Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Selasa, 28 Juli 2009

Allahu Akbar

Saya berkendara menuju rumah ayahanda tercinta untuk mengantarkan makanan. Kebetulan hari itu, ada arisan di rumah, sehingga makanannya cukup spesial. Sehabis melintas di depan masjid Al Hakim, saya belok kiri. Pas di pojok kanan saya lihat dua grup pekerja. Yang pertama adalah grup penggali tanah untuk jalur kabel fiber optic. Yang satunya lagi kelihatannya adalah grup pekerja yang merapikan trotoar di depan rumah pemberi kerja. Hati saya berdesir, takut terjadi konflik antara dua kelompok pekerja keras tersebut karena lokasi mereka sangat berdekatan.

Beberapa hari sebelumnya, saya sudah memperhatikan grup penggali tanah itu. Mereka menggunakan teknik mengebor tanah secara mendatar. Pada satu blok perumahan, galian hanya dilakukan pada titik-titik yang berjarak kurang lebih lima meter satu sama lain. Pengeboran dilakukan mendatar dari satu titik galian ke titik berikutnya. Dugaan saya, jalur yang dibor kemudian dipasangi casing. Soalnya di lokasi kerja sering saya amati ada pipa-pipa peralon seukuran kabel jumbo.



Para pekerja bor mendatar ini sangat rajin. Setiap saya jalan kaki ke masjid untuk shalat Isya, mereka kedapatan masih bekerja dengan rajin. Gimana shalatnya? Gitu saya pikir. Apalagi peralatan mereka sangat minim. Kalau di Amerika pekerja seperti ini dilengkapi sepatu boot, pakaian kerja lengkap, sarung tangan, dan helm, para pekerja bor datar ini hanya menggunakan celana pendek, tanpa alas kaki. Dengan segala kekuatan fisik dan kesabaran, mereka bekerja dengan sangat tekun.



Selang beberepa meter dari pengkolan, saya tiba di rumah ayahanda. Pintunya terbuka, tapi pintu terali besi plus kawat nyamuk terkunci. Saya memberi ucapan salam, tapi tidak terdengar jawaban. Saya mulai ragu, jangan-jangan beliau tidak di rumah. Wah bagaimana ini makan siangnya. Saya coba telepon, tapi nggak diangkat. Pada saat yang sama, saya mendengar keributan dari arah pekerja-pekerja tadi. Sepertinya ada suara teriakan-teriakan. Wah jangan-jangan ada yang berkelahi. Saya menahan diri. Dalam hitungan detik, teriakan-teriakan berubah menjadi Allahu Akbar. Berkali-kali. Bahkan kemudian disusul dengan la ilaha illalLah.

Saya menghentikan percobaan nelepon. Saya lalu mengintip sekilas dari balik pagar. Beberapa orang menuju lokasi keributan, termasuk satpam di pos yang tidak jauh dari situ. Pekerja-pekerja bor datar nampak berusaha menarik rekannya dari lubang galian. Inna lilLahi. Saya pikir rekan mereka kejepit sesuatu. Selang beberapa saat, dari dalam rumah di pojokan seseorang membawa kantong plastik dan menyerahkannya ke pekerja. Ada plastik lagi. Saya merasa kasihan banget dengan yang kejepit. Teriakan frustasi berkali-kali terdengar sampai mereka berhasil mengeluarkannya.

Beberapa saat kemudian baru saya sadar kejadian sesungguhnya. Seorang saksi yang lebih dulu di lokasi menjelaskan bahwa salah seorang pekerja kena sengatan listrik dan tidak bisa dikeluarkan dari lubang. Tubuh hitam berlumpur itu dibaringkan di tanah. Rekannya yang juga berbaju lumpur berusaha membuatnya sadar. Tubuhnya digoncangkan. Kepalanya digelengkan. Dadanya ditekan-tekan. Namanya dipanggil-panggil. Tangisan mulai terdengar. Sedih. Pedih. Perih. Menyesal!



Rasanya hati ini ikut menangis. Oh Allah, alangkah berat cobaan yang Engkau timpakan pada hambaMu. Oh Allah, ampunilah dia yang mungkin banyak melewatkan waktu shalat selama bekerja keras untuk diri dan keluarganya. Oh Allah, terutama ampunilah kami! Oh Allah, pimpinlah kami untuk memperbaiki keadaan ini.

Artikel terkait:
Karakter Pemimpin

Selengkapnya.....

Senin, 13 Juli 2009

Para Pendosa Jalanan

Untunglah ada masa depan dan akhirat. Untunglah hidup tidak hanya satu titik saat ini saja. Untunglah hidup berupa series of events. Ketika pada satu kejadian kita belum beruntung, masih ada harapan masa depan kan berbalik membela. Terlebih lagi situasi dilematis sering mendorong orang berbuat curang. Kalau hidup hanya a one-shot fortune, niscaya pada situasi dilematis semua orang berbuat curang, seperti dicontohkan pada kasus the prisoners' dilemma.

Keadilan Tuhan... Itulah harapan setiap insan. Syaratnya adalah keyakinan yang teguh. Kalau ragu akan adanya balasan Tuhan, kembalilah kita ke suatu kehidupan one-shot fortune. Seolah-olah kepentingan kita hanya di sini dan pada saat ini juga. Pemuasan kepentingan sempit jangka pendek sesaat ini sungguh menjadi satu-satunya kepentingan. Mudah-mudahan kita terhindar dari lemahnya keyakinan yang membuat kita mudah berbuat pelanggaran.

Contoh sederhana adalah perampasan hak di jalan raya. Hampir sebulan silam, saya berkendara ke arah Puncak, dalam rangka mengikuti acara rihlah lulusan Generasi X SDIT Thariq bin Ziyad Bekasi di Wisma Mulyasari. Dari sekolahan, kami berangkat sekitar jam 8.30, tiba jam11.30. Tol Jagorawi dapat dinikmati, tapi begitu mau keluar di Gadog, terasa banget suasana padat dan macet. Sekolahan pada bikin acara di Puncak. Sekedar tip, ke Puncak pada awal musim liburan, walaupun hari kerja, perlu dihindari ATAU sabar perlu dikarungi sebanyak-banyaknya.

Lho di mana cerita perampasan haknya? Sabar... ini baru mau dimulai. Mungkin Anda sudah tahu, kalau lagi rame, lalulintas di area Puncak diatur buka-tutup searah dari atas dan bawah bergantian. Masalahnya kadang mengambil ruas kanan jalan dilakukan tanpa aba-aba petugas. Memang enak sih. Jika sudah ada yang mimpin duluan ngambil ruas kanan ketika lagi macet, para pendosa jalanan lainnya dipastikan akan ikutan. Daripada ngantri. Begitu jalan berpikirnya. Akibatnya ya deadlock kayak di foto-foto berikut ini.





Perlu diketahui bahwa kejadian deadlock pada foto di atas hanya beberapa puluh meter dari Polsek Cisarua! Kami tertahan sejam hanya di sini. Gimana solusinya? Kelihatannya petugas mengurai masalah dengan mengosongkan terlebih dahulu ruas kanan jalan, sehingga arus dari arah berlawanan akhirnya bisa berangsur jalan. Itupun harus dibantu tukang ojek dan anggota masyarakat sekitar. Nah, siapa yang paling dirugikan? Para pengantri di ruas yang seharusnya! Yang paling diuntungkan? Para pendosa jalanan.



Kira-kira apa yang akan terjadi pada kesempatan lain? Para pendosa akan mengulangi pelanggarannya, sementara yang tadinya ngantri dengan baik cenderung murtad dan menjadi pendosa jalanan juga. Soalnya perilaku yang salah malah mendapat reward. Perilaku yang baik malah dikasih hukuman, harus ngantri jauh lebih lama daripada para pendosa.

Untunglah ada akhirat. Orang yang punya keyakinan mantap tidak akan terpengaruh. Keadilan Tuhan akan tegak! Demikian jalan pikirannya. Ya, insya Allah! Hanya saja seharusnya Keadilan Tuhan harus ditegakkan juga oleh pihak berwenang di dunia ini. Itu kalau kita mau maju. Itu kalau pihak berwenang risih dengan merosotnya perilaku berlalulintas. Para pendosa itu harus ditilang semuanya. Gimana caranya? Ah itu masalah teknis. Banyak jalan menuju Roma.

Apa ada untungnya buat pihak berwenang menegakkan aturan? Wah, koq jadi nanya begitu? Kan itu sudah kewajibannya bikin masyarakat tertib dan saling menghormati! Kalau suasana kacau lebih menguntungkan petugas, gimana? Ah masak sih. Nggak jujur itu. Kalaupun demikian, kita nggak usah kuatir. Toh Keadilan Tuhan akan tegak juga pada akhirnya.

Baca cerita terkait lainnya:
Karakter Pemimpin
Musim Libur Tiba
Batman Ksatria Hitam

Selengkapnya.....

Minggu, 12 Juli 2009

Liburan Usai

Musim liburan kali ini bener-bener bikin kami sibuk. Pindahan adalah kegiatan utama kami. Selain mindahin barang-barang, tentu kami harus mindahin sekolahan anak-anak. Beruntung satu orang di pesantren, jadi hanya empat yang mesti menyesuaikan diri dengan lingkungan bakal sekolah baru. Lebih beruntung lagi, tiga anak kami memang pas masuk SMP, SD, dan TK. Hanya satu yang putus di tengah: Aisyah dari kelas 3 ke kelas 4 SD.

Secara umum, musim liburan ini paling exciting sekaligus paling bikin capek dan paling menguras sumber daya. Nggak apalah. Saya pernah dapet nasihat, perubahan besar hanya dapat terjadi kalau kita mau strecth the limit. Momentum ini sekalian merupakan kesempatan untuk belajar membentuk kebiasaan baru dan belajar meninggalkan kebiasaan buruk.

Nah, kemarin kami mengantar Hanif ke sekolah untuk pengenalan dan orientasi. Mulai Senin besok, empat anak kami masuk sekolah. Semuanya pada seneng dan semangat. Alhamdulillah. Karena banyak yang mesti diurus, Kepala Urusan Rumah Tangga kami khusus meminta saya meninggalkan pekerjaan barang sehari, hari Senin ini, buat sedikit ngeringanin kerepotan.

Eh cuma sehari? Cukup? Insya Allah cukup. Lagian, hari Kamis dan Jum'atnya saya ijin cuti lagi, nganterin Rani ke pesantrennya di Solo. Insya Allah, di kelas dua nanti dia masuk kelas internasional dengan penguatan Bahasa Inggris, Bahasa Arab, dan Sains. O, betapa banyak ni'mat yang dilimpahkan Allah pada kami. Semestinya kami terus belajar pandai bersyukur.

Wah, liburan usai, padahal nggak liburan kemana-mana. Ah nggak juga. Waktu itu, kami full team jalan ke arah Puncak, nginep di Wisma Mulyasari, naik lagi ke Cilember, terus main air. Pekan lalu kami, jalan-jalan ke Taman Mini, sekalian sama sepupu-sepupu dan bude-budenya anak-anak, malahan sama Alif dan Desi yang datang dari Yogya buat ngeramein liburan. Terus pas hari pilpres, anak-anak perempuan diajak budenya ke Lippo Super Mall, bersama sepupu-sepupu mereka.

Wah, masih dikit banget! Ah, nggak juga. Di sekitar tempat tinggal kami yang baru, tinggallah yai dan dua keluarga bude anak-anak. Meskipun nggak pergi jalan-jalan, anak-anak asyik bermain di lingkungan baru bersama kerabat, anak-anak tetangga, dan kucing kami 'Emak Cingi' yang kami bawa dari Bekasi. Enaknya lagi, rumah kami menghadap taman yang lalu lintasnya nggak rame. Jadi kalau bosen ngubek-ngubek di dalam rumah atau main pasir di halaman belakang, anak-anak main sepeda mengelilingi taman.

Nah, walaupun liburan mau usai, bolehlah tetap mengharap liburan kali ini penuh manfaat, hikmah, dan berkah buat anak-anak. Ya Allah, berkahilah hidup kami dalam senang maupun susah, dan masukkanlah kami ke surgaMu bersama orang-orang yang baik.

Selengkapnya.....

Kamis, 09 Juli 2009

Karakter Pemimpin

Hari Selasa, 30 Juni, saya berdiam sebentar di masjid kantor setelah shalat zuhur. Kebetulan ada ceramah oleh Ustadz Ahmad Yani dari Khairu Ummah. Tema ceramahnya adalah karakter pemimpin yang baik. Sumber dalilnya adalah pidato inagurasi Abubakar Ash-Shiddieq, sepeninggal Rasulullah. Karena menarik, saya catat isi ceramahnya, dan mungkin ada gunanya kalau saya bagi di sini.

Pertama, tawadhu. Pemimpin yang baik tidak merasa sebagai yang terbaik. Pemimpin sombong, seperti Firaun, senantiasa takut muncul orang lain yang lebih baik dan pantas menjadi pemimpin. Firaun bahkan melakukan rekayasa untuk membunuh calon-calon pemimpin. Tentunya kita pasti ingat kisah Nabi Musa. Orang yang tawadhu tidak akan bertambah apapun baginya kecuali derajat (hadits).

Kedua, siap bekerjasama dengan siapapun. Pemimpin yang baik tolong menolong dengan yang siapa saja dalam kebaikan, tidak dalam dosa. Kerjasama merupakan keniscayaan karena pemimpin, bahkan setiap orang, tidak dapat bekerja sendirian. Nah, semangat kerjasama seperti ini terkait erat dengan sifat tawadhu sang pemimpin.

Ketiga, mengharap kritik dan saran. Bila salah, koreksilah aku. Demikian kata Abubakar, yang ditimpali oleh Umar seraya mengacungkan pedang. Abubakar tidak marah diancam dikoreksi dengan pedang karena Umar adalah sosok yang sangat dikenalnya. Makanya terkait dengan karakter siap menerima kritik dan saran, pemimpin harus berusaha mengenal kaumnya agar siap menerima koreksi.

Keempat, harus jujur (amanah). Pemimpin jujur menyelesaikan masalah dengan cepat. Sebaliknya, pemimpin pendusta justru membuat masalah berlarut-larut. Saya jadi ingat buku The Speed of Trust karya Stephen MR Covey. Baca artikel saya sebelumnya, The Speed of Trust.

Kelima, menunaikan hak rakyat yang lemah. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang pro rakyat kecil! Rakyat kecil dirampas haknya oleh Si Kuat yg Zholim. Oleh karena, pemimpin wajib mengintervensi. Ini berbeda 180 derajat dari pemimpin yang pro pasar tok.

Keenam, memberantas kezholiman rakyat yang kuat. Pemimpin yang baik berkewajiban mengambil hak yang sudah dirampas oleh Si Kuat dan mengembalikannya ke Si Lemah. Untuk melakukan ini perlu keberanian pemimpin. Contoh akibat sifat pengecut adalah ketika pihak berwajib justru takut sama preman pasar. Preman pasar melindungi pedagang yang berdagang bukan di tempatnya, bahkan sampai menutup sebagian besar badan jalan.

Ketujuh, pemimpin yang baik harus menunjukkan ketaatan. Hanya pemimpin yang taat yang pantas ditaati oleh rakyat. Ada hadits yang menyatakan tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada kholik.

Nah, mari bercermin apakah pemimpin kita benar-benar memiliki ketujuh karakter di atas, seperti Abubakar, sahabat terpercaya. Kalau belum, berarti kita harus berupaya melahirkan pemimpin berkarakter. Lima tahun lagi atau sepuluh atau lima belas. Akan tetapi, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apakah kita sendiri memilikinya, karena tiap-tiap kita hakikatnya adalah pemimpin, minimal buat keluarga dan diri kita sendiri.

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed