Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Rabu, 31 Desember 2008

Dunia Perlu Di-Restart

Kalau komputer di-restart, Anda tentu tahu bahwa sebetulnya ia dimatiin dulu terus dinyalain lagi. Kenapa harus di-restart? Mungkin ada kebocoran memori yang terus menggelembung dan tidak dapat dikelola lagi oleh OS (setahu saya di Unix dan Mac sangat jarang - Y Pan). Mungkin ada proses liar yang ngaco dan nggak bisa lagi dikendalikan; dimatiin juga nggak mau. Sebagai pengguna komputer sehari-hari, terutama PC, kita sih enteng-enteng aja melakukan ritual restart ini. Bahkan beberapa administrator sistem (server) juga cukup sering mempraktikkannya. Makanya mereka sering disemati gelar MCSE (Micro**** Certified System Engineer) sekaligus MCRE (Micro**** Certified Restart Engineer), hehehe. Bagaimana dengan dunia? Kalau di-restart model PC, bisa kacau balau. Jadi yang dimaksud lain, bukan gitu.

Terus terang artikel ini diinspirasi opini Thomas Friedman di NY Times berjudul Time to Reboot America. Intinya begini. Amerika dalam masalah besar. Bailout aja nggak cukup. Harus reboot! Alasannya? Salah satunya adalah Amerika sudah terlalu manja, misalnya karena pajak yang rendah. Lainnya adalah kebijakan imigrasi yang menghambat, bukannya mengundang talenta terbaik dari luar. Lainnya lagi - nah ini mungkin yang paling menarik - adalah kemampuan intelektual kolektif Amerika lebih terkonsentrasi pada financial engineering daripada real engineering. Akibatnya, orang-orang cerdas lebih banyak berkecimpung di sektor keuangan untuk menghasilkan uang dari uang (ribawi? - Y Pan) daripada di sektor riil untuk memproduksi mobil, telepon, komputer, dll, untuk kemudian menghasilkan uang.

Ini dia kata-kata Friedman sendiri:
To top it off, we’ve fallen into a trend of diverting and rewarding the best of our collective I.Q. to people doing financial engineering rather than real engineering. These rocket scientists and engineers were designing complex financial instruments to make money out of money — rather than designing cars, phones, computers, teaching tools, Internet programs and medical equipment that could improve the lives and productivity of millions.

Wah, ini opini luar biasa dari Friedman. Penulis The World is Flat ini mungkin secara tidak sadar menyinggung isu riba. Menurut pendapat saya, making money out of money tidak lebih dan tidak kurang adalah praktik riba. Nah, ketika proses atau praktik ribawi ini telah menggurita dan menggelembung sedemikian rupa, ternyata para pelakunya dan juga regulatornya merasa sayang atau takut untuk membiarkan gelembung meletus begitu saja. Alasannya klasik. Too big too fail. Makanya ketika Ginanjar, temen kantor, bercerita kegundahan Dan Linstedt (instruktur Ginanjar dan Laksmi waktu belajar Data Vault data modeling di Denver - Y Pan) mengenai pemerintah AS yang lewat bailout melindungi sektor keuangan yang ternyata rapuh, saya langsung berspekulasi bukan cuma kolumnis kayak Friedman yang secara tidak sadar "benci" dengan praktik riba, tetapi banyak... termasuk kita-kita ini yang masih sulit melepaskan diri dari sistem keuangan konvensional ini.

Lho, cerita dari Friedman di atas semuanya cuma tentang Amerika koq. Apa hubungannya dengan dunia? Ini dia. Saya termasuk yang yakin pada era ini Amerika adalah pemimpin dunia. Suka atau tidak. Banyak negara lain yang mengekor. Termasuk dalam hal sistem keuangan. Sistem keuangan Amerika sudah menjadi sistem keuangan global. Dengan segala aturannya. Konsekuensi kepemimpinan tersebut, kalau Amerika perlu di-reboot, artinya dunia juga! Buktinya... krisis finansial global sekarang ini yang bermula dari Amerika. Mungkin kita perlu mencermati peringatan Peter Drucker dalam bukunya Managing in the Next Society mengenai likuiditas dunia yang ditransaksikan setiap malam dalam jumlah luar biasa besar tapi tidak memiliki manfaat ekonomi sama sekali. Juga artikel harian Kompas berikut ini.

516 Triliun Dollar AS Kekuatan Perusak

Jumat, 29 Februari 2008 00:48 WIB
Paul B Farrel, analis pasar AS, di situs MarketWatch edisi 25 Februari memberi peringatan. Ada sekitar 516 triliun dollar AS dana-dana investasi, yang menjadi kekuatan perusak ekonomi. Persisnya ia menyebutnya sebagai toxic derivatives, transaksi di sektor keuangan yang menjadi fasilitas investasi untuk mengembangbiakkan dana-dana orang berpunya.

Dana-dana ini begitu besar, dibandingkan dengan total produk domestik bruto (PDB) dunia yang hanya 48 triliun dollar AS. Dana-dana ini tidak lagi semata-mata dikelola dalam jenis investasi berjangka panjang. Juga tak lagi dana-dana itu dikelola dengan mengindahkan kaidah-kaidah risiko investasi. Dana-dana ini memasuki pasar, yang memberi fasilitas investasi mirip perjudian. Misalnya, banyak bursa saham di dunia yang memasang taruhan soal naik turunnya indeks saham alias bukan lagi terbatas pada naik turunnya saham sebuah perusahaan.

Mereka terkadang bermain di composite index, indeks harga saham gabungan. Jangka waktu permainan bisa dalam hitungan detik, tak lagi menit.

Dana-dana yang dikelola para manajer dana investasi ini memasuki pasar yang dianggap bisa ”dimainkan” untuk meraup untung besar dalam waktu cepat, lalu keluar dari pasar setelah untung. Investor-investor yang naif akan menjadi sasaran empuk.

Selama ini dana-dana tersebut bermain di kisaran saham, obligasi, dan valuta asing, seperti dollar AS dan mata uang kuat dunia lainnya.

Mengapa dana-dana ini oleh Farrel disebut sebagai toxic derivatives? Berbagai kantor berita terkadang memberi julukan pada investor itu sebagai bloodied investors. Alasannya, mereka bisa menaikkan atau menurunkan saham, yang menyebabkan kerugian besar bagi pihak lain, yang bahkan disebut sebagai kerugian berdarah-darah karena magnitude-nya begitu luar biasa.

Bahkan, investor itu yang disebut bloodied itu juga bisa mandi darah. Artinya, ia bisa rugi besar dan bangkrut, seperti dekade 1990-an, yang dialami Long Term Capital Management (AS). Jika masih bisa bergerak, bloodied investor ini makin mengamuk dan menggasak seperti banteng menyeruduk (raging bull), istilah yang dipakai Phil Flynn, analis dari perusahaan Alaron Trading (Chicago, AS), di situs Forbes.

Buktinya sudah banyak. Bank sekaliber UBS (Swiss) pun sudah berdarah-darah dengan kerugian sekitar 12 miliar dollar AS. Setidaknya sudah ada kerugian 100 miliar dollar AS yang dialami lembaga keuangan internasional.

Konsumen dikorbankan

Permainan belum berakhir dan gejolak belum akan berhenti. Kini taruhannya bukan lagi semata-mata para investor termakan investor. Atau istilahnya, fenomena yang akan terjadi ke depan bukan lagi para investor saling memakan.

Hideki Amikura, manajer valuta asing dari Nomura Trust and Banking, Tokyo, mengatakan, kini investor sedang jengkel dengan dollar AS, obligasi, dan harga-harga saham, yang menjadi mainan mereka.

Para investor kini memasuki komoditas, yang permainannya sudah disediakan pula di bursa, seperti bursa logam London (London), bursa komoditas Chicago, dan di belahan dunia lainnya.

Bukti sudah ada. Harga minyak dan gas terus meroket. Harga gandum sudah mencapai rekor, demikian pula kedelai atau tanaman biji-bijian. Demikian pula emas telah mencapai rekor baru.

”Komoditas juga kini jadi safe haven,” kata Farrel. Investor ingin mengamankan investasinya dari kemerosotan dollar AS, kemerosotan harga saham dan obligasi dengan memburu komoditas.

Taruhannya adalah konsumen. ”Harga gas yang naik telah merogoh kantong konsumen,” demikian dikatakan harian New York Times edisi Kamis (28/2).

Konsumen di Indonesia pun sudah menjadi korban berupa kenaikan harga-harga pangan, termasuk harga tempe, yang terbuat dari kedelai.

Bagaimana menghentikan ini semua? Guru investor obligasi dunia asal AS, Bill Gross, mengatakan, ini semua akibat leluasanya para manajer dana investasi melakukan aktivitasnya. Regulasi pasar tak ada sehingga tak membatasi aksi-aksi mereka, yang terbukti sudah melahirkan gejolak besar.

Inilah juga yang disuarakan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) di pengujung tahun 2007. Peringatan serupa juga sudah disampaikan The Bank for International Settlements (BIS) dan juga sudah diingatkan delegasi Jerman pada pertemuan G-7 di Tokyo awal tahun ini.

Namun, Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke dan Menkeu AS Henry Paulson menganggap sepi semua itu. ”Mereka pembohong,” kata Farrel.

Bagaimana Indonesia? Jika tak menjaga ketahanan pangan, konsumen akan membayar harga mahal sebagaimana rakyat sudah terbebani dengan kenaikan harga BBM dan listrik yang byar pet. (MON)


Artikel terkait:
Regulasi Sektor Keuangan
Mencegah Krisis
Filsafat Kebijakan Baru
Krisis Ekonomi AS dan Global

Selengkapnya.....

Selasa, 30 Desember 2008

Gloomy Days

Time flies
Year turns another year
The faces of the earth change?
Not at all

Time flies
Word turns another word
The brutal forces of the earth change?
Not at all

Time flies
Tear turns another drop of tear
The deadly bombs of the earth change?
Not at all

O Lord
Give us patience
Shower us with peace

O Lord
Give us strength
Show us truth


Selengkapnya.....

Sabtu, 27 Desember 2008

Belajar di Jalur Selatan Akhir 2008

Tulisan ini saya buat di Solo. Koneksi 3G XL cukup asyik deh. Tapi jangan besar kepala dulu ya XL, soalnya beberapa waktu yang lalu ayahanda saya ganti ke yang lain gara-gara waktu itu banyak masalah koneksi. Oya, kami sekeluarga ke Solo ini untuk menjenguk anak kami yang mondok di Assalaam. Kata ibunya, saya yang kangen, hehehe. Nggak apalah, yang penting kami sekeluarga bisa kumpul, walaupun cuma sebentar dalam canda, obrolan, dan makan bareng. Becanda sih boleh. Ngobrol apa lagi, boleh banget, tapi dua anak kami yang masih balita seperti biasa butuh pengendalian yang luar biasa. Keluar deh jurus-jurus guru TK, termasuk kisah-kisah dan ungkapan mulia, yang saya pelajari otodidak. Nah, kami berangkat dari Bekasi hari Kamis, jam 6 pagi. Tiba di Solo tepat jam 10 malam. Lho koq lama sekali? Ini dia sebabnya.

Jalur selatan adalah jalur favorit saya. Pertama karena lewat Bandung, yang bisa ditempuh full lewat tol. Kedua karena memang lalu lintasnya nggak terlalu ramai. Berharap sudah tiba di Solo kira-kira jam 7 malam, saya kecele juga. Liburan cukup panjang membuat banyak orang bepergian. Macet. Ngantri. Tidak di sepanjang jalan sih. Menuju Karawang-Cikampek dari Bekasi, tanggal 25 Desember pagi itu, ramai lancar, jadinya nggak bisa ngebut. Dari km 57 ke Bandung-Cilenyi asyik-asyik aja. Bisa di atas 100 km/jam. Lepas dari Bandung, Nagrek kembali jadi leher botol. Penyempitan jalan. Masih OK sih, soalnya jalannya cukup mulus. Terus sampai ujung Jawa Barat kondisinya relatif normal.

Di PringSewu berhenti kami buat makan siang. Wah, pengunjungnya bener-bener membludak. Sampai-sampai seorang calon pembeli membatalkan niatnya makan di situ karena harus ngantri. Dia dan rombongan berharap seperti biasa. Langsung duduk, lalu pesan makanan. Dalam kondisi ramai sekali, PringSewu menerapkan sistem fast-food. Pengunjung diminta antri, kemudian memilih makanan yang sudah siap saji. lalu bayar, dan baru duduk. Menunya sih menu yang biasa. Cuma manajemen PringSewu ingin meningkatkan turnover, mempercepat cycle pelayanan. Walaupun berisiko langganan tertentu kabur, pilihan sistem fast-food di hari raya adalah keputusan yang cerdas. Seolah-olah semua pelanggan yang datang ingin dilayani semua. Secepatnya. Lumayan meningkatkan revenue.

Total waktu berhenti di PringSewu sekitar satu setengah jam. Ngantrinya yang lama, tapi istri saya bilang nggak apa. Menurut temannya kalau lewat jalur utara waktu hari raya bisa lebih parah lagi. Setelah shalat dzuhur dan ashar yang kami jama'-qoshor, kami mulai lagi perjalanan. Mulai deh jalannya berlubang-lubang. Saya coba berkelit-kelit sambil memacu kendaraan. Hasilnya banyak yang protes. "Woi, di belakang sini ada penumpang, bukan cuma barang!" Ya, pilihan terbaik adalah jalan pelan-pelan aja. Setelah Majenang, baru jalan agak mending. Sebenarnya di sekitar Majenang, ada jalanan yang telah diperbaiki, tapi sepenggal-sepenggal. Masuk Kabupaten Banyumas, kembali kendaraan bisa dipacu. Sebenarnya jalannya nggak mulus-mulus amat.

Jalan yang mulus memang dambaan kita semua. Waktu tempuh jadi singkat. Kendaraan awet. Terlebih lagi tingkat stres kita nggak perlu terlalu tinggi. Lihat artikel saya sebelumnya, Jalan Bekasi Bebas Korupsi. Kita berharap pemprov dan pemkab dapat memberikan perhatian serius untuk membenahi jalur selatan ini. Lalu apakah jalan mulus sudah cukup? Nggak juga. Kalau macet, waktu tempuh jadi lebih lama, bahan bakar boros, dan stres meningkat lagi. Ini terjadi di Kebumen. Begitu mau masuk kota, kita diberi alternatif jalan bypass ke kanan. Ada beberapa lampu lalu lintas yang jadi biang kerok kemacetan di sini. Menurut saya, polisi seharusnya bisa mengatur durasi waktu lampu hijau dan lampu merah, agar antrian minimal. Nggak tahulah apakah sudah diteliti, tapi feeling saya lampu hijau yang terlalu singkat membuat kelembaman kendaraan, terutama yang gede-gede, memaksa antrian bergerak perlahan. Mungkin yang paling baik, sekali lampu hijau durasinya lima menit. Bagaimana dengan lalu lintas lokal? Ya, nunggu lima menit di jalan bypass kayaknya nggak terlalu masalah. Mungkin sepuluh menit juga nggak apa (maaf ya masyarakat Kebumen - Y Pan).

Perjalanan sisanya relatif lebih nyaman. Kewaspadaan aja yang perlu ditingkatkan, karena pasti sudah capek kan dan maghrib sudah lewat. Untuk menenangkan suasana gaduh di dalam mobil, saya mulai membacakan hafalan-hafalan saya. Anak-anak yang sudah hafal, boleh ikutan. Ajaib! Dua balita itu berhenti bertengkar. Mereka seolah ikut diliputi ketenangan yang luar biasa. Kalau mereka bertanya, "Ayah, masih lama ya?" Saya nasihati mereka, "Banyak-banyak berdo'a Nak, biar kita cepet sampe." Sampai di Yogya sekitar jam 9.30. Selanjutnya ke Solo... ya asyik-asyik saja. Banyak pelajaran yang bisa diambil! Kalau Anda nggak suka jalan-jalan, coba deh jalan-jalan dengan keluarga. Mudah-mudahan Anda bisa menikmati rekreasi sambil belajar. Belajar di jalan.

Selengkapnya.....

Rabu, 24 Desember 2008

Regulasi Sektor Keuangan

Saya pernah iseng bertanya ke konsultan taksonomi Patrick Lambe, ketika ia berkunjung ke kantor kami, bagaimana pendapatnya mengenai krisis keuangan global. Saya nggak tahu apakah dia memiliki latar belakang pengetahuan dan pengalaman di sektor keuangan selain latar belakang manajemen pengetahuan dan informasi. Pokoknya dia prihatin. Kemudian dia menyatakan, entah baca dari mana, bahwa perbankan Lebanon termasuk sistem perbankan paling kaya di dunia. Untuk negara dengan reputasi gejolak dan perang, kalau ini benar, Lebanon sungguh telah menorehkan prestasi yang luar biasa.

Di sebelah sana Mediterania, di seberang Atlantik, sebaliknya, kita kembali disuguhi drama skandal keuangan, termasuk yang terbesar sejak 1900, yang dilakukan oleh Bernie Madoff, mantan Direktur Nasdaq. Skema ponzi atau piramida uang atau sederhananya arisan uang yang dikelolanya telah memakan korban bank-bank terkemuka Eropa. Badan-badan amal yang menjadi kliennya juga tiba-tiba kehilangan sejumlah besar harta mereka. Kalau Anda belum memahami skema ponzi (diambil dari nama seorang penipu besar), bolehlah Anda cermati hasil pencarian Google dengan kata kunci skema ponzi ini.

Dana investor yang datang belakangan, otomatis berada di bagian bawah piramid, digunakan untuk membayar "return" ke investor yang sudah duluan gabung dan berada di bagian lebih atas atau bahkan puncak piramid. Begitulah skema ponzi. Penipuan yang sederhana saja, model QSAR kalau di kita, tapi dengan dampak yang luar biasa. Sampai menggoncang Eropa. Jadi sebetulnya dana investor tidak diinvestasikan secara benar di pasar keuangan, apalagi di sektor riil yang betul-betul menciptakan manfaat. Bagaimana mungkin tipu-tipu seperti ini tidak terdeteksi sama sekali? Apakah Bapepam Amerika (SEC) tidak profesional dalam mengawasi lembaga-lembaga keuangan di bawah kewenangannya? Apakah investor dibutakan sama sekali dari kejahatan Madoff? Apakah pasar kehilangan kemampuan untuk mengkoreksi Madoff, hingga terlambat kayak gini?

Dua cerita di atas mengingatkan saya kepada tulisan Alan Greenspan di satu sisi dan Peter Drucker di sisi lain. Dalam The Age of Turbulence, Greenspan menyatakan bahwa pengawasan atau supervisi yang paling efektif terhadap sektor keuangan adalah yang disebutnya counterpart supervision. Artinya pelaku pasar adalah pihak yang paling tahu kondisi mitra transaksinya. Apakah mitranya itu berkinerja baik atau tidak? Greenspan bahkan berkata beliau sendiri sebagai bagian penting dari regulator pada waktu itu tidak pernah dapat mendeteksi masalah dari laporan-laporan yang disampaikan lembaga-lembaga keuangan kepada pihak berwenang, termasuk bank sentral.

Sebaliknya Peter Drucker mengatakan pasar tidak dapat diandalkan untuk melihat jauh ke depan. Pasar dikatakannya rabun jauh. Apa yang terbaik untuk masyarakat tidak dapat diserahkan bulat-bulat kepada pasar. Makanya Drucker menempatkan pemerintahan dan birokrasi sebagai elemen penting. Sejarah membuktikan sebagai regulator, pemerintahan dan birokrasi, bagaimanapun bobroknya, sangat ulet menghadapi gejolak. Selain itu, birokrasi juga terbukti mampu menjaga keutuhan masyarakat, kecuali beberapa kasus. Drucker mengatakan dalam Managing in the Next Society bahwa sangat sulit menggantikan peran birokrasi dalam menjaga keutuhan masyarakat dan demokrasi tentunya.

Ideologi konservatif di AS memang sangat yakin akan kebaikan small government. Bahkan ada yang sangat ekstrem. Intervensi sedikit saja oleh pemerintah ke pasar bisa dicap sosialis dan komunis. Seolah-olah hanya ada dua jalan tersedia: kapitalisme (versi konservatif) dan sosialisme (the rest of the world atau sisa dunia). Berbeda dengan kubu konservatif, kubu liberal di AS yakin dengan kapitalisme dan tetap merasa perlu pemerintah berperan cukup untuk mengkoreksi pasar. Nah, bagi kaum konservatif ultra kanan, posisi seperti itu sudah bisa dicap sebagai sosialisme. Kasus Madoff secara khusus dan krisis global secara umum mungkin merupakan bukti yang susah dibantah bahwa pemerintah yang tidak berperan boleh jadi justru berpotensi membesarkan (amplify) risiko di pasar. Ketika pasar sangat terlambat mengkoreksi diri, sistem secara keseluruhan bakal gagal melakukan stabilisasi dirinya sendiri.

Siapa ya yang benar? Nggak peduli salah atau benar, ideologi-ideologi ekonomi memiliki pengaruh lebih besar dari yang dibayangkan. Demikian kurang lebih pernyataan John Maynard Keynes. Nah, kalau Anda yakin sekali dengan filsafat ekonomi Anda, tentu tidak ada alasan untuk menyimpannya di laci. Perkenalkanlah kepada dunia, biarpun harus berhadapan dengan ideologi yang mungkin sedang berkuasa. George Soros adalah salah satu orang yang meyakini pasar sempurna tidak pernah ada, karena keputusan pelaku pasar tidak berasal dari pengetahuan yang sempurna. Karena mengetahui kelemahan sistem keuangan yang menurutnya tidak akan pernah mencapai titik keseimbangan, George Soros berhasil memperkaya dirinya sendiri. Bahkan pernah berhasil menekuk lutut bank sentral Inggris (jangan tanya bank sentral negara berkembang deh - Y Pan). Dengan pemahamannya yang berbeda itu! Beliau sedari dulu ingin membagi teorinya itu ke dunia, lewat tulisan-tulisannya. Yang terakhir adalah The New Paradigm for Financial Markets.

Apakah Anda ingin menyusul? Terutama Anda yang sekarang menjadi kekuatan keuangan baru (the new financial power brokers). Misalnya judul buku Anda itu begini: Jalan Tengah, Jalan Baru Menuju Kejayaan Keuangan atau Tatanan Baru (tapi Lama) Sistem Keuangan Dunia. Hehehe, bombastis amat, tapi nggak apa. Yang penting filsafat Anda itu bisa dikenal di belantara diskusi mengenai sistem keuangan dunia. Siapa tahu filsafat Anda itu dapat memimpin dan pada gilirannya membuat regulasi sistem keuangan lokal maupun internasional menjadi lebih efektif dan lebih bermanfaat bagi semua. Orang seperti Madoff tentu akan tetap ada. Krisis keuangan mungkin akan tetap terjadi. Namun demikian, dengan regulasi yang tepat, tidak berarti regulasi total, goncangan tidak perlu seperti roller coaster. Ekonomi tetap tumbuh. Kesenjangan berkurang. Secara umum kesejahteraan meningkat. Wah, hebat banget.

Artikel terkait:
Mencegah Krisis
Filsafat Kebijakan Baru
Kebijakan Memang Berbalik
Kebijakan Berbalik Arah
Menggungat Warisan Greenspan
The Age of Turbulence
Managing in the Next Society

Selengkapnya.....

Rabu, 10 Desember 2008

Mencegah Krisis

Krisis keuangan global saat ini yang dimulai dari pusat keuangan dunia, AS, diramalkan akan berlangsung cukup lama. Baru-baru ini presiden terpilih AS, Barack Obama menyampaikan pesan senada. Bahkan beliau memperkirakan kondisi akan makin memburuk untuk beberapa waktu untuk kemudian membaik. Untuk mengendalikan krisis ini, beliau bersama tim ekonominya telah menyusun program-program tertentu. Program itu termasuk 'pembiayaan' pemerintah terhadap perusahaan, termasuk lembaga keuangan, untuk menolong mereka melewati krisis. Tentu saja biaya yang akan ditanggung pemerintah akan sangat substansial.

Beberapa media serempak menyiarkan rencana Obama di atas. Mungkin Anda dapat membacanya di Republika kemarin, di link ini. Link Reuters dan YahooNews berikut ini mungkin perlu juga Anda cermati: artikel Reuters dan artikel Yahoo. Tentu saja program ekonomi Obama akan menuai pro dan kontra yang beragam. Kubu konservatif mungkin nggak akan pernah bosan mengingatkan peninggalan filsafat small government dari era Ronald Reagan. Sebaliknya kubu liberal, seperti sang nobelis Krugman yang baru-baru ini menyampaikan kuliah nobel di Swedia, justru mendukung kebijakan fiskal yang ekspansif. Memang banyak variasi dan nuansa yang berbeda, tapi pengelompokannya tidak dapat dilepaskan dari perbedaan karakter dasar kedua kubu di atas.

Nah, terkait dengan sektor keuangan, perlu juga dicermati rencana atau bahkan sumpah Obama untuk memperkuat sektor ini dengan regulasi untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas lembaga-lembaga keuangan. Tembakannya sebetulnya adalah untuk melindungi konsumen dari lembaga-lembaga keuangan itu. Saya pribadi menamakan fenomena peralihan kebijakan ekonomi era Bush yang mengarah ke deregulasi ke kebijakan ekonomi Obama sebagai fenomena kebijakan berbalik arah. Salah seorang teman, ketika membaca artikel saya yang lalu, Kebijakan Berbalik Arah, lewat email pribadi menyatakan ketidaksetujuannya. Saya memintanya untuk mempublikasikan komentarnya itu di blog saya untuk kemudian saya tanggapi. Sayang beliau kelihatannya tidak berkenan.

Ada yang mengatakan sektor finansial adalah sektor yang telah sarat dengan regulasi. It is already highly regulated. Mungkin pernyataan ini ada benarnya, tapi regulasi yang ada itu ternyata tidak efektif untuk mencegah krisis. Posisi Greenspan yang kukuh melindungi derivatif dari regulasi mungkin sejalan dengan asumsi bahwa sektor keuangan sudah sangat sarat regulasi. Regulasi tambahan tidak akan mendapat sambutan positif dari pasar. Bahkan yang akan didapat penolakan. Demikian kira-kira argumentasi Greenspan saat itu untuk mematahkan usulan agar derivatif diregulasi. Hari-hari ini justru warisan beliau itu digugat. Lihat artikel saya sebelumnya Menggugat Warisan Greenspan.

Well, bagaimanapun kubu konservatif AS mencoba agar kebijakan tidak berbalik alias agar status quo terjaga, kelihatannya Obama tetap akan menempuh rutenya yang berbau Keynesian atau Krugmanist. Lihat artikel Paul Krugman yang berargumen bahwa untuk mencegah krisis berikutnya diperlukan reformasi sektor keuangan. Dan itu harus dilakukan mulai saat ini. Jadi, walaupun Obama tetap yakin dengan kapitalisme beliau menggesernya ke kiri (atau ke tengah) sedikit agar lebih berkeadilan. Artinya jangan sampai manis kapitalisme hanya dinikmati segelintir orang saja, sementara kebanyakan orang Amerika justru tertekan oleh roda kapitalisme, dalam bentuk biaya pendidikan yang mahal, biaya perumahan yang mahal, biaya kesehatan yang mahal, dan lain-lain. Lihat wawancara Obama sekitar masa kampanye awal tahun.

Hmm, model regulasi sistem keuangan yang digarap Obama tentu akan ditiru banyak negara pengekor. Setidaknya ia akan dipelajari dan minimal sebagian diadop oleh negara-negara itu. Termasuk Indonesia? Sebenarnya nggak juga, justru kita sudah mendahului belok dan berbalik. Beberapa waktu lalu transaksi valas jumlah tertentu diregulasi dan dibatasi harus didasari kebutuhan yang jelas. Tentunya ini untuk mengurangi spekulasi. Penerapan regulasi ini tentu dengan pengingkaran bahwa Indonesia (tidak) meninggalkan regim devisa bebas. Jangan coba-coba lho masih mengambil kesempatan dalam kesempitan karena Anda akan diburu Menteri Keuangan kemana pun Anda kabur. Tidak layak Anda mengambil keuntungan sendiri atas penderitaan publik, penderitaan orang banyak. It does not sound like Adam Smith speaking.

Hari ini di koran-koran nasional, kita mendapatkan berita bahwa otoritas moneter dan pengawasan bank membatasi produk non bank di perbankan. Lihat artikel yang menyinggung isu ini di Republika hari ini: intinya sama saja. Bank harus meningkatkan perlindungan terhadap nasabahnya. Jangan sampai nasabah yang kurang informasi tergiur membeli produk-produk non bank spekulatif yang dijual bank. Langkah-langkah yang telah diambil pihak berwenang di atas mudah-mudahan dapat mengendalikan dampak negatif krisis global terhadap Indonesia. Apakah langkah-langkah ini cukup untuk mencegah krisis selanjutnya?

Memang pertanyaan terakhir itu yang paling menarik sekaligus paling susah dijawab. Tidak ada salahnya dong kalau program ekonomi Obama, termasuk program reformasi sektor keuangannya, dipelajari benar-benar. Mungkin saja ada yang nggak bisa dilakukan di sini, tapi masak sih semuanya nggak bisa?

Artikel terkait:
Filsafat Kebijakan Baru
Kebijakan Memang Berbalik
kebijakan Berbalik Arah
Menggugat Warisan Greenspan

Selengkapnya.....

Minggu, 07 Desember 2008

Jalan Bekasi Bebas Korupsi

Kami tinggal di Bekasi sejak tahun 2000. Ayahanda yang memiliki rumah di Bekasi menawarkan agar kami tinggal saja di rumah beliau. Mungkin pertimbangannya agar saya bisa lebih leluasa merencanakan rumah masa depan kami. Pertimbangan lain mungkin agar rumah itu nggak kosong. Ada yang ngurus. Hingga tahun 2008 ini, berarti sudah delapan tahun bahkan lebih, kami menambah tiga anggota: Aisyah, Hanif, dan Ahmad. Jadilah sehari-hari istri saya menjelajahi jalan Kota Bekasi untuk mengantar-jemput kelima anak kami ke mana-mana, selain untuk kegiatan rumah tangga lainnya dan kegiatan sosial yang cukup padat. Kalau saya? Yah, lebih banyak di Jakarta, kecuali Sabtu dan Ahad.

Tentu nggak perlu dibesar-besarkan di sini problem yang kami temui setiap hari di jalanan. Jalan becek dan berlubang tidak asing, terutama pas musim hujan kayak hari-hari ini. Jadwal sepekan sekali buat saya ngaji, menempuh tiga puluhan kilometer pulang pergi, jadi nggak nyaman. Bilamana giliran tempat ngaji di rumah, saya bisa sedikit lega, tapi teman-teman yang kebanyakan datang dari seputar Pondok Gede sulit dibilang happy. Lewat Jati Asih-Pekayon jalan jelek (sekarang sudah mending sih). Sampai sekarang rute Kali Malang-Caman terus bikin stres.

Stres! Ya itulah biaya yang harus ditanggung pengguna jalan, di samping biaya-biaya materiil. Bahan bakar jadi boros. Kendaraan cenderung cepat rusak. Belum lagi kalau terjadi kecelakaan. Oya, waktu yang nilainya lebih mahal dari uang juga banyak terbuang boros percuma. Untuk ngaji, kalau nggak lewat tol, saya butuh sejam, bahkan bisa lebih. Pulangnya sama, mungkin lebih cepat dikit. Sampai rumah sudah larut. Perasaan stres bikin capek lebih capek. Nah, kalau semuanya diuangkan, berapa ya? Anda tahu berapa? Itu baru saya sendiri, belum dijumlahkan dengan total biaya jalanan istri dan anak-anak saya serta semua warga Bekasi. Tentu yang tak ternilai adalah ketika seseorang harus kehilangan nyawa gara-gara jalan.

Tahun depan insya Allah kami pindah ke BSD. Infrastruktur jalan di sana lebih baik. Jujur saja begitu. Memang kalau keluar kawasan BSD yang demikian luas itu - artinya masuk ke wilayah-wilayah kampung atau wilayah yang diurus Pemda - kondisinya nggak terlalu beda dengan Bekasi. Terus terang berkendara di sana lebih nyaman. Tentu Anda mungkin berkomentar bahwa belum tentu berkah. Eh... Mungkin ini agak menyakitkan, tapi belum tentu jalan-jalan rusak Kota Bekasi lebih berkah. Apa tandanya nggak berkah?

Menurut pendapat saya, salah satu indikator ketidakberkahan adalah perilaku negatif para pengendara. Tiba-tiba orang baik-baik bisa seketika berubah agresif karena mempertahankan 'hak' di jalan. Hak apa? Hak mendapat bagian jalan yang lebih mulus! Terus terang kemarin menjadi cobaan tersendiri bagi saya. Seolah Sabtu itu semua pengendara motor tiba-tiba punya nyawa rangkap. Tiba-tiba nyalib di depan saya hanyalah satu contoh. Yang lainnya hampir tabrakan dengan motor lain. Yang lainnya lagi tiba-tiba pindah lajur tanpa melihat kiri-kanan. Belum lagi angkot yang bisa berhenti dan ngetem seenaknya. Yang justru paling parah, ngetemnya di perempatan. Bus kota sama aja. Juga mobil pribadi dan kendaraan niaga lainnya. Ya Allah. Ya Robbi.

Selanjutnya, apakah orang baik-baik yang menjadi agresif di jalanan dan terus mengakumulasi kebiasaan buruk di jalan akan tetap jadi orang baik di rumah? Di pasar? Di pabrik? Di kantor? Di pelabuhan? Kalau teringat buku The Tipping Point, saya jadi ngeri juga. Kebiasaan buruk dapat menular. Dari jalan ke rumah dan tempat-tempat lainnya. Epidemi sosial! Apakah kita cukup diam saja? Emangnya bener-bener nggak ada yang bisa dilakukan untuk perbaikan? Jawabannya ada di buku itu juga. Mulailah epidemi sosial yang positif.

Caranya? Mendidik orang pasti pekerjaan berat. Butuh waktu lama. Seorang nabi saja butuh waktu seumur hidupnya untuk berda'wah. Ada juga yang gagal, seperti Nabi Nuh AS. Hanya segelintir orang saja yang berhasil dibina. Apakah pendidikan menjadi tidak penting? Nggak! Ia tetap penting. Namun demikian, memperbaiki lingkungan mungkin bisa jadi pendorong, seperti yang dilakukan oleh otoritas kereta Kota New York yang akhirnya berhasil mengurangi tingkat kriminalitas di kota tersebut. Ini yang disebut Malcolm Gladwell sebagai the power of context. Lalu apa gerangan hubungannya dengan jalanan Kota Bekasi? Ya, sebagaimana jalanan bisa membuat orang agresif, jalanan bisa jadi merupakan salah satu faktor pembentuk perilaku yang positif.

Artinya? Pemkot Bekasi harus berlomba dengan waktu untuk menyediakan jalanan yang mulus dan memadai lebar dan panjangnya di seluruh area Kota. Pemkab juga lho. Mulailah dari niat yang kuat untuk membahagiakan warga melalui jalanan yang bebas korupsi. Proyek pembuatannya harus bebas korupsi. Perawatannya juga harus bebas korupsi. Nggak ada salahnya belajar ke BSD, walaupun ini bukan berarti nggak ada korupsi sama sekali di sana. Ayo, Ustadz Sa'duddin dan Pak Mochtar, berjihadlah dengan kekuasaan yang ada di tangan Anda.

Artikel terkait:
The Tipping Point
The Tipping Point: The Power of Context
Korban Jalan Raya
Ayat-ayat Cinta Walikota Bekasi

Selengkapnya.....

Kamis, 04 Desember 2008

Free, Good or Bad?

Adapted from Dan Ariely's Predictably Irrational
Chapter 3: The Cost of Zero Cost: Why We Often Pay Too Much When We Pay Nothing


We are always lured by free products. If a product is discounted 50%, you may or may not buy it. If it is discounted 75%, you may or may not buy it. Even if it is discounted 80% or 90%, you still may or may not buy it. If it is discounted 100%, however, you bet! Have you ever been in a long line just to get a free cone of ice cream? If yes, you are like most people. In certain communities, people are willing to jump, cheating the line, and cause a sort of chaotic crowds just to get a small amount of free cash. O... how sad!

Dan Ariely says that a free or zero price is not just another price. For us, humans, it is a hot button. When perfectly pressed, it can turn us into a different personality. Sure, some free products are good deals. Nevertheless, if preventing us from better alternative deals, free products are certainly not good deals. Dan's experiments in this topic provide hard evidence of the truth. Simple examples from our own lives may already intuitively prove it. How many free pencils from seminar did we collect just turning waste in our homes? How many free t-shirts from radio stations do we pile also just turning waste because we did not really like them? So be careful when encountering free!

There is an upside of all things, including a zero price. If we can devise a way to exploit its power, we probably can enhance many aspects of life. This is especially true if we are ones of public policy makers. At least, we can exploit the power of zero for satisfying our own interests. If hybrid cars or electric cars are the choice of a government, because of their better environmental value, the government can go even further by lifting the whole tax for the cars. If a salesperson wants to boost a new product's sales, s/he can lure the customers by packaging the new product with a free. In the downside, however, Dan Ariely himself bought a car he did not really want just because he was lured by free oil change for a year.

One experiment conducted by Dan Ariely and friends was when they offered two options of chocolates for people in a mall. The first was a small and cheap chocolate offered for 2 cents. The second was a larger and more delicious chocolate offered for 27 cents. Both prices were already good deals compared to market prices. Dan collected the stats of the buyers of both chocolates. Then they made a slight change. Prices offered were changed to 1 cent and 26 cents respectively. Dan again collected the stats of the buyers. The proportion of the first chocolate buyers and the second chocolate buyers basically did not change. Then they offered zero price for the first chocolate and 25 cents for the second. What happened? The proportion changed significantly. The buyers of the free chocolate jumped to the roof. Zero turned people into different personalities! Irrational! Zero prices prevent us from making better deals. See?

Dan conducted another experiment to kids coming to his door asking treat or trick during Halloween. A typical kid responded smartly when a zero price was not introduced. First, he gave the kid five 1-ounce hershey kiss chocolates and asked him to hold. Second, he offered the kid an exchange of two 1-ounce chocolates for a 10-ounce sneaker bar, OR an exchange of one 1-ounce hershey kiss for a 5-ounce sneaker bar. Smartly the kid made the best deal. The bigger Sneaker bar! Then Dan changed the offer. First, he gave a kid coming to his door five 1-ounce hershey kiss. Second, he offered the kid to exchange one hershey kiss for a 10-ounce sneaker bar, OR a smaller, 5-ounce sneaker bar for free. Wo-o-o. Free indeed changed the kid's behavior. He went for the small sneaker bar. Dan tried this experiment also for a number of bigger kids, even his MIT students. The result? They were all the same. We are too. Irrational!

Dan offers an explanation in his book. Free is perceived without downside at all. We cannot lose in any way. That is why free is so hot that we hardly avoid it. Compare free product with priced product even the price is only 1 cent. The price of 1 cent entails risks, even it is very small. Since we are afraid to lose, we are easily lured by no risk bargain. Here is the point where we should be careful. If there is no alternative deal, free is a reasonable choice. If there are alternatives, however, free is probably not a good guy. It prevents us from better deals. Watch out!

Apart from Dan's book, we certainly have to thank God for free air we breathe, for free sun warming us, for free life we live, etc. No risk at all since there is no better alternative. Or would you be better off if you are never born? Hmm...

Next: Do You Believe in Market?
Prev: The Law of Supply and Demand Sucks

Selengkapnya.....

Senin, 01 Desember 2008

Filsafat Kebijakan Baru

Hari-hari ini, ketika mencari artikel terkait perkembangan terkini krisis global, saya mendapati beberapa artikel bagus dari Paul Krugman, Sri Mulyani, dan Adiwarman Karim. Tentu kita tahu tokoh-tokoh ini kan? Yang jelas inti dari pendapat mereka adalah diperlukan reformasi sistem keuangan dunia yang saat ini sedang oleng sehingga sistem keuangan akan mencapai suatu titik keseimbangan baru atau dengan kata lain, walaupun mungkin terdengar radikal, suatu tatanan baru. Keseimbangan baru itu tentunya melibatkan filsafat yang berbeda. Jika filsafat yang menyebabkan krisis global saat ini adalah mekanisme pasar bebas yang meminimalkan peran kendali pemerintah, maka dasar filsafat tatanan baru itu adalah pemerintah (mudah-mudahan pemerintah yang reasonable) harus punya peran kendali tertentu agar pasar tidak semau-maunya bergerak sehingga rentan krisis.

Dari dalam negeri, Menteri Keuangan RI yang lulusan FE UI dan UIUC menekankan bahwa sebagai pemegang otoritas beliau akan memburu pihak-pihak yang memaksimalkan keuntungan sendiri (self interest) di atas penderitaan publik. Wah, ternyata memang benar beliau tidak sepakat dengan gerombolan Margareth Thatcher dan Ronald Reagan yang mengatakan publik sebenarnya nggak ada dan yang ada hanyalah individu-individu saja. Makin nggak valid tuh cap yang pernah diberikan pada beliau sebagai kaki tangan IMF. Berikut ini cuplikan sebagian pernyataan Sri Mulyani yang menarik terkait dengan krisis global.

Secara lugas dan detil, Menkeu memberikan gambaran betapa krisis finansial yang terjadi saat ini sebagai krisis yang sangat berat. Krisis ini tidak hanya menjadi masalah satu negara tetapi merupakan masalah dunia internasional, sehingga solusi yang diambil juga harus merupakan solusi dunia. Saling kerjasama, saling menopang antara satu negara dengan negara lainnya. "Saya harus terus-menerus berkomunikasi dengan menteri-menteri keuangan negara lain. Tidak ada satupun menteri keuangan dan gubernur bank sentral yang berani melakukan kebijakan sendiri-sendiri. Tidak ada negara yang meminta negara lain melakukan kebijakan ini atau itu. Yang ada adalah setiap kebijakan yang dilakukan satu negara akan disampaikan ke negara lain. Ini merupakan bentuk tanggung jawab bersama," katanya.

"Amerika yang katanya kapitalis, sekarang menjadi negara sosialis terbesar di dunia," tukas Menkeu.

Menkeu meminta agar masyarakat, investor dan juga perusahaan untuk tidak memperkeruh keadaan. Misalnya memborong dolar AS untuk kebutuhan yang tidak jelas. Sikap seperti ini jelas akan merusak seluruh upaya yang dilakukan dengan susah payah. "Karena itu jika Anda ketahuan melakukan sesuatu yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya dan melukai kepentingan publik, maka saya tidak akan segan-segan mengejar Anda ke manapun Anda pergi. Sebab, dalam situasi sulit seperti ini jika Anda melakukan sesuatu hanya untuk kepentingan sendiri, menurut saya itu tindakan yang sangat tidak pantas," tegasnya.


Selengkapnya, silakan klik ke artikel Republika hari ini: Saat Krisis, Harus Tetap Punya Mimpi.

Selain Sri Mulyani, tokoh lain yang menginspirasi saya adalah Adiwarman Karim. Boleh dibilang saya banyak belajar juga dari beliau, lewat tulisan-tulisan dan khotbah-khotbah beliau. Tidak heran kalau hari ini saya sowan ke beliau lewat salah satu tulisannya di Republika: Nothing Right on the Left, Nothing Left on the Right. Berikutnya cuplikannya.

Bila suatu bank telah terjangkit penyakit "Nothing Right on the Left, Nothing Left on the Right", langkah standarnya adalah dengan menambah modal agar tidak lagi mengalami "Nothing Left on the Right". Dengan adanya tambahan modal, bank akan kembali beroperasi normal karena there is something on the right.

Tantangannya justru terletak pada langkah keduanya, yaitu bagaimana memperbaiki "Nothing Right on the Left", memperbaiki sisi aset yang berisi instrumen investasi bermasalah, dan memperbaiki kinerja bank di masa depan.

Ibarat kita berbuat dosa, langkah standarnya adalah bertobat agar dosa-dosa kita diampuni. Namun, tantangannya justru terletak pada langkah keduanya, yaitu bagaimana memperbaiki dampak buruk dosa itu dan memperbaiki masa depan. Hati orang lain yang tersakiti, hak orang yang terampas, dan hilangnya kepercayaan akibat kebohongan merupakan sedikit contoh dampak buruk dosa yang tidak mudah diperbaiki dengan cepat.

Mari, kita doakan agar dibukakan mata dan hati dunia untuk dapat berbesar hati menerima pelajaran dari mana pun, termasuk dari ilmu keuangan syariah menuju suatu tatanan ekonomi keuangan dunia yang lebih baik.


Nah, tentunya yang punya legitimasi keilmuan yang paling kuat adalah sang nobelis, Paul Krugman. Berikut cuplikan pendapat beliau yang saya ambil dari artikel Lest We Forget dari NYTimes.

And because we’re all so worried about the current crisis, it’s hard to focus on the longer-term issues — on reining in our out-of-control financial system, so as to prevent or at least limit the next crisis. Yet the experience of the last decade suggests that we should be worrying about financial reform, above all regulating the “shadow banking system” at the heart of the current mess, sooner rather than later.

For once the economy is on the road to recovery, the wheeler-dealers will be making easy money again — and will lobby hard against anyone who tries to limit their bottom lines. Moreover, the success of recovery efforts will come to seem preordained, even though it wasn’t, and the urgency of action will be lost.

So here’s my plea: even though the incoming administration’s agenda is already very full, it should not put off financial reform. The time to start preventing the next crisis is now.


Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut.

Karena kita semua kuatir di tengah krisis yang sedang berlangsung, akan sulit untuk fokus pada isu-isu jangka panjang – untuk membenahi sistem keuangan kita yang lepas kendali, untuk mencegah atau paling tidak mengurangi krisis berikutnya. Namun demikian, pengalaman satu dekade terakhir ini menyarankan agar kita mulai memikirkan reformasi sektor finansial, di atas segalanya meregulasi sistem perbankan bayangan (maksudnya sistem “perbankan” yang diciptakan dan dipraktikkan oleh lembaga keuangan non bank, terutama dalam bentuk instrumen keuangan derivatif – Y Pan) di jantung seluruh kacau balau situasi saat ini. Makin cepat makin baik.

Ketika ekonomi berada pada jalur pemulihan, para dealer penjudi akan mendapat uang dengan mudah lagi – dan akan melobi sekeras-kerasnya terhadap upaya membatasi peluang keuntungan mereka. Lebih jauh lagi, kesuksesan upaya pemulihan akan kelihatan niscaya, walaupun sebenarnya nggak, dan urgensi untuk bertindak segera lenyap.

Maka inilah permohonan saya (Krugman maksudnya – Y Pan): walaupun agenda pemerintahan mendatang telah penuh, reformasi sektor keuangan nggak boleh dilupakan. Waktu untuk mencegah krisis berikutnya adalah saat ini juga.


Artikel terkait:
Kebijakan Berbalik Arah
Kebijakan Memang Berbalik
Menggungat Warisan Greenspan
Filsafat Ekonomi Greenspan

Selengkapnya.....

Senin, 24 November 2008

The Law of Supply and Demand Sucks

Adapted from Dan Ariely's Predictably Irrational
Chapter 2: The Fallacy of Supply and Demand: Why the Price of Pearls-and Everything Else-Is Up in the Air


Trade has a very important function in society. It has been practiced since the ancient world. Suppose our world recognizes only two goods, apples and oranges. All of us have our own preferences to apples and oranges. Because of the differences of our preferences, the trade occurs. It is because I like oranges more while you like apples more, I trade my own-grown apples for your oranges. Using this orange and apple world, classic economics believes that free trade can maximize our utility. Free trade can maximize the world's wealth! Unlike the classic school, behavioral economics challenges this belief.

In free trade, the aggregate supply of oranges and apples and the aggregate demand of both are supposed to create an equilibrium. In such condition, using the concept of calculus, any classic economist can readily prove that the total utility (wealth) is maximized. This belief is now fiercely challenged. How come? Dan Ariely proves that demand is no way independent from supply. He conducted social scientific experiments before coming to his 'odd' conclusion. The simple underlying concept he discovered is what he calls anchoring or imprinting. Preferences or demand can easily be manipulated by introducing a sort of anchor.

The anchor can significantly influence our willingness to buy at a certain price level, relatively close to the anchor. If the anchor is high, we are willing to buy at a high price level. If the anchor is low, we are willing to buy the very same product at a low price level. One experiment conducted by Dan to his students was a poetry recitation by himself. For one group, he offered them money for listening to his recitation of short, medium, and long poetries, each having different levels of prices. For another group, he demanded money from them for listening to the same poetries. Different levels of prices too.

The result? Well, the prices offered or demanded by Dan indeed determined the behavior of each group. On the one hand, the group offered the money actually demanded money from the transactions, with different levels of prices according to the length of poetry recited. On the other hand, the group demanded money for listening to the poetry were indeed willing to pay at different levels of prices depending on the poetry length. It was the very same sets of products. The only different was only that one group were offered money and the other were demanded money, both at different levels of prices. The pre condition prior to the transactions functions as the anchor!

Can we change our anchor easily? Dan Ariely conducted another experiment. He invited his executive students to listen to three types of annoying sounds. One group were suggested a ten cents compensation. The second group were suggested a ninety cents compensation. As you may guess, the first group indeed demanded a low level of compensation, in average close to ten cents. The second indeed demanded a high level of compensation, in average close to ninety cents. The story does not end here. The very same people of each group then were invited to repeat the experience, but now with a different anchor, fifty cents. The first anchors, ten cents for the first group and ninety cents for the second group, prevailed regardless the introduction of the new anchor. Even when the first group were introduced the ninety cents anchor and the second group were introduced the ten cents anchor, the first anchors of each group - i.e. ten cents for the first and ninety cents for the second group - prevailed!

Probably you would think that it is irrational. Yes, indeed, we human are irrational. Not randomly, but predictably. We are like baby geese that imprint the first objects they encounter as their mothers. We are like baby geese that stay with the same mothers (the first anchors) although along the way they meet other adult geese (new anchors). How irrational!

Despite the fact that we tend to stay with the same religion because we herd ourselves, a new anchor actually can convert us to another religion if the new anchor really comes with a very different product and perception. The success of Starbucks competing with incumbents, like Dunkin' Donuts, can be attributed with its initial penetration to the market using a very different delivery concept of drinking coffee. It is continental coffee. It is premium, high price. It is served not in small, medium, or large cups, but served in tall, venti, or grande cups. It is not served with donuts but with croissants.

The success of the king of pearl, Asael, in selling black pearls royally out from almost nothing can also be attributed with this anchoring mechanism... Are you ready for this? With an arbitrary anchor! After failing in his marketing effort a year before, Asael came back with a very high price tag for the pearls, penetrating New York's high class market.

Now we know that our preferences can easily manipulated by the introduction of anchors. Now we know that our behavior can be shaped arbitrarily. The anchors can be the manufacturer suggested retail prices (MSRPs) or even arbitrary numbers like the last digits of our own social security numbers. So if your behavior is coherent following some sorts of patterns, do not be proud, since the coherent behavior can be just arbitrarily coherent. This also suggests that we do not really know our preferences and utility. Under this irrational circumstance, in my opinion, it is irrational to believe that free market - the law of supply and demand - merely can maximize our utility, our happiness.

I am not saying that the basic principle of supply and demand is completely wrong. However, an extreme ideology that recognizes governments with no roles whatsoever in the (free) market should reconsider its postulates. As Dan Ariely writes, probably we need to find elsewhere a way to maximize our wealth. Our utility! Our happiness!

Next: Free, Good or Bad?
Prev: Relativity and Rationality

Selengkapnya.....

Kamis, 20 November 2008

Relativity and Irrationality

Adapted from Dan Ariely's Predictably Irrational
Chapter 1: The Truth about Relativity: Why Everything Is Relative-Even When It Shouldn't Be


The more you have, the more you want. It is what Dan Ariely writes in his book, Predictably Irrational. He refers to that phenomenon as the cycle of relativity. Human is wired to relativity. We have difficulty to value anything, such as houses, internet subscriptions, physical attractiveness, in an absolute value. We compare things relatively. If we are shown a particular circle surrounded by small circles and the same size circle surrounded by large circles, we will perceive the first circle larger than the second same size circle.

The more you have, the more you want. It is the negative side of relativity. One prophet said if someone is given a mountain of gold, s/he will demand another mountain of gold. It is rooted from greedy and envy. That's why an executive of a company feel scared when asked by Dan Ariely should the salary of each employees in the company be publicly known. It is a real catastrophe. Everybody will require a raise, and it is always not enough, yet it cannot be stopped. You will easily guess what will happen next.

The more you have, the more you want. This cycle of relativity can happen to you and me and everybody. When you are about to buy a pen of $27, you will change your mind after knowing that in another store, let's say fifteen minutes away walking, the exact same pen costs only $20. You will chase that seven dollar save. However, if you are about to buy an expensive suit of $427 and someone tells you that in fifteen minutes away walking the same suit costs you only $420, you will ignore the same seven dollar save. It's not only you. Typical people will behave exactly the same, because we all are wired to a relativity judgement.

The more you have, the more you want. This relativity cycle represents the fact that we are not always rational. Indeed, we often make irrational decisions. Not randomly, but systematically. The irrational judgements and decisions we all make are predictable! You may need to read the whole chapters of Dan Ariely's book to convince yourself. Dan rediscovers this common knowledge (for some) through scientific social experiments. Here's one example. Dan selected the photos of MIT's George Clooney and Brad Pitt among his students'. He made a slightly distorted picture of each the Clooney and Pitt. He distributed 600 questionnaires to his female students. If they had the option, who would they choose? George Clooney, the distorted Clooney (minus Clooney, a decoy), or Brad Pitt? To ensure a fair contest, about half of questionnaires had a different menu. Brad Pitt, the distorted Pitt (minus Pitt, a decoy), or George Clooney?

The result? Seventy five percents of the time, the respondents chose the perfect Clooney (or Pitt) over the minus Clooney (or minus Pitt) and the perfect Pitt (the perfect Clooney). The presence of the decoy of Pitt made the perfect Pitt better than not only the decoy but also the perfect Clooney. On the same token, the presence of the decoy of Clooney made the perfect Clooney better overall. Beware, if someone asks you to join her or him a company. Probably, s/he needs you as a decoy (minus her or him) so that s/he will look better.

Another Dan's experiment originated from an ad at The Economists' website. The ad was something like the following.

Internet subscription only: $59
Print subscription only: $125
Internet and print subscription: $125

As you may think, the second option is really a decoy to lure readers choosing the third option, the combo. Dan Ariely tested this ad to his MIT students. When present, the decoy (the second option) made respondents choosing the combo option significantly more than when the decoy was not included in the menu. Needless to say, the decoy itself, the print subscription only, won no vote at all.

Now we know we are not as rational as we think we are. Therefore, now we know how to improve our judgements and decisions, especially related to relativity cycle and traps. When considering to buy an expensive stuff, we can think more broadly and consider alternatives that probably matter much more. We can defer our urge by discussing more with our spouses. Secondly, one of my teachers (ustadz - Y Pan) once said to me something like this. "If you are able to buy a BMW, buy a Camry. If you are able to buy a Camry, buy an Altis. If you are able to buy an Altis, buy a Kijang Innova. If you are able to buy an Innova, buy an Avanza." With this self restrain, we can break the relativity cycle. We can break the cycle of "the more we have, the more we want."

Next: The Law of Supply and Demand Sucks

Selengkapnya.....

Rabu, 05 November 2008

Kebijakan Memang Berbalik


Hasil pemilu Amerika yang sudah diketahui mengkonfirmasi neo liberalisme yang diusung Partai Republik sudah mencapai titiknya yang terjauh (lihat artikel saya sebelumnya Kebijakan Berbalik Arah - Y Pan). Karena Amerika selalu memimpin dalam penjelajahan teritori baru, fenomena mentok di Amerika yang kini berbelok dan berbalik dapat diharapkan membuat anchor baru. Paling tidak membuat trend baru.

Pengendalian atau intervensi terhadap pasar, seperti yang dilakukan Administrasi FTR semasa perang, akan mengalami reinstitusionalisasi. Nah bingung kan? Setidaknya reformasi bidang kesehatan, pendidikan, dan jaring pengaman sosial yang mengarah ke privatisasi semasa GOP berkuasa di Gedung Putih akan terhenti (Baca buku The Conscience of a Liberal karya Paul Krugman deh - Y Pan). Terlebih, Obama telah berjanji akan menaikkan pajak orang-orang kaya, yang secara tradisional mendukung GOP (Great Old Party / Partai Republik). Anehnya milyarder seperti Bill Gates dan Warren Buffet malah secara terbuka mendukung Obama. Kocek Pemerintah AS tentu akan terisi lagi buat biaya program-program sosial. "It's the society stupid!" kata Peter Drucker dalam Managing in the Next Society, sembari mengenyek para pendukung paham ekonomi liberal sebagai panglima.

OK deh, cukup dengan hujatan terhadap ideologi anti pemerintah dari kubu neo liberal klasik dan pendukung-pendukungnya yang terutama murid-murid Milton Friedman. Berikut ini beberapa website yang sempat saya ambil snapshot-nya, terkait hasil pemilu Amerika.








Selengkapnya.....

Selasa, 04 November 2008

Iklan di KRL

Pelan-pelan mulai terpasang iklan di KRL-KRL AC. Setahun lalu, tempat iklan di KRL berisi iklan dari PT KA sendiri, tawaran agar beriklan di situ. Bunyinya: train the best place to advertise your adds (harusnya your ads, iklan anda, bukan your adds, tambahan anda - Y Pan). Nah, lucu juga. Nggak tahu terkait dengan kekeliruan bahasa itu atau masalah lain, lama sekali baru mulai ada yang mau beriklan di situ. Berikut ini foto-fotonya.




Selamat kepada PT KA. Pemasukan dari iklan mudah-mudahan dapat nambahin kocek demi memuaskan kita-kita ini, yang sering sebel karena KRL terlambat atau sebel karena tidak diberikan informasi yang berguna.

Ayo... Siapa lagi mau nyusul beriklan di KRL? Menyongsong pemilu, caleg dan capres mungkin? Kalau pilpres Amerika masih jauh, Obama dan McCain mungkin?

Selengkapnya.....

Jumat, 31 Oktober 2008

Greget Informasi di Stasiun

Pernah nggak merasa nggak pasti mau ngapain? Misalnya Anda menunggu berita yang menentukan tindakan berikutnya. Tunggu... Tunggu... Tunggu... Berita nggak sampai. Pasti kesel kan? Misalnya Anda sudah nunggu lama di perempatan, tapi nggak punya perkiraan sama sekali kapan lampu ijo lagi. Malangnya lagi, Anda nggak tahu berapa lama ijonya kalau ntar ijo. Sementara Anda sudah bilang per telepon ke Bos paling lima menit lagi sudah tiba.

Begitulah, informasi memang punya nilai. Terkait contoh di atas, berita mengenai kedatangan kereta api atau KRL sering bikin gregetan. Sebaliknya, di perempatan Bekasi sekarang mending. Banyak yang sudah pake counter, berapa detik lagi lampu merah mencolok mata dan berapa detik lagi ijonya melipur rasa. Anda tentu merasakan hawa kepastian. Patut kita berterima kasih ke pihak berwenang yang telah memungkinkan hal sederhana ini terwujud, tentunya untuk membahagiakan kita, pemakai jalan raya.

Nah, hari ini pengumuman di Stasiun Tanah Abang bikin sewot calon penumpang KRL. "Dari selatan, di jalur lima, akan masuk KRL Ciujung tujuan Serpong," demikian suara pengumuman menyalak. Maklum yang memberi pengumuman bukan model resepsionis bank. Belum lagi speakernya kadang bikin suara yang nggak jelas tambah nggak jelas. Pengumuman tadi bukan cuma sekali, tapi berkali-kali. KRL tetap aja nggak muncul. Lebih parah lagi, sudah setengah jam diberitakan KRL Bekasi Ekspres tertahan di sinyal masuk. Belum nongol juga. Sudah panjang leher para calon penumpang.

Sampai akhirnya KRL Ciujung dan Bekasi Ekspres tiba juga. Untung nggak lepas kepalaku.

Saya pernah menggunakan MRT di Singapura. Penanganan informasinya kayak langit aja dibandingkan dengan di Tanah Abang (Gambir juga sama saja). Calon penumpang diberitahu berapa lama lagi keretanya tiba. Terbangun dari kenangan itu, eh saya segera sadar dari tadi KRL Bekasi yang saya tumpangi nggak jalan-jalan, without a single word, bahkan untuk menyampaikan permohonan maaf dan harapan agar penumpang bersabar. Begitulah kelihatannya pengelola KRL dan stasiun belum paham nilai informasi. Mungkin Pak Dirut perlu memperhatikan penanganan informasi dan pengumuman di stasiun dan KRL.

Informasi bisa nendang sampai ke pelanggan! Bisa bikin pelanggan puas. Bisa juga bikin pelanggan kabur, kalau informasinya ngaco. Udah dulu ah, walaupun saya nggak tahu sama sekali berapa lama lagi nih KRL jalan! Di kejauhan sudah terdengar iqomah sholat jamaah magrib.

Selengkapnya.....

Kamis, 30 Oktober 2008

Kebijakan Berbalik Arah

Dunia di bawah pimpinan kapitalisme liberal dalam kurun hanya beberapa dekade telah berlari kencang menuju batasnya yang terjauh. Ekonomi yang menjadi panglima menempatkan pasar nyaris sebagai satu-satunya penentu. Regulasi satu per satu dipangkas, hingga kalau perlu pemerintahan nggak usah ada. Ideologi super liberal ini diterapkan Amerika, terutama di bawah kendali presiden-presiden dari Partai Republik, dan dijual ke seluruh dunia melalui lembaga-lembaga seperti Bank Dunia, IMF, dan WTO.

Negara komunis Cina sekalipun menjadi praktisi kapitalisme sejati. Hanya segelintir saja negara yang masih menolak mentah-mentah kapitalisme. Kebanyakan menjadi penganutnya. Malu-malu ataupun tidak! Lihat artikel saya sebelumnya Filsafat Ekonomi Greenspan dan Analisa Greenspan atas Dunia yang saya tulis berdasarkan buku The Age of Turbulence. Mungkin mesin kapitalisme yang sangat efisien membuatnya sulit untuk ditolak. Janjinya meningkatkan kesejahteraan seperti yang dialami Australia, Selandia Baru, Singapura, Inggris, dan terutama Amerika sendiri membuat negara seperti India dan Indonesia tak kuasa melawan arus kencangnya.

Sejak 80-an dan paralel dengan runtuhnya Tembok Berlin dan Soviet (peristiwa yang menjadi salah satu tonggak globalisasi modern menurut Thomas L Friedman dalam The World is Flat), deregulasi sistem keuangan terjadi di mana-mana. Tidak terkecuali di negara kita tercinta. Bank-bank kemudian bermunculan seperti jamur. Produknya terus berkembang pesat. Sistem global yang sangat efisien ini mampu memutar uang sedemikian sehingga gelembungnya menjadi tak mampu ditopang lagi. Ini yang terjadi hari ini. Krisis sistem keuangan global yang berpusat di Amerika mungkin baru saja dimulai.

Apakah pemerintahan diam saja? Tentu tidak! Termasuk Amerika yang saat ini pemerintahannya sangat berideologi anti pemerintah. Buktinya bail-out sebesar 700 milyar dollar itu. Kalau mau konsisten, sebagaimana disuarakan sebagian kalangan di Amerika, pemerintah harusnya membiarkan saja para pelaku Wall Street merasakan akibat keserakahannya. Ternyata laju deregulasi super liberal mencapai batas terjauhnya jua. Kini kita menyaksikan perubahan arah kebijakan ekonomi. Di tataran lokal, kita dapat saksikan betapa pemerintah dan bank sentral bersatu padu mengendalikan pasar.

Langkah pemerintah, BI, dan Bapepam mengendalikan pasar banyak diapresiasi. Bahkan PKS dalam pernyataan politik mutakhir menyuarakan nada pujian. Lainnya, Erick Tohir pernah menulis artikel khusus mengenai Menteri Keuangan, yang disebutnya lincah seperti CR7, sehingga disebut si nomor tujuh dari Indonesia (kebetulan beliau adalah anak ketujuh, lihat artikelnya). Dengan demikian, walaupun MenKeu pernah dituding sebagai antek IMF, kita dapati beliau tidak buta menyeruduk dengan jurus neoliberal klasik ala Adam Smith yang kebablasan. Menteri Keuangan AS nun jauh di sana sekalipun, terpaksa atau tidak, berbalik arah.

Kita belum tahu apakah arah yang sudah berbalik ini akan terus melaju mencapai titik keseimbangan baru di tengah. Atau kebijakan akan berbalik arah lagi ke liberalisasi total. Saat ini mungkin terlalu dini untuk menjawabnya. Penelitian yang dilakukan Dan Ariely, penulis Predictably Irrational, membuktikan asumsi ekonomi tradisional (baca mainstream saat ini - Y Pan) bahwa manusia berperilaku sangat rasional tidak tepat. Secara konsisten dan berulang manusia melakukan kesalahan. Manusia tidak rasional! Dapat diprediksi. Sistematis - tidak rasionalnya.

Contoh eksperimen yang diangkat Dan Ariely di bab pertama Predictably Irrational adalah bagaimana mahasiswanya di MIT bias dalam memilih tawaran seperti berikut ini (ilustrasi mungkin tidak tepat betul dengan buku Dan Ariely - Y Pan).

Langganan internet $59
Langganan cetak $125
Langganan internet dan cetak $125


Mungkin sesuai tebakan Anda, kebanyakan mahasiswa memilih yang ketiga, langganan internet dan cetak. Tawaran yang sangat bagus. Bahkan kalau Anda menduga tidak akan ada yang memilih langganan cetak, berarti Anda rasional seperti kebanyakan orang. Ya nggak? Tapi coba renungkan kalau pilihan kedua tidak dimunculkan. Apakah hasilnya akan sama saja? Ternyata tidak. Jika tawarannya hanya dua

Langganan internet
Langganan cetak dan internet


masing-masing dengan harga yang sama seperti di atas, pilihan terbanyak adalah langganan Internet saja.

Hasil eksperimen Dan Ariely di atas membuktikan manusia tidak mengetahui nilai absolut dari suatu tawaran. Manusia menilai dan memutuskan berdasarkan perbandingan sederhana. Karena masing-masing nilai yang sesungguhnya dari langganan internet saja dan langganan kombo cetak dan internet sulit diketahui, kehadiran langganan cetak saja (sebuah decoy) yang berharga sama dengan langganan kombo membuat perbandingan menjadi demikian mudah. Kita manusia sangat suka dengan perbandingan yang mudah. Langganan kombo menjadi jauh lebih menarik! Perilaku langsung berubah.

Behavioral economics mulai mengusung argumen bahwa kebijakan-kebijakan di tataran individu maupun publik perlu disesuaikan dengan kenyataan secara inheren kita manusia tidak rasional. Di bagian lain bukunya, ketika membahas kekuatan anchor, Dan Ariely menulis mungkin harga yang dikontrol (oleh pemerintah - Y Pan) dapat lebih menguntungkan pelaku ekonomi daripada jika dibiarkan mengikuti hukum supply-demand. Mungkin harga saham termasuk yang lebih baik dikontrol. Ini yang dilakukan Bursa Efek Indonesia (to some extent) dengan menutup bursa ketika situasi tidak kondusif. Mungkin nilai tukar rupiah ke dollar termasuk yang lebih baik dikontrol. Mungkin lebih banyak lagi yang lebih baik dikontrol daripada dibiarkan sebebas-bebasnya.

Ah, mungkin spekulasi ini terlalu jauh. Yah, setidaknya saya yakin (atau tepatnya berharap) arah kebijakan yang berbalik bukan merupakan fenomena sementara. Namun demikian, saya pun yakin (atau tepatnya berharap) gerakan berbalik ini tidak demikian ekstrem ke kiri hingga ke regulasi total sebagaimana dicita-citakan paham sosialis-komunis, sehingga inisiatif dan hak individu dipasung sama sekali.

Jalan tengah lebih baik! Di mana engkau wahai jalan tengah? Apakah engkau jalan ke surga?

Lihat juga:
Menggugat Warisan Greenspan 1
Ongkos Uang Yang Tersembunyi
Managing in the Next Society
Krisis Ekonomi AS dan Global
The Age of Turbulence
Analisa Greenspan atas Dunia
Filsafat Ekonomi Greenspan

Selengkapnya.....

Selasa, 21 Oktober 2008

Menggugat Warisan Greenspan 10

Gonjang-ganjing Wall Street - yang telah menelan perusahaan seperti Bear Stearns dan Lehman Brothers serta bikin semaput raksasa asuransi American International Group - terjadi karena para pelaku pasar dan klien-klien mereka tergantung satu dengan yang lain melalui derivatif.

Pada bulan-bulan terakhir, ketika krisis keuangan AS benar-benar mendapat momentum, kemunculan Greenspan di publik semakin jarang saja.

Catatan perjalanannya (The Age of Turbulence) dipublikasikan pertengahan 2007, mana kala bencana mulai terungkap, dan tur buku beliau segera menjadi ajang diskusi menarik (penghakiman mungkin - Y Pan) perihal kebijakan-kebijakannya. Ketika versi yang lebih murah (paperback) muncul tahun ini, Mr Greenspan menulis sebuah epilog yang berisi suatu sanggahan (untuk membela diri dan keyakinannya - Y Pan).

"Manajemen risiko tidak akan pernah mencapai kesempurnaan," tulis beliau. Pihak yang bersalah, tulisnya lagi, adalah para bankir yang kepentingannya (self interest) justru beliau perjuangkan dan pertaruhkan.

"Mereka berjudi menambah risiko terus menerus dan menjual risiko dimaksud sebelum banjir besar datang," demikian Greenspan. "Hampir semuanya (pelaku pasar yang bertaruh dengan risiko di Wall Street - Y Pan) salah langkah."

Tidak ada tindakan intervensi pemerintah untuk menghentikan perilaku berisiko tinggi tersebut, akan tetapi Greenspan tidak menyesal sama sekali.

"Pemerintahan dan bank-bank sentral," tulisnya, "tidak dapat mengubah arah booming pasar."

Y Pan: Bagaimana? Apakah Anda termasuk pembela Greenspan?

Lihat bagian kesembilan. Kembali ke awal.
Lihat artikel asli.

Selengkapnya.....

Sabtu, 18 Oktober 2008

Menggugat Warisan Greenspan 9

Greenspan mengatakan bahwa Wall Street dapat dipercaya. "Terdapat suatu plus-minus yang amat mendasar dari pilihan-pilihan tipe ekonomi yang kita inginkan," demikian katanya. "Kita dapat saja memberlakukan regulasi dalam jumlah besar dan saya jamin nggak akan ada yang bakal salah, tapi nggak ada yang bakal bener juga."

Selanjutnya pada tahun yang sama, pada dengar pendapat DPR perihal merger boom, Greenspan berargumen bahwa Wall Street memang terkenal dengan risikonya.

"Apakah Anda nggak kuatir adanya konsentrasi kekayaan pada segelintir perusahaan besar sehingga satu saja perusahaan besar bermasalah, maka dampaknya mengerikan buat ekonomi nasional dan global?" tanya anggota DPR Bernard Sanders, aleg jalur independen non partai asal Vermont.

"Nggak, nggak," jawab Mr Greenspan. "Saya yakin pertumbuhan umumnya pada lembaga-lembaga besar terjadi atas dasar struktur pasar di mana risiko terbatasi dengan sangat dramatis - sebenarnya harus saya katakan terbatasi sepenuhnya."

DPR secara aklamasi meneruskan perundangan yang membuat CFTC (badan pengawas pasar komoditi berjangka - Y Pan) tidak punya otoritas mengawasi derivatif. Senator Gramm (sebagai ketua komisi perbankan DPD - Y Pan) kemudian melampirkan dukungan atas pembatasan wewenang badan dimaksud. DPD kemudian menyetujui rancangan undang-undang itu. Akhirnya Clinton mengesahkannya.

Merangsek Maju

Tetap aja, investor cerdas seperti Buffet terus memberikan peringatan tentang bahaya derivatif, sebagaimana dinyatakan pada 2003 dalam laporan tahunan ke pemegang saham perusahaannya, Berkshire Hathaway.

"Banyak risiko, utamanya risiko kredit, terkonsentrasi pada segelintir dealer derivatif," tulisnya. "Masalah pada satu dealer akan cepat menjalar ke yang lainnya."

Tapi bisnis tetap berjalan seperti biasa.

Ketika Greenspan mulai mendengar adanya bubble perumahan, beliau mengabaikan ancaman ini. Wall Street menggunakan derivatif untuk membagi risiko dengan perusahaan-perusahaan lain. Demikian Greenspan pada suatu pidato 2004.

Sejak itu, risiko yang dibagi berubah dari alat bantu penenang menjadi virus. Sejalan dengan berkembangnya krisis perumahan dan (menjadi) buruknya mutu KPR, derivatif nyatanya malah memperbesar masalah.

Bersambung ke bagian sepuluh. Lihat bagian kedelapan.
Lihat artikel asli.

Selengkapnya.....

Jumat, 17 Oktober 2008

Menggugat Warisan Greenspan 8

Apapun kejadian antara Ms Born dari badan pengawas pasar komoditi dan Greenspan (lihat bagian sebelumnya), DPR membekukan otoritas badan dimaksud untuk enam bulan. Tahun berikutnya, Born keluar.

November 1999, pengambil kebijakan senior termasuk Greenspan dan Rubin merekomendasikan kepada DPR agar otoritas CFTC (badan pengawas dimaksud) atas derivatif sama sekali dihapus.

Menurut anggota DPR, Greenspan kemudian menggunakan prestisenya untuk memastikan DPR benar-benar mengikuti. "Alan sangat dihormati," kata Jim Leach, seorang Republik asal Iowa yang memimpin Komisi Perbankan dan Keuangan DPR ketika itu. "Ini berada di wilayah kebijakan di luar keahlian anggota DPR."

Seiring pasar saham yang terus nanjak (bulish), menurut pandangan umum, masa-masa jaya ini disebabkan tangan dingin Greenspan di bank sentral.

"Anda akan dikenang sebagai Gubernur Fed Res yang paling hebat sepanjang sejarah," kata Phil Gramm, seorang Republik anggota DPD dari Texas yang menjabat Ketua Komisi Perbankan DPD, ketika Mr Greenspan hadir di DPD pada Februari 1999.

Rekam jejak dan rasa percaya diri Greenspan menguatkan reputasinya - ini memudahkannya mempengaruhi DPR untuk mencabut perundangan masa resesi (dibikin oleh administrasi FTR - Y Pan) yang memisahkan bank komersial dan bank investasi untuk menurunkan risiko keseluruhan dari sistem keuangan.

"Dia punya gaya bicara yang membuatmu berpikir bahwa dia tahu persis apa yang dibicarakannya pada setiap waktu," kata Senator Tom Harkin seorang Demokrat anggota DPD wakil dari Iowa. "Dia mampu bicara dengan cara sedemikian hingga orang-orang nggak mau mempertanyakan apapun, sepertinya dia tahu segala. Dia adalah Oracle. Siapa Anda yang dapat mempertanyakannya?"

Tahun 2000, Mr Harkin mengajukan pertanyaan apa yang bakal terjadi jika DPR mengurangi otoritas CFTC.

"Jika Anda mendapati hal tidak normal dan sesuatu di luar antisipasi kemudian terjadi, siapa yang akan mengambil tindakan?" tanya Harkin kepada Greenspan pada suatu dengar pendapat.

Bersambung ke bagian kesembilan. Lihat bagian ketujuh.
Lihat artikel asli.

Selengkapnya.....

Rabu, 15 Oktober 2008

Menggugat Warisan Greenspan 7

Ms Born menolak berkomentar (perihal penolakan Greenspan atas usulnya dulu - Y Pan). Mr Rubin (sebaliknya), sekarang eksekutif senior di Citigroup, berkomentar bahwa sebetulnya dia condong kepada regulasi - khususnya peningkatan dana cadangan kerugian - tapi saat itu dia menilai tidak mungkin baginya melakukan itu dalam posisi MenKeu.

"Semua tekanan di sistem mengarah pada penolakan regulasi," katanya. Industri keuangan sudah tentu menolak peningkatan regulasi. Sulit mendapatkan dukungan dari opini publik.

Mr Greenberger percaya iklim politik ketika itu dapat berubah seandainya Rubin terbuka meminta regulasi.

Awal 1998, wakil Rubin di DepKeu, Lawrence H. Summers, memanggil Born dan memojokkannya karena mengambil langkah yang dapat memicu krisis. Demikian menurut Greenberger. Ketika dikonfirmasi penulis, Mr Summers mengaku lupa percakapan tersebut tapi memang setuju dengan Greenspan dan Rubin bahwa usulan Ms Born "sangat bermasalah."

Pada 21 April 1998, para regulator sektor keuangan pemerintah pusat bertemu di ruang konferensi DepKeu untuk membahas usulan Ms Born. Baik Rubin maupun Greenspan mendesak Born untuk menimbang ulang, menurut Greenberger dan Levitt.

Ms Born pantang mundur. Pada 5 Juni 1998, Greenspan, Rubin, dan Levitt meminta DPR menghentikan Born hingga para regulator senior muncul dengan rekomendasi mereka. Mr Levitt sekarang menyesali keputusan itu. Mr Greenspan dan Mr Rubin "bersekongkol dalam masalah ini," katanya. Mereka memang sangat menolak usulan Born dan mempengaruhi saya bahwa ini dapat jadi chaos.

Segera kebenaran Born terbukti. Pada musim gugur 1998, perusahaan hedge fund Long Term Capital Management hampir kolaps, karena transaksi-transaksi derivatif bermasalah, di antara masalah lain. Lebih dari selusin bank mengumpulkan 3,6 miliar dollar untuk menyelamatkan LTCM (oleh swasta tapi, bukan pemerintah federal - Y Pan) dari kebangkrutan dan menghindarkan masalah susulan di perusahaan-perusahaan terkait.

Bersambung ke bagian kedelapan. Lihat bagian keenam.
Lihat artikel asli.

Selengkapnya.....

Menggugat Warisan Greenspan 6

"Nggak ada hal dalam regulasi yang dilakukan pemerintah per se yang membuatnya superior dibandingkan regulasi pasar sendiri." (Dalam buku The Age of Turbulence, Greenspan menulis supervisi yang paling efektif adalah supervisi yang dilakukan oleh counterpart, bukan oleh otoritas pemerintah - Y Pan.)

Greenspan memang memperingatkan bahwa derivatif dapat mem-besar-kan krisis karena derivatif menghubungkan nasib lembaga-lembaga yang nampaknya independen. "Justru efisiensi yang ditimbulkan derivatif menyebabkan, jika harus terjadi, krisis ditransmisikan atau menjalar dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan dengan tingkat bahaya yang lebih besar."

Beliau menambahkan, tapi, risiko di atas amat sangat jauh. Lagian risiko adalah bagian dari hidup. Begitulah.

Kemudian pada tahun itu juga, Mr Markey mengajukan rancangan undang-undang regulasi derivatif, tapi nggak pernah lolos.

Resistensi terhadap Peringatan

Pada tahun 1997, badan pengawas pasar komoditas berjangka Amerika mulai menjajaki kemungkinan regulasi derivatif. Badan dimaksud, waktu itu dipimpin oleh seorang pengacara bernama Brooksley E. Born, mengundang komentar tentang bagaimana sebaik-baiknya mengawasi instrumen derivatif tertentu.

Ms Born kuatir perdagangan yang tak terkendali dan sulit dimengerti dapat mengancam pasar kita (AS maksudnya - Y Pan) yang diregulasi atau bahkan ekonomi kita tanpa pihak berwenang tahu sama sekali. Demikian kesaksiannya di depan DPR. Dia menuntut dalam derajat yang lebih besar pengungkapan informasi transaksi (derivatif - Y Pan) dan pencadangan dana sebagai upaya berjaga-jaga dari kerugian.

Pendapat Ms Born mengundang penolakan amat sangat dari Greenspan dan Robert E. Rubin, waktu itu MenKeu. Pengacara-pengacara DepKeu menyimpulkan bahkan hanya mendiskusikan aturan baru sudah mengancam pasar derivatif. Greenspan mengingatkan terlalu banyak aturan dapat merusak Wall Street karena investor akan kabur ke luar negeri.

"Greenspan berkata ke Brooksley betapa nggak ngertinya wanita itu atas apa yang dilakukannya dan dia dapat menyebabkan krisis," berkata Michael Greenberger, dulu direktur senior di badan pengawas pasar komoditas. "Brooksley adalah wanita ini yang nggak gaul dengan orang-orang ini. Ada sedikit perasaan kalau dia bukan dari kalangan Wall Street."

Bersambung ke bagian ketujuh. Lihat bagian kelima.
Lihat artikel asli.

Selengkapnya.....

Selasa, 14 Oktober 2008

Menggugat Warisan Greenspan 5

"Usulan untuk mengadakan regulasi (terhadap derivatif - Y Pan), sekalipun minimalis, selalu ditolak oleh Greenspan dan pejabat tertentu di DepKeu," demikian kenang Alan S. Blinder, seorang mantan anggota DG Bank Sentral AS dan ekonom dari Princeton University. "Saya menilai bahwa beliau selalu menjadi pendukung setia derivatif."

Arthur Levitt Jr., seorang mantan Ketua Bapepam AS (SEC), mengatakan Greenspan menolak regulasi derivatif karena akan menjadi aib mendasar pemerintah.

Levitt lebih jauh mengatakan otoritas dan pengaruh Greenspan di sektor finansial global mendorong anggota legslatif, sebagai pembuat undang-undang, yang umumnya kurang paham mengenai sektor finansial untuk mengikuti saja pendapat beliau.

"Saya selalu merasa bahwa keangkuhan para legislator kita tidak ingin mengakui ketidakmampuannya dalam memahami konsep-konsep Greenspan," demikian Levitt. "Saya tidak pernah mendengar ada yang mengatakan, 'Apa sih maksud lo, Alan?'"

Ada sih, dalam jangka waktu teramat panjang, yang pernah mengajukan pertanyaan. Tahun 1992 Edward J. Markey, seorang demokrat dari Massachusetts yang mengetuai subkomisi telekomunikasi dan keuangan DPR, menanyakan apa yang perlu dipelajari otoritas berwenang (waktu itu The General Accounting Office) mengenai risiko-risiko derivatif.

Dua tahun kemudian otoritas akunting dimaksud menyampaikan laporan adanya celah dan kelemahan yang signifikan dalam pengawasan regulatori terhadap derivatif.

"Kegagalan mendadak atau penarikan besar-besaran dari perdagangan oleh salah satu perusahaan dealer besar dapat menyebabkan masalah likuiditas di pasar dan juga menyebarkan risiko ke pihak lain, termasuk bank-bank di bawah program penjaminan pemerintah federal dan sistem keuangan seluruhnya," Charles A. Bowsher, Ketua otoritas akunting, menjelaskan di hadapan Markey dan komisinya pada tahun 1994. "Untuk kasus tertentu, intervensi telah dan dapat berakhir dengan bailout yang dibayarkan untuk atau digaransi oleh pembayar pajak."

Dalam kesaksiannya pada waktu itu, Mr Greenspan meyakinkan kembali bahwa risiko-risiko di pasar keuangan, termasuk pasar derivatif, diatur oleh pihak-pihak swasta (pelaku pasar sendiri - Y Pan).

Bersambung ke bagian keenam. Lihat bagian keempat.
Lihat artikel asli.

Selengkapnya.....

Senin, 13 Oktober 2008

Menggugat Warisan Greenspan 4

... Keyakinan pada Sistem

"Kelihatannya berlebihan untuk membatasi transaksi (sebagian) derivatif yang baru-baru dan instrumen finansial inovatif lainnya dari dekade ini," begitu tulis Greenspan. "Kontrak yang paling buruk telah gagal (di pasar - Y Pan) dan investor tidak akan menggunakannya lagi di masa depan."

Dalam pidatonya di Georgetown, beliau tidak menyinggung regulasi sama sekali, sembari mengatakan krisis disebabkan kegagalan Wall Street untuk berperilaku dengan cara-cara terhormat.

"Dalam suatu sistem pasar yang berdasarkan kepercayaan (lihat ringkasan buku The Speed of Trust yang pernah saya tulis di blog ini - Y Pan), reputasi memiliki nilai ekonomi yang penting," kata Greenspan kepada audiens. "Oleh karena itu, saya sangat menyayangkan betapa kita telah begitu jauh membiarkan reputasi tak dihargai dalam tahun-tahun belakangan."

Sebagai Gubernur Fed Res bangkotan, Mr. Greenspan selalu menda'wahkan kekuatan pasar yang transenden yang mampu menciptakan kemakmuran (wealth-creating).

Sebagai penganut paham liberalisme (libertarianism), beliau menggunakan di antara pengaruh-pengaruh lainnya pengaruh seorang novelis Ayn Rand, yang menggambarkan kekuatan kolektif sebagai kekuatan jahat yang berhadapan dengan kekuatan kepentingan pribadi yang tercerahkan. Selanjutnya, beliau memiliki keyakinan sangat kuat bahwa pelaku pasar keuangan akan bertindak dengan cara yang bertanggung jawab.

Studi terhadap kebijakan Greenspan terhadap regulasi keuangan, khususnya derivatif, selama lebih dari dua dekade menunjukkan betapa beliau mempertaruhkan kondisi ekonomi negara berdasarkan keyakinan itu.

Ketika pasar derivatif mulai terbentuk di awal 1990-an dan pada tahun-tahun berikutnya, para kritikus menyampaikan kekuatiran tidak adanya aturan yang memaksa lembaga keuangan membuka informasi mengenai posisi mereka dan memaksa mereka mencadangkan dana untuk berjaga-jaga dari bermasalah.

Lagi-lagi, Mr. Greenspan yang disegani, dihormati, dan dijuluki Oracle menyatakan bahwa risiko dapat dikelola sendiri oleh pasar (tidak perlu diatur-atur maksudnya - Y Pan).

Bersambung ke bagian kelima. Lihat bagian ketiga.
Lihat artikel asli.

Selengkapnya.....

Minggu, 12 Oktober 2008

Menggugat Warisan Greenspan 3

Pada skala yang jauh lebih besar (daripada sekedar asuransi rumah dan kendaraan - Y Pan), kontrak-kontrak derivatif memungkinkan perusahaan keuangan dan korporasi mengambil risiko yang lebih kompleks yang tanpa asuransi akan mereka hindari - misalnya dengan memberikan lebih banyak KPR dan pinjaman korporasi. Selanjutnya kontrak derivatif dapat diperjualbelikan sehingga dapat membatasi risiko sendiri lebih jauh tapi sekaligus menyebarkan risiko tersebut ke pihak-pihak lain - menambah jumlah pihak yang terekspos sekiranya terjadi masalah.

Sepanjang 1990-an, sebagian pihak menilai derivatif semakin terhubung dan tergantung (seperti benang kusut atau jaringan kabel yang rumit - Y Pan) serta semakin tidak terduga risiko keamanannya sehingga perlu diawasi pemerintah agar sistem keuangan terlindungi. Dalam pertemuan-pertemuan dengan pihak pemerintah federal (pemerintah pusat AS - Y Pan), dalam atmosfir penuh kekaguman, Alan Greenspan meyakinkan bahwa Wall Street (pasar - Y Pan) dapat mengatur dirinya sendiri (ide klasik / neoklasik yang dihidupkan kembali oleh Ronald Reagan, Margareth Thatcher, dkk - Y Pan) sehingga pembatasan-pembatasan justru makin dihilangkan.

Sejak industri perumahan AS mulai kolaps, pendirian Greenspan telah diminta untuk direvisi. Para ekonom dari seluruh rentang spektrum ideologi mengkritisi beliau yang memilih kebijakan membiarkan (bahkan mendorong - Y Pan) booming perumahan terus berlanjut melalui kredit murah dan suku bunga rendah. Seharusnya sih beliau mengkoreksi harga melalui peningkatan suku bunga. Pihak lainnya mengkritisi beliau karena tidak mendisiplinkan lembaga-lembaga keuangan yang makin ngaco memberikan kredit.

Bagaimanapun sejarah mencatat kebijakan-kebijakan Greenspan di atas (mengenai suku bunga dan KPR yang lebih gampang dicerna - Y Pan), akhirnya peninggalan beliau bermuara pada 'binatang' yang lebih mendasar (sehingga bersifat laten, nggak mudah terlihat - Y Pan) akan tetapi tidak terlalu banyak disorot, yaitu derivatif.

Keyakinan pada Sistem

Beberapa analis berpendapat nggak fair menimpakan kesalahan pada Greenspan karena krisis ini tumbuh menyebar begitu luas. Pemikiran bahwa Greenspan dapat saja memilih kebijakan yang hasilnya berbeda sama sekali adalah naif. Begitu bela Robert E. Hall, seorang ekonom dari Hoover Institute yang berhaluan konservatif (seperti Alan Greenspan sendiri; lihat artikel yang pernah saya tulis berdasarkan buku Paul Krugman, The Conscience of a Liberal - Y Pan), sebuah kelompok riset di Stanford.

Greenspan sendiri menolak untuk diwawancarai oleh penulis. Juru bicaranya menyarankan agar penulis merujuk ke buku The Age of Turbulence, yang di dalamnya Greenspan menuliskan keyakinannya.

Bersambung ke bagian keempat. Lihat bagian kedua.
Lihat artikel asli.

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed