Putih, tempat yang sulit untuk menyembunyikan sesuatu dari orang lain. Berita koran yang memuat khabar gembira dan khabar memalukan sekaligus berdampingan menambah ironi masa itu. Hingga akhir periode kedua Administrasi Clinton tersebut, surplus tetap terjaga dan diramalkan oleh para ekonom akan terjadi cukup lama, kurang lebih satu dekade.
Akhirnya pada tahun 2000 Bush yunior menggantikan Clinton setelah menang tipis atas Gore, mantan wakil Clinton. Untuk memenuhi janji kampanyenya, Bush bertekad melakukan tax cut. Greenspan diminta memberi pendapat mengenai itu di hadapan Kongres. Percaya kepada forecasting positif, Greenspan akhirnya memberi pendapat yang cenderung setuju, tapi kondisional akunya dalam buku. Pertama, program reformasi social security harus dilakukan juga. Kedua tax cut (bahkan tax rebate) harus ditinjau kalau saja prediksi surplus selama satu dekade ternyata tidak terjadi. Dengan 'dukungan' Greenspan ini yang tentunya dipolitisir oleh Bush dan Partai Republik di Kongres, dalam tempo sangat cepat, Bush berhasil mewujudkan ambisinya di tengah optimisme ekonomi Amerika.
Sungguh malang, ternyata ramalan yang dipercaya the Fed dan pemerintah tidak jadi kenyataan. Hanya dalam masa enam sampai sembilan bulan sejak Bush menggantikan Clinton, anggaran pemerintah kembali defisit. Begitu cepat, tapi Bush pantang mundur mewujudkan janji-janji kampanyenya yang menurut Krugman paling menguntungkan orang-orang kaya, khususnya yang super kaya dan merugikan lapisan menengah ke bawah.
Walaupun Greenspan seorang konservatif republiken, dia memandang Administrasi Bush sangat ekstrem dalam ideologi Conservatism. Lebih parah lagi, tidak seperti Clinton, Bush sangat tidak disiplin dalam urusan fiskal. Pada masa Clinton, setiap tambahan pengeluaran harus didukung tambahan pemasukan (dalam hal ini pajak) atau jika tidak pengeluaran tidak boleh bertambah. Sebaliknya di masa Bush, kebijakan budget deficit spending jadi strategi tanpa pandang bulu. Selain itu, Bush dikenal sebagai satu-satunya presiden yang tidak pernah menggunakan hak veto atas keputusan Kongres untuk melaksanakan program-program baru yang menambah pengeluaran pemerintah, yang didominasi program keamanan, pertahanan, dan antiterorisme.
Greenspan menulis dalam bukunya bahwa kebijakan Bush mendukung budget deficit spending tanpa pandang bulu dan ketidakmauannya menggunakan hak veto dalam rangka disiplin anggaran adalah kesalahan terbesar Bush. Bush terlebih lagi sangat loyal dan tidak pernah mau konfrontasi dengan partainya di Kongres. Sebagaimana Krugman dalam bukunya The Conscience of a Liberal, Greenspan menilai bahwa Bush dan kawan-kawan (disebut kubu Movement Conservatism oleh Krugman) lebih mendahulukan loyalitas kepada kelompok.
Situasi sulit Amerika semasa Bush diperburuk dengan ambisi invansi Afghanistan dan Irak. Ancaman terorisme, wabah SARS, bencana alam, skandal kecurangan korporasi seperti Enron, dan lain-lain merupakan faktor penting juga yang membuat resesi di depan mata. Tahun 2003, resesi ditambah kecenderungan deflasi yang terus menerus membuat posisi the Fed sebagai penjaga gawang ekonomi AS semakin penting. Keputusan menurunkan suku bunga untuk menstimulasi ekonomi menjadi konsisten diambil oleh dewan gubernur the Fed. Namun Greenspan tetap berhati-hati, bahkan asumsi beliau sebelumnya bahwa deflasi dapat diatasi dengan mencetak lebih banyak uang diragukannya sendiri karena melihat pengalaman Jepang.
House booming yang terjadi sempat membantu ekonomi AS. Namun begitu bubble berakhir, korban berjatuhan terutama dari kalangan pengutang KPR lapis bawah yang terlambat masuk dan sekalgus tidak didukung ekuitas yang memadai. Sampai akhir jabatannya tahun 2006, Greenspan kelihatan begitu kecewa dengan kondisi yang terjadi, sehingga mafhum saja dengan kekalahan Republik di Kongres tahun 2006; dia sengaja tidak mengatakan kemenangan Demokrat. Namun begitu, hubungan independen antara the Fed dan pemerintah tetap dijaganya berdasarkan kekuatan profesionalisme, integritas, dan moral. Udahan dulu ya. Buruan baca buku The Age of Turbulence.
Jumat, 29 Februari 2008
Greenspan dan Bush Yunior
Rabu, 27 Februari 2008
Fakta Mengenai Greenspan
Anda tentu tahu siapa Alan Greenspan. Dia adalah Chairman dari the Fed, Bank Sentral Amerika Serikat, sebelum digantikan Ben Bernanke. Sebetulnya jabatan lengkapnya adalah Chairman of the Board of Governors of the Federal Reserve of the United States, seperti Gubernur BI di sini. Saya sedang mendengar audio book berjudul The Age of Turbulence karya beliau. Belum selesai sih, baru kurang lebih 40 persen. Berikut adalah beberapa fakta tentang diri yang ditulisnya sendiri yang saya dapatkan dari buku tersebut.
Greenspan lahir dari keluarga imigran Yahudi, baik ibu maupun bapaknya. Orangtuanya bercerai ketika Greenspan masih kecil, dan dia diasuh oleh ibunya. Bapaknya yang seorang praktisi pasar keuangan hanya sedikit sekali berhubungan dengannya. Namun begitu, bapaknya pernah menulis buku terkait ekonomi dan bisnis yang didedikasikan kepada Greenspan. Bapaknya pernah meramalkan kebijakan ekonomi Administrasi FTR akan berhasil mengatasi krisis Amerika sejak akhir 1920-an itu. Nah ini pendapat saya sendiri: mungkin dari bapaknya itu Greenspan mewarisi ketertarikannya pada matematika dan ilmu ekonomi.
Di awal kariernya sebagai ekonom, bersama kenalannya Greenspan membuka firma konsultan ekonomi Townsend-Greenspan sesuai nama mereka berdua. Klien mereka perusahaan-perusahaan besar, termasuk perusahaan baja yang pada saat itu menjadi gambaran kekuatan ekonomi AS. Metode ekonometrik dan modeling yang diterapkannya sangat membantu dalam memberikan nasihat ekonomi kepada para CEO, cuma bahasanya dikemas dalam istilah-istilah yang lebih mengena bagi praktisi bisnis. Karier Greenspan di area ekonomi mikro ini berlangsung lama hingga beliau mulai dikenal pemerintah AS dan terlibat interaksi dengan pejabat-pejabat DepKeu AS dan inner circle.
Dia nggak suka dengan Nixon, walaupun sama-sama republiken. Hanya setelah Reagan jadi presiden, Greenspan akhirnya mau bener-bener terjun membantu pemerintah, tidak tanggung-tanggung sebagai Chairman dari Fed, tahun 1987. Tidak heran kalau Greenspan menyatakan sebagai pendukung ideologi Conservatism yang dianut oleh Reagan dan GOP (Republik). Setelah itu Anda pasti tahu beliau bertahan hampir dua puluh tahun di posisinya menjaga kestabilan harga di AS, padahal presiden silih berganti dari Republik (Reagan, Bush senior, Bush yunior) dan Demokrat (Clinton). Uniknya ketika pertama menduduki posisi sebagai chairman, Greenspan justru banyak nggak tahu mengenai fungsi the Fed, bahkan ada fungsi yang tadinya tidak ia pikirkan sebagai bagian dari the Fed.
Di masa awal kepemimpinannya, ia langsung diuji dengan peristiwa yang disebut the black monday. Setelah itu, banyak permasalahan yang menerpanya, termasuk the dotcom booming, stock market bubble, housing bubble, perbedaan kepentingan dengan penguasa yang kebetulan justru memilihnya untuk duduk di posisi tersebut. Bush senior pernah berkata, dia yang saya tunjuk, justru dia yang membuat saya kalah (kurang lebih begitulah). Waktu Clinton naik, Greenspan menyadari bahwa presiden AS dari Partai Demokrat tersebut seorang yang cerdas dan pragmatis. Hingga akhir Administrasi Clinton, Greenspan tetap setia mengawal ekonomi AS. Di akhir-akhir masa Clinton, pertama kali budget surplus terjadi. Ini sukses yang diklaim baik oleh Partai Republik maupun Demokrat. Cukup aneh kan? Ada dua ideologi ekonomi yang berbeda mengklaim suatu keberhasilan yang sama.
Akhirnya beberapa hal lain yang cukup pantas disebutkan di sini sejauh bacaan saya adalah suksesi ke penggantinya Bernaken. Proses ini jauh berbeda dengan proses pengangkatannya sendiri menjadi Gubernur Bank Sentral AS itu. Pergantian jabatan presiden, Fed's chairman, dan jabatan publik lainnya di AS selalu bisa berjalan mulus, bagaimanapun belokan yang diambil. Waktu Gore kalah dari Bush yunior dengan beda tipis, langsung saja Gore memberi selamat ketika sudah ada kejelasan. Untuk mengetahui fakta-fakta mengenai Greenspan lainnya, termasuk percintaan dan perkawinannya, baca deh buku The Age of Turbulence.
Senin, 25 Februari 2008
Sistem Informasi Strategis: Kinerja Pemerintah Daerah
Setelah mengajukan arsitektur informasi masyarakat Bekasi, paling tidak ide awal untuk pematangan lebih lanjut, saya akan mendiskusikan sistem informasi yang akan berfungsi mengumpulkan dan menyediakan informasi tersebut kepada masyarakat. Di sini kita akan mulai membahas aspek bagaimana (how) di samping aspek apa (what). Karena jenis informasi yang dikelola bersifat strategis untuk keperluan masyarakat selaku 'pemilik saham' sekaligus pelanggan, kita dapat kategorikan sistem informasi ini sebagai sistem informasi strategis, kelasnya di atas dua jenis sistem informasi lainnya, yaitu sistem informasi operasional dan sistem informasi manajemen. Kedua jenis sistem yang disebutkan belakangan lebih banyak menyediakan informasi dan fasilitas otomasi bagi pekerja operasional (clerk) dan bagi manajemen. Perlu dikemukakan pula bahwa sistem informasi yang disebutkan belakangan menyediakan sebagian informasi yang dibutuhkan sistem informasi strategis yang sedang kita diskusikan.
Dari teori konsep sistem informasi klasik yang pernah saya pelajari sejak akhir 80-an, semakin strategis suatu sistem informasi, semakin beragam informasi yang dibutuhkan dan dikelola. Sumbernya semakin banyak yang berasal dari luar (eksternal) perusahaan atau institusi, dalam hal diskusi kita artinya berasal dari luar institusi pemerintah daerah. Untuk perbandingan saja, sistem informasi operasional dan sistem informasi manajemen pemerintah daerah secara relatif lebih banyak mengelola informasi internal, misalnya proses pembinaan pegawai, proses pengerjaan proyek, proses pelayanan KTP. Memang nggak clear cut, tapi sudahlah idenya bisa ditangkap kan? Sementara, sistem informasi strategis pemkot, pemkab, atau pemprov harus menyediakan informasi mengenai harapan masyarakat dan seberapa puas masyarakat terhadap pelayanan pemerintah di segala segi. Sistem itu juga harus menyediakan informasi harapan, tuntutan, dan proses terkait lembaga lain, misalnya legislator, penegak hukum, auditor, dan pemerintah yang lebih tinggi.
Karakteristik sistem informasi strategis lainnya adalah sifat kejelasannya. Yang saya maksud adalah secara relatif informasi yang dikelola lebih rancu dan lebih mengandung ketidakpastian. Dengan demikian, dapat dipastikan sistematikanya lebih sulit dimodelkan. Kalau Anda ingin analogi yang sederhana tapi mengena, coba bayangkan seorang manusia dengan kemampuan rata-rata sebagai pengolah informasi, artinya orang tersebut adalah sistem informasi. Setiap saat, ia dibombardir oleh pesan-pesan informasi, mulai dari yang sifatnya paling primitif dan mundane hingga yang paling deliberate (lihat artikel sebelumnya Sistem Informasi... Apa Sih?).
Ajaibnya, dalam analogi di atas, orang mampu memilih, memilah, dan mengolah tumpukan informasi tersebut terus menerus sambil belajar dan bertambah pintar. Ketika situasi genting, fokus orang tadi semakin tajam hingga banyak fakta yang dijejalkan padanya diabaikan begitu saja. Hanya yang paling relevan saja yang diperhatikan dan diolah. Ketika dalam proses belajar, prosesor dan memorinya, yaitu otaknya, mampu mengatur dirinya sendiri (baca Mechanism of Mind, Edward de Bono) dan tidak sekedar merekam fakta apa adanya, tapi membuat asosiasi yang luar biasa banyaknya dalam tempo sesaat. Hasilnya adalah kecanggihan yang tidak dapat didekati komputer learning machine paling canggih sekalipun. Apa yang sesungguhnya terjadi di dalam zat yang beratnya hanya satu dua kilo di dalam kepala si orang tadi, tidak ada seorang pun yang tahu pasti. Demikianlah, semakin strategis suatu sistem informasi, semakin sulit dijelaskan apalagi diwujudkan.
Untung ada kita. Ya, bener kita, manusia yang merupakan komponen terpenting suatu sistem informasi. Manusia mampu bertindak strategis tanpa tahu mekanisme yang sebetulnya terjadi. Di sini, kita nggak usah repot memikirkan mekanisme persisnya di dalam kepala kita, yang penting kita harus mengeksploitasi sifat strategis pengolahan informasi oleh manusia. Singkatnya sistem informasi strategis itu harus melibatkan manusia secara intensif, kalau perlu manusia yang dilibatkan berjumlah sangat banyak. Ini agak sejalan dengan gagasan James Surowiecki dalam The Wisdom of Crowds. Seorang pengambil keputusan di tingkat pemda, kalau mengikuti teori Surowiecki, harus membiarkan sekian banyak orang, baik internal apalagi eksternal, memberikan penilaian terbaiknya secara independen. Kemudian si pengambil keputusan harus mengagregasi seluruh penilaian tersebut dan pada akhirnya keluar dengan satu penilaian akhir.
Salah seorang presiden republik ini pernah berkata bahwa ia terus menerus memonitor informasi baik dari dalam maupun dari luar, lewat TV maupun internet, juga lewat orang-orang tertentu yang mewakili subcultures tertentu, termasuk ponakannya sendiri yang agak nyentrik. Proses agregasi yang dilakukannya demikian intensif, sehingga rata-rata ia tidur hanya 3-4 jam setiap hari. Saya menduga apa yang dilakukan Bapak Presiden tersebut sejalan sekali dengan model cara kerja sistem informasi strategis yang sedang kita diskusikan. Ini nggak berarti bahwa presiden yang lain tidak bekerja seperti itu. Pendapat saya ini semata-mata berdasarkan informasi yang terungkap lewat koran, TV, maupun buku terkait.
Kembali ke sistem informasi kinerja pemda, saya ingin mengajukan mekanisme yang sama: pengumpulan informasinya berbasis kebijaksanaan kerumunan. Di manakah kebijaksanaan itu berada? Di setiap kepala anggota masyarakat yang ada di daerah tersebut. Di setiap kepala pengamat, baik internal maupun eksternal. Di setiap kepala petugas-petugas lembaga-lembaga yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pemda tersebut, termasuk partai politik. Ada pertanyaan tentunya. Bagaimana cara mengumpulkan semua kebijaksanaan tersebut dan kemudian mengagregasinya? Jawabannya sederhana: koran, buku, majalah, TV, internet, dan sistem operasional yang ada. Persis seperti yang dilakukan Bapak Presiden yang kita ceritakan tadi. Dan karena semua konten informasi tersebut semakin banyak dipublikasikan di internet, tugas kita membuat sistem informasi kinerja dalam diskusi ini menjadi relatif lebih mudah.
Kalau Anda curiga media nasional bias terhadap kepentingan tertentu, jangan kuatir karena sekarang seorang ibu rumah tangga atau seorang pelajar dapat membuat dan mempublikasikan koran sendiri, lewat blog. Ketika si ibu pagi-pagi ke pasar, ia melewati jalan-jalan yang sudah entah berapa lama dibiarkan seperti kubangan kerbau, ia dapat mengambil fotonya dengan HP dan mengulasnya di blog. Ketika seorang pelajar suntuk belajar di sekolah yang dekat dengan gunungan sampah, ia dapat mengambil fotonya dan memberikan penilaian di blog. Ketika ada wabah demam berdarah, seorang biasa dapat melaporkannya langsung di blog tanpa harus menuggu petugas puskesmas atau kecamatan. Dst, dst, ....
Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul adalah apakah semuanya bisa digunakan. Bukankah ada sampah di majalah, koran, TV, buku, dan khususnya internet? Benar! Oleh karena itu diperlukan suatu bobot relevansi terhadap setiap konten. Ini serupa sekali dengan yang dilakukan Google. Tapi yang saya maksud bukan hanya mekanisme Google, tetapi juga social tagging yang ramai juga dilakukan di internet, misalnya di Delicious. Intinya tetap sama, yaitu perlunya bobot relevansi suatu konten atau informasi atau kebijaksanaan yang tersedia, relevan terhadap kinerja pemda yang sedang dibicarakan, misalnya Pemkot Bekasi atau Pemkab Bekasi atau Pemprov Jawa Barat atau Pemprov DKI. Bobot tersebut juga harus secara inheren mengandung tingkat akurasi dan integritas suatu konten.
Sabtu lalu tiga pasang kandidat gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat menandatangani deklarasi damai yang difasilitasi oleh KPUD Jabar. Kompas Minggu menurunkan berita dengan judul kurang lebih mengenai kecurangan terhadap tata tertib yang telah disepakati bersama. Sementara, Tempo Interaktif Sabtu siang hanya menurunkan berita penjelasan atau dekripsi apa yang terjadi, tapi tetap kaya akan informasi. Blog-blog penuh dengan analisa konstelasi politik mengantisipasi hari pencoblosan awal April 2008. Banyak juga blog yang mendukung dan menggalang dukungan untuk para calon dengan alasannya masing-masing. Demikian juga analisa keikutsertaan artis kondang dan jendral purnawirawan dalam pertarungan ini muncul dan dapat ditemukan dengan mudah di internet. Bagaimana bobot relevansi semua konten tersebut? Ilustrasinya dapat Anda lihat pada hasil pencarian Google dengan kata kunci pilkada jawa barat. Ranking konten hasil pencarian setidaknya mencerminkan bobot relevansinya. Dengan Delicious, Anda dapat pula melihat ilustrasi relevansi pilkada.
OK, balik lagi ke topik sistem informasi kinerja pemda, dengan ide Google-ing dan Delicious-ing (social tagging atau social bookmarking), saya optimis sistem informasi dimaksud feasible diwujudkan. Hasilnya boleh jadi tidak sempurna karena budaya informasi kita masih di awal revolusinya terkait dengan perkembangan internet dan web 2.0, tapi dengan berjalannya waktu saya optimis kekurangannya akan terkoreksi sendiri. Mengikuti budaya demokrasi informasi yang masih relatif baru, saya senang dengan perkembangan dunia internet dan telepon cell dan kombinasi sinergis antara keduanya. Dengan dukungan pemerintah atau tidak, budaya tersebut akan terus bergulir dan berubah menjadi bola salju yang akan menghantam keangkuhan sikap anti transparansi. Pada saatnya nanti, akan lebih sulit buat walikota, bupati, gubernur, dan pejabat-pejabat publik lainnya untuk berbohong dan memanipulasi keluguan rakyat. Selain itu, dapat diharapkan pemerintah daerah justru ikut mempublikasikan informasi strategis yang berasal dari database internal pemda, kaitannya dengan aspek keuangan, proses pelayanan, dan SDM pemda.
Minggu, 24 Februari 2008
Don't A, Don't B
Waktu kursus Bahasa Inggris dengan pengajar native speakers LCP kurang lebih sepuluh tahun lalu, saya dan teman-teman sekelas sering diberi game menarik. Salah satunya, soal-soal TOEFL dicopy, dipotong-potong, terus digunakan untuk cepet-cepetan mencari jawaban yang betul. Biasanya kelas dibagi menjadi dua grup yang bersaing dan pertandingan terdiri dari beberapa ronde. Ronde pertama mengadu dua orang paling jago dari kelompok pertama dan kedua. Ronde kedua mengadu orang kedua terbaik dari kedua regu. Begitu seterusnya hingga semuanya dapat giliran.
Cara belajar seperti itu cukup menyenangkan sekaligus efektif. Ketika soal dibuka, kedua jago (banyak betina juga sih) secepatnya memutar otak. Kalau kelamaan, teman-teman di masing-masing grup mulai ikut campur karena soal dikasih tahu juga ke mereka. Jangan pilih A atau jangan B, demikian teriakan mereka. Karena bicara di kelas harus dalam Bahasa Inggris (kelas kami terdiri bukan hanya peserta dari Indonesia), teman-teman berteriak, "Don't A, don't B." Curtis pengajar kami sambil ketawa jenaka berkata, "Dasar siswa Indonesia!" Nampak betul dia sudah sering mengalami lelucon seperti itu. Bagi dia, itu lelucon, tapi kami tetep aja PD. Akhirnya Curtis ngasih tahu juga kalau mau, gunakan not A or not B. Kalau bener-bener ngebet mau menggunakan don't, begini yang bener: don't choose A or B, etc.
Lain lagi waktu SMP. Saya buat karangan mengenai hobi saya main catur. Waktu itu, lagi suka-sukanya dengerin lagu Michael Jackson... She was more like Billy Jean... nenena nena... Pas disuruh bacain di depan kelas oleh Pak Abubakar, guru Bahasa Inggris senior di SMP Negeri 3 Palembang masa awal sampai pertengahan 80-an itu, PD aja saya. Satu kesalahan yang diberitahu oleh beliau yang bijak adalah membaca chess jangan seperti cheese, tapi ces biasa aja. Yang nggak dikasih tahunya adalah penggunaan was more like itu loh. Jadinya yang saya maksud adalah saya sangat suka catur terdengar di kuping yang ngerti menjadi saya sangat seperti catur. Hehehe, not bad kata Pak Abubakar.
Nah, kalau yang terakhir ini adalah dialog antara dua sepupu ABG baru-baru ini. Mereka lagi belagak berbahasa Inggris. Kata yang digunakan adalah help. Sepenggal dialog yang saya dengar:
Sepupu 1: help we, help we...
Sepupu 2: ganjil, masak help I, help I.
Sepupu 1: oh, iya.
Ringan aja keduanya.
Pelajaran moral yang dapat saya petik adalah: belajarlah lebih dini. Kesalahan konyol yang kita bikin waktu SD dan SMP nggak akan bikin malu. Jangan sampai kesalahan dilakukan setelah jadi pejabat, di ruang publik lagi. Lihat posting terkait sebelumnya, Don't Don't I Wrong.
Jumat, 22 Februari 2008
Don't Don't I Wrong
Memang bahasa ibu kita bukan Bahasa Inggris, bahkan di sekolah pengajarannya nggak kelihatan serius. Jangan tanya deh semasa saya SMP dan SMA dulu, gimana konyolnya cara saya berbahasa Inggris, apalagi dalam percakapan. Alhamdulillah, setelah mendapat banyak kesempatan belajar, akhirnya lumayan juga, not perfect though.
Di masa internet ini, kekonyolan berbahasa Inggris masih sering terjadi bahkan di ruang publik. Beberapa tahun lalu, pendatang yang ngerti hanya bisa geli dalam hati disambut dengan kata-kata WELCOME IN BANDUNG. Masih terkait dengan Jawa Barat, baru-baru ini saya dapat email lucu yang berisi gambar berikut. Emangnya Kepala Polisi Cianjur dan Bupatinya nggak tahu kalau HIDE DRUG justru berarti sebaliknya dari pesan yang ingin disampaikan. Kenapa nggak pake yang sudah umum saja? SAY NO TO DRUGS.
Yang selanjutnya ini agak mending, tapi karena saya melihatnya hampir setiap hari, nggak tahan juga untuk tidak menulis dikit mengenainya. Tahukah Anda apa masalahnya dengan poster, an ad iteself, di KRL Ekspres AC tujuan Bekasi ini: Train...!!! The best way to advertise your adds? Kira-kira direktur atau penanggung jawab masalah ini di PT Kereta Api tahu nggak? Emang masalah kecil dan subtle... tapi tiap hari sih ngelihatnya, jadi risih juga. Apalagi dugaan saya KRL yang lainnya, ke Bogor, Depok, Bojong Gede, Serpong, begitu juga.
Pelajaran moral yang dapat saya petik, mungkin Anda juga, dari sini adalah (1) pastikan penguasaan Bahasa Inggris kita sudah bagus atau (2) pastikan orang yang kita tugasi untuk membuat poster-poster dalam Bahasa Inggris bener-bener jago.
*Ad adalah singkatan dari Advertisement yang berarti Iklan
Kamis, 21 Februari 2008
Kasus Burger King di Singapura
Curang memang bukan hanya monopoli negeri miskin - Enron contohnya. Cerita berikut ini disampaikan oleh Bu Tabita, rekan sekantor saya. Saya posting di sini (unedited) buat 'sangu' bagi yang mau ke Singapura dan suka ke restoran cepat saji.
Sore hari pada hari Kamis tanggal 7 Januari 2008, saya dan teman-teman makan Burger King di Singapore. Rombongan kami berjumlah 9 (sembilan) orang. Saat membayar di kasir kami sharing berdua-berdua. Jadi terdapat 4 (empat) kelompok. Jumlah kasirnya ada 2 (dua) orang. Kebetulan sy dan teman antri di kasir sebelah kanan tangan saya. Pada saat membayar kami diberi kembalian uang tetapi tdk dengan struk belanja. Kami sempat minta, jawabannya tunggu dulu. Tidak lama kemudian saya dan teman masing-masing membawa nampan yang berisi Burger King berisi makanan yang sama, bahkan hampir semua pesanan sama jenis dan banyaknya.
Setelah duduk, teman sy memeriksa kembalian uang ternyata kurang $ 10 Sing. Setelah itu dia bertanya juga kepada sy, saya pun menghitung kembali kembalian itu, ternyata sama kurang $10 Sing. Kami pun protes ke kasir, uang kami kurang dan kasir menghitung jumlah uang yang katanya tdk ada selisih.
Mereka tdk jujur, kami tahu uang itu sudah dikantongi oleh kasir berinisial ”N” . Hal itu kami ketahui dari rombongan lain dari instansi yang sama, yang kebetulan juga makan di tempat itu. Mereka juga hampir tertipu $ 10 Sing, mereka waktu itu hitung di tempat dan kasir yang berinisial ”N” itu tdk bisa mengelak lagi.
Dari situ kami menilai kasir yang berinisial ”N” itu sengaja melakukan kejahatan seperti itu dan itu sudah dilakukannya berulang kali. Burger King itu letaknya di Midpoint Orchard Singapore.
Mudah-mudahan ini menjadi pelajaran buat teman-teman yang akan berlibur ke sana. Hati-hati jika berbelanja, walaupun tempatnya meyakinkan sekali.
Arsitektur Informasi Masyarakat Bekasi (3)
Setelah membahas kebutuhan informasi masyarakat Bekasi dan arsitekturnya (lihat artikel sebelumnya: Informasi Strategis untuk Masyarakat, Arsitektur Informasi Masyarakat Bekasi (1), dan Arsitektur Informasi Masyarakat Bekasi (2)), pada artikel ini saya akan mencoba menyusun hasil pembahasan ke dalam bentuk diagram klasifikasi. Dalam dunia web, dikenal istilah sitemap, yah... mungkin seperti itulah diagram yang mau saya buat. Sebenarnya mau bikin mockup website-nya sekalian, tapi mungkin lain kali aja.
Kepuasan Masyarakat
- Infrastruktur
- Pendidikan
- Keamanan dan Kepastian Hukum
- Kesehatan
- Kesejahteraan Bersama
Keuangan
- Anggaran
   - Penerimaan
   - Pengeluaran
- Realisasi Anggaran
   - Penerimaan
   - Pengeluaran
- Kasus Kecurangan
Proses Pemerintah Kota
- Pelayanan Masyarakat
   - Infrastruktur
   - Pendidikan
   - Keamanan dan Kepastian Hukum
   - Kesehatan
   - Kesejahteraan Bersama
- Proyek Pengembangan dan Pemeliharaan
   - Infrastruktur
   - Pendidikan
   - Keamanan dan Kepastian Hukum
   - Kesehatan
   - Kesejahteraan Bersama
SDM Pemerintah Kota
- Pejabat
- Pimpro
- Pegawai
- Pendidikan dan Latihan
- Usulan Inovasi
- Pejabat dan Pegawai Curang
DPRD dan Partai Politik
Pemerintah Provinsi dan Pusat
Sejarah Kota dan Budaya Masyarakat
Informasi Lainnya
OK, untuk sementara cukup dulu. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana informasi tersebut di atas dapat dikumpulkan dan disampaikan kepada masyarakat Bekasi. Hanya untuk memberi sedikit optimisme, saya masukkan beberapa link berita atau artikel terkait dengan subyek informasi yang didiskusikan di atas. Sekedar berangan-angan, dengan tersedianya informasi di atas, didukung ataupun tidak didukung oleh pemkot, diharapkan walikota betul-betul merasa diawasi secara komprehensif dan kemudian bekerja dengan sebaik-baiknya. Itu di satu sisi. Di sisi lain, masyarakat diharapkan mempunyai memori kolektif yang lebih akurat dan obyektif sebagai modal untuk memilih pada pilkada selanjutnya.
Senin, 18 Februari 2008
Arsitektur Informasi Masyarakat Bekasi (2)
Setelah memiliki dua rujukan, pertama peran pemerintah dalam era globalisasi dan kedua kerangka balanced scorecard, pada artikel ini saya akan mencoba menyusun arsitektur informasi lengkap untuk masyarakat Bekasi. Perlu dikemukakan bahwa lengkap memiliki nuansa keluasan dan kedalaman bahasan. Namun demikian, lengkap yang dimaksud di sini hanya dari sisi horizontal keluasan, itupun hanya satu dimensi, yaitu topik bahasan atau subyek.
Pada artikel lain selanjutnya, insya Allah kita akan bahas kebutuhan melakukan klasifikasi menurut berbagai dimensi, disebut juga facet. Waktu belajar biologi semasa SMP dan SMA, saya mendapatkan pengetahuan bahwa mata belalang terdiri dari banyak sekali facet masing-masing seperti kamera (jumlahnya lupa, ribuan kali) yang mengindra lingkungan dari berbagai sudut pandang. Kumpulan facet mata belalang tersebut toh membentuk satu citra utuh n-dimensi. Persepsi manusia sebagai satu individu maupun sebagai kelompok dapat kita analogikan seperti mata belalang itu. Satu kenyataan dicitrakan oleh berbagai kamera (facet), yang jumlahnya sampai ratusan ribu bahkan jutaan, sejumlah penduduk Bekasi, termasuk pejabat publik dan pegawai di pemkot dan DPRD. Akan lebih rumit lagi kalau kita masukkan stakeholder lain seperti pemerintah provinsi, pemerintah pusat, dan masyarakat daerah-daerah lain, apalagi internasional. OK lah, saya mulai saja, sesederhana apapun.
Level pertama arsitektur informasi dalam diskusi kita ini saya nilai cocok jika menggunakan aspek-aspek balanced scorecard, yaitu kepuasan masyarakat, keuangan, proses pemkot, dan SDM pemkot. Untuk aspek pertama, kepuasan masyarakat, saya menilai perlu informasi kepuasan di bidang infrastruktur, di bidang pendidikan, di bidang kepastian hukum, di bidang kesehatan, dan di bidang kesejahteraan bersama. Bagaimana cara mendapatkan seluruh informasi ini? Tunggu dulu, kita belum bicara how, baru what. Sabar...
Untuk aspek kedua, keuangan, saya pikir perlu informasi pendapatan pemerintah, pengeluaran pemerintah, dan kasus kecurangan. Ingat di sini kita tidak mengharapkan pemkot Bekasi untung, tapi kita mengharapkan pendapatan terus meningkat untuk menutup pengeluaran yang juga meningkat untuk membiayai kegiatan operasional dan program-program produktif di berbagai bidang, yaitu infrastruktur, pendidikan, dst. Ya, Anda betul, bagaimana kita yakin bahwa pengeluaran benar-benar untuk kepentingan masyarakat sebagai pemegang saham sekaligus pelanggan. Itu sebabnya kita harus punya juga informasi kasus-kasus kecurangan yang dilakukan manajemen dan pegawai pemkot.
Untuk aspek ketiga, proses pemkot, saya menilai perlu informasi terkait kualitas proses-proses pelaksanaan tugas pemkot. Dalam bidang studi manajemen, khususnya operasi, statistik yang digunakan biasanya terkait baik dengan proses maupun produk, dan untuk dapat mengetahui kualitas tersebut konsisten atau tidak diperlukan standard pengukuran. Jadi, kita perlu informasi apakah proses pelaksanaan tugas pemkot sudah terstandardisasi atau belum. Standard yang digunakan bisa saja buatan sendiri, bisa juga menggunakan ISO, SIX SIGMA, dan lain-lain. Karena diperlukan studi yang lebih mendalam, saya tidak akan membuat gambaran proses yang terjadi di pemkot dan proses yang seharusnya. Yang jelas, bagi masyarakat proses tersebut harus terkait dengan pengembangan, pengelolaan operasional, dan pemeliharaan di bidang infrastruktur, pendidikan, kepastian hukum, kesehatan, dan kesejahteraan bersama. Parameter standard yang harus ada untuk tiap proses dan produknya adalah standard waktu, standard biaya, dan standard mutu. Yah, kalau seperti McDonald, pemkot harus punya standard berapa lama KTP selesai diproses, berapa lama jalan yang tiba-tiba rusak diperbaiki, berapa banyak kasus korupsi yang ditindaklanjuti, berapa lama sampah ngendon di lingkungan pemukiman, dst.
Terakhir untuk aspek SDM pemkot, kita perlu informasi mengenai pendidikan dan pelatihan pegawai, misalnya berapa banyak pegawai yang sudah ikut training ESQ dan MQ untuk yang muslim atau contoh yang lain berapa banyak yang memiliki sertifikat manajemen program atau proyek, dan lain-lain. Informasi lainnya yang dibutuhkan adalah seberapa banyak pegawai yang memberikan usul inovatif untuk memperbaiki proses, dalam bidang infrastruktur, pendidikan, dst. Nah yang diperlukan juga last but not least adalah pegawai-pegawai yang terindikasi dan terbukti curang.
Wuih, banyak juga yah, inipun mungkin masih kurang. Nulisnya aja lama, apalagi diskusi atas pertanyaan selanjutnya apakah pemkot mampu meng-cover semuanya sekaligus. Tentu tidak, kita maklum itu. Namun, kalau Pak Wali nyerah begitu saja dengan tantangan ini, koq rasanya nggak pantes juga; buat apa capek-capek pilkada. Kita ingin sekali mendorong beliau untuk berbenah untuk bersama-sama membangun Bekasi, dengan buka-bukaan, transparan. Memang sebagaimana pernah disampaikan sebelumnya, salah satu kualitas informasi yang betul-betul membuat sistem informasi menjadi hebat adalah transparansi.
Jumat, 15 Februari 2008
Arsitektur Informasi Masyarakat Bekasi (1)
Dahulu pemegang saham mengandalkan laporan keuangan perusahaan untuk memonitor kinerja manajemen yang direkrutnya. Wajar kan karena ia atau mereka yang memiliki badan usaha tersebut. Jangan sampai manajemen yang dipekerjakan justru bekerja untuk memperkaya diri sendiri, bukan memperkaya pemilik, pihak yang menanggung risiko paling tinggi.
Untuk memastikan manajemen bekerja untuk kepentingan pemilik, maka pemilik memberi manajemen sebagian sahamnya atau opsi untuk membeli saham pada tingkat harga tertentu. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa manajemen sangat berkepentingan meningkatkan nilai usaha yang tercermin dari harga saham yang meningkat. Harga saham dan laporan keuangan cukup lama menjadi informasi andalan para pemilik modal yang paling strategis. Namun ternyata nggak cukup juga.
Dalam bahasa ilmu biologi khususnya epidemiologi, kedua informasi strategis di atas mencerminkan kondisi ketika masa inkubasi telah terlewati. Terdapat ruang antara penularan pertama kali sampai gejala penyakit mulai dirasakan, dan ruang itu yang disebut masa inkubasi dapat sangat lama. Dengan kondisi tersebut, para ahli mencari cara mendeteksi infeksi lebih awal untuk melakukan pengobatan yang lebih efektif. Bahkan kalau perlu, seperti dalam ungkapan lain, mencegah lebih baik dari pada mengobati.
Dalam bisnis, kondisi yang sama terjadi sehingga para ahli manajemen terus berupaya menentukan informasi apa gerangan yang dapat dijadikan indikator kondisi awal penularan. Kaplan dan Norton menyusun kerangka the balance scorecard yang kemudian disempurnakan menjadi kerangka strategy maps. Untuk organisasi non profit seperti Pemerintah Kota Bekasi, konsep strategy maps dan balanced scorecard dapat juga digunakan. Indikator balanced scorecard dibagi menjadi empat area, yaitu area kinerja keuangan, area kinerja kepuasan pelanggan (dalam hal ini masyarakat), area proses yang dilakukan pemerintah untuk melayani masyarakat, dan area intangible kualitas SDM pemkot serta kemampuannya untuk belajar dan meningkatkan diri. Untuk sederhananya: (1) keuangan, (2) kepuasan masyarakat, (3) proses pemkot, dan (4) SDM pemkot.
Pada posting yang lalu telah diajukan informasi strategis mengenai infrastruktur, pendidikan, kepastian hukum, kesehatan, dan kesejahteraan sebagai informasi paling strategis untuk masyarakat Bekasi, kaitannya dengan kinerja walikota. Seperti dalam usaha bisnis, walikota adalah seorang manajemen atau CEO yang dipekerjakan masyarakat untuk melayani masyarakat yang bertindak selaku pelanggan sekaligus pemilik. Bagaimana informasi strategis tersebut dikemas atau diorganisasikan menurut kerangka balanced scorecard dan apakah sudah memenuhi semua area dalam kerangka tersebut adalah dua pertanyaan yang akan didiskusikan pada posting berikutnya.
Kamis, 14 Februari 2008
An example of a Social Epidemic
This post is taken from SM's comment (unedited) on my previous post, The Tipping Point 8. As I have his permission, I put his comment here because I think it deserves to be in the main page. Thanks to SM for this great comment. Regards, Y Pan.
I think the dissemination of corruptive behavior in a country called “Lovely Land and Water” is an example of a social epidemic. This behavior is very sticky and very contagious indeed, so that corruptions in this country nearly become a culture. But, who are the permission givers? I suspected they are the corrupts themselves, the courts of laws which judge the corrupts and the media that broadcast the session of the court and news about corruptions had contributed to the transmission of the contagion. The buzzing massages (the social contagions) from these court sessions and the media of this “Lovely Land and Water” country among other things are as follows.
(1) Because only a small amount of corrupts can be brought to the court of law, so if you corrupt and lucky enough you will not get caught.
(2) If you corrupt and get caught and than be brought to the court of law by chance you can manage (through your lawyers) to get a mild punishment or even be free from the convictions, therefore if you want to corrupt, you should do it in a big scale in order to obtain enough money to pay the cost and still enjoy a wide margin.
(3) One or two years in prison worth the money corrupted. While in jail you can still be a big boss of some prestigious associations or organizations outside.
It is obvious, that in this epidemic situation, every human being sitting in a “wet positions” (I borrow this terminology from the “Lovely Land and Water” country) will be easily infected by this corruptive behavior contagions, and the epidemic will last forever.
Is there any mean to control and finally halt this epidemic? I recommend the Anti Corruption Commission authority of the “Lovely Land and Water” Country recruits Social Epidemiologists, if this kind of profession has already exists, anyway. Do you agree?
Best regard: SM
Informasi Strategis untuk Masyarakat
Sebagaimana pernah disampaikan di blog ini, kehidupan ini tidak lepas dari pengolahan informasi dari waktu ke waktu. Masyarakat manapun sesuai tabiat hidup memerlukan informasi dan mengolahnya demi terus berlangsungnya kehidupan masyarakat itu sendiri. Hanya saja perlu dikemukakan tidak semua informasi bernilai, atau tepatnya setiap informasi memiliki nilai yang berbeda-beda.
Lalu, karena nilai informasi berbeda-beda, masyarakat yang normal pasti lebih dulu concerned dengan informasi yang paling bernilai, paling strategis. Dalam konteks kehidupan masyarakat Kota Bekasi, teorinya masyarakat harus peduli dengan informasi kinerja pengurus kota, baik di pemkot maupun di parlemen. Apalagi barusan masyarakat memilih pemimpinnya sendiri yang tentu waktu kampanye habis-habisan menjanjikan perbaikan.
Hanya berwacana saja, saya pikir informasi kinerja Walikota Bekasi patut diupayakan ketersediaannya, secara transparan, akurat, terjaga integritasnya, tepat waktu, dan mengena. Kalau boleh di-zoom-in, informasi kinerja tersebut terdiri dari informasi mengenai infrastruktur, pendidikan, dan kepastian hukum. Ini adalah tiga hal yang pemerintah harus paling bertanggung jawab menurut para pengusung ideologi kapitalisme berhaluan ekonomi Neo Klasik, termasuk Thomas L Friedman dalam bukunya The World is Flat. Bisnis dan pertumbuhan ekonomi biarlah menjadi urusan pasar. Apalagi isu kesenjangan, nggak masuk agenda, dalam mimpi pun tidak.
Kita di sini tak hendak membandingkan aliran Neo Klasik dengan Neo Keynesian, tapi anggaplah saya seorang demokrat yang sedang siap-siap menggantikan Bush dan kelompok movement conservatism -nya. Selain tiga hal di atas, saya pikir informasi kinerja di bidang kesehatan dan kesejahteraan bersama juga penting. Jadi, kesimpulannya inilah informasi paling strategis masyarakat Bekasi kaitannya dengan kinerja walikota: infrastruktur (termasuk kebersihan), pendidikan, kepastian hukum (keadilan), kesehatan, dan kesejahteraan bersama. Ada yang lain, nggak?
Selanjutnya, kita perlu breakdown kelima jenis informasi tersebut. Dengan adanya klasifikasi atau taksonomi atau arsitektur informasi yang komprehensif, diharapkan masyarakat dapat menuntut ketersediaannya dan dengan mudah paham kinerja pemimpinnya. Buat apa? Ya... supaya memori kolektif masyarakat tidak pendek amat, yang selama ini membuat pemilihan hanya jadi ajang politik uang habis-habisan dan kemudian setelahnya jadi ajang enak-enakan. Begitu kritik salah satu guru saya suatu waktu.
Bagaimana arsitektur informasi lengkapnya? Insya Allah, saya coba usulkan pada posting mendatang.
Rabu, 13 Februari 2008
Buka-bukaan dalam Manajemen Sampah
Sebagaimana posting-posting sebelum ini, saya sangat mendambakan buka-bukaan oleh para pengurus dan penanggung jawab organisasi, di setiap level. Tentu tidak semuanya patut dibuka, tapi saya maksud adalah buka-bukaan profesional: suatu nilai dasar yang membentuk karakter. Kenyataannya transparansi masih barang mewah di sini, termasuk transparansi pengelolaan sampah.
Orang yang lempeng akan mengatakan kepahitan yang melanda saat ini tidak lepas dari epidemic korupsi (lihat komentar SM pada posting The Tipping Point 8). Setuju dengan itu, saya berharap masyarakat kita pun dapat memutar meja, memulai, dan kemudian melahirkan epidemic transparansi, dalam hal ini, dalam manajemen sampah.
Memang biaya untuk menyediakan sarana pengolahan sampah yang ideal tidak kecil, bahkan dapat menciutkan nyali. Namun demikian, salah seorang bos saya yang kebetulan membaca blog ini mengatakan ia mengetahui penyediaan sarana pengolahan sampah telah diupayakan para entrepreneur, teman-temannya, dan berhasil diterapkan di belasan kota. Nah, waktu penawaran diajukan ke pemerintah daerah tertentu untuk membuat lompatan epidemic, terbenturlah mereka dengan perilaku tutup-tutupan yang menguntungkan pihak tertentu yang seharusnya menjaga amanah.
Nyebrang dikit dari Bekasi ke Medan, diberitakan ternyata pengolahan sampah organik menjadi kompos dapat menguntungkan. Yang lebih dekat adalah Kota Depok. Pemkot menyediakan sarana pengolahan sampah di tiap kelurahan. Yang menonjol bukannya harapan perbaikan, tapi justru dimunculkan adalah masalah yang connectors, salesmen, dan mavens -nya adalah pihak yang kehilangan kesempatan dengan adanya sistem yang lebih baik.
Tanggal 10 Maret sudah makin dekat. Bersamaan dengan perayaan hari jadi Kota Bekasi, walikota dan wakilnya yang baru akan dilantik. Dalam alam demokrasi, kita musti mengucapkan selamat untuk pemenang dan mendukung mereka untuk mengurai benang kusut, membenahi kota. Pasangan yang kalah, sportif, dan berjiwa besar mungkin lebih patut kita selamati. Mereka telah mendidik kita bagaimana sesungguhnya berdemokrasi yang hebat.
Akhirnya, balik ke tema mengenai sampah, dalam rangka mendukung pemimpin baru Kota Bekasi, kita wajib memberikan informasi, ide, koreksi, dan kalau perlu tenaga jika dibutuhkan agar penanganan sampah dapat lebih efektif dan efisien dalam rangka membantu mewujudkan kualitas hidup masyarakat Bekasi yang lebih baik. Kita berharap generasi baru kota ini lahir dan tumbuh menjadi generasi yang sehat, kuat, cerdas, dan berkarakter. Dan, Pak Wali, mulailah dengan buka-bukaan, kemudian konsistenlah.
Selasa, 12 Februari 2008
Ilustrasi Masalah Sampah
Kemarin saya niatkan betul untuk mengambil foto di bawah ini. Lokasinya tidak jauh dari kantor walikota. Setiap harinya puluhan ribu mungkin lebih seratus ribu orang lalu lalang di sini, baik berkendara maupun jalan kaki.
Kalau dari yang berikut ini, dapatkah Anda melihat keindahannya?
Kata Malcolm Gladwell, kondisi ini memberi kesan tidak ada otoritas di sini, padahal kan tidak. Buktinya, kios-kios berikut ini dibongkar.
Pasti ada otoritas. Tinggal menunggu kapan sampah yang memenuhi saluran air selebar hampir satu meter itu dibersihkan (jaraknya hanya beberapa meter dari kios-kios ini), karena saya yakin walaupun mungkin sudah tidak difungsikan sebagai drainase, otoritas pasti tidak menghendakinya berfungsi sebagai tempat sampah, apalagi jadi tempat pembuangan akhir (TPA).
Senin, 11 Februari 2008
Kasus: Manajemen Sampah Kota Bekasi
Setelah membaca buku The Tipping Point, saya tergugah untuk mencari kasus yang sekiranya dapat digunakan untuk menerapkan prinsip-prinsip dalam buku tersebut. Ketika menuliskan artikel ini di KRL yang siap berangkat tepat di depan hidung saya seorang wanita tanpa rasa bersalah membuang sampah keluar pintu. Sebetulnya sih, sudah sangat sering terlihat perilaku seperti itu. Cuman yang ini pas banget timing-nya.
Jauh sebelumnya, saya sudah coba memikirkan masalah ini. Walaupun bukan ahli di bidang persampahan, saya memberanikan membuka percakapan mengenai sampah dengan kenalan-kenalan. Kenalan saya, seorang lurah di Jakarta Barat mengakui ketidakmampuan menangani sampah secara optimal disebabkan ketiadaan anggaran. Yang lainnya, seorang anggota DPRD mengakui kesulitan ini dan menyebutkan beberapa peraturan daerah tidak dieksekusi. Saya tidak tahu alasannya. Kemudian dia mengatakan kesadaran masyarakat mengenai masalah ini rendah. Ini membutuhkan edukasi, dalam berbagai bentuk seperti himbauan dan sosialisasi.
Nah, setelah Pilkada Januari lalu yang kelihatannya sudah cukup jelas perolehan suara masing-masing kandidat, timbul pertanyaan dalam diri saya mampukah masyarakat Kota Bekasi dengan pimpinan walikota baru mengatasi persoalan sampah. Pernah juga saya ngobrol informal dengan katakanlah mantan ahli kesehatan lingkungan yang sudah pensiun. Beliau mengatakan bahwa sarana pengolahan sampah yang ideal membutuhkan biaya yang sangat besar. Beliau merujuk bandingannya dengan negara maju, seperti Singapura dan Amerika Serikat. Ciut juga nyali saya mendengar penjelasan seperti itu, apalagi mengingat kebocoran anggaran yang cukup parah. Akankah pemerintah kota menempatkan masalah sampah ini sebagai prioritas? Apakah walikota mendapatkan insentif jika mengeluarkan dana yang besar untuk ini? Apakah jika ia sukses dalam hal ini, poin baginya dan partainya bertambah dalam pemilihan berikutnya?
Kembali ke saat ngobrol dengan anggota DPRD seperti saya ceritakan di atas, saya mendapat bocoran salah satu kandidat menempatkan masalah pengolahan sampah, terutama di pasar, dan sistem drainase akan menjadi program utamanya jika terpilih, tapi apakah walikota terpilih seperti itu, saya tidak tahu. Saya dengar ia lebih mementingkan yang serba gratis: pendidikan gratis dan kesehatan gratis, suatu janji mulia juga.
Singkatnya, persoalan sampah di Bekasi dan di tempat-tempat lain berada pada situasi menyedihkan: incompetence dan ignorance. It seems implacable and hopeless. Nevertheless, we do have a chance to make a difference. Buktinya kata mantan ahli kesehatan lingkungan yang saya ceritakan di atas ada seseorang di Medan yang mampu mengolah sampah organik menjadi kompos. Ia bahkan membeli, ya betul-betul membeli, sampah organik dari orang lain sebagai tambahan bahan baku kompos yang ternyata secara bisnis menguntungkan.
Kalau pemerintah dan masyarakat Kota Depok, juga Bogor kalau tidak salah, berhasil menciptakan epidemic membuat sumur resapan, mengapa epidemic pengolahan kompos tidak diupayakan di Kota dan Kabupaten Bekasi? Kalau suatu epidemic membutuhkan connectors, salesmen, dan mavens, saya berharap ada 'komunitas sampah' tersebut, dengan dukungan pemerintah atau tidak, yang akan membantu mengatasi persoalan sampah di Kota Bekasi. Mungkin saja memang sudah ada yang bergerak. Kalau pemulung bisa bergerak untuk membantu daur ulang sampah non organik, mengapa 'pemulung' sampah organik tidak? Yes indeed we do have a chance.
Sabtu, 09 Februari 2008
The Tipping Point
Best seller The Tipping Point is one of my favorite books. I try to summarize the book into a less than twenty-page reading. Hope you enjoy this. If you like it and think others may get benefits from this summary, you may let your friends know about it. However, if you don't like it, please give your comments and let me know.
To read the summary, please follow the links (so far I have summarized all but the endnotes; although the endnotes is an interesting part, I would not post its summary here; if you really like to read it, just leave your comment or email me):
The Tipping Point 1 - Introduction and Chapter 1
The Tipping Point 2 - Chapter 2
The Tipping Point 3 - Chapter 3
The Tipping Point 4 - Chapter 4
The Tipping Point 5 - Chapter 5
The Tipping Point 6 - Chapter 6
The Tipping Point 7 - Chapter 7
The Tipping Point 8 - Chapter 8
If you think this article really deserves it, please make your donation by using PayPal.
The Tipping Point 8
Chapter VIII: Conclusion – Focus, Test, and Believe
Georgia Sadler, a public health nurse, tried to promote the awareness of the danger of breast cancer and diabetes in San Diego. First, she tried to arrange seminars in black churches, but the attendance was very discouraging. Then she thought that she had to give her message a different context, as well as a different kind of messengers – a little bit connectors, a little bit salesmen, and a little bit mavens. Afterward, she decided to spread the words from beauty salons where stylists and their customers often spent hours together, in long-term relationships. After training a bunch of stylists, devising an appropriate system, and executing the communication program in beauty salons for a while, she knew that it worked.
Like other cases in this book, Sadler’s case also showed similar characteristics. Her effort was modest – little. She changed the context, the messengers, and the message itself. She started with the connectors, the salesmen, and the mavens, since no one else matters in starting an epidemic. She also focused on critical places, i.e. the beauty salons. With regard to message itself, she devised supporting materials most fit in beauty salons. The message is printed in a large size; the sheets were laminated in order to face salons’ busy life. The message was also conveyed to the targeted women in a form of conversations between stylists and their customers.
Because of the modesty of the epidemic cases presented in this book, we can say the tipping point is all about band-aid solutions. Yes, it is. Although we all have a good tendency to solve problems in a comprehensive, ideal, and long-term way, we should admit that band-aid solutions enable people to continue their various activities, unless without band-aid they should stop. To solve problems in life, the combination of comprehensive solutions and band-aid solutions is a must because an indiscriminate implementation of only one solution is often not possible.
However modest the way of tipping point seems to be, we should aware three things to make its implementation effective. First, we should change our paradigm that dramatic effects are only possible. Traditionally we cannot understand that if we fold a sheet of paper fifty times, the folded sheet can reach the sun. Second, we should deliberately test our intuition to reveal unobvious evidences and consequences. Look again at the cases presented in this book, especially Sesame Street and Blue Clues. Third, we should admit that change is possible. While traditionally we assume that people are autonomous and self-directed, we should concede that actually human’s behavior is very susceptible to a little change in the environment and others’ action.
Now, look around you. You may think that it is useless even to try a change because it is impossible. Your place (your home, your RT, your RW, your office, your community, your city, your country – Y Pan) seems implacable and hopeless. The truth is… IT IS NOT! WE HAVE A CHANCE!
If you think this article really deserves it, please make your donation by using PayPal.
Rabu, 06 Februari 2008
The Tipping Point 7
Chapter VII: Case Study – Suicide, Smoking, and the Search for Unsticky Cigarette
In 1960 suicide in Micronesia was an unknown phenomenon, while at the end of 1980’s Micronesia’s suicide rate was highest in the world, seven times higher than that of US. The suicides were mainly committed by teenage males and triggered by trivia, domestic problems such as problems with parents, brothers, girlfriend, etc. A study showed that the characteristic of the suicides was imitative and experimental, even almost recreational. Something rare and random in a normal world became trivial in Micronesia. Why?
Let us set aside the Micronesia’s suicide cases. In the US, a traditional anti smoking approach does not succeed in preventing teens from smoking. Indeed, in the past, the traditional antismoking campaign was backfiring, increasing teen smokers. Apparently, it is not enough just to tell teens about the danger of smoking. A research shows that teen smoking is not about rational reasons; it is about a mysterious behavior. Like suicide phenomenon in Micronesia, it is imitative and experimental, not to mention recreational.
The imitative behavior has been studied intensively by a lot of researches. One research studied how a street accident publicized in the news attracted more fatalities in the following days. The first incident gives permission to certain people. The person who gives “permission” to do something, like committing suicide and smoking, is called a permission giver, the role of a salesman.
A permission giver gives a specific instruction to the “intended” socially linked group, the associated subcultures to behave similarly. While not understood by people outside the linked group, the instruction is regarded as a certain kind of information by the group. In Micronesia, the permission giver was the infamous teen who committed romantic suicide because of a complicated love relationship with two girls. The infamous teen had the power of personality, family background, and a very sticky incident to tip an epidemic.
In the case of teenage smoking in the US, the role of permission givers is acted by a special group of people, i.e. cool smokers. Although smoking is not cool, smokers are often cool, giving permission to the associated subcultures to smoke. In some cases, the followers often beg to follow the suit, just to look cool: extrovert, having many friends, attractive, rebellious, taking more risks, and so on.
What happens to the followers after their first smoking? A study shows that it depends on their individual initial response to nicotine. Some people can experience a buzz when first smoking, in which case smoking is sticky for them. Other people’s first experiments are without buzz experience, only resulting in non-smokers or chippers (light smokers), in which case smoking is not sticky but still contagious. If the buzz is very high, the first smoking experiments result in heavy smokers in which case smoking is contagious and then very sticky. The research concludes that contagiousness is a function of environment, while stickiness is a function of gene.
Now, provided that we know there area two different types of problems in the spread of smoking, we can analyze two strategies: the contagiousness strategy and the stickiness strategy. On the one hand, preventing salesmen from smoking in the first place is part of the contagiousness strategy. Advising teens and providing teens with an alternative roles models and lifestyles are both also the contagiousness strategy. On the other hand, making nicotine substitutes and lowering nicotine level in cigarettes are in the stickiness side. Which one is the best for overcoming the problem?
According to various researches, both gene and environment have significant roles in shaping an individual’s personality. Quite surprisingly though, home or parent-control environment has less impact to kids' individual personality than peer pressure does. This suggests that it is hard for parents to prevent teens to experiment smoking in their adolescence. It is useless to do so. Unlike the contagiousness strategy, the stickiness strategy seems to be more effective. According to nicotine experts, it needs about three years of experimentation for an average teenager to get hooked, meaning parents have enough time to let their kids to be exposed safely given that cigarettes are no longer too sticky.
The stickiness strategy, however, cannot be used for all cases. Not all cases have that long three years of grace period. Bad things can happen very quickly in many cases. Some even are irreversible. The suicide epidemic in Micronesia is an example. (Lesson learned: there is no such panacea to cure all problems and we need to be careful especially in some severe cases – Y Pan)
If you think this article really deserves it, please make your donation by using PayPal.
Selasa, 05 Februari 2008
The Tipping Point 6
Chapter VI: Case Study – Rumors, Sneakers, and the Power of Translation
In the mid 1980’s, Airwalk started in San Diego making shoes for skateboarding, a.k.a. air walking. It had a niche market segment among cult skateboarders, worth 13 million revenue. In the early 1990’s, the owner changed course and wanted to broaden the products and the market, using active alternative life style concept. They hired a small ad agency, Lambesis. Its revenue surged from 1993’s 16 million to 1995’s 250 million revenue. In the mid 1990’s, Airwalk tipped.
Airwalk’s epidemic transmission cannot be separated from the role of Lambesis. A small ad agency, lambysis used an unusual kind of ads. The ads were always weird, funny, and inspiring. An example is that Airwalk shoes are used in head. Another is that an Airwalk shoe is used as a mirror by a girl to apply lipstick. The best one, often copied by other ads, is that an Airwalk shoe is used by a young boy to kill a spider, unsuccessfully in the ceiling up to a bed. In this last example, the camera movement is used to intrigue viewers with naughty perception.
The best way to explain how Airwalk tipped is by using the diffusion model, a model developed by Bruce Ryan and Neal Gross, 1930’s. They studied how a new superior corn seed was introduced in 1928, adopted by handful farmers in 1932-1933, and prevailing a few years later. The farmers were classified into innovators, early adopters, early majority, late majority, and laggards. Although the distance between early adopters and early majority seems to be little, there is actually a wide chasm between them. While early adopters tend to perceive risks in a positive way, early majority undoubtedly perceive risks as negative. To close the gap come the roles of connectors, mavens, and salesmen.
Connectors, mavens, and salesmen translate the language of innovators and early adopters into a common language that makes most emotional appeal to early majority. They tweak the innovation – the idea – a bit by changing the original idea into one more fit to the majority context. This kind of “distortion” is easily found in the spread of rumors that change along the way, becoming the “mainstream truth” however incorrect. The study of rumors shows that in the spread of rumors some translations typically happen. Usually some details are ignored or dropped, while other details are emphasized. The original story is distorted based on the gravity of the contextual social environment.
So, how did Airwalk specifically do? First, the company conducted a market research of what were the trends happening in the street. It then followed the suit and made ad campaigns in the context of pervasive trends. In other words, Airwalk piggybacked the already-happening trends. In order to do that, Airwalk’s market research focused on certain young cool kids, the trendsetters. Ms Gordon of Lambesis, an inspiring figure of Airwalk’s ad campaigns, was behind the epidemic. She took the role of a maven, a cool fashion maven. The ads as already mentioned above were then designed in such a way that they uniquely touched the market.
Finally, it should be mentioned also that to maintain an innovative epidemic, the innovation itself should be maintained so that the innovator and early adopter market always has something to diffuse to the mainstream market. Airwalk failed to do it. Consequently in 1999, Airwalk epidemic started to falter because it gave up all of its innovation to the mainstream without any new innovation being introduced.
If you think this article really deserves it, please make your donation by using PayPal.
Minggu, 03 Februari 2008
The Tipping Point 5
Chapter V: The Power of Context (Part Two) – The Magic Number One Hundred and Fifty
Rebecca Wells’ Divine Secret of Yaya Sisterhood is really sticky. Ex-actress, Rebecca is a classic salesman, making her Yaya Sisterhood reading performance is like theatrical performance. In addition to the role of Rebecca and the stickiness of the book, there’s another critical factor to make Yaya Sisterhood a best seller. It’s the power of context, i.e. how groups change individual behavior through group power, peer pressure, etc. A typical Yaya Sisterhood reading group initially consisted of mothers and daughters (two generations), but later consisted of grandmas, mothers, and daughters (three generations).
Another example of group success is John Wesley’s Methodist movement whose members surged dramatically from late 18th century to early 19th century. Not only preaching, Wesley stayed a little longer to have further talk to interested audiences. Afterward, those interested persons were grouped in practicing groups. The members of a group should attend weekly meeting when value and practice were enforced. Those not complied with the value were expelled.
Group power has already been an interesting topic for research. According to findings, individuals behave differently if they are in a group. Group gives peer pressure. Group gives social burden, as well as intellectual burden. The question is how large a group is supposed to be for its effectiveness. This size problem relates to human limitation, scientifically called channel capacity.
In his research, George Miller concluded that in average human short-term memory is limited to the magic number of seven. You can attest this by trying to differentiate the sweetness of a series of cups of tea. The limit is almost always seven, i.e. you can differentiate only up to seven cups of tea. If you like to sing, probably you can attest this magic number by trying to differentiate a series of different tones rather than cups of tea. This also was the reason why local telephone numbers usually consist of seven digits. This limitation is true not only for cognition but also for feeling. Please try to answer how many your close friends are. More than twelve? Wow, it is not usual.
Another researcher, Robin Dunbar suggested that human social channel capacity is the magic number of one hundred and fifty, in average. He derived this number from homosapien neocortex size and compared this computed number to the average size of villages and tribes in Australia, Papua New Guinea, etc. Hutterite settlements’ splitting point is also 150. When a colony exceeds 150, the colony should split into two.
This social channel capacity or limitation is also parallel with the size of battle functional units in army, which never exceeds two hundred. With this group size, the group can be governed with one-to-one command relationship and personal loyalty. Larger than 150, people will be stranger to each other. Consequently, to maintain cohesion in a group larger than 150, hierarchy, laws, rules, and enforced policies should be introduced.
An example of principle 150 implementation can be found in Gore & Associates. This company produces water resistance goretech, electronic, medical, pharmaceutical products. At Gore, there are no titles, only ASSOCIATE’s. No boss, no plan, no organization chart, no prestige’s office. Gore is a big company attempting to act like a small, entrepreneurial one. It is always high ranked in growth and profit. In each plant, there are only 150 associates. If the parking lot (150 in size) is not enough anymore, it is a sign to build a new plant. Peer pressure is more powerful than a boss: everyone knows everyone. Unity in a complex institution results in a GLOBAL MEMORY SYSTEM.
Daniel Wegner (University of Virginia) introduced that people remember things with help of relationships and groups. This kind of memory is called transactive memory. Individuals do not need to know everything, because there’s somebody who is expert in one area. The total expertise and memory within relationships and groups is much more larger than that of any individual (see also a more recent book The Wisdom of Crowds by James Surowiecki – Y Pan).
Basically, people store information outside their brain. Even people store information with other people. Daniel Wegner experimented with couples who know each other and couples who do not know each other to remember things. As you might have expected, the couples who know each other remember things better. With expertise specialization in group and with automatic assignment regarding storing new information, efficiency is more evidence. However, this global memory system only can work if people in a group know and trust other people to know what they know.
Finally, using the channel capacity concept, in order to tip a big movement, one needs to start with many smaller contagious movements first. However paradoxical, the statement intuitively is so true!
If you think this article really deserves it, please make your donation by using PayPal.
The Tipping Point 4
Chapter IV: The Power of Context (Part One) – Bernie Goetz and the Rise and Fall of New York City Crime
The crime rate in NYC 1984 was very high and still rising. At that cold winter night, in a dirty train Bernie Goets was approached by four black young men who later were proved criminals. The dirty train was full of excessive filth and graffiti, implying that there was no authority. Ready to face a fierce life, Bernie shot them all. Ironically, in the next days, he was treated by media as a hero and he also was free from a guilty verdict.
When NYC’s crime rate declined during the 1990’s, experts argued that it was because of the economy betterment and the aging population (even Levitt in Freakonomics argued that it was because of abortion beginning years before – Y Pan). However, while the the economy of NYC was stagnant and new immigrants made the argument of aging population not relevant, NYC’s crime rate still tipped down. Why? The reason lies on broken window theory.
A disciple of broken window theory, David Gunn was recruited as NYC subway director. He battled graffiti (1984 – 1990) and devised a cleaning up system. Dirty trains were never mixed with clean ones. He was so religious in his approach. Together with William Bretton (now LA Police Chief, and the only person ever holding both NYC and LA Police Chief – you can check it using Wikipedia, Y Pan), a disciple of broken window theory too, he battled fare beating. Bretton added the number of transit police in the platforms and in the trains to pursue fare beaters.
Challenged with an argument that he should pursue more serious crimes, Bretton insisted in this fare beating campaign. It revealed that the arrested beaters had more chance to be criminals, carrying guns, other weapons, and drugs. The following positive result made Bretton have more legitimacy to promote even more strict measure, although it required even more budget. Later, under NYC’s Mayor Giuliani administration, he conducted clean street campaign. The new rule was if you pee in the street, you are going to jail.
Simple measures, big effects!
If you think this article really deserves it, please make your donation by using PayPal.
Sabtu, 02 Februari 2008
The Tipping Point 3
Chapter III: The Stickiness Factor – Sesame Street, Blue’s Clues, and Educational Virus
Experts argued that educational TV was not possible since it’s one direction, low involvement teaching. Nonetheless, people behind Sesame Street tried to disprove the argument. They were obsessed to educational TV. They are obsessed in devising educational virus to increase preschool literacy to combat poverty. Later, Sesame Street was proved succeed in increasing children literacy by intensive researches. The quality of Sesame Street makes it memorable in children memory. It is STICKY!
To increase stickiness of a message, experts use various techniques. One is repeats, another is celebrity endorsement, and another is direct marketing. The treasure hunt – a little gold box – is a connection and trigger for inviting further response. Leventhal experiment (1960’s) gave high fear and low fear booklets to two groups of Yale students about the danger of tetanus. Although the high fear booklets increased the awareness, the lack of the treasure hunt made the students take still no action to get shots. A map and time schedule to go to the place where action should take was needed as the treasure hunt. Nowadays, the stickiness factor becomes even more significant because we are exposed to a plethora of messages and advertisement
What was behind Sesame Street? The most important key is how to hold children attention, while TV watching experience is passive. Children can be distracted from watching by various distractions, such as toys. However, based on a research, they have the ability to strategically watch the TV show. Children watch only if they understand, while they look away when they confuse. Ed Palmer’s innovation resulted in an effective way to test children attention. Side slideshow distracters were played beside every Sesame Street show before a group of children to decide whether it’s OK to launch. The indicator of attention was derived from eye movement tracking.
An improvement to Sesame Street was Blue’s Clues. Blue’s Clues took away complex messages that cannot be understood by children. On the one hand, Sesame Street is a magazine show consisting of short, non-narrative segments, based on an argument that 30-second ad can sell a box of cereal to a kid and hopefully can sell a lesson too. On the other hand, Blue’s Clues conveys stories or narrations, based on the fact that children likes to watch a story or narration and make up narratives based on their daily experience and imagination. Another correction made by Blue’s Clues was avoiding humors and jokes. Blue’s Clues is always literal and has the same plot.
Another significant breakthrough, Blue’s Clues plays repeatedly the very same show from Monday to Friday and plays only a new show next Monday (James Earl Jones effect). The reason behind is that a search of understanding and predictability leading to discovery is a significant factor of preschool learning. Moderate layers of complexity are necessary to trigger more understanding from one repeat to the next. Furthermore, the sequence of the clues matters. The format and presentation as well as the inherent stickiness of the message also matter.
If you think this article really deserves it, please make your donation by using PayPal.
The Tipping Point 2
Chapter II: The Law of the Few – Connectors, Mavens, and Salesmen
What Paul Revere did in 1774 when he ride a long miles in midnight spreading the words “British is coming” to people in small towns and villages of Massachusetts demonstrates the power of word-of-mouth. Because of such heroic action, he became one of legends in the American Revolution history. In only one single night, he started an epidemic so that people of those small towns and villages became more than ready to welcome the British.
Still the most important form of human communication, not all word-of-mouth ignites epidemic, only in a rare condition. Why? The answer lies on the man, not only the message. While Paul Revere’s message tipped, Dawes’ very same message did not resulting in people readiness in areas visited by Dawes that night. This implies that Paul Revere was different from William Dawes. Paul Revere was a great connector. One research in US, late 1960’s, revealed the behavior of social network. The central theme of the research was the role of Mr. Jacobs, Mr. Brown, Mr. Jones – the role of connectors.
The research revealed that in average every single person separates from each other by six other persons. This means in average Joe can reach an unknown person Fulan through person A, B, C, D, E, and F. However, average is not the most revealing indicator, since there are outliers like Paul Revere – a very small number of people, the connectors – who seem to know everyone and bring the world together.
Connectors are people who know everyone. They are people specialists. Generally, the older know more people. The upper incomes know more people. Another factor is profession. Furthermore, people with more roles and subcultures like actor Rod Steiger know more people than people with less roles and subcultures like actor Kevin Bacon, even though more popular. However, amazingly, a true connector is more born than deliberately developed. A connector has an unusual social behavior, collecting people like collecting stamps and maintaining the strength of weak ties.
Another kind of roles in social epidemic is mavens, experts. Unlike connectors who are people specialists, mavens are more than experts or information specialists. They are people who peruse the price and compare it to the actual price of everyday-low-price products AND act promptly if it is not as promised. They are people who obsessedly observe and collect information about a product or concept or subject. They are people not saying that it’s hot yesterday but saying that it’s 95 degree yesterday here and even 97 in the city center.
While connectors connect people, mavens connect people to the marketplace. While connectors spread the epidemic, mavens often start social epidemic. Just like connectors, they are rare and born rather than developed. Needless to say once again, they are not acting, by they have the gene, the personality.
Last but not least, there are salesmen. They are good in persuading their peers and others. An example is Thomas Gull who says he loves his clients and perceives his clients family and loves helping his clients wholeheartedly, obsessedly, let alone highly optimistic. A research (1986, Syracuse University) conducted an analysis of facial expressions of three newscasters during Ronald Reagan (Republican) and Walter Mondale (Democrat) campaign (1984). Peter Jennings (ABC News) had a significant bias in favor of Reagan. He always smiled when mentioning Reagan.
Another research revealed that simple actions like nodding and shaking toward an argument have a significant effect toward accepting or rejecting the argument. Nodding is so much like Jennings’s smile when mentioning Reagan. Moreover, another research (William Condon) conducted a study of cultural micro rhythm, i.e. synchronization between conversations and physical micro movement, concluding simple physical movements have significant impacts. In other words, persuasion is more than just words. Parallel with the researches, salesmen have reflex persuasive personality. They are charismatic persons, good in sending their emotions to others even without conversation.
If you think this article really deserves it, please make your donation by using PayPal.
The Tipping Point 1
The Tipping Point
By Malcolm Gladwell
Introduction
After a long surge until1980's, NYC’s crime rate dropped in an extremely short time. The phenomenon took place dramatically, not gradually. Later when we examine what the cause was, we'll find in this book that actually it was triggered by little changes imposed by local administration.
In addition to dramatic effects caused by little changes, contagiousness makes such phenomenon as NYC's crime rate drop an epidemic. Unlike epidemic caused by virus, the social epidemic entails the spread of new ideas, new trends, new habits, or the like. This kind of epidemic is called the tipping point by Malcolm Gladwell because it demonstrates a sudden change like the tip in your fingertip.
Although little changes can cause big effects or radical changes, not all changes succeed in causing such effects. Questions to answer then are (1) why some ideas, messages, behaviors, or products tip, while others do not, and (2) what we can do to start a tipping point or a good social epidemic.
Chapter I: The Three Rules of Epidemic
In mid 1990’s, Baltimore experienced an increase of syphilis infection. One theory says that it was because of the use of cracks, while another says it was because of the breakdown of health public service due to budget constraint, yet another says the devil was the city’s housing dislocation resulting in infected, transmitting people moved and were rampant.
There is a hidden and interesting fact, that is the cause agents only increased a bit but resulted in a big effect. The three agents of change: (1) the people infected and transmitting the infection (the law of the few), (2) the infectious agent itself (the stickiness factor), and (3) the environment where the infection is operating (the power of context).
The law of the few relates to the law of 80/20 in which 20% agents contributed 80% results. However, in epidemic, the proportion becomes more extreme: a tiny group causes most. For example, “Boss Man” McGee (St Louis, mid 1990’s) infected at least 30 with HIV and “Face” / “Sly” / “Shyteek” Williams (Buffalo, mid 1990’s) infected at least 16. Such people as Boss Man and Face have special characteristics, i.e. sociable, energetic, persuasive, enthusiastic, exceptional-select people.
The stickiness factor relates to the strength of the infectious agent itself in infecting a lot of people. For example, the mutation of flu virus in the beginning of 20th century made it a lot stronger killing tens of thousands of people (1918). HIV virus was also mutated from a weaker virus into a deadly one. In the world of messages, a sticky message or idea should have widespread impact in a longer term. It consists of catchy, contagious phrases.
The power of context relates to the environment where the epidemic takes place. For example, the black-star area in Baltimore where syphilis-infected people lived enlarged and shrank due to the circumstances. Another example is the big city life, like NYC where once people ignored crimes happening in front of their nose. In 1964, 38 people heard her scream, but acted non to help Kitty Genovese – a young Queens woman – from killing. Based on a research, when in a group, people perceive their responsibility lower (like fardhu kifayah) than when not in a group (like fardhu ain).
If you think this article really deserves it, please make your donation by using PayPal.
addthis
Kategori
- bahasa-matematika (23)
- demokrasi-politik (51)
- ekonomi-bisnis (71)
- lebih personal (42)
- manajemen (111)
- nilai-nilai (137)
- review buku (68)
- sistem informasi (37)