Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Senin, 31 Maret 2008

Managing in the Next Society 3

Part II Business Opportunities
Chapter 7 Entrepreneurs and Innovation
Chapter 8 They’re Not Employees, They’re People
Chapter 9 Financial Services: Innovate or Die
...

In Chapter 7, Drucker discusses entrepreneurship. Entrepreneurship should be thought as a discipline. It should be managed systematically. A traditional perspective, i.e. relying on a flash of genius, cannot be relied on to maintain competitive leadership. On the one hand, two countries good at managing innovation systematically are Japan and Korea. On the other hand, the US should not be complacent with its seemingly leadership in entrepreneurship.

All large companies, especially in America have to able to improve (kaizen), extend, and innovate to maintain leadership. There are four pitfalls often committed by entrepreneurs. First, they tend to insist the planned designs and reject unexpected successes. Second, they focus on profit, not cash flow. Third, they forget the necessity of management team in anticipation of the business growth. Fourth, they focus on inside perspective, not outside. When the business already grows well, an entrepreneur often ask wrong questions, such as "What do I want to do now?" The correct questions are: "What does the business really need and do I have the qualities?"

Regarding social entrepreneurship, Drucker suggests that it is more relevant than economic entrepreneurship, since America is good economically but bad socially. Health care, education, and city government organizations all need innovation desperately. Social, non-profit organizations indeed need more and better management indeed because of their lack of financial bottom line. Their missions and products need to be clearly defined. Innovations in the next few years will be needed more in these not-for-profit organizations, especially governments. The cry for leadership is less important than the cry for good systems.

Knowledge-based businesses need to have special attentions to their people whose performance determines that of the businesses. Employee management functions of multinational companies have a strong sign to split from the original companies, becoming Professional Employee Organizations (PEO’s). Knowledge workers need to be specially managed by PEO’s – themselves serving global markets for great knowledge workers – so that their special skills will thrive, like potential postdocs who thrive in research universities, or talented clarinet players who practice again and again to meet the expectation of the conductor. Japanese Sony is one of transnational businesses implementing the policy that for one needs to be a permanent employee of Sony, one must work as a temp thru a PEO (EDECO) for about six months. Sony will monitor the temp during this period and decide later.

Knowledge workers are not labor, but capital. The critical thing about capital is not the cost but the productivity, meaning that businesses need to get more from the same knowledge resource. While having employees means having liability, for most companies the next trend will not be managing employees. Nonetheless, knowledge workers are increasingly providing value or wealth. Consequently, people, not necessarily employees, are the greatest opportunities in the next society! One thing left is how PEO’s and the user companies cooperate to ensure the knowledge workers’ productivity, through managing their motivation, satisfaction, health, and well being in addition to managing their knowledge and skill improvement to greatness.

Discussing the international financial system, Drucker makes an interesting assertion. The new international financial system emerging from 1960’s and thriving since 1970’s until now has its enormous negative impact to the businesses. Therefore, businesses need to anticipate and manage within this turbulence system. They need to reinvent their businesses. More and more profit of financial service companies does not come from fees paid by their clients but from trades of their own accounts through bonds, stocks, currencies, and commodities. Trading of their own accounts becomes much more gambling. Due to the nature of gambling, significant loss incidents certainly happen to almost all of leading financial service firms. Drucker states that the prosperity of an industry will come from outside, from serving outside clients, and not from trading own accounts. In another part of his book, Drucker says that there is no profit center inside a company. Profit comes from outside.

How can financial service industries come to the current gloomy situation? Drucker argued that most innovations in these industries took place in 1950’s and 1960’s. Worse is the fact, according to Drucker, that these industries do not innovate in the past thirty years. For these industries, there are three possible roads ahead from this point. The first is business as usual that means worse and declining conditions in the future. The second is letting outside innovators mitigating and mending the chronic problems (Is islamic-sharia-based finance and economics plausible in taking this role? – Y Pan). The third is innovating and becoming self-creative destroyer. Partially, the third option does not require too much innovation, but only a bit of hard work. One answer lies on the demography.

Selengkapnya.....

Minggu, 30 Maret 2008

Masukan buat NOKIA

Ungkapan kekecewaan dari Sdr. Rosadi di bawah ini saya dapatkan dari komentar beliau pada Arsitektur Informasi Masyarakat Bekasi (2). Saya edit sedikit seperlunya tanpa mengurangi substansi pesan dari ybs. Sebagai perbandingan saja, saya melakukan GoogleSearch dengan kata kunci pelayanan mengecewakan NOKIA dengan hasil ini.

HATI-HATI Beli HP NOKIA WALAUPUN BERGARANSI RESMI
Pada tanggal 24 Februari 2008 saya membeli handphone(HP) Nokia seri E51 bergaransi resmi di NOKIA PROFESSIONAL CENTRE cabang Jl Mangkubumi Yogyakarta yang merupakan distributor resmi NOKIA di bawah PT CIPTA MULTI USAHA PERKASA. Berhubung saya berdomisili sementara di Bekasi, keesokan harinya saya kembali ke Bekasi. Setelah pemakaian 5 hari saya mencoba memanfaatkan fitur layanan HSDPA yang tersedia pada HP tersebut namun tidak berhasil. Karena tidak memungkinkan memeriksakan masalah tersebut ke NOKIA Sales and Care Yogyakarta (tempat pembelian) dan memang pelayanan resmi Nokia bisa di mana saja di seluruh NOKIA Sales and Care Resmi di seluruh Indonesia, maka saya memeriksakan masalah tersebut ke Cabang Mal Metropolitan Bekasi.

Pada kunjungan pertama pada tanggal 2 Maret 2008, informasi yang diberikan petugas (Sdri Rini) disebutkan terdapat kerusakan pada chip HSDPA (hardware) sehingga perbaikan harus dilakukan di Pusat PT ERAJAYA SWASEMBADA yang beralamat di Grogol dengan waktu perbaikan selama 3 minggu atau akan diberitahukan bila sudah selesai. Setelah 2 minggu menunggu perbaikan saya mencoba untuk menanyakan perkembangannya pada tanggal 15 Maret 2008. Pada kunjungan kedua tersebut saya mendapat informasi dari petugas bahwa perbaikan belum selesai dan HP masih di Pusat dan belum bisa dikonfirmasi perkembangannya. Pada minggu ketiga seperti yang dijanjikan saya berharap perbaikan sudah selesai. Pada kunjungan ketiga tanggal 23 Maret 2008 saya sangat terkejut karena perbaikan belum selesai dan menurut petugas (Sdri Ratih) HP telah diusahakan diperbaiki di cabang Bekasi namun tidak berhasil sehingga harus dikirim ke Pusat tanggal 17 Maret 2008.

Saya merasa dibohongi dengan informasi pada kunjungan pertama yang menyebutkan perbaikan langsung ke Pusat mengingat kerusakan hardware tidak bisa diselesaikan di Bekasi. Saya diminta datang keesokan harinya untuk mendapat konfirmasi. Pada tanggal 24 Maret 2008 saya datang kembali sesuai permintaan Sdri Ratih untuk mendapat konfirmasi, ternyata petugas yang bersangkutan tidak bertugas dan petugas yang ada (Sdri Tria) tidak merasa mendapat pesan untuk konfirmasi ke saya, sehingga saya mendesak untuk ketemu atasannya langsung. Kemudian saya ditemui Kepala CS Sdr Andri dan menjelaskan permasalahannya yang menurut saya seperti dibuat-buat, dan meminta saya untuk konfirmasi 2 hari kemudian. Pada tanggal 26 Maret saya mendapat konfirmasi dari Sdr Andri bahwa HP selesai diperbaiki dan dapat diambil pada tanggal 30 Maret 2008 (saya cukup senang mendapat kabar tersebut). Di luar dugaan, pada tanggal 27 Maret 2008 saya mendapat telepon dari petugas NOKIA Care and Sales Bekasi bahwa HP saya sudah dapat diambil.

Saya datang untuk mengambil HP saya dan mengantri seperti sebelum-sebelumnya menunggu 1-2 jam. Saya dipanggil petugas (Sdri Niken) dan diberikan handphone yang katanya sudah selesai diperbaiki. Namun apa yang saya dapatkan jauh dari harapan, fungsi fitur HSDPA tetap tidak berfungsi. Jadi apa yang diperbaiki? Dengan pengalaman tersebut saya merasa pelayanan yang diberikan NOKIA yang mempunyai nama besar sebagai produsen HP di dunia sangat mengecewakan. Saya merasa sangat dirugikan baik dari segi materiil, gangguan dalam pekerjaan, buang-buang waktu bolak-balik ke NOKIA Care and Sales dengan informasi yang menyesatkan. Kepada pembaca yang terhormat, hati-hati membeli HP NOKIA, walaupun bergaransi resmi tidak menjamin anda mendapatkan yang terbaik, malah mungkin membuat anda sangat kecewa. Mudah-mudahan NOKIA dapat memperbaiki pelayanan untuk pelanggannya.

M. Rosadi S.
Bekasi

Selengkapnya.....

Sabtu, 29 Maret 2008

Hasil Polling Gubernur BI - Revisi

Hasil final polling Gubernur BI adalah sebagai berikut.

Muliaman D Hadad, 3 suara (25%)
Hartadi A Sarwono, 1 (8%)
Miranda S Goeltom, 1 (8%)
Dradjad Wibowo, 1 (8%)
Emir Moeis, 0 (0%)
Rizal Ramli, 1 (8%)
Faisal Basri, 1 (8%)
Boediono, 3 (25%)
Sri Mulyani Indrawati, 1 (8%)
Anggito Abimanyu, 0 (0%)
Darmin Nasution, 0 (0%)
Lainnya, 0 (0%)


Hasil final polling ini tetap menyarankan kepada Pak Presiden untuk mengajukan Muliaman D Hadad dan Boediono sebagai calon Gubernur BI. Kalau calonnya harus tiga, Presiden dapat memilih antara Hartadi A Sarwono, Miranda S Goeltom, Drajad Wibowo, Rizal Ramli, Faisal Basri, Sri Mulyani, atau Agus Martowardoyo yang sebetulnya mendapat dukungan cukup banyak juga sebelumnya. Kalau Presiden lebih suka calon dari eksternal BI, kelihatannya Boediono calon favorit.

Lihat artikel terkait sebelumnya sebagai berikut.
Hasil Polling Gubernur BI (sementara)
Polling di Blog
Calon Gubernur BI

Selengkapnya.....

Jumat, 28 Maret 2008

Hasil Polling Gubernur BI

Pengunjung blog ini memang (masih) belum banyak, tapi dari GoogleAnalytics saya lihat sekurangnya dalam sebulan kunjungan berjumlah 650-an. Terima kasih buat rekans yang telah berkenan mampir lantaran email saya maupun hasil GoogleSearch, yang saya kenal maupun tidak. Memang pengunjung yang 650-an itu bisa datang berkali-kali, dan kalau lihat laporan GoogleAnalytics, pengunjung absolut dalam satu bulan tidak kurang berjumlah 450-an. Jadi dalam sepekan rata-rata 110-an, termasuk pada periode polling Gubernur BI yang saya adakan di blog ini.

Kelihatannya yang berminat mengikuti polling hanya sekitar 10 persen, paling banter 15 persen. Saya nggak tahu apakah ini memang seperti polling di website lain, karena saya nggak punya pembanding. Anyway, nggak apalah kondisinya seperti ini. Apalagi saya kan iseng aja. Mungkin berikutnya saya adakan polling Gubernur Jabar. Ntar kita lihat dan bandingkan sama-sama hasilnya.

Nah, hasil polling Gubernur BI sejauh ini (waktu polling masih tersisa 23 jam) adalah sebagai berikut.

Muliaman D Hadad, 3 suara (27%)
Hartadi A Sarwono, 1 (9%)
Miranda S Goeltom, 1 (9%)
Dradjad Wibowo, 1 (9%)
Emir Moeis, 0 (0%)
Rizal Ramli, 1 (9%)
Faisal Basri, 1 (9%)
Boediono, 2 (18%)
Sri Mulyani Indrawati, 1 (9%)
Anggito Abimanyu, 0 (0%)
Darmin Nasution, 0 (0%)
Lainnya, 0 (0%)


Kaget? Mudah-mudahan nggak, lagipula kita sudah tahu kelemahan polling di website dan nggak begitu aja menerima hasilnya. Sampel terlalu kecil, juga ada masalah self-selection. Lihat artikel saya sebelumnya, Polling di Blog. Tapi keputusan Pak Presiden untuk mengajukan kandidat juga bukan berdasarkan masukan dari seluruh masyarakat, kan? Beliau pasti meminta dan mendapatkan masukan. Sama juga, cenderung bias ke arah tertentu, yaitu preferensi Pak Presiden sendiri.

OK, kalau kita berspekulasi bahwa orang yang mengikuti polling di sini adalah orang tertentu yang peduli, punya kecenderungan seperti Pak Presiden punya kepedulian juga, dan punya kebijaksanaan dalam memilih (berdasarkan informasi publik dan privat yang dikuasainya), maka spekulasi berikutnya ini jadi nggak terlalu norak. Yang paling pantas menjadi Gubernur BI menurut polling ini adalah Muliaman D Hadad. Kalau sampai beliau diajukan ke DPR, kans jadinya tinggi. Berikutnya Boediono. Bagi Presiden, mungkin Boediono adalah jagonya, karena dari luar Dewan Gubernur BI yang sekarang.

Apapun, hasil polling ini menyarankan kepada Pak Presiden untuk mengajukan Muliaman D Hadad dan Boediono sebagai calon Gubernur BI. Kalau calonnya harus tiga, Presiden dapat memilih antara Hartadi A Sarwono, Miranda S Goeltom, Drajad Wibowo, Rizal Ramli, Faisal Basri, Sri Mulyani, atau Agus Martowardoyo yang sebetulnya mendapat dukungan cukup banyak juga sebelumnya.

Jangan diseriusi ah... Lihat artikel sebelumnya, Calon Gubernur BI.

Selengkapnya.....

Rabu, 26 Maret 2008

Boleh Gabung Nggak?

Di film-film sering kita lihat adegan orang makan di restoran kecil atau kantin, kemudian datang seorang lagi yang kehabisan meja. Pada meja orang pertama masih ada bangku kosong. Kebelet laper dan sudah bawa-bawa nampan dari tadi, orang yang datang belakangan nyamperin, terus nanya, "Boleh gabung nggak?" Pernah kan lihat? Atau bahkan di dunia nyata, Anda adalah orang pertama atau kedua. Jangan bayangkan kejadiannya di restoran mewah ya, soalnya itu nggak akan pernah terjadi, bahkan di Pizza Hut sekalipun. Walaupun kebersamaan selanjutnya belum tentu diisi obrolan seperti di sinetron, kejadian ini menunjukkan fenomena hidup bersama di 'bumi' yang sama. Buminya... ya meja makan itu.

Di dunia maya, kejadian itu juga banyak terjadi, mungkin lebih intensif. Yang hebatnya lagi, seperti MLM, justru orang pertama yang mengajak orang kedua untuk gabung di bumi yang sama. LinkedIn salah satu contohnya. Bagaimanapun cara terjadinya kebersamaan, yang jelas manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah sanggup hidup soliter. Lihat aja si Legenda yang diperankan Willy Smith. Tokoh yang selamat sendirian di NYC, setelah sebagian besar orang di dunia tewas atau bermutasi jadi monster akibat suatu 'senjata biologi' yang lepas tak terkontrol, sepanjang hari sibuk mencari teman, para survivor dunia yang jumlahnya sangat sedikit. Begitu gelap, giliran monster yang merajai kota, hingga ia harus sembunyi. Ketakutan.

Tulisan ini tidak bermaksud mengulas film Willy Smith itu. Yang ingin dibahas adalah fenomena kebersamaan. Bagaimana sih orang masuk ke dan bisa tahan dalam suatu kelompok. Dari hanya sekedar nongkrong bersama yang nggak banyak berguna sampai bergabung dengan tim hebat seperti Barcelona. Pertama, harus ada syarat bergabung, term and condition, tertulis atau tidak. Partisipasi ke dalam komunitas selalu ada syaratnya, agar komunitas tersebut dapat berjalan mulus. Tidak dapat dipungkiri harus ada kesamaan yang dituangkan dalam syarat bergabung: kesamaan referensi, kesamaan sikap dasar, bahkan kesamaan tingkah laku tertentu. Kalau Anda nggak percaya adanya syarat ini, coba aja daftar ke Google minta akun. Sebelum Anda diberi akun, Google memastikan Anda setuju dengan term and condition, di antaranya misalnya nggak boleh menyebarkan pikiran ngeres. Google kemudian memonitor aktivitas Anda untuk memastikan kepatuhan. Kalau nggak, akun Anda akan dicabut.

Masih belum percaya? Coba perhatikan anak-anak nongkrong di perempatan. Lalu coba ikutan di situ, tapi bawa buku-buku dari perpustakaan Anda, terus baca keras-keras. Mudah-mudahan Anda nggak dipukuli dan cuma dapat tanda you are not invited here. Syarat-syarat bergabung dalam suatu komunitas menyiratkan keharusan kefahaman dan untuk itu perlu suatu kerangka berpikir yang sama. Kalau nggak gitu, kerja Anda cuma sibuk bertengkar aja dengan anggota komunitas yang lain. Kapan majunya?

Kedua, mengapa suatu komunitas dapat terbentuk dan bertahan, adalah adanya keikhlasan dari anggota. Setiap anggota pasti punya peran tertentu. Misalnya yang satu tukang jegal, yang lain tukang ngegolin, yang lain pengumpan, dan satunya lagi jenderal lapangan tengah kayak Zidane. Coba kalau anggota komunitas nggak ikhlas, bisa-bisa tukang jegal pengen ngegolin terus sampai lupa jaga pertahanan. Bukannya nggak boleh ngegolin, tapi masing-masing punya peran utama. Yang paling ideal setiap anggota punya karakter level 5 leader (lihat Good to Great).

Kemudian yang ketiga, setiap anggota harus melakukan aktivitas atau amal atau kerja tertentu sesuai peran masing-masing. Tanpa aktivitas anggota, suatu kelompok tidak bisa disebut kelompok lagi, minimal ia mati suri. Contohnya seseorang membuat sebuah grup milis, kemudian mengundang teman-temannya. Ketika tidak ada lagi anggota yang mau sharing mengirim email ke grup, sejak itu komunitas tersebut mati. Pada komunitas tertentu yang bermasalah, misalnya karena sampah, harus ada anggota yang berperan untuk memperbaiki. Yang penting harus ada kerja, meskipun harus mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan saat ini juga.

Keempat, faktor yang menjamin kelompok berfungsi adalah adanya kepatuhan (compliance) atau ketaatan, sesuai syarat bergabung dan sesuai peran masing-masing. Anggota geng motor aja harus patuh ke bosnya, apalagi pegawai di kantor. Memang spektrumnya luas. Dari ketaatan agar nggak mengganggu sesama anggota sampai ketaatan membayar pajak. Terkait dengan ketaatan ini adalah pengorbanan, faktor kelima. Itu tadi agar harmonis, anggota RT harus menahan diri tidak memainkan musik gede-gede tengah malam, walaupun sebetulnya hobi banget. Ilustrasi lainnya adalah pada gambaran seorang anggota MLM yang mengorbankan waktunya hanya sekedar untuk mendekati prospek agar dapat hadir pada acara presentasi para leader. Ini terkait juga lho dengan poin kedua yang sudah dibahas sebelumnya.

Yang berikutnya, yaitu keenam dan ketujuh adalah dua faktor yang saling terkait juga. Anggota harus saling berinteraksi dan bersinergi satu sama lain. Istilah lainnya: harus ada ukhuwah. Agar interaksi dan sinergi dapat berjalan lancar, komunitas harus punya budaya saling percaya. Contohnya: pada kelompok yang ikatannya sangat lemah, seperti di pasar, transaksi tidak akan terjadi tanpa trust. Kalau Anda anggota suatu kelompok, dan tentu niscaya demikian, Anda wajib membangun kepercayaan, dimulai dari diri sendiri bahwa Anda memang dapat dipercaya, terutama kalau dalam kelompok posisi Anda tinggi. Begitu tidak ada rasa percaya, itu tandanya Anda perlu bikin partai baru. Cuma masalahnya akan timbul kesan bahwa partai Anda baik yang lama maupun yang baru hanya mengedepankan kepentingan orang per orang atau elite tertentu, bukan kepentingan bersama.

Yang terakhir, kelompok butuh diperjuangkan kepentingannya. Peran-peran dalam kelompok punya andil masing-masing. Bahkan ada yang harus berjuang mati-matian, seperti di tentara. Lagian kan nggak ada yang maksa jadi tentara, kecuali kalau ada wajib militer. Pada kondisi genting, tanpa diminta pun, seseorang harus berjuang seperti tentara untuk mempertahankan kehidupan dan kehormatannya. Sehingga kita tidak perlu heran kalau orang mati karena mempertahankan hartanya dari perampokan di malam buta, ia dipandang sebagai orang terhormat dan mendapat pahala besar dari Tuhan.

Jadi, pesan moralnya? Lain kali sebelum kita mengajukan pertanyaan boleh gabung atau nggak dalam suatu komunitas, ingat-ingat: kita harus faham kerangka berpikirnya, harus ikhlas dengan peran, harus bekerja untuk pribadi dan kelompok sekaligus, harus taat aturan, harus siap berkorban untuk komunitas, harus berinteraksi dan bersinergi, harus membangun kepercayaan, dan siap berjuang demi kepentingan bersama. Wah, banyak banget. Iya ya, tapi mungkin Anda malah ingin nambahin lagi. Silakan deh.

Selengkapnya.....

Selasa, 25 Maret 2008

Managing in the Next Society 2

Part I The Information Society
...
Chapter 4 E-Commerce: The Central Challenge
Chapter 5 The New Economy Isn't Here Yet
Chapter 6 The CEO in the New Millennium

Interviewed in Business 2.0 magazine (year 2000), Peter Drucker explained various impacts of information revolution. Dotcom failures were mainly because of the dotcom founders were not really keen to build businesses with positive cash flow. They were not more than gamblers expecting money from IPO's or acquisitions. E-commerce businesses should generate positive cash flow even though it might take a very long time. Another major impact of internet is a dramatic change in higher education. More delivered on-line in the future, higher education should focus on continuous adult education. Professionals also need to have even more specialized knowledge. This specialization together with a high demand of technically specialized skills makes technical savvy professionals very expensive.

In the corporation side, e-commerce also has significant impacts. The structure of corporations has to change. The managerial layers should be cut down, and the managers as information relays should be very smart. E-commerce also shapes corporations in a smaller, functionally specialized form. Selling, making, and delivering will be separated in different companies and run differently, although they may be owned by the same financiers. E-commerce businesses will focus on selling, while delivery has to be physically local like in the case of Japanese's Seven Eleven. Making will be more like procurement. Manufacturing like in the case of Ford will be more like assembling.

Peter Drucker also gave advice to confront an ever changing business environment. He said that we need to look at all windows to the outside world to sense any change. Those changes then should be treated as opportunities rather than threats. The unexpected changes are the major source of innovations. Drucker also warned that CEO should balance short-term and long-term interests. Only focusing on short-term shareholders' interest, as gauged by Dow Jones, will not do anymore. That's all folks from Business 2.0 magazine's interview.

The role of CEO is also discussed by Drucker in the book. First, governance and ownership structures should change drastically and permanently. Second, the function of CEO in information processing also should change. External information, like non customer information, should be extracted and used strategically since the change will come from outside of the sphere, while currently corporations' IT solutions are providing more internal information in a concrete form. Strategic usage of information, however, is indeed under served. Third, command and control should be more avoided since there are a trend of temp employment, partnership, and joint-ventures. CEOs need to know when to command and when to partner. Commanding partners to do something never works. You can only ask questions to partners.

Fourth, the source of competitive advantage is not from physical resource, technology, skills, or even knowledge itself. The source of competitive advantage will be from the knowledge workers whom we cannot build overnight. Optimal productivity of knowledge workers will guarantee competitive leadership in the next fifteen years. Fifth, CEOs should have clear visions badly and tie it all together. The future leaders should know when to push, to pull, and to abandon. They need to cope with the high speed of change and focus on fundamental, not charisma, so that others will work productively.

Selengkapnya.....

Minggu, 23 Maret 2008

Pembelajaran: Pengolahan Informasi Paling Strategis

Pembelajaran atau learning dalam Bahasa Inggris merupakan suatu jenis pemrosesan informasi, bahkan bisa dikatakan paling strategis. Ia memiliki andil besar dalam perkembangan peradaban. Pembelajaran ini pula yang memisahkan manusia dari makhluk Allah lainnya. Manusia mencoba menciptakan mesin yang dapat belajar (learning machine). Kemampuannya? Nggak ada seujung kuku kemampuan belajar manusia. Selama seseorang dapat mengindera lingkungan dan kemudian dapat mengolah pesan-pesan yang ditangkap tersebut menggunakan akal, potensi perkembangannya sungguh luar biasa.

Masih ingat Helen Keller yang pernah saya singgung pada artikel R/evolusi Informasi? Proses pembelajaran yang dialami dan dilakukannya sangat inspiring. Demikianlah sebagai sistem pengolah informasi paling canggih dan sekaligus rumit, manusia betul-betul mengandalkan proses elementer belajar mengajar. Tradisi yang seusia dengan umur manusia itu sendiri mengambil bermacam-macam bentuk, baik formal maupun informal, disengaja atau tidak, dimaksud atau tidak (meminjam istilah yang digunakan Pak Budi Darmawan, seorang psikolog pengisi suatu acara di sekolah Hanif anak saya), dan dimulai dari buaian (atau bahkan lebih awal dari itu).

Kertas dan mesin cetak seperti pernah disinggung pada artikel R/evolusi Informasi menjadi teknologi dan media yang bertanggung jawab terhadap akumulasi dan penyebaran informasi dan pengetahuan ke segala penjuru dunia lintas zaman. Kecenderungan manusia mencari informasi dan menuntut ilmu adalah fitrah! Sampai-sampai ada ungkapan tuntutlah ilmu walau harus pergi ke Cina. Sekarang melalui internet dan e-commerce, Cina sebagai tempat yang berjarak menjadi tidak relevan, tapi proses pembelajaran dan manajemen informasi atau pengetahuan justru semakin dikuatkan. Peter Drucker mungkin salah seorang yang memperkenalkan istilah knowledge-based organization atau bahkan knowledge-based economy, tapi para filsuf Yunani dan para nabi telah lama mempraktikkannya secara sistematis.

Ada ungkapan penuh nilai berikut yang patut dikutip di sini: kalau Anda ingin dunia, harus dengan ilmu; kalau Anda ingin sukses di akhirat, harus dengan ilmu; kalau Anda ingin keduanya, harus dengan ilmu. Ada juga nasihat: didiklah anakmu sesuai dengan tantangan zamannya sendiri, bukan tantangan zamanmu, karena anakmu akan mengalami zaman yang berbeda. Ada lagi nih: suatu generasi sukses di segala dimensi dikarenakan senantiasa mengajar dan belajar. Mengajar dan belajar, sekali lagi ditekankan, adalah proses elementer pengolahan informasi oleh manusia. Peran guru dan murid, diakui atau tidak, belum pernah tergantikan oleh mesin dalam proses ini. Ibu, ayah, guru sekolah, guru les, koran, teman sepermainan, ustadz, atasan, bawahan, lingkungan, dosen, dan lain-lain semuanya berperan sebagai guru.

Pertanyaan buat kita selanjutnya, mana lebih dulu. Belajar atau mengajar? Memang kalau nggak pernah belajar, mana bisa mengajar. Kalau nggak pernah baca, gimana bisa nulis. Kalau nggak punya sesuatu, apa yang dapat diberikan. Itu semua benar, tapi kalau belajar hanya demi belajar itu sendiri kayaknya pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan tidak akan berhasil, dan selanjutnya tidak akan ada wealth creation atau value creation. Senada dengan itu, kalau kita ikuti prinsip nomor dua dari The Seven Habits of Highly Effective People, justru kita harus mulai dari ujung. Dalam konteks belajar dan mengajar, kita harus mulai dari mengajar. Tujuan mengajar itu yang akan memastikan kita belajar, belajar lebih efektif. Tapi jangan salah paham, mengajar tidak mesti di kelas.

Nah, terakhir dalam artikel ini, saran saya buat Anda yang mengaku profesional atau manajer atau terlebih lagi pejabat publik. Untuk mengelola unit Anda, perusahaan Anda, organisasi non profit Anda di masa kini dan yang akan datang - yang dikenal dengan era revolusi informasi (baca ringkasan buku Managing in The Next Society Part 1) - Anda harus lebih bertumpu kepada penguasaan informasi dan pengetahuan yang senantiasa baru. Menurut Drucker informasi paling strategis yang Anda butuhkan adalah informasi eksternal yang hanya dapat diolah melalui pembelajaran. Untuk itu Anda harus membuka saluran-saluran yang memungkinkan interaksi dengan outsiders. Kuncinya interaksi. Medianya bisa bermacam-macam. Tulisan salah satunya. Buku juga bisa. Kalau mampu, buatlah koran atau radio atau TV. Kalau nggak, ya... cukup buat koran personal, BLOG!

Selengkapnya.....

Sabtu, 22 Maret 2008

Managing in the Next Society 1

Part I The Information Society
Chapter 1 Beyond the Information Revolution
Chapter 2 The Exploding World of the Internet
Chapter 3 From Computer Literacy to Information Literacy
Chapter 4 E-Commerce: The Central Challenge
...

When the new economy terminology buzzed in the mid 90's, it was indeed the fundamental change of society more important to discuss. The change consisted of demographic change, manufacturing's presence decrease in the developed countries, and information revolution. Specifically, the change in demography basically means the shrinkage of young people in the society in developed and emerging economies. In 2002, when the book was written, Drucker claimed that the next society represented by at least three factors mentioned above were already prevailing.

During industrial revolution, manufacturing became a major source of power since it increased productivity parallel with a lower cost level, both significantly. In the first half century of industrial revolution, however, the more efficient productions were merely mechanized ones. The products were around all along before industrial revolution took place. Only after the introduction of the steam boat and railroad did the economy start to change drastically. While steam engine enabled a sheer increase in productivity, the steam boat and railroad introduced a new mental geography. There was no boundary anymore. It changed the way people trade. It introduced a new integrated market.

The history always repeats itself. When the first computer was introduced, the information revolution began to roll out, as did the industrial revolution when James Watt invented the steam engine. During the first stage of this revolution, mechanization of processes took place. The benefits of information revolution started to emerge. An apparent benefit of information revolution based on IT invention and innovation was the tremendously more efficient processes. The processes had been here all along, but IT and new software helped people decrease the time and cost needed to execute them. There were software to routinize accounting process, tax return calculation process, learning process, inventory control process, you name it. Only after the use of internet and e-commerce, an even drastic change emerged.

E-commerce and internet changed how people conduct business. While the railroad made the world small and made ordinary people could travel without boundaries, internet made distance even irrelevant anymore. Now, there is no distance. The new mental geography part 2 takes place. The economy, the structure of industry, the market, the customers are all changing. Internet can be seen as a new gigantic distribution channel world wide for products, services, and jobs - managerial and professional. Even poltics is changing because of the information revolution.

While technology is expected to provide new further fundamental innovation, we should aware that only the change in social values made the emergence of new industries possible. Underneath this phenomenon are the skills developed during the process. The technologists are socially accepted and financially rewarded, as were they in the industrial revolution era. To maintain leadership in technology innovation and invention, the economy depends on the skills it develops. The highly skilled people known as knowledge workers are becoming more expensive and more significant as the source of value creations. Consequently, treating them well could be the most effective strategy in the future. Bribing them with only financial rewards will not be enough. They need to be treated as partners and ascociates rather than employees or subordinates.

Related to knowledge workers' increasing roles in the economy, information processing at an individual level and at a corporation level is becoming more and more strategic. However, CEO, other C level executives, and almost all of us still do not understand what information is and how we should deal with it. We need to develop our information literacy and then information responsibility. We need to treat IT and informarion only as tools. As the tool user, CEO, not CIO, is the one responsible to decide what information is needed, when, in what form, and from whom. CEO also needs to consider his or her information further responsibility: what information he or she owes, when, in what form, and to whom. This new attitude toward information will develop our information responsibility (stewardship) roles to maintain our capacity to invent, innovate, and compete.

Talking about information and information systems, Drucker wrote in his book that at present we focus on our inside information systems. However, what we really need is an outside information system. It is more valued if we add outside information than if we improve inside information. Why? It is because profit centers are never inside the business. It is always outside. To make it more crystal-clear, it is not the information of your customers really matters, but information of your non customers does. Outside of outside is most plausible to force your business to change. Drucker also claimed that in the information revolution era traditional perspective toward conducting business will soon become obsolete, since we are now about to move into one global integrated economy. If CEO conducts the business as usual, he should be prepared to lose business from more efficient global competitors even overnight. Without further due, Drucker wants to say hurry up change your attitude, your mind set, and even your business.

Another issue related to information systems discussed by Drucker is the divergence between information coming from the accounting system and information coming from data processing stream. Although prone to be manipulated, accounting reports are still the ones by which decisions are made. Other than its prone to manipulation, a problem of accounting models is that they cannot relate expenditures to results. With a combination of accounting and data processing stream and with accounting model dramatic restructuring, the problems mentioned above should be solved. Data processing stream is also expected, if it matures in the future, to provide information of outside. In short, the two sides should be integrated. While people of the two sides now do not talk to each other, in the future the two schools should be combined. Similar to this phenomenon, technology in general will have to be treated as a christ cross area, not as an individual discipline.

Selengkapnya.....

Jumat, 21 Maret 2008

Polling di Blog

Blogspot sudah cukup lama menyediakan fitur polling atau survey untuk para blogger-nya. Lama tapi baru sih. Soalnya walaupun sudah nangkring cukup lama, saya masih belum berniat mencoba, sampai hari ini. Iseng-iseng nggak ada topik untuk ditulis, saya coba belajar aja. Kebetulan ada dua event politik yang cukup penting dalam waktu dekat ini. Dua-duanya pemilihan gubernur -- Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Bank Indonesia. Berbeda dengan Gubernur Jawa Barat yang dipilih langsung oleh warga, Gubernur BI dipilih oleh wakil rakyat. Maksudnya kombinasi kehendak presiden dan DPR.

Agar tidak salah persepsi, perlu dikemukakan terlebih dahulu bahwa polling di website seperti ini tidak dapat digunakan sebagai representasi pendapat masyarakat atau bahkan tidak dapat digunakan untuk mengambil kesimpulan mengenai pendapat pengunjung blog ini. Mengapa demikian? Dalam ilmu survey-mensurvey, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar hasilnya valid. Tentu Anda sudah tahu, masalah dengan polling di blog ini adalah pada sampelnya. Sampelnya tidak mencerminkan populasi masyarakat, bahkan tidak mencerminkan populasi dari pengunjung blog ini. Lho koq? Kalau populasi keseluruhan tidak terwakili sih iya, tapi populasi pengunjung blog ini mestinya terwakili dong. Mungkin sebagian kita berpendapat seperti itu.

Yang benar memang pengunjung blog ini tetap tidak terwakili, karena yang memberikan suaranya tidak dipilih dari populasi pengunjung secara random. Gitu katanya? Ah, masih nggak mudeng. Begini, kalau seluruh pengunjung memberikan suara, pasti hasil polling mewakili pendapat pengunjung, karena seluruh pengunjung itu adalah populasinya. Sejumlah pengunjung dalam proporsi tertentu boleh diambil sebagai sampel dari populasi, tapi syaratnya adalah mereka yang diambil sebagai sampel itu harus dipilih secara random atau acak. Sebaliknya, pada polling-polling yang diadakan di website, pengunjung situs memilih dirinya sendiri sebagai sampel. Ini disebut sebagai self selection.

Kalau Anda baca link dari Wikipedia di atas, self selection merupakan salah satu masalah utama dalam sosiologi, psikologi, ilmu ekonomi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Ini berarti kita harus berhati-hati dalam melakukan penelitian sosial dan berhati-hati dalam membaca kesimpulan penelitian sosial. Di sini, saya hanya berharap sekarang kita semua paham mengapa hasil polling yang pertama dilakukan di blog ini -- yaitu "Siapa yang pantas menjadi Gubernur BI?" -- dan mungkin polling-polling selanjutnya tidak dapat digunakan untuk mengambil kesimpulan yang solid. Minimal kita tahu bahwa hasil polling ini hanya mewakili pendapat pribadi orang-orang tertentu yang berkenan berinteraksi untuk memilih. Lalu mengapa polling ini harus dilakukan di sini? Ah... nggak harus, ini cuma iseng-iseng saja bereksperimen dengan blog.

Selengkapnya.....

Rabu, 19 Maret 2008

Calon Gubernur BI

Saya awalnya kurang tertarik menulis mengenai masalah ini. Terlalu politis tingkat tinggi. Namun, setelah penolakan DPR atas Pak Agus dan Pak Raden, pemberitaan di media massa makin genit aja. Lalu, kebetulan hari ini Pak Ferry teman sekantor saya mengirim email berita hari ini (19/3) mengenai masalah ini dari Investor Daily. Intinya adalah DPR menilai adanya figur-figur tertentu yang cocok untuk mengisi pos penjaga gawang moneter kita.

Berikut ini nama-nama yang diusung oleh beberapa partai.

PDI-P
Muliaman D Hadad
Hartadi A Sarwono
Miranda S Goeltom
Dradjad Wibowo
Emir Moeis
Rizal Ramli
Faisal Basri

PARTAI GOLKAR
Muliaman D Hadad
Hartadi A Sarwono
Boediono
Sri Mulyani Indrawati
Anggito Abimanyu
Darmin Nasution

PPP
Muliaman D Hadad
Hartadi A Sarwono

PARTAI DEMOKRAT
Sri Mulyani Indrawati
Anggito Abimanyu
Darmin Nasution
Boediono

Partai lain? Nggak tahu... mungkin ada di koran lain.

Sontak waktu mendengar Pak Ferry ngirim nama-nama di atas, Ginanjar yang duduk di sebelah Pak Ferry nggak mau ketinggalan. Republika katanya menurunkan tulisan dari Pak Didin Hafidhuddin. Isinya kurang lebih mengapresiasi Gubernur BI yang sekarang beserta anggota dewan lainnya, terlepas dari persoalan hukum yang sedang menimpanya. Apresiasi itu diberikan berdasarkan kenyataan stabilnya kondisi moneter selama kepemimpinan beliau di BI. Dapat dipahami kalau Pak Kyai kemudian tidak menyebutkan satu nama pun sebagai calon berikutnya. Hanya ia (bersama co-author Irfan Syauqi Beik) mengangkat kriteria yang harus dimiliki.

(1) Dapat dipercaya
(2) Profesisonal
(3) Kuat ilmu dan fisiknya
(4) Berpihak kepada kebenaran dan keadilan
(5) Berani memerangi kezaliman dan ketidakadilan

Ada yang memenuhi syarat? Anda kali ya?

Nah, kalau tertarik mencari berita-berita lainnya, saya sarankan Anda mencoba links di bawah ini.

Berita terkait dari Media Indonesia
Berita terkait dari Kompas
Berita terkait dari Koran Tempo

Hanya dengan melihat hasil pencarian Google dari link di atas, tanpa melihat artikel aslinya, Anda dapat mendapatkan nama-nama lain yang sudah dan sedang beredar. Jadi jangan bosan menelusuri hasil pencarian Google di atas ke halaman-halaman hasil pencarian berikutnya. Siapa tahu ada nama Anda?!

Selengkapnya.....

Selasa, 18 Maret 2008

Dukunglah Perjuangan Reformasi

Mengapa reformasi terasa jalan di tempat? Sebenarnya saya pribadi menilai tidak demikian. Banyak hasil reformasi yang sudah dirasakan masyarakat. Hanya saja, karena persoalan sudah terlanjur banyak, ditambah lagi pertumbuhannya melaju cepat, usaha perbaikan menjadi tidak terasa atau minimal kurang terasa bagi masyarakat banyak. Kasian deh lo? O, jangan begitu...

Kondisi di atas tentunya perlu disikapi oleh siapa saja yang mengaku aktivis yang memperjuangkan perbaikan dalam masyarakat. Menurut ilustrasi di atas, upaya perbaikan harus dilakukan dengan kecepatan yang lebih tinggi dari kecepatan tumbuhnya masalah. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana caranya. Bagaimana orang-orang biasa seperti kita-kita ini menyumbang kepada reformasi? Karena memang lingkaran pengaruh kita sangat terbatas, kecuali kalau Anda pembaca blog ini adalah presiden atau orang dekatnya saya kira tulisan ini bukan untuk Anda, tips yang akan dituliskan di sini sifatnya ringan-ringan saja.

Pertama, jangan coba-coba mengubah dunia. Memang ini kedengarannya basi dan klise. Tapi saya rasa Anda sepakat dengan saya: mulailah dengan memperbaiki diri sendiri. Kemudian perbaikilah keluarga. Kalau di tahap ini ada masalah, jangan nekat dulu mengubah tetangga dan lingkungan. Kalau diteruskan upaya yang dimulai dari diri sendiri ini, mudah-mudahan kita pada akhirnya mengubah dunia. Kalaupun tidak, minimal kita tidak menambah laju lahirnya masalah. Kalau versi Ustadz Bandung, pesannya begini: mulailah dari yang kecil, dari diri sendiri, dan saat ini juga -- salam, Aa'.

Kedua, milikilah keyakinan, atau kalau keyakinan belum optimal, bangunlah ia. Dalam agama manapun, ada tuntutan berbuat baik dan itu diganjar pahala. Sebaliknya, perbuatan jahat dan curang diganjar dengan balasan setimpal. Yakinlah dengan ini. Bagaimana dengan orang tak beragama? Kita hanya dapat mengharapkan kebaikan hatinya yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta, karena fitrah manusia pasti menyukai yang baik-baik dan rindu pada kemuliaan. Kita dapat mengharapkan keyakinannya bahwa perbuatan baik yang dilakukannya berdampak positif untuk masyarakat dan itu cukup untuk membuatnya bahagia. Bagaimana kalau tak beragama, tak bertuhan, dan gemar membuat kerusakan? Saya harap tidak ada di antara kita yang seperti itu. Kalau iya, gimana? Singkat saja: kembalilah ke jalan yang benar, kawan.

Ketiga, lakukanlah perbaikan dengan sistematis dan bersama-sama. Ini juga menyiratkan upaya yang terorganisasi dengan baik. Saya tidak menyarankan Anda membentuk gerakan clandestine, bawah tanah yang beroperasi seperti dalam film Dark Justice. Bukan seperti itu. Saat ini, dunia demikian transparan dan mengecil. Gerakan-gerakan rahasia, baik atau jahat, dengan sendirinya akan terungkap. Yang saya maksud adalah kita perlu membuat jaringan kebaikan dengan siapa saja, masing-masing sebagai mitra. Memang struktur command and control kadang tidak dapat dihindari, tapi minimal model kerja seperti itu dapat dikurangi dengan adanya kemitraan yang lebih sejajar. Lalu, apa gunanya bergabung dalam jaringan seperti itu? Banyak! Salah satunya adalah kita akan berada dalam lingkungan kondusif yang saling mengingatkan. Satu syarat keberhasilan jaringan kebaikan seperti ini adalah partisipasi sukarela, bukan paksaan. Keikutsertaan tersebut harus datang dari pemahaman dan akhirnya keyakinan akan kemuliaan reformasi. Bergabung saja sudah membuat kita mendapat nilai lebih dari yang lain-lain. Mau bukti? Coba aja datang ke dunia maya, tapi tidak usah berinteraksi dengan siapa-siapa. Bandingkan dengan orang yang mengikuti forum, milis, blog interaktif, dan lain-lain. Terbukti kan, pasti beda.

Keempat, dan yang terakhir, observasilah forum-forum atau kelompok-kelompok yang ada. Pengelompokan adalah sifat naluriah manusia, jadi nggak mungkin dihindari. Namun perlu dipastikan, jangan sampai salah masuk. Jangan-jangan jaringan yang Anda pilih justru anti reformasi. Apa kriterianya? Nah, di sini persoalannya. Saya sendiri perlu merenung untuk menulis mengenai ini. Dan nanti kalau dituliskan, artikel ini jadi berat dong bobotnya. Untuk menghindarinya, ya saya harap Anda cukup puas dengan pesan singkat. Bergabunglah dengan jaringan yang paling cocok dengan nilai-nilai Anda sendiri (seperjuangan gitu loh). Maksudnya nilai-nilai kebaikan lho, bukan nilai-nilai mesum, curang, menggunting dalam lipatan, munafik, dll.

Ayo terus berharap, nggak perlu putus asa. Tuhan tahu yang terbaik untuk kita. Insya Allah kita bisa memahami hakikat masalah ini. Amin.

Selengkapnya.....

Minggu, 16 Maret 2008

Pemimpi Pejuang dari Dusun

Perjuangan Ikal dan Arai keluar dari keterpencilan dan kemiskinan seperti diceritakan dalam tetralogi Laskar Pelangi sungguh menginspirasi jiwa-jiwa yang rindu pada kemajuan dan kemuliaan. Keletihan mereka menjadi kuli pelabuhan demi menabung dan selepas SMA digunakan untuk merantau ke Jakarta akhirnya terbayar sudah ketika akhirnya mereka menapakkan kaki mereka di almamater suci Sorbonne University. Motivasi yang diberikan guru sastra mereka semasa SMA benar-benar merasuk. Merasuk menjadi mimpi yang menggedor semangat. Belum lagi kata-kata Pak Balia, guru sastra itu, agar mereka keliling eropa sampai tembus ke afrika... sama seperti motivasi yang diberikan Bu Muslimah dan Pak Irfan kepala sekolah mereka semasa SD. Hebat.

Di dusunku, Pangkalan Lampam, sejak dulu (katakanlah sejak era perang kemerdekaan dan agresi Belanda), hidup gotong royong adalah bagian budaya tak terpisahkan. Ini tidak berarti semua orang selalu sama rasa. Kepentingan dan kepemilikan individu tetap ada dan terjaga. Terlepas dari penjajahan Belanda yang merampas hak-hak mereka, kepemilikan khususnya yang diwariskan dari orangtua ke anak dijaga betul dari para perampas hak. Rule of law untuk menjaga kepemilikan berfungsi dalam bentuk yang mungkin sangat primitif, menggunakan sebilah pedang atau golok.

Setelah merdeka, budaya gotong royong dan kekeluargaan menjadi andalan para siswa yang memiliki cita-cita tinggi. Agar dapat melanjutkan ke SMP, mereka harus numpang di rumah kerabat di Palembang. Coba kalau individualisme ala Amerika yang jadi budaya, tentu mereka akan kesulitan mewujudkan mimpi mereka. Mungkin malah mimpi pun nggak berani. Coba bayangkan kalau bapaknya si Ikal membabi buta mengikuti Adam Smith, mungkin Arai kecil yang sebatang kara sehingga disebut simpai keramat tidak akan pernah ke Prancis melanjutkan pendidikan. Tamat SD juga sulit. Lihat aja si jenius Lintang yang terpaksa menjadi kuli dan bukannya menjadi seorang peraih nobel matematika, fisika, atau sejarah.

Jadi berangkatlah siswa tamatan SR keluar dari dusunnya ke Palembang untuk melanjutkan sekolah di SMP Taman Siswa. Dengan menumpang di rumah kerabat, sekolah di Palembang menjadi suatu kemungkinan. Bukan hanya satu siswa, tapi sekawanan. Kalau mau pergi pulang sekolah, mereka jalan kaki menempuh jarak yang jauh. Kalau mau pulang pergi dusun - Palembang, mereka mengendarai sepeda. Kenangan perjuangan seperti itu mungkin terasa hidup ketika para pemimpi itu kini membaca kisah Ikal dan kawan-kawan dalam Laskar Pelangi, Pemimpi, Edensor, dan (yang sedang digarap) Maryamah Karpov.

Mengikuti kisah Lintang yang tiap hari bersepeda dari pesisir timur Belitong ke SD Muhamadiyah tanpa pernah terlambat kecuali ketika dihadang buaya di tengah jalan pasti membuat para pemimpi dusun Pangkalan Lampam bangkit gairahnya melalui nostalgia perjuangan. Demikian juga kisah perantauan Ikal dan Arai ke Jakarta melalui Pelabuhan Tanjung Priok dan malah terdampar di Bogor mungkin mirip dengan kisah perantauan mereka ke Yogya. Tanpa antisipasi yang berarti. Modalnya semangat tinggi, keberanian, dan kepasrahan. Nampaknya do'a orangtua-orangtua merekalah yang membuat Tuhan selalu menjaga mereka dalam kasih sayang-Nya.

Walau bagaimanapun, keberhasilan Ikal dan Arai juga para pemimpi pejuang dari dusun tertinggal sangat sedikit jumlahnya dibandingkan kasus-kasus kegagalan. Berapa banyak calon pemenang olimpiade fisika yang mati muda? Berapa banyak calon pemenang nobel tidak dapat melanjutkan pendidikan dan terpaksa menyerah kepada nasib? Berapa banyak para pemimpi yang tiba-tiba sadar bahwa mimpinya telah menjelma menjadi mimpi buruk? Berapa banyak calon pemimpin level 5 yang tidak pernah muncul ke permukaan bahkan di level terendah? Berapa banyak calon connectors, salesmen, dan mavens yang justru mendambakan epidemi perbaikan nasib mereka melalui suatu tipping point? Berapa banyak calon-calon walikota, bupati, gubernur, dan presiden yang tewas di tangan ibu mereka yang stres didera kesempitan hidup? Tapi kenyataan ini tidak seharusnya menghentikan usaha perbaikan yang dilakukan para pemimpi pejuang yang merindukan kemajuan dan kemuliaan!

Selengkapnya.....

Sabtu, 15 Maret 2008

Dusun

Kemungkinan besar Anda belum pernah mendengar sebuah dusun bernama Pangkalan Lampam. Letaknya tidak terlalu jauh dari Palembang, sekitar dua sampai tiga jam berkendara mobil. Sebetulnya kalau ada jalan tol seperti di Jabodetabekadung, mungkin sejam juga bisa. Jalan yang tidak mulus dan sempit membuat waktu tempuh lebih lama dari seharusnya. Dusun ini berada di Kabupaten OKI (Ogan Komering Ilir). Kalau dicari di peta, nggak mudah ditemukan. Di GoogleEarth masih area blur.

Penduduk dusun ini dulunya berbudaya perairan karena rawa, lebak, dan sungai (DAS) yang mengelilinginya. Rumah Yai (panggilan untuk kakek) berada pada posisi dengan pemandangan yang bagus. Kalau duduk-duduk di bagian belakang rumah panggung itu, kami dapat memandang ke Lebak Deling yang kalau sedang musim hujan kelihatan seperti danau. Di kejauhan terlihat 'pulau' tempat kerbau-kerbau rawa dikandangkan. Kalau musim kering, lebak juga kering, bahkan bisa dilalui kendaraan.

Memang pemandangan di musim hujan lebih indah, apalagi ketika melihat air lebak tersibak oleh lajunya speedboat dari atau ke Palembang. Di jalur itu, dahulu lalu lalang kapal-kapal cukup besar berisi dagangan. Kadang di kejauhan kawanan kerbau rawa terlihat berenang. Kalau pandangan dialihkan ke arah hulu di mana pemukiman lebih padat, lalu lintas sampan lebih rame. Di bagian hulu ada kalangan (pasar) juga sih. Dapat disaksikan juga para penangkap ikan menunjukkan atraksi khas dengan tangkul. Tangkul adalah sejenis jala ikan berbentuk persegi yang dioperasikan menggunakan sebilah stik panjang yang lentur. Begitu tangkul dirasa sudah berisi ikan, ia kemudian diangkat seperti proses mengangkat pancing. Bedanya ukuran dan bobot yang lebih besar dan berat. Ikan kemuringan yang ukurannya kecil-kecil enak banget buat lauk santapan. Tapi yang membuat terkenal dusun ini adalah ikan lampam yang dahulu konon banyak beranak pinak di Lebak Deling.

Lain dulu, lain sekarang. Dengan jalan yang makin baik dan karena kendaraan motor dan mobil lebih terjangkau, daerah aliran sungai makin jarang digunakan sebagai infrastruktur transportasi. Jalur speedboat bahkan hilang karena penuh tumbuhan air. Nggak usah bayangkan lagi kapal-kapal pengangkut barang dagangan lalu lalang di situ. Budaya masyarakat kemudian bergeser menjadi lebih darat. Namun demikian, ini tidak berarti keindahan pemandangan dari jendela di belakang rumah Yai hilang juga. Nggak. Penduduk juga masih mengandalkan sungai dan lebak sebagai tempat mencari rezki. Sementara di darat, masih nggak berubah, tanahnya cocok untuk kebon dan ladang. Karet sudah lama menjadi ladang rezki. Saat ini, kelapa sawit sudah mulai ditanam, tapi oleh perusahaan besar, bukan oleh rakyat.

Waktu saya ke sana tahun lalu setelah sekian lama nggak pulang, Lebak Deling dalam keadaan kering. Musim kering sudah tiba. Untung masih ada air sedikit di aliran sungainya, sehingga Hanif masih bisa bersampan dengan pamannya yang dipanggil Om Hafiz - sepupuku. Tahu kan paras riang anak kecil yang menikmati pengalaman baru? Ada senyum di bibirnya dan binar di matanya menyiratkan kegugupan sekaligus rasa senang. Pipinya yang putih memerah diterpa sinar matahari. Peluh mengalir kelihatan di mukanya. Saya hanya melihatnya dari jauh tapi bisa merasakan kegugupannya bergoyang-goyang di sampan. Mungkin perasaan ladas atau euforia kecil yang dirasakannya sama seperti yang saya rasakan dulu waktu kecil sering mudik ke dusun.

Selengkapnya.....

Kamis, 13 Maret 2008

The Age of Turbulence

Buku The Age of Turbulence karya Alan Greenspan adalah buku yang bagus sebagai rujukan kebijakan ekonomi AS, khususnya kebijakan moneter, terlebih khusus lagi pada masa Greenspan menjadi Chairman of the Fed. Sejatinya, buku Greenspan ini bersifat luas, soalnya yang dibicarakan saja kapitalisme, globalisasi, dan pasar bebas. Wuih... Keluasan bahasan tidak lengkap kalau tidak lintas dekade bahkan lintas abad. Nyatanya memang demikian, horizon waktu buku ini antara masa Adam Smith (atau mungkin lebih tua lagi) dan tahun 2030.

Bacaan ini cukup lama dihabiskan mengingat bobotnya yang berat. Selain itu, tidak seperti ketika meringkas The Tipping Point dan Good to Great, pada posting-posting berikut ini, saya lebih banyak memasukkan komentar dan pendapat pribadi. Mungkin ada yang kena mungkin ada yang nggak relevan.

Fakta Mengenai Greenspan
Greenspan dan Bush Yunior
Filsafat Ekonomi Greenspan
Analisa Greenspan atas Dunia
Ramalan Greenspan 2030

Selengkapnya.....

Rabu, 12 Maret 2008

Ramalan Greenspan 2030

Menurut saya, Greenspan adalah orang yang rendah hati. Dalam bukunya The Age of Turbulence, beliau mengakui dalam banyak hal tidak mengetahui hakikat dari suatu fenomena ekonomi dan hubungannya dengan fenomena lainnya. Sikap ini tentu berbeda sekali dengan kaum monetaris pendahulunya yang mengatakan setelah tuhan hanya mereka yang paling tahu mengenai uang dan moneter.

Dalam meramalkan bagaimana kondisi Amerika (dan dunia pada umumnya) tahun 2030, beliau dengan hati-hati mengajukan asumsi-asumsi yang tanpanya sedikit sekali yang bisa diramalkan. Asumsi-asumsi itu adalah (1) rule of law senantiasa terjaga; (2) pasar bebas global dan domestik AS masih didukung penuh secara politik; (3) pendidikan dasar dan menengah AS berhasil dibenahi; (4) pemanasan global masih di bawah ambang yang dapat membahayakan ekonomi AS; (5) serangan teroris dapat dicegah tangkal.

Mengikuti sikap hati-hati Greenspan sendiri, saya tidak akan mengutip angka-angka ramalannya, walaupun ada juga yang secara langsung masuk akal, misalnya jumlah orang tua Amerika pada tahun 2030. Yang akan dituliskan di sini adalah ide penting mengenai ramalannya itu sendiri. Sifatnya boleh dibilang sangat kualitatif. Ide sentral dari ramalan Greenspan adalah prevalensi kapitalisme dan globalisasi di masa yang akan datang. Tanpa banyak bicara, negara-negara dunia semakin menerima dan menerapkan kapitalisme, globalisasi, dan perdagangan bebas, sedemikian hingga ekonomi-ekonomi besar sekalipun, seperti Amerika dan Cina, akan tenggelam dalam a full blown capitalism. Dengan kondisi ini, peran negara dalam mengatur warganya secara administratif semakin mengecil. Peran bank sentral dan kementerian keuangan tidak terkecuali. Sampai-sampai Greenspan berkata dia akan terkejut bila ada orang (atau badan tentunya) yang dapat meramalkan apa yang akan terjadi di sistem keuangan global atau mengantisipasi masalah dengan mengandalkan data dari sistem pelaporan dari pelaku pasar.

Ini agak tidak cocok dengan pernyataan beliau bahwa stabilitas ekonomi AS sangat tergantung pada respon the Fed terhadap situasi pasar. Namun demikian, untuk menyelesaikan kontradiksi pemahaman saya sendiri, saya memilih untuk menangkap pesan bahwa instrumen yang dapat dimainkan oleh bank sentral dan menteri keuangan Amerika menjadi semakin terbatas. Menambah instrumen justru dapat kontraproduktif karena mengurangi fleksibelitas pasar dalam menghadapi gejolak. Kembali mengenai the Fed, beliau mengatakan bank sentral tersebut harus menaikkan suku bunga untuk mengantisipasi kenaikan inflasi, sedangkan menaikkan suku bunga dikuatirkan akan menempatkan posisi chairman dalam posisi politik yang sulit. Apalagi posisi itu ditentukan oleh Presiden AS. Secara politik, inflasi yang sangat rendah atau nol yang terjadi jika menggunakan standard emas mengharuskan suku bunga yang relatif sangat tinggi untuk ukuran Amerika di bawah fiat money regime.

Selain karena sifat alami fiat money regime, kecenderungan meningkatnya inflasi disebutkan Greenspan terjadi antara lain karena harga rendah dari material, produk, dan pekerja di negara-negara seperti Cina dan India akan meningkat dalam waktu yang tidak terlalu lama. Pergiliran inflasi rendah dan tinggi merupakan suatu siklus. Sementara itu, inovasi dan kemajuan teknologi dibatasi oleh kemampuan manusia sendiri dalam mengadopsinya. Selain itu, justru terdapat sinyal perlambatan laju penerapan inovasi baru oleh korporasi Amerika untuk meningkatkan produksi barang dan jasa. Lebih jauh lagi, menurut saya (bukan dari Greenspan) efek penggandaan uang dari praktik bank dan sistem keuangan dewasa ini berlari jauh lebih cepat daripada kemampuan manusia menciptakan dan menerapkan konsep dan ide baru untuk pertumbuhan riil yang efisien.

Efek penggandaan likuiditas dimaksud di atas yang menyebabkan ekses atau kelebihan likuiditas sistem keuangan global dilihat Greenspan sebagai masalah kapitalisme juga. Indikator ekses tersebut dapat dijumpai dengan mudah melalui kenyataan bahwa premium risk dari junk bond cenderung sangat rendah. Dengan ketakutan dan kepanikan massal sedikit saja, nilai asset yang tercipta dari sistem keuangan global dapat musnah dalam waktu singkat. Untuk mengatasi masalah seperti ini, kecuali kalau penyebabnya kiamat, pandemik, ledakan nuklir, dan serangan teroris yang dahsyat, Greenspan menyarankan justru peningkatan fleksibelitas pasar dengan memberikan kebebasan bertindak kepada peserta pasar kunci seperti hedge fund. Hm...?!

Kenyataannya selama ini gejolak dan krisis selalu dapat diatasi pasar dengan mulus dari jam ke jam, dari hari ke hari. Demikian Greenspan. Tapi gimana ya kalau masalah selama ini dijejalkan dalam balon kapitalisme yang memang selama ini mulus-mulus saja kembang-kempis-kembangnya (kecuali crash akhir dekade 1920-an itu). Apakah balon itu kuat menahan beban yang makin berat dan makin besar? Dalam bentuk ekses likuiditas kronis?! Ini pertanyaanku. Perlu dijawab Greenspan kali. Nggak dijawab juga nggak apa-apa.

Menyinggung mengenai inovasi baru, Greenspan menyatakan di masa yang akan datang inovasi dan konsep atau ide baru akan makin besar porsinya dalam pertumbuhan. Materi fisik, sebagaimana telah disinggung pada posting Analisa Greenspan atas Dunia, porsinya makin mengecil dalam produksi barang dan jasa. Ini menyebabkan variable cost untuk produksi akan menuju titik nol sementara fixed cost meningkat, dan ini telah terjadi pada industri software. Akibatnya adalah makin relevannya diskusi mengenai intellectual property. Legislasi dan litigasi dalam hal paten mematen akan meningkat intensitasnya sebagai proses hukum. Namun demikian, Greenspan mencadangkan pernyataan bahwa tidak semua inovasi atau ide baru dapat dipatenkan bila penggunaannya secara eksklusif oleh penemu akan berdampak negatif pada kemanusiaan itu sendiri. Grey area! Gimana coba kalau penemu kalkulus (atau bahkan penemu angka nol) kembali dari alam barzah minta royalti?!

Akhirnya kembali ke diskusi mengenai kesenjangan, Greenspan memiliki resep reformasi sistem pendidikan Amerika. Solusi sementara untuk menutup kesenjangan adalah membuka pintu imigrasi seluas-luasnya untuk SDM dunia berkualitas dalam rangka menyuburkan kompetisi, yang pada gilirannya kompetisi yang makin kenceng itu akan membuat masyarakat kapitalis semakin stress saja. Greenspan yang menurut saya seorang Darwinian pada bagian lain menyatakan... ya itulah proses survival of the fittest. Masya Allah, dengan tidak mengurangi rasa hormat pada Greenspan, perlu dikemukakan di sini bahwa manusia secara universal memiliki rasa cinta satu dengan yang lain. Kedermawanan adalah nilai yang dijunjung tinggi semua agama bahkan oleh orang-orang yang mengaku tak bertuhan.

Kedermawanan membutuhkan saluran dan tidak ada salahnya sebagian difasilitasi negara secara amanah. Pemaksaan bahwa bukan kebaikan hati tukang daging dst yang membuat kita dapat menikmati makan malam, tapi kepentingan individual masing-masing lah yang memungkinkan kita menikmati makan malam sungguh pandangan yang ekstrem dan perlu dimoderasi. Dalam hal ini saya lebih sependapat dengan Krugman (baca buku The Conscience of a Liberal atau lihat posting saya sebelumnya, Kepentingan Partai, yang sedikit mengutip buku Krugman tsb).

Motif ekonomi seseorang dapat saja dipengaruhi kepentingan pribadi semata, kebaikan hati, kenaifan, sekaligus kombinasi dari ketiganya. Sekian.

Selengkapnya.....

Senin, 10 Maret 2008

Ayat-ayat Cinta Walikota Bekasi

Mulai dua pekan lalu, jalanan sering sekali macet karena diperbaiki. Sabtu kemarin, waktu menjemput Rita dari rumah temannya di Tambun Selatan, jalan-jalan yang diperbaiki itu sudah bagus lagi. Lebih mengesankan adalah kali malang terutama di dekat Unisma. Bersih. Rapi. Alhamdulillah, dalam waktu yang relatif singkat, sebetulnya banyak yang dapat dibenahi.

Dengan mengabaikan motivasi atau kepentingan di balik program perbaikan dadakan ini (karena mau pelantikan walikota baru, sekalian upacara perayaan hari jadi kota, hari ini 10 Maret), kita patut menyambut baik upaya pemkot untuk berbenah. Memang yang dibenahi masih di lokasi tertentu saja. Buktinya jalan di sekitar kompleks kami seperti layaknya ajang off road. Pekan lalu, di Jalan Raya Narogong ke arah Bantar Gebang, Pak Widodo teman sekantor kami mengalami kecelakaan yang menewaskan beliau. Ini menambah panjang korban jalan rusak yang seolah dibiarkan saja oleh yang berwenang.

Harus diakui bahwa kondisinya sulit. Anggaran kurang, koordinasi payah, hujan terus menerus, dan lain-lain. Namun demikian, mengutip salah seorang pimpinan kami, harusnya mentalitasnya dibalik. MEMANG SUSAH, TAPI BISA. Jangan MEMANG BISA, TAPI SUSAH. Apalagi ini kan terkait dengan realisasi janji-janji kampanye lalu. Harusnya Pak Wali mencontoh realisasi Ayat-ayat Cinta dari novel menjadi film. Walaupun saya pribadi termasuk yang kurang puas, secara umum realisasi AAC ke film sangat sukses, dengan menguras air mata ratusan ribu penonton. Istri saya termasuk. Saya sendiri terlalu memasang ekspektasi tinggi, padahal realisasi AAC ke film tentu penuh dengan tantangan sulit. TAPI BISA.

Bagaimanapun, film AAC jauh lebih baik dari film-film domestik lainnya, yang penuh adegan mesum, mistik, dan horor. Walaupun nggak nonton film seperti itu, promonya dan tayangan ekstranya sebelum AAC diputar menegaskan upaya yang baik bagaimanapun susahnya, seperti realisasi AAC menjadi film dan upaya perbaikan jalan Kota Bekasi, tetap akan menjadi oase di tengah gurun. Selamat hari ulang tahun Kota Bekasi. Selamat bertugas Pak Mochtar dan Pak Rachmat. Minimal, predikat Bekasi kota terkotor mudah-mudahan dapat diganti dengan predikat sebaliknya. Anda akan ditanya pada waktunya nanti perihal amanah yang dititipkan Allah mengurus Kota Bekasi. Bukan mengurasnya untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Selengkapnya.....

Minggu, 09 Maret 2008

Analisa Greenspan atas Dunia

Kalau kita pernah membaca tulisan Plato berjudul The Republic yang menceritakan kehebatan pemikiran gurunya, yaitu Socrates, kita akan dengan mudah mengaitkan pemikiran Socrates dengan Karl Marx. Sebuah negara yang adil (a just state) menurut Socrates dapat diwujudkan kalau ia dipimpin kaum filsuf yang memikirkan dan merencanakan seluruh aspek kehidupan masyarakat negara. Elemen masyarakat yang lain, yakni kaum ksatria dan kaum pedagang atau pekerja harus berfungsi sesuai labelnya, dan ketiga golongan tidak saling overlap dalam fungsinya. Untuk mengakomodasi 'kenaikan kelas' dalam masyarakat, kaum filsuf yang memimpin negara bahkan harus merencanakan perkawinan di dalam masyarakat, sementara anak-anak diurus dan dibesarkan semuanya oleh negara, kemudian diamati, dan direncanakan fungsinya di masa yang akan datang, termasuk perkawinan generasi baru tersebut. Ngeri dengan ide utopis seperti ini? Mewujudkan surga di dunia? Hm...

Pandangan Adam Smith pasti tidak diinspirasi pemikiran Socrates tentang a just state. Dia pasti diilhami suatu masyarakat egaliter yang di dalamnya tiap individu berhak berinisiatif apa saja sesuai kepentingan dan aspirasi masing-masing. Praktik masyarakat seperti itu mungkin tidak akan kita jumpai di Inggris masa itu ataupun daratan eropa yang sangat monarkis. Juga mungkin tidak kita jumpai di masyarakat Cina, Jepang, India masa lalu yang semuanya juga berbentuk kerajaan. Lalu dari mana inspirasi Adam Smith? Dari filsuf Yunani lainnya? Mungkin Anda tahu? Yang pasti ide baru disusun berdasarkan ide-ide sebelumnya. Jadi, saya pribadi kurang sepakat dengan pemaksaan ide bahwa Adam Smith adalah Bapak Ilmu Ekonomi. Apalagi perilaku ekonomi dan pasar adalah praktik purba ummat manusia. Di masyarakat zaman dahulu yang tidak didominasi kekuasaan kerajaan dan regulator ekonomi kita dapat jumpai kekuatan dan kekuasaan pasar, juga perdagangan bebas, yang kini seolah-olah merupakan pemikiran orisinal Adam Smith seorang.

Kembali ke buku The Age of Turbulence, kita akan dapati bagian-bagian akhirnya berisi analisa Greenspan terhadap setiap belahan dunia dalam menerima atau menolak kapitalisme dan globalisasi atau sekaligus menerima (sebagian) dan menolak (sebagian). Akhirnya buku ditutupnya dengan ramalam apa yang akan terjadi terhadap kapitalisme, khususnya di Amerika. Sebelum menganalisa belahan dunia lain, Greenspan membahas terlebih dulu kutub kaum konservatif dan kaum liberal di Amerika, yang masing-masing diwakili Partai Republik dan Partai Demokrat. Kaum konservatif, termasuk Greenspan sendiri di dalamnya, adalah pendukung berat kapitalisme ala Adam Smith. Pemerintah harus diperkecil perannya. Swasta yang dibiarkan gede. Kaum ini bahkan telah lama mengupayakan swastanisasi social security yang merupakan salah satu produk The New Deal warisan Administrasi FTR yang seorang demokrat. Reformasi kesehatan di Amerika juga diarahkan oleh kaum konservatif ke arah swastanisasi murni.

Bagaimana kalau ada kemalangan yang menimpa seseorang, misalnya pemecatan atau jatuh sakit? Asuransi adalah jawabannya. Setiap orang harus punya. Sementara, kaum liberal yang mewarisi sedikit sosialisme dan ide welfare state di Amerika tidak seradikal itu. The New Deal dari FTR itu contohnya. Orang yang lebih beruntung, terutama yang sangat kaya, diambil pajaknya oleh negara untuk membantu yang lemah. Pandangan ini menurut Greenspan adalah populisme yang bisa kontraproduktif terhadap fleksibilitas dan kekuatan pasar. Jadi, bagaimana mengatasi kesenjangan pendapatan di Amerika yang kian melebar? Jawabannya menurut Greenspan nanti ya... yang jelas bukan pajak. Beda banget dengan Krugman seperti dikemukakannya dalam The Conscience of a Liberal.

Sejauh ini menurut Greenspan, negara-negara yang menerapkan kapitalisme ala Adam Smith adalah negara-negara yang paling maju secara materi: Hongkong, Singapura, AS sendiri, Inggris, Australia, New Zealand, dan satu lagi lupa (apa ya..., inilah kelemahan 'membaca' lewat audiobook - susah nyarinya kembali). Negara-negara ini meninggalkan negara-negara eropa seperti Jerman dan Prancis. Secara umum, Greenspan menilai eropa OK-lah dalam mengadopsi kapitalisme. Cuma, dia khawatir adopsinya terlalu lambat, terutama jika dibandingkan kekuatan-kekuatan ekonomi baru. Lagi-lagi Greenspan menyalahkan paham sosialisme dan welfare state yang memang cukup mengakar di eropa, terutama eropa timur. Tapi, negara-negara eropa timur diramalkan Greenspan akan semakin cepat mengadopsi kapitalisme.

Kekuatan ekonomi selanjutnya yang secara khusus dibahas panjang lebar adalah Jepang. Walaupun Jepang sangat maju industrinya, terdapat persoalan budaya yang menghambat penerapan kapitalisme secara murni. Ini terlihat kata Greenspan ketika terjadi krisis di Jepang yang menyebabkan bank-bank rugi besar. Menurut resep mekanisme pasar biarlah koreksi pasar terjadi, tapi pemerintah Jepang melakukan intervensi karena mencegah orang Jepang bunuh diri rame-rame karena kehilangan muka. Berikutnya Cina. Walaupun negara komunis, sejatinya Cina mengadopsi kapitalisme hampir seratus persen. Memang saat ini industrinya terkonsentrasi di beberapa tempat dan mayoritas masih bersifat perakitan. Greenspan meramalkan Cina akan makin getol menerapkan kapitalisme.

India juga sama. Walaupun kental sosialismenya sejak merdeka di bawah kepemimpinan Nehru, India mulai maju dengan bisnis software dan call center outsourcing. SDM yang murah berbahasa Inggris adalah andalannya. Karena keterbatasan infrastruktur industri manufaktur, India kesulitan membangun industri diluar software dan outsourcing. Namun demikian, kapitalisme di India di masa yang akan datang akan tetap tumbuh. Namun, India harus berjuang mengatasi korupsi (di bagian lain sebelumnya, Greenspan menyatakan penerapan kapitalisme yang kolutif antara swasta dan penguasa terjadi di Indonesia masa Suharto). Di antara wilayah-wilayah lain, Amerika Latin dinilai Greenspan sebagai wilayah yang setengah hati dengan kapitalisme. Mungkin seperempat. Pemimpinnya banyak yang mengusung populisme yang kurang mendasar untuk mempertahankan kekuasaan. Demikian Greenspan.

Di bagian paling akhir bukunya, Greenspan menulis beberapa isu kapitalisme di masa yang akan datang. Di antara yang menarik adalah pernyataan mengenai kesenjangan, bahkan di Amerika, kelebihan likuiditas sistem keuangan global, dan masalah minyak bumi. Dengan optimisme tinggi (berbeda 180 derajat dengan Robert Malthus), Greenspan percaya bahwa ummat manusia di bawah kapitalisme pasar akan mencari inovasi untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi. Trend yang terjadi menunjukkan produk-produk baru semakin mengecil dan semakin berkurang ketergantungannya kepada sumber daya fisik, termasuk minyak bumi. Walaupun demikian, dengan penyesalan Greenspan mengakui bahwa sulit untuk memungkiri bahwa perang Iraq adalah tentang minyak bumi.

Sementara itu, kesenjangan pendapatan di Amerika menurut Greenspan adalah akibat kesenjangan skill dan pengetahuan itu sendiri. Sistem pendidikan di Amerika harus direformasi agar SDM Amerika dapat bersaing di dunia yang semakin cepat tumbuh dan berkembang. Karena reformasi pendidikan akan berlangsung lama, Greenspan menyarankan agar imigrasi dibuka seluas-luasnya untuk mendapatkan SDM berkualitas yang dapat memenuhi gap antara SDM berkualitas tinggi dan SDM berkualitas rendah di Amerika. Dengan sendirinya, kesenjangan pendapatan akan mengecil, tanpa perlu menaikkan pajak kepada orang-orang kaya. OK... nanti kita lanjutkan lagi deh.

Selengkapnya.....

Rabu, 05 Maret 2008

Filsafat Ekonomi Greenspan

Kalau kita baca buku The Age of Turbulence, kita akan dapati bukunya terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi cerita pengalaman Greenspan dari kecil hingga pensiun dari the Fed. Bagian ini seperti otobiografi. Di bagian kedua, Greenspan menulis mengenai pandangan ideologisnya tentang ilmu ekonomi, khususnya ekonomi makro.

Bagi kita yang pernah membaca The World is Flat karya Thomas L Friedman, kita akan dapati benang merah kesamaan ideologis antara keduanya. Memang dua-duanya sama-sama berasal dari keturunan Yahudi, tapi saya nggak yakin faktor keturunan itu yang menyatukan pandangan keduanya. Singkatnya, kedua penulis sama-sama murid setia dari Adam Smith, Bapak Ilmu Ekonomi, yang tema sentralnya adalah mengurangi peran ekonomi pemerintah. Tokoh-tokoh lainnya yang berhaluan sama tentu saja Milton Friedman, Margareth Tatcher, Ronald Reagan, dan kedua Bush. Kalau di Amerika, sederhananya adalah kaum konservatif yang diwakili secara politis oleh GOP (Great Old Party) atau Partai Republik.

Yang mendasari pemikiran ekonomi Adam Smith adalah adanya inisiatif individu yang bukan saja bermanfaat buat dirinya tapi juga buat masyarakat, walaupun tanpa koordinasi. Efek positif dari kepentingan pribadi kepada kelompok terjadi melalui mekanisme Tangan Tuhan (the invisible hand). Menurut Adam Smith, seperti juga dijelaskan kembali oleh Greenspan, bukanlah kebaikan hati tukang daging, tukang buat minuman, dan tukang panggang yang membuat kita bisa menikmati hidangan makan malam, tapi karena kepentingan pribadi mereka masing-masing. Secara ringkas kemudian, Greenspan membandingkan pandangan kapitalis Adam Smith dengan pandangan sosialis Karl Marx, suatu perbandingan yang gampang.

Gampang? La iyalah karena keduanya berada di ekstrem. Adam Smith percaya inisiatif dan kepentingan individu sudah cukup untuk membuat masyarakat maju, sedangkan Marx berpandangan harus ada pengatur sentral yang mengurusi segalanya sampai dengan pembagian kerja dan hasilnya. Menurut saya pribadi, pandangan Marx sepertinya ingin menciptakan surga di dunia sehingga semua orang bahagia, tanpa ada yang miskin dan kaya. Masih menurut saya pribadi, ideologi Marx memang tidak feasible diterapkan karena perbedaan adalah suatu sunatullah, hukum alam. Tapi apakah pandangan kapitalis kekuatan pasar merupakan yang paling benar masih pertanyaan besar buat saya, meskipun Greenspan berpendapat begitu.

Supaya nggak terlalu melenceng dari buku, perlu saya kemukakan bahwa saya tidak anti kekuatan pasar, tapi kekuatan pasar saja tidak akan membuat masyarakat maju dan bahagia secara optimal. Harus ada instrumen tambahan yang dapat mengkoreksi dampak negatif ekonomi kapitalistik yang terlalu ekstrem. Saya sendiri belum tahu instrumen apakah gerangan itu. Pencarian tetap berlangsung. Nah, kita balik lagi ke buku Greenspan.

Setelah mengemukakan posisi ideologinya, Greenspan kemudian menambahkan prasyarat yang harus dipenuhi agar ekonomi pasar dapat berjalan baik. Prasyarat pertama adalah jaminan terhadap kepemilikan privat atau individu dan adanya kepercayaan antar individu pelaku pasar sehingga transaksi dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Prasyarat kedua ini membutuhkan institusi yang dapat meng-enforce rule of law. Di sinilah peran sentral pemerintah: menjamin kepemilikan pribadi dan menjamin rule of law. Aspek lainnya sebaiknya diluar pemerintah, artinya diselenggarakan oleh swasta, pribadi. Itu sebabnya tokoh pemerintahan seperti Reagan sangat mendukung pemerintahan yang kecil (small government). Pemerintah yang kaya dan ikutan bertransaksi di pasar untuk mencari keuntungan, melalui perusahaan negara misalnya, dinilai cenderung pada praktik kolutif, minimal tidak memberikan nilai optimal kepada masyarakat. Itu sebabnya ketika surplus anggaran terjadi di AS pada akhir Administrasi Clinton dan diprediksi berlangsung lama, Greenspan termasuk yang kuatir apalagi jika sampai pemerintah melakukan investasi di pasar dalam jumlah besar. Pertanyaan Greenspan: bagaimana menjamin birokrasi tidak memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan politik kelompok dan individu.

Greenspan kemudian menjelaskan dalam bukunya mengenai negara-negara yang kaya sumber daya alam. Negara seperti itu justru berisiko menjadi negara yang kurang dapat berkembang dan maju. Kambing hitamnya adalah sesuatu yang disebut dengan dutch disease. Penyakit ini seperti dijelaskan Greenspan membuat negara tersebut tidak kompetitif di sektor manufaktur akibat pemasukan yang banyak yang pada gilirannya menyebabkan kurs kurang berpihak pada upaya ekspor hasil industri negara tersebut.

Di bagian berikutnya, Greenspan menjelaskan dan membandingkan kondisi negara-negara secara ekonomi dengan menggunakan kerangka berpikir Adam Smith, mulai dari membandingkan kubu liberal dengan konservatif di AS, kemudian kelompok negara paling maju, seperti Hongkong, Singapura, AS sendiri, Inggris, Australia, New Zealand yang kebetulan punya asal-usul budaya Inggris dan Adam Smith. Selanjutnya, Greenspan membahas daratan Eropa yang cukup kental sosialismenya, terus Jepang, Cina, India, Rusia, dan seterusnya. Indonesia disebut-sebut juga. Di bagian paling akhir, Greenspan membahas kemungkinan apa yang terjadi di masa depan. Bagaimana nasib kapitalisme dan globalisasi? Apa saja tantangannya? Tapi udahan dulu ya... bersambung lain kali.

Selengkapnya.....

Selasa, 04 Maret 2008

Ayat-ayat Cinta: Novel versus Film

Berikut ini saya sampaikan pendapat (unedited) teman saya, Ridzky, yang baru-baru ini nonton film Ayat-ayat Cinta. Anda sudah baca novelnya? Sudah nonton filmnya? Siapa tahu Anda punya pendapat berbeda dengan Ridzky ini...

Dah nonton film Ayat-Ayat Cinta?
Wah, kecewa berat aku, seharusnya Kang Abik protes ke Punjabi cs itu…film ini benar-benar menghilangkan roh yang ada pada cerita novel-nya. Ketika merebahkan pantat ke kursi empuk 21, saya sudah punya firasat kalo film ini bakal mengecewakan... sedikit berbisik ke mantan pacar yang duduk disebelah. Beberapa cacat point yang saya catat seperti gini :

  1. Suasana indahnya kota Mesir sama sekali tidak tergambar dalam film. Malah sudut Mesir jadi terkesan kumuh dan jadi ragu, itu gambaran Mesir atau sudut pasar di Pakistan?
  2. Beberapa penggalan cerita sama sekali tidak muncul dalam film, seperti ketika Fahri dirawat di RS dan di tebus oleh Maria.
  3. Dialog tentang perempuan dan rumah tangga menurut Islam dalam adegan Fahri dengan wartawan Amerika sangat sedikit sekali porsinya. Padahal justru dialog itu kuat sekali menggambarkan tingginya Islam menempatkan kedudukan terhormat perempuan dan adab dalam keluarga Islami.
  4. Yang paling bikin kacau film adalah pada 15 menit terakhir. Adegan poligami yang justru kuat muncul di film, dimana sama sekali itu justru tidak masuk dalam cerita novel. Apalagi ketika mereka bertiga hidup serumah hanya bersebelahan kamar. Weleh2, para penonton kok malah tertawa melihat adegan ini. Padahal Rasulullah sendiri tidak pernah menempatkan istri-istrinya berada dalam satu rumah yang sama. Beliau sangat menghormati perasaan perempuan. Ini kok malah sebelahan kamar! Benar-benar menghina kesakralan poligami menurutku sih. Bukan berarti mendukung atau menolak, tapi kan tidak begitu ajaran Rasulullah. So, 15 menit terakhir itu adalah murni ide produser atau sutradara untuk meningkatkan nilai jual film yang justru menjungkalkan philosofi novelnya. Benar-benar ide murahan dan seperti melihat film Berbagi Suami-nya Nia Dinata.
  5. Trus jadi kayak nonton sinetron kejar tayang tivi. Punjabi sekalee deh, saat suster nutup Maria yang sudah meninggal pake selimut.
  6. Sisi kesalehan dari tokoh Fahri tidak tampak sama sekali. Fahri jadi semacam pemuda lugu dan lemah yang tidak pernah nyantri. Tokoh rekan-rekan mahasiswa lainnya juga gitu. Tidak tampak seperti orang-orang santri yang lagi belajar melainkan seperti kumpulan ABG kota layaknya sinetron...sekali lagi MD entertaintment mania.
  7. dllsbg.....

Emang sih saya akui beberapa adegan sempat membuat air mata tidak bisa tertahan, baca novelnya juga gitu. Kompas kemarin juga mengulas film ini. Baru tahu ternyata tidak jadi dibuat di Mesir...melainkan di India. Kang Abik pernah mengajukan syarat kalau novelnya mau di-film-kan, lokasi shooting harus di Mesir dan di lingkungan pesantren. Nah, karena katanya birokrasi yang sulit di Mesir sehingga tidak memperoleh izin, maka lokasi pindah ke India. Lho, kok bisa berubah gitu ya syaratnya. Dengan biaya sebesar Rp15 miliar, hasilnya gak kelihatan kalau biayanya sebesar itu. Weleh, produser cekak mau cari untung dari popularitas novel.....Saya yakin sang sutradara Mas Anung Bramantyo berada dalam tekanan produser...

Mohon maaf apabila kurang berkenan bagi yang belum nonton...

Wassalam,

Ridzky Prihadi Tjahyanto

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed