Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Senin, 27 April 2009

Menunggu tanpa Informasi

Hari ini saya ke bank lagi. Ada tagihan yang mesti dibayar. Ah, seandainya nggak ada tagihan mendadak, nggak perlulah saya ngantri lama. Teringat Jum'at yang barusan berlalu. Saya berniat melunasi hutang dan membayar pendaftaran sekolah buat Rita. Saya berangkat sebelum jam 11 setelah minta izin meninggalkan rapat. Sesampainya di bank yang cuma beberapa menit jalan kaki dari kantor, saya dapati antrian teramat panjang seperti hari ini.

Bedanya Jum'at itu, waktu mepet banget menjelang khutbah Jum'at. Satu per satu pelanggan dilayani. Langkahnya pelan tapi pasti. Ah pasti keburu nih. Tapi begitu antrian tinggal dua orang lagi di muka, proses pelayanan seolah berhenti. Lima menit berlalu. Sepuluh menit pun berlalu, sementara jarum jam makin cepat menyuruh muadzin mengumandangkan adzan. Lima belas menit berlalu. Satu konter teller tutup. Kayaknya petugasnya siap-siap shalat Jum'at. Antrian nggak maju-maju.

Sebelnya, nggak ada informasi. What's going on? Sabar sih bisa, tapi yang ini di bank yang tampangnya profesional, sifat sabar nggak bisa dijadikan alasan bagi manajemen untuk mengecewakan pelanggan. Informasi ada? Tetep nggak ada! Kayak di stasiun dan KRL aja, sering kita nggak tahu kapan penantian akan berakhir. Oh... Lihat Greget Informasi di Stasiun.

Kalau memang antrian seolah berhenti, wajar dong kalau ada pengumuman ke antrian pelanggan yang panjang. Mungkin penjelasannya kurang lebih begini. Tanggal-tanggal segini memang transaksinya banyak-banyak. Wah, kalau diberitahu dari tadi kan lumayan. Ada kepastian. Terus, kalau memang sudah tahu transaksi Jum'at sekitar tanggal 24-25 jam 11-12 selalu menggunung, mengapa nggak diatur teller perempuan lebih banyak yang bertugas?

Hari ini lumayan. Pelayanan antrian nggak mandek. Nggak ada juga desakan panggilan dari muadzin. Ah, sebenarnya saya ingin pelayanan bank saya ini selalu prima. Mungkin kesadaran mengenai pentingnya informasi perlu ditingkatkan. Bahkan di bank nasional!

Selengkapnya.....

Rabu, 22 April 2009

Akhiran -kan dan Akhiran -an

Apa sih bedanya akhiran -an dan akhiran -kan? Ah gampang. Misalnya:

bedakan
samakan
sempurnakan
membedakan
menyamakan
menyempurnakan

perbedaan
persamaan
kesempurnaan


Oh, kayaknya akhiran -kan membentuk kata kerja, sementara akhiran -an membentuk kata benda. Emang nggak ada akhiran -kan yang membentuk kata benda? Jawabnya IYA besar. Terus, emang nggak ada akhiran -an yang membentuk kata kerja? Hm... Ini lebih sulit. Bagaimana dengan contoh-contoh berikut ini.

bersamaan, berlawanan, bersilangan.

bepergian, berakhiran, berawalan
.

Hehehe, ada toh akhiran -an yang membentuk kata kerja, tapi kelihatan selalu berpasangan dengan awalan ber- dan tidak pernah berpasangan dengan awalan me- yang bikin kita tidak pernah menjumpai:

menyamaan, melawanan, menyilangan, memergian, mengakhiran, mengawalan.

Tapi kita jumpai:

menyamakan, melawankan, menyilangkan, memergikan, mengakhirkan, mengawalkan.

Wah, gampang banget ya? La iya lah. Cuma saya sering melihat kekeliruan ketika kata dasar yang digunakan berakhir dengan huruf k, misalnya:

tunjuk, sejuk, peluk, gemuk, masuk, untuk, keduk, beruk.

Bagaimana contoh bentukannya dengan akhiran -an? Begini kali...

tunjukan (alat untuk menunjuk), penunjukan (peristiwa atau kejadian menunjuk), kesejukan, pelukan, berpelukan, kegemukan, masukan (input), kemasukan (peristiwa sesuatu masuk tanpa disadari atau diharapkan), pemasukan, peruntukan, kedukan, berukan (hehehe).

Bener nggak kata-kata yang mungkin kita temui ini?

tunjukkan, penunjukkan, kesejukkan, pelukkan, berpelukkan, kegemukkan, masukkan, kemasukkan, pemasukkan, peruntukkan, kedukkan.

Jawabnya, menurut saya:

tunjukkan (benar - kata perintah agar seseorang menunjukkan sesuatu), penunjukkan (salah), kesejukkan (salah), pelukkan (benar - kata perintah agar seseorang memelukkan sesorang yang lain dengan sesuatu... wadoh), berpelukkan (salah), kegemukkan (salah), masukkan (benar - kata perintah kepada seseorang untuk memasukkan sesuatu), kemasukkan (salah), pemasukkan (salah), peruntukkan (benar - kata perintah untuk memperuntukkan sesuatu kepada seseorang atau sesuatu yang lain), kedukkan (benar - kata perintah agar seseorang mengedukkan tanah buat sang pembicara).

Weleh weleh weleh, ternyata bisa rumit juga.

Nah berikut ini contoh bentukan kata kerja dengan menggunakan me- -kan.

menunjukkan, menyejukkan, memelukkan, menggemukkan, memasukkan, memperuntukkan, mengedukkan.

Mudah-mudahan jelas deh... Tapi jangan lupa ya menghindari penggunaan yang salah sebagai berikut.

Coba tunjukan dong perhatianmu (harusnya tunjukkan).
Penunjukkan PT ABC sebagai pemenang cacat hukum (harusnya Penunjukan).
Tanda ini menunjukan kita harus berhenti (harusnya menunjukkan).

Mengapa kekeliruan di atas bisa terjadi? Yah, mungkin kita rancu aja. Kadang kita menganggap huruf k pada akhiran -kan TERASIMILASI oleh huruf k pada kata tunjuk, sehingga yang seharusnya menunjukkan kita tulis sebagai menunjukan. Kerancuan yang berbeda juga terjadi ketika penunjukan kita tulis sebagai penunjukkan. Dalam hal ini kerancuan mungkin timbul karena ada kesan kata kerja atau adanya proses pada kata itu, sehingga akhiran -kan digunakan sebagai ganti -an.

Udahan (atau Udahkan) dulu ya...

Lihat juga artikel saya yang lain:
Penunjukan atau Penunjukkan

Selengkapnya.....

Senin, 20 April 2009

Klinik Pendidikan MIPA

Kemarin saya ke Bogor, nganterin Aisyah latihan soal-soal olimpiade matematika bersama Pak Ridwan Hasan Saputra. Berangkat jam 7.00 dari Bekasi, kami tiba di Pusdiklat Dephub yang lokasinya sudah deket Parung sekitar jam 8.30. Sudah telat. Latihannya sendiri berakhir sekitar jam 12.00. Capek juga tuh anak-anak. Apalagi Aisyah dari dulu susah banget sarapan.

Sembari nungguin anak-anak mengerjakan soal, Pak Ridwan mengambil kesempatan untuk melakukan briefing ke para orangtua. Intinya, beliau menyampaikan prinsip-prinsipnya dalam menjalankan Klinik Pendidikan MIPA dan rencana-rencana ke depan. Selain itu, beliau juga menyampaikan perlunya murid dan orangtua murid 'patuh' pada guru. Patuh pada guru merupakan kunci keberhasilan anak. Ilmu ibarat air yang dituangkan dari ceret (guru) ke gelas (murid). Air nggak bakalan pindah ke gelas, kalau gelas lebih tinggi.

Aisyah sendiri yang saat ini hampir sembilan tahun dan masih duduk di kelas tiga tergabung dalam kelas berbakat Pak Ridwan di Al Azhar, Kemang Pratama, melalui seleksi pada awal tahun ajaran 2008-2009. Wakil-wakil dari sekolah Aisyah, SDIT Thariq bin Ziyad, Pondok Hijau, Bekasi, diundang oleh Pak Ridwan setelah acara pelatihan untuk orangtua dan guru tengah tahun 2008 yang lalu (lihat foto-fotonya di link Belajar Matematika Asyik Menyenangkan). Selama hampir satu tahun ajaran, alhamdulillah Aisyah masih bertahan. Ujian eliminasi berikutnya sudah menanti Sabtu ini...

Mudah-mudahan berhasil Aisyah!

Pak Ridwan sedang ngobrol dengan beberapa orangtua murid...



Jualan kaos dan buku Klinik Pendidikan MIPA diserbu...



Ini contoh kaosnya (diperagakan oleh model, hehehe)...




Aisyah capek habis seleksi tahun 2008...


Selengkapnya.....

Rabu, 15 April 2009

Politik dan Kehidupan

Udah bosen bicara politik? Kalau gitu, mari bicara kehidupan aja. Dikisahkan seorang tua yang hidup merana dari pekerjaannya sebagai tukang sampah. Beberapa hari sekali, ia lewat di depan rumah kami untuk membersihkan kotak sampah kami dan tetangga-tetangga. Sesekali ia ditugasi sebagai hansip jika ada kenduri di rumah warga. Si bapak tua, namanya Saman, sudah lama tergantikan perannya oleh tukang sampah yang lebih muda. Ia balik kampung. Herannya, keponakan beliau, yang juga berprofesi sama nggak lama kemudian tergantikan juga.

Saya nggak tahu persis bagaimana kisah beliau selanjutnya. Rumor yang beredar adalah sejak pergantian pengurus RW, petugas-petugas keamanan dan kebersihan juga berganti. Apa hubungannya? Nggak ada kali. Mungkin cuma kebetulan. Mungkin juga pengurus baru berpikir perlu adanya peremajaan. Wah, hebat! Posisi petugas kebersihan pun perlu peremajaan. Yang jelas, kehidupan Pak Saman memberi pelajaran buat saya: figur penguasa di level terendah sekalipun memberi dampak. Bisa baik, bisa buruk! Bisa baik untuk satu pihak, tapi buruk untuk pihak lain. Sebuah pareto katanya.

Di tataran filosofis, dapat dikatakan kepemimpinan merupakan masalah besar. Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Kenapa mesti begitu? Ya itu tadi, figur pemimpin memberi dampak. Semakin besar skala kepemimpinannya, semakin besar dampaknya. Kata-kata seorang presiden AS bisa bikin sengsara ribuan atau ratusan ribu orang atau bahkan jutaan karena perang yang dikobarkannya. Keputusan kongres AS bisa bikin sejumlah yang sama di belahan bumi lain nggak bisa tidur nyenyak.

Itulah kehidupan! Bosen bicara kehidupan? Mungkin. Bosen hidup? Mungkin juga! Di atas itu semua, harapan bisa mengobati kebosanan. Sedihnya, harapan itu justru dikubur pihak tertentu. Mudah-mudahan nggak banyak.

Setelah penghitungan suara pemilu 2009 mengindikasikan perolehan yang rendah, alih-alih mawas diri dan melakukan koreksi, beberapa caleg menempuh jalan putus harapan. Kemudian, fenomena putus harapan di level pemimpin ini dilihat akar rumput yang kemudian sebagian tertular virus yang sama. Bosen lihat orang bosen! Apatis melihat orang apatis! Putus asa melihat orang putus asa!

Bosen bicara politik? Bosen bicara kehidupan? Bosen hidup? Saatnya sadar, we can make a difference. That is true!

Selengkapnya.....

Sabtu, 11 April 2009

Foto Penghitungan Suara

Tugas paling berat KPPS sebenarnya adalah penghitungan suara. Pemilu 2009 ini membatasi pemungutan suara sampai dengan jam 12.00 siang. Nah, setelah itu, yang berat. Dari observasi saya di TPS 7, RT 06/01, Pengasinan, Rawalumbu, perhitungan satu kotak suara yang berisi sekitar 200-an surat suara membutuhkan waktu sekitar dua jam. Totalnya, kotak suara DPR RI, DPRD I, DPRD II, dan DPD bisa sampai delapan jam. Mungkin untuk kotak suara DPD bisa lebih cepat karena jauh lebih sederhana dibanding tiga kotak suara lainnya. Nggak heran deh kalau ada TPS yang baru beres jam 8.00 atau jam 9.00 malam atau bahkan lebih. Panitia KPPS yang baik hati mungkin perlu istirahat total deh besoknya.

Berikut foto-foto yang saya ambil.

Petugas membuat tally perolehan suara masing-masing partai dan caleg...



Terlihat di gambar di bawah ini, untuk mempercepat proses, dari kotak suara, surat suara 'terpaksa' dibuka, ditebar, dan ditumpuk semua terlebih dahulu sebelum disaksikan pilihannya satu per satu. Sah atau tidak. Nggak tahu deh, apakah ini pelanggaran secara teknis. Yang jelas saya cek di TPS lain di RW 06, hal yang sama juga dilakukan. Kalau dari pengamatan saya, risiko rusaknya surat suara, apalagi disengaja, tidak terlalu besar. Ya... apalagi selama semua pihak, terutama saksi dan pengawas, melakukan tugasnya dengan baik. Pada dasarnya, orang-orang yang terlibat di sini jujur-jujur.



Kerja sampai malam di bawah cahaya seadanya. Mata perlu kerja keras agar pilihan pada surat suara tidak keliru dinilai...



Panitia KPPS menyiapkan laporan-laporan. Banyak banget. Kasihan deh. Akibatnya, mereka mungkin melakukan kesalahan yang tidak disengaja. Apalagi saya dengar KPU tidak memberikan cukup waktu untuk melatih panitia di tingkat akar rumput ini.



Baca artikel terkait:
Foto Hari Pencontrengan
Pemilu 2009 Gagal
Detik Menuju Pemilu
Kampanye Sehat

Selengkapnya.....

Jumat, 10 April 2009

Foto Hari Pencontrengan

Di hari pemungutan suara, 9 April 2009, saya sempat mengambil beberapa foto di TPS 07, RT 06/01, Pengasinan, Rawalumbu. Karena pake Nokia E90, kurang tajem deh.

Para calon pemilih mengamati partai dan caleg idaman. Bingung nggak ya?




Nunggunya lama nian, rata-rata lima belas menit...



Panitia KPPS yang sangat rajin...




Ini dia di bilik suara yang kecil, pemilih berjuang memberikan suaranya. Kalau normal, paling lima menit, kertas suara sudah tercontreng dan sudah terlipat lagi dengan rapi. Sebaliknya, yang keder, bisa setengah jam. Habis gitu, ngelipet kertasnya jadi tontonan lucu. Ada lho yang terpaksa dibantu panitia - yang jujur-jujur.



Berpose sambil nunggu giliran. Lama sih, kalau yang lagi nyontreng pada bolot, bisa setengah jam nungguin giliran.



Akhirnya...



Baca artikel politik sebelumnya:
Pemilu 2009 Gagal
Detik Menuju Pemilu
Kampanye Sehat

Selengkapnya.....

Pemilu 2009 Gagal

Itu yang saya takutkan. Risiko besar ada pada tingginya kompleksitas dan kerancuan yang menyertainya. Di beberapa TPS yang saya amati di sekitar tempat tinggal saya, Rawalumbu, Bekasi, kekuatiran timbulnya keributan ternyata cuma paranoia kecil yang nggak ada bandingannya dengan kedewasaan masyarakat.

Saya jadi teringat dengan cerita ayahanda bahwa dari jaman dulu di dusunnya, dusun Pangkalan Lampam, Sumatera Selatan, masyarakat sudah terbiasa memilih pemimpin. Kalau di jaman pasca kemerdekaan saja, masyarakat sudah dewasa, apalagi sekarang dong. Mungkin yang paling bertanggung jawab adalah reformasi. Ia sukses besar melepas belenggu represi puluhan tahun yang terlanjur, mungkin nggak sengaja, menjerumuskan bangsa menjadi bangsa penakut kekanak-kanakan yang cuma bisa nyanyi koor yang sama.

Sekarang tidak lagi. Buktinya di RW 1 RT 6 Pengasinan. Perkampungan yang didominasi pemukim betawi yang agak tersingkir dari pusat kota yang elitis. Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang kakek-kakek mencoba membuka surat suara, mencentang atau mencontreng, dan kemudian melipatnya lagi. Kalau anak muda rata-rata menghabiskan 3 sampai 5 menit di bilik suara, beliau bisa sampai setengah jam. Seorang anak muda yang agak kurang di lingkungan itu juga perlu menghabiskan waktu setengah jam atau lebih di bilik yang sangat sempit dibandingkan surat suara yang terlihat lebih lebar dari koran nasional.

Kesulitan-kesulitan - gara-gara sistem pemilu - yang dialami di TPS seperti di atas dengan santai aja diserap dengan tertawa bersama. Yang bikin salut adalah kemauan kerja sama dan toleransi yang tinggi. Oh, alangkah mudahnya memimpin masyarakat hebat seperti ini! Kalau pemimpin nyatanya gagal atau setidaknya mengalami banyak kesulitan ketika duduk di kursi yang tinggi itu, mungkin sekali mereka harus mulai sadar. Mungkin ada pemimpin lain yang lebih pantas! Ini juga tertuju buat KPU!

Hasil pemilu? Ah, sudah banyak yang memberitakan. Setidaknya, perkiraan saya di artikel yang lalu, Detik Menuju Pemilu, cukup akurat. Baik perkiraan lima besar, maupun fenomena Gerindra dan Hanura. Di RW tempat saya tinggal, RW 6, PKS dan Demokrat berada di puncak. Bergeser dikit ke perkampungan, tokoh lokal dari Hanura, Bpk Winoto, mencetak skor individual yang luar biasa. Saya nggak tahu seberapa merata pencapaian beliau. Yang jelas di RW 1 itu, ia menunjukkan pengaruhnya. Demokrat dan PKS juga di RW 1 ini menunjukkan kelasnya.

Foto-fotonya? Besok aja yah. Udah malem. Selamat kepada Bangsa Indonesia yang kembali mendemonstrasikan diri sebagai bangsa demokratis yang besar!

Baca artikel politik terkait:
Detik Menuju Pemilu
Kampanye Sehat

Selengkapnya.....

Senin, 06 April 2009

Detik Menuju Pemilu

Pemilu, termasuk pilkada dan pilpres, buat saya selalu menarik. Walaupun banyak kekurangannya, terus terang saya masih belum melihat alternatif lain yang lebih efektif dan efisien. Mungkin ada sih. Cuman perlu waktu baginya untuk muncul sebagai wacana, kemudian diuji bersama oleh masyarakat ini, dan akhirnya menjadi mekanisme praktis yang dapat diterapkan. Sebelum inovasi itu muncul, mau nggak mau kita - ah mungkin saya aja, tanpa ngajak-ngajak Anda yang mungkin nggak setuju - terima pemilu sebagai salah satu perangkat sosial de facto yang penting.

Anda bisa dong menduga kalau saya termasuk yang menyarankan siapapun untuk tidak golput. Pendapat saya, justru kalau ingin mengubah sistem mesti lewat sistem itu sendiri. Revolusi sih mungkin saja, tapi belum tentu efektif juga. Alih-alih memperbaiki kelemahan sistem, revolusi bisa membawa kita mundur beberapa dekade ke belakang. Ah, saya nggak perlu berpanjang-panjang dengan pendapat ini. Lebih menarik lho kalau kita catat aja prestasi yang telah diraih oleh sistem pemilu ini.

Pertama, saya melihat radikalisme massa jauh berkurang agaknya karena kedewasaan masyarakat seiring meningkat.

Kedua, mungkin masih terkait dengan yang pertama, insiden selama kampanye bisa dibilang nggak signifikan.

Ketiga, rekrutmen politik sudah lebih transparan.

Keempat, komunikasi politik antara elite dengan konstituen lebih intensif.

Kelima, terbangun atmosfir kompetitif yang bikin penguasa nggak bisa tidur seenaknya.

Keenam, walaupun nggak selamanya disetujui, setiap partai dan caleg menawarkan harapan baru. Perlu diingat adanya harapan adalah pembeda mutlak antara manusia hidup dan mayit. Artinya, buat saya, menjual harapan adalah fitrah dan niscaya.

Ketujuh, terdapat kesadaran baru dari pihak-pihak tertentu untuk berpartisipasi mengubah keadaan sesuai dengan aspirasi masing-masing. Munculnya selebritis sebagai caleg adalah contohnya. Cukup sulit membayangkan selebritis yang sudah tenggelam dalam kemewahan memiliki motivasi memperkaya diri dari politik.

Kedelapan, silaturahmi antar warga tetap atau bahkan makin erat, walaupun partainya beda-beda.

Ok, saya akui catatan saya di atas bukanlah hasil pengamatan yang terukur. Ini hanya pendapat pribadi sambil lalu yang terbentuk dari pengalaman pribadi saja. Anda mungkin sekali punya pengalaman yang justru tidak mendukung catatan positif di atas. Yah... dalam masyarakat demokratis, boleh aja dong setiap orang berpendapat. Orang lain boleh menilai apakah saya cukup obyektif. Oya, sebelum Anda salah paham, perlu saya sampaikan juga beberapa hal yang bikin saya kuatir, terutama dalam menyongsong pemilu 9 April. Apakah itu?

Pertama, tingkat golput cukup tinggi. Kalau mengacu ke pilkada-pilkada, golput bisa mencapai 40%. Ini berarti ada sebagian masyarakat yang tidak terwakili sama sekali aspirasinya. Untuk masyarakat ini, saya ingin menganjurkan agar mereka membuat partai-partai sendiri. Kendalanya mungkin saja aspirasi mereka terlarang di negeri ini, misalnya komunisme.

Kedua, biaya politik menjadi semakin tinggi. Walaupun ada untungnya karena dapat berfungsi seperti stimulus yang menghasilkan lapangan kerja, biaya yang kelewat tinggi jelas tetap pemborosan. Mending anggarannya buat bikin sekolah. Penghematan bisa dilakukan misalnya dengan menyederhanakan sistem pemilu dan jumlah partai.

Ketiga, pemilu hingga saat ini belum betul-betul melahirkan para anggota legislatif yang bersih, peduli, dan profesional (meminjam iklan politik salah satu partai). Banyak aleg yang sebelumnya adalah sosok idealis berubah menjadi petualang pragmatis yang tidak memberi manfaat bagi konstituennya. Namun demikian, kita patut berharap sosok hipokrit seperti itu dihukum oleh konstituennya sendiri.

Keempat, kerancuan mekanisme pencentangan atau pencontrengan atau pemberian tanda pilihan berpotensi meningkatkan suara tidak sah. Yang lebih rawan adalah potensi keributan di TPS antara panitia dan saksi dalam menentukan sahnya suara. Terus terang ini sangat mengkuatirkan. Kalau boleh menyalahkan, saya ingin menyalahkan KPU yang menciptakan kerancuan ini, mulai dari peraturannya hingga iklan dan sosialisasi yang dilakukan. Mudah-mudahan, saya sungguh berharap, tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan selama masa pemberian dan penghitungan suara, khususnya di TPS-TPS.

Perkiraan Hasil Pemilu



Saya iseng-iseng bikin polling mengenai pemilu ini. Memang hasilnya tidak bisa dijadikan rujukan sama sekali (lihat disclaimer). Di hasil ini, seperti dapat diduga, PKS mendapat suara terbanyak. Ini bisa dimengerti karena, berbeda dengan pemilih lainnya, para pemilih PKS tidak sungkan-sungkan memberikan suara di polling. Namun, saya belum yakin partai ini mendapatkan perolehan suara terbanyak di pemilu 2009.

Walaupun perolehan PDIP dan PG dalam polling ini masing-masing hanya enam persen, nampaknya perolehan suara keduanya akan tetap signifikan. Selanjutnya PD, walaupun di sini dapet nol persen, saya perkirakan partai ini akan mengalami lonjakan suara yang berarti. Lagipula, ketika polling ini belum ditutup, saya pernah lihat sendiri ada yang memilih PD (tapi mungkin pemilihnya mencabut suaranya sendiri... entahlah karena bisa juga ada yang nakal mencabut suara orang lain melalui trik tertentu model hacker).

Akhirnya, perkiraan saya, berdasarkan berbagai sumber dan hasil polling yang saya lakukan di blog ini, lima besar perolehan suara adalah (urutan tidak berlaku) PDIP, PG, PKS, PD, PAN. Sekali lagi urutan tidak berlaku. Jadi supaya aman, lima besar perolehan suara adalah PAN, PKS, PDIP, PD, PG atau urutan apapun yang bisa dibayangkan. Yang juga perlu dicatat, ada partai baru - Gerindra atau Hanura - yang mungkin akan melampaui perolehan partai-partai lama.

Yuk bersiap ke TPS...

Selengkapnya.....

Sabtu, 04 April 2009

Cingi Nggak Pulang

Kucing kami, Cingi, emang sangat disayang. Sama anak-anak, sama istri, juga sama Mbak yang bantu di rumah. Selain enak dilihat, hangat, dia juga punya IQ tinggi. Setiap buang air, selalu dia mengambil tempat di dekat got belakang. Tapi dasar lagi puber, dia nakal banget. Terutama ke saya. Kayaknya dia sama sekali nggak inget pernah saya selamatkan dari mati kering di tempat sampah.

Suatu hari Cingi main di luar rumah. Pintu depan kebuka dikit aja, dia langsung balapan keluar, terus loncat-loncat di pinggir jalan. Entah apa perasaannya. Bahagia kali karena bisa having fun. Nah, hari itu dia nggak balik-balik. Rita mulai nangis. Dia teringat beberapa hari sebelumnya Cingi masuk ke rumah Bu Jayen, nggak keluar-keluar. Sampai Rita dan Aisyah bertanya ke dalam. Tapi di hari kelabu itu, kasusnya nggak begitu lagi. Rita tambah nangis. Oalah, kucing ini nggak tahu sudah bikin hati susah.

Ditunggu sampai malem, Cingi nggak muncul juga. Istri dan saya menghibur anak-anak. "Mudah-mudahan besok dia pulang." Tapi ternyata besoknya Cingi nggak muncul juga. Aisyah mulai ikutan nangis. Saya sama istri sebenarnya sedih juga. Soalnya Cingi sudah seperti anggota keluarga aja. Kami bahkan sudah merencanakan membawanya ke BSD pas nanti pindah. Rumah kami jadi dingin oleh cucuran air mata. Dingin oleh hati yang ditinggalkan sebagian isinya.

Akhirnya, di hari keempat, Ocha - temen Aisyah anak tetangga Drg Rahmat - memberi khabar Cingi sudah mati dan dikubur oleh Pak Saragih, tukang sayur deket pendopo. Betapa sedih Aisyah dan Rita. Dua putra kami yang masih di bawah enam tahun bingung kenapa dua kakak mereka sampai nangis gitu. Mereka sebenarnya sayang juga sama Cingi, tapi kelihatannya belum bisa mengapresiasi rasa kehilangan yang dirasa Rita dan Aisyah. Kalau Rani yang mondok di Solo ada di rumah, mungkin dia pun ikut sedih.

Hari-hari di rumah kami diwarnai duka. Saya sempat menemukan catatan kesedihan Aisyah, sekarang hampir 9 tahun. Dia memohon kepada Allah agar Cingi dikembalikan. Dia juga mengutuk orang yang bikin Cingi mati. Dan kalau benar mati, Cingi didoakannya agar bahagia di surga dengan dayang-dayang kucing. Saya nggak komentar. Istri juga nggak. Karena kasihan sama anak-anak, tiap hari istri melihat pinggiran jalan. Siapa tahu Cingi tiba-tiba muncul. Saya pun kalau nyetir, terus lihat ada kucing, tak perhatiin. Siapa tahu Cingi.

Istri pernah nanya ke Pak Saragih. Apa betul dia sudah nguburin Cingi? Nggak katanya. Jadi kami nggak tahu sebenarnya apa yang terjadi dengannya. Akhirnya istri menemukan dua kucing kecil di dekat pendopo. Dia membawanya pulang. Dimandiin dan dikasih makan. Anak-anak terhibur. Sedihnya mulai hilang. Mulailah dua anak kucing itu jadi bagian dari keluarga. Masalahnya, dua kucing ini tidak sepintar Cingi. Makannya banyak dan jorok. Buang airnya nggak bisa dikendalikan tempatnya. Wah, repot! Mana tahan!

Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Pekan lalu, karena sudah nggak tahan lagi, istri akhirnya memutuskan untuk membuang kedua kucing itu. Hanif protes. Nggak boleh Bu. Kasihan. Saya pikir nggak apa sih ngebuangnya. Yang nggak boleh kan mengurung atau mengikatnya terus nggak dikasih makan. Ah... Mungkin kata yang tepat adalah membebaskan keduanya hidup di luar. Rita dan Aisyah gimana? Sedih sih, tapi karena bukan Cingi nggak apalah... Begitu katanya.

Hehehe, bahkan kucing pun bisa punya daya tarik yang beda-beda. Yang lebih lucu lagi. Istri mengatakan dua kucing ini IQ-nya jongkok... Nggak kayak Cingi!

Baca kisah lain:
Kucing Kami
Mondok

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed