Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Rabu, 07 Juli 2010

Taksir, Taksir, Taksir

Sangat sering dalam manajemen proyek, kita menaksir atau memperkirakan jadwal dan biaya suatu proyek pada awalnya (ketika kita masih sedikit sekali tahu) dan kemudian tidak pernah melihat kembali taksiran tersebut selama jalannya proyek (ketika kita sudah tahu lebih banyak dibandingkan pada awalnya). Lebih buruk lagi, kita sama sekali tidak pernah membandingkan taksiran mula-mula dengan hasil aktual untuk mengasah keahlian kita ke depan.

Praktik yang berlaku pada organisasi saya (Richard Sheridan di Ann Arbor sebagai penulis artikel asli – Y Pan) berbeda. Kami menaksir seminggu sekali untuk tiap proyek. Bahkan untuk kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya tapi belum dikerjakan, kami menaksirnya lagi. Mengapa? Alasannya sebagai berikut:

(1) Kami makin baik dalam memperkirakan kalau kami makin sering melakukannya.

(2) Kadang-kadang kami kemudian tahu hal baru dan itu membantu perkiraan selanjutnya.

(3) Kadang-kadang kami baru sadar bahwa kami tidak tahu seperti yang kami duga dan itu membantu perkiraan selanjutnya.

(4) Seringkali ketika proyek kami melibatkan teknologi baru, taksiran awal mengandung ”ketakutan” built-in; seiring kami belajar lebih banyak tentang teknologi baru dimaksud, faktor ”ketakutan” akan berkurang.

(5) Pembuatan estimasi adalah suatu diskusi yang penting di tempat kami, karena kami melakukannya sebagai aktivitas kelompok.

Cara terbaik untuk mengasah kemampuan memperkirakan atau menaksir adalah dengan mencatat dan mengikuti kejadian aktual sehingga tim yang terlibat mendapatkan masukan seberapa bagus prakiraan sebelumnya. Sedikit peringatan: Anda tidak dapat menggunakan informasi ini untuk menghukum tim yang terlibat! Akuntabilitas yang hakiki dalam menaksir bukan berarti tim Anda harus mencapai perkiraan, tapi lebih kepada mereka menginformasikan segera jika diketahui perkiraan akan meleset.

Berikut ini suatu permainan sederhana untuk melatih kemampuan dalam menaksir dan mendapatkan feedback. Ambil tiga botol kosong yang ukurannya mulai dari kecil ke sedang ke besar dan isi ketiganya dengan butiran agar-agar. Catat seberapa banyak butiran untuk memenuhi tiap botol.

Kumpulkan kelompok Anda yang berminat belajar estimasi. Lalu mintalah semua anggota menaksir jumlah butiran agar-agar di botol kecil. Bagus juga sih kalau Anda meminta mereka melakukannya berpasang-pasangan.

Berilah mereka waktu yang sangat singkat untuk menghasilkan suatu taksiran dan mintalah mereka menuliskannya. Kumpulkan data dengan meminta setiap pasang menyebutkan secara lantang perkiraan masing-masing. Tuliskan taksiran-taksiran di whiteboard atau flipchart. Lakukan hal yang sama untuk botol kedua dan ketiga.

Akhirnya, sampaikan kepada kelompok bahwa ini adalah cara yang cukup baik untuk mengestimasi. Jangan lupa berterima kasih atas input mereka dan undanglah anggota kelompok untuk mengajukan pertanyaan sebelum kegiatan dilanjutkan. Nah, seseorang akan (belum pernah gagal di pengalaman saya) bertanya sebetulnya berapa butir agar-agar yang ada di tiap botol. Mereka ingin tahu! Biarkan mereka menduga-duga sebentar kemudian katakan betapa lucunya mereka. Bagaimanapun, it’s just a jar of jelly beans.

Sekarang Anda sudah membuat mereka berada di posisi yang Anda inginkan. Tanyakan pada mereka berapa kali mereka mendapatkan data sebagai umpan balik kepada tim mereka pada topik yang jauh lebih penting dan mereka mencemooh dan menganggapnya tidak penting (maksudnya kalee: kalau untuk permainan sederhana di atas mereka sangat ingin mendapatkan umpan balik, seharusnya untuk umpan balik proyek lebih serius lagi – Y Pan). Mengabaikan umpan balik tak akan terjadi lagi...

* Terjemahan bebas dari ”Estimate, Estimate, Estimate” oleh Richard Sheridan, Ann Arbor, Michigan, US, di buku “97 Things Every Project Manager Should Know”

Selengkapnya.....

Selasa, 06 Juli 2010

Kekuatan Cerita

Cerita merupakan alat perubahan yang sangat powerful. Semua penda'wah menggunakannya. Guru-guru yang cerdas juga selalu menyampaikan kisah penuh hikmah agar pesan benar-benar meresap ke dalam hati para murid. Hanya orangtua yang belum berpengalaman yang tidak suka bercerita kepada anak-anaknya. Bisa dikatakan bahkan semua buku, artikel, dokumen, berita koran, iklan komersial, iklan layanan masyarakat, dan pidato adalah cerita.

Sungguh membosankan membaca buku atau mendengar nasihat atau mengikuti argumen yang kering dari tuturan cerita. Bagi kebanyakan orang angka statistik, persamaan matematika, dan kalimat normatif adalah jejalan informasi yang sangat tidak menarik, tetapi begitu ceritanya diketahui barulah perhatian mengikuti. Nah, andai kita suatu waktu bertugas memimpin workshop, seminar, atau pertemuan apapun, kita mesti persiapkan kumpulan cerita yang bagus.

Cerita ada di mana-mana. Ketika kita duduk mengamati sekitar, cerita sudah menanti untuk dituturkan. Asal kita tidak tidur... eh bahkan bunga tidur sekalipun selalu siap dituliskan. Lalu mengapa sering kita tidak mau bercerita? Banyak sih faktornya. Mungkin terlalu capek. Mungkin juga tidak ada tema atau tujuan. Dalam kondisi terakhir, cerita yang dipaksa keluar menjadi kurang bermakna. Mungkin juga kita sangat jarang mendengar dan membaca cerita.

Suatu hari saya duduk mengikuti kuliah zuhur di masjid kantor. Penceramahnya sudah saya anggap sebagai salah satu guru besar saya. Beliau memang profesor. Doktornya dari Al Azhar. Hari itu inti ceramahnya dimulai dengan satu kisah ketika RasululLah ditagih hutang oleh seorang yahudi. RasululLah sedang memberikan ceramah (tentu di dalamnya banyak tuturan kisah) kepada sahabat-sahabat beliau yang utama. Tiba-tiba datanglah seorang yahudi menghardik sambil mencengkeram kerah RasululLah. "Hai Muhammad bayarlah hutangmu!"

Yahudi memang terkenal sangat bermusuhan dengan kaum muslimin sampai hari ini. Tetapi hardikan kepada RasululLah ketika sedang berceramah tentu sangat kelewatan. Wajar jika kemudian Umar ra yang naik pitam meminta izin RasululLah untuk menghukum orang itu. Namun, akhlak RasululLah sungguh teramat mulia.

Walaupun banyak yahudi memusuhi beliau karena da'wahnya, beliau tetap bermuamalah dengan mereka dengan cara yang baik. Tidak heran kalau terjadi transaksi dagang antara beliau dengan orang-orang yahudi. Dengan orang yang menagih itu, beliau melakukan transaksi non-tunai. Pembayaran yang dijanjikan belumlah jatuh tempo. Entah mengapa si yahudi menyegerakan penagihan. Tanpa etika pula! Jika kita di posisi RasululLah, wajar kita langsung mengizinkan Umar ra memenggal lehernya. Namun, tidak demikian akhlak seorang nabi.

RasululLah tetap santun dan lembut. Ketika ditanya dengan baik, orang tersebut berkata kurang lebih, "Aku telah mempelajari ciri-ciri engkau, hai Muhammad. Semuanya cocok dengan ciri-ciri seorang nabi. Hanya satu yang belum kuketahui, tapi hari ini aku mendapati engkau tetap lembut ketika layak marah kepadaku. Saksikanlah tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah RasululLah."

Ceramah lalu dilanjutkan dengan satu kisah lain. Di kota Madinah memang banyak orang yahudi. Mereka sebenarnya mencari-cari nabi akhir zaman di kota yang teduh ini. Sayangnya ketika ternyata Muhammad seorang arab yang mendapat wahyu, banyak yahudi Madinah yang tidak mau mengakuinya. Salah satunya adalah seorang pengemis buta. Setiap waktu dia berkata, "Jangan ikuti Muhammad karena dia itu jahat." RasululLah tetap menyantuni si pengemis, walaupun dihina seperti itu.

Beliau memberi roti kepadanya. Ah rupanya karena sudah uzur roti keras tidak nyaman baginya. RasululLah segera tahu hal itu. Beliau melembutkan roti itu dengan mencelupnya ke susu sebelum disuapkan kepadanya. Pengemis itu seperti biasa berkata, "Jangan ikuti Muhammad karena dia itu jahat." Ini kemudian menjadi rutinitas, hingga akhirnya RasululLah wafat. Pengganti beliau, khalifah Abubakar ra berupaya sekeras tenaga untuk mengikuti kebiasaan Nabi Muhammad. Ada yang diketahuinya. Ada yang tidak.

Saking inginnya mengikuti RasululLah, Abubakar ra bertanya kepada putrinya Aisyah ra yang juga istri RasululLah, kira-kira apalagi kebiasaan beliau yang belum diikuti. Aisyah memberitahu ayahandanya mengenai si pengemis yahudi. Abubakar kemudian menemuinya dan memberikan roti sebagaimana RasululLah, tapi ia tidak tahu persis bagaimana caranya. Ketika hal itu terjadi, si pengemis menggamit tangan Abubakar ra dan berkata, "Ini bukanlah orang yang biasa memberikan roti ini untukku. Dia biasanya melembutkan roti terlebih dahulu dengan susu. Di mana dia?"

Abubakar menjelaskan bahwa orang yang biasa memberi roti ke pengemis itu telah wafat. Ia bertanya siapa orang itu sebenarnya. Dijelaskan bahwa orang itu adalah Muhammad RasululLah. Seketika pengemis yang selalu mencela RasululLah itu bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad itu RasululLah.

Demikianlah dua kisah yang sangat powerful. Pesan apa yang ingin disampaikan dalam dua cerita ini? RasululLah sungguh memiliki sifat ihsan yang luar biasa. Ah, ceramah selanjutnya jadi lebih mudah. Cerita sudah masuk ke hati. Dengan dorongan sedikit demi sedikit, pendengar ceramah pertama akan makin cinta kepada RasululLah dan kedua akan mencoba semakin mendekati jejak nabi untuk memberikan yang terbaik.

Nah, kembali ke kekuatan cerita, dapat dikatakan cerita sudah mengubah peradaban manusia! Apalagi hanya suatu organisasi!

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed