Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Senin, 21 Desember 2009

Lupa

Lupa artinya tidak ingat. Tidak ingat apa? Bisa saja tidak ingat masa lalu. Ya iyalah, masa tidak ingat masa depan? Masa depan kan belum terjadi? Betul, tapi ada sesuatu tentang masa depan yang bisa kita ingat-ingat atau lupakan, misalnya rencana dan ramalan. Baik rencana maupun ramalan sama-sama berorientasi ke masa depan. Bagaimanapun orientasinya, tetap saja rencana dan ramalan terjadi di masa lalu. Waduh, koq mbulet gini?

Misalnya gambaran mengenai kiamat. Kiamat terjadi di masa depan, tapi gambarannya sudah disampaikan di masa lalu, lewat berita dari para nabi. Atau bisa juga diramalkan oleh teori 'ilmiah' yang artinya jauh dari akurasi kepastian. Ilmu fisika, misalnya, menerangkan dunia ini terus menerus mengembang, seperti balon yang ditiup. Ilmu fisika juga menerangkan bahwa dari sebelah atas kita senantiasa diserang oleh benda-benda angkasa yang menabrak bumi, sementara dari sebelah bawah kita diancam pergerakan lempeng bumi dan dahsyatnya magma.

Berita atau teori mengenai masa depan itu bisa saja tidak kita yakini. Bisa juga kita yakini. Bisa juga kita yakini sebagiannya. Bisa juga ragu-ragu. Kalau lagi nggak ada masalah, seolah ancaman kiamat tidak kita anggap sama sekali. Sebaliknya, kalau disingkapkan sedikit bencana ke depan muka kita, hati tiba-tiba berteriak... jangan-jangan... Ya begitulah manusia tempatnya lupa. Kalau seseorang nggak ada lupanya mungkin dia bukan jenis manusia, tapi sejenis mesin pencatat atau entahlah.

Wah, emangnya lupa melulu bersifat jahat? Coba bayangkan kalau kita tidak bisa melupakan mimpi buruk atau suatu pengalaman buruk. Untung, untung, untung kita bisa melupakan banyak hal, karena kalau tidak demikian, perasaan kita jadi selalu campur aduk berbentuk spektrum, mulai dari sedih banget, marah banget, bete, sampai rasa gembira luar biasa dan berani menjurus nekad. Semuanya campur aduk dalam satu saat. Alhamdulillah, perasaan kita tidak seperti itu, pastinya karena banyak lupa, sehingga pengendalian diri tidak luar biasa sulit.

Nah, di titik ini kita menyadari manfaat lupa. Kita bahkan ternyata dapat mengendalikan sampai tingkat tertentu (pasti ga semuanya) mana yang mau kita ingat dan mana yang kita mau lupakan. Proses belajar, merenung, mendengar, membaca, menulis, menerangkan, dan melakukan adalah sarana-sarana untuk menguatkan ingatan dalam memori kita. Sementara proses mengabaikan dengan berbagai variasinya adalah sarana untuk melupakan.

Dengan kenyataan bahwa kita punya ruang untuk melupakan dan tidak melupakan sesuatu, masalah sebenarnya adalah apa sih yang mesti diingat terus dan apa yang wajib dilupakan. Tanpa kesadaran ini, kita akan melupakan apa yang pihak lain ingin kita melupakannya, dan kita akan mengingat hal-hal yang disodori pihak lain. Lha, kalau banyak pihak ingin merencanakan atau mengagendakan sesuatu untuk kita, mana yang akan kita ikuti. Secara tak sadar, kita akan mengikuti pihak yang paling lihay memasarkan sesuatu.

Celakalah kita! Pihak yang paling lihay merencanakan hidup kita belum tentu di pihak yang benar. Untuk menghadapinya, kita harus tahu: mana yang diingat-ingat dan mana yang dilupakan aja. Untuk menghemat kata-kata, saya langsung ke kalimat suci syahadah, sesuai keyakinan saya: tiada tuhan selain Allah. Bagi saya, inilah puncaknya. Yang mesti diingat pertama kali adalah Dia. Selanjutnya, yang harus diingat adalah apa-apa yang Allah ingin kita mengingat-ingatnya. Sebaliknya, kita wajib melupakan apa yang Allah ingin kita melupakannya. Ajakan setan adalah contohnya, betapapun menarik dia.

Untuk ilustrasi sederhana, dalam kehidupan sehari-hari, lupa anak, istri, dan orangtua terkadang menjadi suatu yang utama. Lho koq bisa? Ya bisa aja jikalau anak dan istri atau orangtua justru menghalangi kita dari Allah. Masih ingat kisah hidup Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim kan? Cuma, normalnya lupa anak dan istri apalagi orangtua adalah suatu yang dibenci Allah. Dalam Islam dan kayaknya budaya manapun, anak dan istri serta orangtua juga saudara kandung adalah pihak terdekat kita.

Untuk panduan secara umum, lihatlah contoh-contoh akhlak yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Secara khusus, lihatlah hukum waris. Lihat juga hukum perwalian dalam nikah. Nah, jika demikian, masihkah kita bingung menentukan untuk melupakan sesuatu atau mengingat-ingat suatu yang lain? Mudah-mudahan nggak, sehingga kita bisa menyikapi hal-hal berikut ini dengan benar.

Lupa diri (nggak nyadar)
Lupa ingatan (amnesia)
Lupa-lupa ingat (kayak lagu aja)
Lupa daratan (mabok laut)
Lupa anak-istri (madu tiga)
Lupa janji (awas!)
Lupa kalau lupa (gawat)
Lupa Allah (naudzubilLah)

4 komentar:

Menatap Matahari Senja mengatakan...

Yang selalu teringat biasanya kesalahan orang lain kepada kita. Pada hal itu harus kita lupakan. Yang selalu kita lupa, atau lupa lupa ingat adalah kebaikan orang lain kepada kita. Pada hal itu tidak boleh kita lupakan. Begitu kata seorang da'i dalam tausiyahnya di Al Hakim beberapa waktu yang lalu. Dari: Yaihanif

Y Pan mengatakan...

Bener itu Pa. Syukron untuk pengayaannya.

Anonim mengatakan...

Lupa disengaja. bolehkah? misal takut akan dizolimi atau melindungi orang baik.

Y Pan mengatakan...

wah Pak Fran, pertanyaannya sulit. Sama aja nanya white lies boleh apa nggak.

addthis

Live Traffic Feed