Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Sabtu, 31 Mei 2008

Beberapa Poster Pilkada Palembang

Di bawah ini, beberapa foto yang berhasil saya ambil ketika berkunjung ke Palembang sepekan yang lalu. Nggak semua calon pasangan walikota dan wakil walikota kena saya foto. Walaupun sebetulnya banyak bertebaran, waktu yang singkat membatasi saya membidik poster. Lihat juga artikel saya yang lalu Demokratisasi di Daerah.





Selengkapnya.....

Enterprise Data Modeling

Dalam artikel sebelumnya saya pernah menulis mengenai Arsitektur Informasi. Lihat Arsitektur Informasi Masyarakat Bekasi 1, 2, dan 3. Mungkin Anda memiliki definisi mengenai arsitektur informasi. Kalau dicari di Wikipedia, definisinya pun tidak begitu clear. Memang istilah ini digunakan untuk merujuk banyak hal yang berbeda-beda. Makanya saya memutuskan untuk menggunakan salah satu saja dari sekian referensi, yaitu DAMA (DATA MANAGEMENT ASSOCIATION). Nah, salah satu komponen arsitektur informasi menurut DAMA adalah enterprise data model.

Saya sudah lama mengenal istilah ini. Segera setelah masuk dunia kerja, terdampar di proyek CALFAIS, Rumbai, saya diajarin salah seorang senior di proyek tersebut istilah enterprise data model. Beliau yang bernama Ade Hardiana bahkan mengemukakan misinya untuk membuat model data berskala enterprise tersebut, salah satunya melalui proyek CALFAIS tersebut. Wah, ini dia baru cocok. Hati saya waktu itu mungkin menemukan contoh nyata dari pemodelan yang hebat sesuai materi kuliah. Sayangnya saya tidak melihat hasil kongkret karena keburu keluar dari proyek setelah satu tahun.

Hingga sekarang saya belum melihat contoh model data berskala enterprise yang komprehensif. Mungkin orang-orang yang melakukan modeling seperti ini merasa sayang kalau membaginya ke publik begitu saja. Sebut saja kubu Bill Inmon dan Claudia Imhoff yang mengusung konsep Corporate Information Factory dan belakangan DW 2.0. Mereka hanya memberikan sebagian saja contohnya. Itu pun yang high level. Coba kunjungi website DW 2.0. Buku Leventhal sekalipun mengenai hal ini memberikan contoh-contoh fragmen. Nggak ada contoh yang semuanya nyambung.

Kebingungan yang saya alami mungkin Anda rasakan juga di tempat kerja. Karena alasan tidak riil praktis, kami biasanya melakukan pemodelan per proyek saja, walaupun dalam hati cita-cita Pak Ade Hardiana telah betul-betul terinternalisasi buat saya. Selain itu, dalam proyek-proyek data warehouse dan/atau data mart yang kami lakukan, kebutuhan integrasi yang lebih baik terus mengemuka. Kenyataan ini membuat saya harap-harap cemas mempromosikan perlunya enterprise data warehouse dan enterprise data modeling, sekaligus memprovokasi proses belajar, mencari, dan diskusi terus menerus. Agaknya cahaya di ujung lorong gelap panjang sudah mulai kelihatan.

Biar nggak bingung, Anda mungkin perlu tahu terlebih dulu mengenai DAMA. Dia adalah asosiasi yang terdiri dari ahli, akademisi, dan praktisi data management. Sifat asosiasi ini terbuka dan sukarela. Produknya dibuat secara bersama-sama secara sukarela. In some sense, mirip Linux dan Wikipedia. Karena sadar para pakar dan praktisi, apalagi vendor, sering memperkenalkan istilah sendiri-sendiri, DAMA berupaya menyamakan kerangka dan istilah. Yang pertama telah dipublikasikan sebagai DMBOK atau data management body of knowledge, sementara yang kedua DAMA Dictionary. Saya kira Anda dapat menemukan resource terkait di internet.

Di sini, perlu ditekankan bahwa DAMA memang berasal dari disiplin data management yang strateginya adalah disiplin itu sendiri menuju kondisi managed (meminjam penjelasan Patrick Lambe, pakar taxonomy dan knowledge management, ke saya tempo hari). Walaupun telah memasukkan fungsi document, record, and content management, DMBOK perlu diperkuat dengan pendekatan bottom up untuk mengatasi penggunaan informasi secara operasional dalam kondisi complex dan complicated yang jamak di organisasi besar (lagi meminjam penjelasan Patrick Lambe). Lebih jauh, DMBOK dapat digeneralisasi untuk manajemen informasi yang tidak terstruktur di samping yang terstruktur.

Dapat dicek dalam kerangka DAMA bahwa enterprise data modeling adalah bagian dari fungsi arsitektur dan desain data / informasi. Kalau Anda berada di kubu knowledge management dan taxonomy, mungkin Anda kecewa karena DAMA menempatkan taxonomy tidak di 'halaman depan' tetapi di dalam. Saya pribadi berpendapat, apa pun pilihan framework yang akan digunakan, kubu knowledge management dan data management perlu duduk bersama dan mulai mencari kesamaan dan titik-titik integrasinya. Mengapa demikian? Karena organisasi membutuhkan keduanya, sebagaimana organisasi perlu memenuhi kebutuhan strategis di satu sisi dan kebutuhan operasional di sisi lain.

Kembali ke enterprise data model, dapat saya bagi sedikit upaya kami mulai menyamakan persepsi. Di Bandung, tepatnya di Sheraton, 30 Mei, dibantu konsultan kami merancang dan mencoba data modeling exercise yang bersifat konseptual. Juga taxonomy modeling. Idenya sederhana, semua item data / informasi dikumpulkan. Biasanya ini bisa didapat dari kamus data sistem yang ada, dari laporan-laporan publikasi, dokumen-dokumen kajian, wawancara, dan lain-lain. Item-item itu ditulis pada kertas, masing-masing digunting berdiri sendiri-sendiri. Sebagian pasti noise. Perlu saringan! Peserta workshop kemudian diminta membuat model konseptual yang menjelaskan hubungan antara item. Lupakan dulu deh hubungan one-to-many, many-to-many, entitas, atribut, key, normalisasi, denormalisasi, dll.

Peserta workshop cukup meletakkan item-item informasi sedemikian rupa sehingga hubungan konsepnya kelihatan menyerupai peta. Peserta juga dibebaskan untuk membuat item baru jika diperlukan. Hubungan antara satu item dengan yang lainnya dapat diwakili suatu predikat, umumnya kata kerja, dan digambarkan secara visual dengan garis. Dengan kata-kata, peta yang dihasilkan dapat diceritakan menggunakan koleksi kalimat dengan pola Subyek-Predikat-Obyek. Dalam waktu tidak lebih dari 30 menit, model berikut ini dihasilkan oleh dua kelompok. Agak beda, tapi secara esensi lebih banyak miripnya. Dengan sedikit diskusi lanjutan dan kompromi, data model yang memadai dapat dihasilkan.




Pertanyaan berikutnya mungkin bagaimana menjamin semuanya nyambung, tidak silo, tidak redundan, membentuk model berskala enterprise yang elegan. Untuk ini, diperlukan sebuah alat bantu, bukan hanya untuk menggambar, tapi juga mengontrol vocabulary. Karena itu, Visio saat ini belum memadai, apalagi sekedar Microsoft Word, PowerPoint, juga Excel. Yang cocok mungkin WordMap atau Synaptica. Pingin coba cara sederhana di atas? Hubungi saya... Ah nggak perlu. Anda pasti tahu apa yang perlu dilakukan. Sedikit inspirasi, lalu sedikit nakal, sedikit akal sehat, jalan deh. Kuncinya KIS, Keep It Simple, bukan KISS, Keep It Simple S*****, hehehe.

Selengkapnya.....

Kamis, 29 Mei 2008

Demokratisasi di Daerah

Sejak pilkada langsung diberlakukan, hampir tiap hari kita dapati semaraknya. Contoh terakhir Pilkada Kaltim. Walaupun penghitungan resmi belum final, quick count yang dilakukan beberapa lembaga survey independen mengindikasikan pemenangnya tidak memperoleh suara signifikan dibandingkan saingan terdekat. Mudah-mudahan apa yang terjadi di Malut tidak terjadi di Kaltim dan di daerah lain. Suasana semarak pilkada juga saya dapati waktu pulang kampung akhir pekan lalu.

Jalan-jalan Kota Palembang dimeriahkan poster-poster para tokoh. Ada yang mencalonkan jadi Gubernur Sumsel. Ada juga untuk Walikota Palembang. Yang terakhir ini bahkan pencoblosannya akan dilakukan dalam waktu dekat, awal Juni 2008. Salah satu calon, pernah saya kenal kurang lebih lima tahun lalu, yaitu Ustadz Iqbal Romzi. Beliau memimpin sebuah pesantren di Inderalaya. Kenalnya dulu lewat MLM. Kami sama-sama distributor Propolis Gold, sebuah makanan suplemen produk lebah.

Perjalanan tidak berhenti di Palembang saja. Saya juga pulang ke Dusun Pangkalan Lampam, OKI, untuk menghadiri kawinan seorang sepupu. Jarak tempuh dari Palembang tidak sampai 100 km, tapi waktu tempuhnya 1,5 sampai 2 jam. Jalannya tidak terlalu jelek. Lebar jalan yang pas-pasan menghalangi saya memacu mobil. Poster-poster bertebaran di sepanjang jalan. Wajah Gubernur Sjahrial Oesman bertebaran. Dukungan PKS kepada beliau yang diusung PDI-P kelihatannya memungkinkan pemasangan poster di pelosok-pelosok. Saingan beratnya adalah Bupati MUBA, Alex Noerdin, yang diusung PG. Tapi posternya di sepanjang jalan menuju dusun nggak sebanyak Sjahrial Oesman. Selain semarak pilkada level provinsi, kawasan juga dihangatkan persaingan di level Kabupaten. Ini yang menarik diceritakan lebih jauh.

Salah seorang calon Bupati OKI adalah adik salah seorang menteri Kabinet SBY yang punya model (kalau boleh dikatakan demikian) rambut yang khas. Saat ini sebenarnya beliau menjabat posisi Wakil Bupati Ogan Ilir. Mungkin karena alasan Ogan Komering Ilir (OKI) lebih dekat secara asal usul, beliau memutuskan untuk maju dalam Pilkada OKI. Kurang lebih demikianlah yang disampaikan sendiri di hadapan tamu undangan kawinan sepupu saya. Lho? Itulah, memang keluarga besar kami masih ada hubungan kerabat. Jadi sebagai undangan dan juga sebagai tokoh, beliau diminta memberikan sambutan mewakili tamu. Mengambil kesempatan emas tersebut beliau langsung kampanye. Terlepas etis atau tidaknya kampanye di acara kawinan, orasi kader PAN tersebut cukup menarik. Hanya saja menurut pendapat saya pribadi agak kepanjangan. Apalagi ini di acara resepsi kawinan.

Pelajaran apa sih yang bisa dipetik? Ada yang berpendapat nggak ada gunanya. Tingkat golput, seperti yang terjadi barusan di Kaltim yang melebihi perolehan suara pasangan teratas, dijadikan indikator. Hal yang sama, tapi nggak separah di Kaltim, juga banyak terjadi sebelumnya. Misalnya, di Bekasi dan Jawa Barat yang pilkadanya baru saja berlalu. Sebaliknya, ada yang berpendapat pilkada banyak manfaatnya. Minimal, gerak ekonomi menjadi lebih dinamis. Para calon butuh poster-poster, baliho, kaos, dan perangkat lainnya. Selain itu, acara-acara kampanye sering digunakan kesempatan untuk jualan jajanan dan jualan lainnya. Yang negatif tentu saja jualan suara. Mungkin ini lebih besar porsinya secara ekonomi.

Saya pribadi termasuk yang berpendapat pilkada banyak manfaatnya, terlepas dari efek samping negatif yang mungkin terjadi. Pertama, proses rekrutmen politik menjadi lebih transparan. Dalam jangka panjang, koreksi yang dilakukan masyarakat sendiri akan membuat proses ini lebih efektif dan efisien. Kedua, ketika melakukan kampanye, para calon pemimpin sengaja atau tidak memberikan edukasi kepada masyarakat. Janji sekolah dan berobat gratis yang banyak diusung boleh jadi nggak terpenuhi, akan tetapi janji itu sendiri meningkatkan ekspektasi masyarakat. Masyarakat melihat sendiri buktinya bahwa itu dapat direalisasikan. Di MUBA misalnya. Ketiga, kompetisi menuntut upaya peningkatan diri. Insya Allah, para calon pemimpin tidak lagi asal terjun ke dunia politik

Pertanyaannya mungkin berapa lama lagi hasil nyata dapat keliatan. Hm... Mental pejuang kayaknya tidak kesusu begitu. Kalaupun besok mau kiamat, kita tetap dianjurkan untuk menanam. Kalaupun harus gugur dan tidak dapat menikmati hasil, seorang pejuang sejati tetap melakukan pengorbanan. Jadi...? Be positive! Kalau bukan kita, tentunya anak cucu kita, generasi berikutnya, yang akan menikmati hasil. Justru kalau mau melakukan perubahan, jadilah agennya, seperti kenalan saya dosen ITB, AA' Arman, yang mencalonkan diri sebagai Wakil Walikota Bandung, melalui jalur independen. Lihat blognya di http://kupalima.wordpress.com. Kalau nggak berani mengajukan diri, minimal koreksilah para pemimpin dengan tidak memilih yang curang dan memilih yang jujur, bersih, dan profesional.

Selengkapnya.....

Senin, 26 Mei 2008

Kebersihan di Area Publik

Saya sering lewat Monas pagi-pagi. Jalan dari Gambir ke kantor melewati area Monas asyik juga. Pepohonan, taman, dan bahkan rusa tutul sebagian yang bikin asyik. Asap kendaraan cukup di sekitar Jl Merdeka saja. Ini yang membuat banyak warga ke sana untuk olahraga. Jalan kaki sekitar 20-30 menit sekalian ke kantor lumayan bikin keringetan. Termasuk pagi ini, Senin.

Uniknya, Monas pada hari Senin cenderung kotor. Beberapa kali saya dapati demikian. Sebetulnya ada petugas kebersihannya, tapi hari Senin berbeda. Agaknya sampah yang berceceran merupakan produk hari Minggu dan mungkin ditambah hari Sabtu. Apalagi kemaren-kemaren ada demo dan pembagian BLT. Saya nggak tahu apakah ada pembagian di Monas. Kemaren Sabtu-Minggu saya pulang ke Palembang dan ke Dusun Pangkalan Lampam. Ada cerita menarik juga sih (buat besok kali). Kalaupun pembagian tidak dilakukan di Monas, tempat itu tetap atraktif buat ngumpul. Lagian kemaren ada kegiatan car-free day, sepanjang Sudirman-Thamrin.

Alhasil, Monas di hari Senin kotor. Relatif lebih kotor dibanding hari lain. Lebih kotor lagi jika Sabtu-Minggu sebelumnya ada kegiatan yang melibatkan massa dalam jumlah besar. Kebetulan tadi ada sepasang bule yang masuk ke area Monas. Nggak tahu sih apakah mereka lewat aja buat ke Gambir atau mereka memang bermaksud menikmati area Monas. Apapun alasannya, nggak enak juga. Kesan bahwa kita mau mengikis sedikit demi sedikit kejorokan bisa nggak nyambung.

Bayangkan kalau Anda berada di tempat yang sangat bersih. Pasti Anda segan kan mengotorinya. Apalagi kalau sampai ditegur orang-orang. Kita di titik ini belum bicara penalti. Lingkungan yang bersih mendorong orang berperilaku selaras. Itu yang bisa kita saksikan di Singapura atau contoh lokalnya Darut Tauhid. Sebaliknya, lingkungan kotor mendorong kita nggak peduli membuang sampah sembarangan. Ini udah dibuktikan loh. Kalau nggak percaya, coba aja sendiri.

Akhirnya, sambil mengedukasi budaya bersih warga, yang hasilnya menunggu waktu, nggak ada salahnya Foke memberi porsi lebih tenaga kebersihan di area Monas dan sekitarnya serta area publik lainnya. Terutama hari Sabtu, Minggu, dan Senin. Jangan malah libur semua, sampai sampah berceceran dan menumpuk. Mungkin sebagian porsi dana kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi dan/atau BLT dapat dialokasikan untuk menambah tenaga kebersihan di lapangan. Bantuan yang mendidik. Mendidik warga agar berperilaku bersih. Manfaatnya nyata untuk publik!

Selengkapnya.....

Minggu, 25 Mei 2008

Kondangan ke Dusun

Seorang sepupu hari ini menikah di dusun. Ayahandanya adalah adik ayahanda saya yang paling deket sama saya. Takdir menentukan beliau kembali lebih cepat ke hadirat Allah. Karena nggak pernah datang pada resepsi pernikahan sepupu-sepupu saya dari sisi ayahanda, kali ini saya mewajibkan diri hadir. Berangkat Sabtu pagi ke Palembang, menginap semalam di tempat Mbak Ririn di Plaju, ke dusun Minggu pagi, kembali lagi setelah resepsi ke Palembang, dan akhirnya sekarang jalan pulang ke rumah di Bekasi.

Akad nikah berlangsung lancar dengan ayahanda menjadi wali Dik A'isyah. Sedikit haru juga mengenang pamanda yang selalu baik. Juga haru mengenang yai dan nyai yang sudah lama kembali. Dalam hati ada do'a, Ya Allah kumpulkanlah aku dengan anak istriku, orangtua-orangtuaku, saudara-saudaraku, keturunan-keturunanku di surga-Mu. Berjumpa dengan Engkau.

Selama di dusun sejak akad nikah hingga resepsi berakhir, berjumpalah aku dengan saudara-saudara yang sudah lama tidak berjumpa. Kehidupan memang mengalir begitu saja, kadang tak terduga. Seorang saudara yang dulu pernah kuliah di Bandung terlihat berubah. Alhamdulillah. Memang Dia lah Sang Pemberi Hidayah. Yang lainnya kelihatan baik-baik saja. Mudah-mudahan berkah Allah senantiasa tercurah kepada penduduk Dusun Pangkalan Lampam, khususnya kepada pengantin Dik A'isyah binti Damhuri Mukti dan Dik Adi Irwandi bin Suroso.

Selengkapnya.....

Sabtu, 24 Mei 2008

Mengenai Kebangkitan Nasional

Dalam kolom Resonansi harian Republika, Syafii Maarif pernah menulis momen pembentukan Budi Utomo (BU) tidak kuat menurut sejarah untuk dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Alasannya BU didirikan tidak berdasarkan semangat kebangsaan Indonesia. Itu satu. Alasan lainnya antara lain ada alternatif tonggak, misalnya Sumpah Pemuda 1928. Saya tidak akan berdebat dengan beliau, tapi entah mengapa kesan saya membaca kolom tersebut cenderung negatif. Mungkin karena keterbatasan ruang untuk memberikan analisis lebih banyak, beliau terpaksa terlalu menekankan poin beliau sendiri, tanpa empati terhadap pendapat alternatif.

Perasaan negatif muncul kembali ketika beliau mengungkapkan tanda Indonesia di ambang kebangkrutan nasional. Mungkin maksud beliau baik. Tentunya demikian, agar penguasa berbuat lebih banyak untuk memperbaiki keadaan. Saya merasa Ustadz Syafii Maarif seharusnya dapat menyampaikan substansi yang sama dengan cara yang lebih elegan. Gaya komunikasi yang saya sukai memang suka dikritik teman kantor. Apa nggak bisa lebih tegas? Begitulah, saya yakin bahwa ketegasan sikap dapat ditunjukkan dengan cara santun dan elegan.

Kembali ke topik, anehnya, perasaan saya cenderung positif ketika poin yang kurang lebih sama disampaikan oleh DR Yudi Latief dalam khutbah Jum'at di kantor. Saya bukan penggemar tokoh ini. Saya bahkan agak skeptis karena curiga beliau membawa paham yang terlalu liberal. Ini memang aneh. Saya perhatikan betul setiap kata dalam khutbahnya. Lebih baik dari khutbah beliau sebelumnya di waktu lalu. Dengan ta'awudz model audzubillahissami..,, hamdalah, syahadah, sholawat yang minimal, tapi lebih baik dari sebelumnya, beliau menyampaikan poinnya. Ditunjang dengan fakta sejarah yang kaya, yang saya tidak sempat mengecek semua kebenarannya, poin beliau terasa menyengat. Penyemaian semangat kebangkitan menurut beliau terjadi jauh sebelum BU. Dipelopori oleh para ulama dan guru. Wajar katanya, karena dengan mayoritas penduduk muslim, madrasah dan ulama menjadi pusat reformasi.

Pak Yudi Latief juga mengungkapkan peranan Syarikat Dagang Islam dalam meneruskan semangat kebangkitan di awal abad 20. Sukarno mengaku sebagai murid politik Cokroaminoto. Nilai-nilai Islam yang egaliter menjadi ruh kebangkitan. Islam mengajarkan semua orang sederajat. Yang membuat orang mulia adalah ilmu pengetahuannya dan takwanya tentu saja, demikian Pak Yudi Latief sembari mengutip ayat pendukung. Penjajahan atau eksploitasi manusia atas manusia harus dihapuskan. Nah, menurut beliau Indonesia kemudian menjadi inspirasi buat negara-negara terjajah lainnya.

Untuk betul-betul bangkit, Indonesia khususnya kaum muslimin harus bertanya dengan bahasa yang telah asing dalam keseharian. Alih-alih bertanya who wins (pertanyaan politik) dan what is the bottom line (pertanyaan ekonomi), kita harus mengajukan pertanyaan what is right (pertanyaan moral). Di sinilah ruh kebangkitan sesungguhnya. Nilai luhur agama dengan demikian harus kembali menjadi inspirasi kebangkitan.

Selengkapnya.....

Belajar Ikhlas dalam Bekerja

Telah sepuluh tahun reformasi digulirkan. Telah seratus tahun kebangkitan nasional diserukan, walaupun mantan ketua Muhammadiyah mengatakan terbentuknya Budi Utomo tidak layak dijadikan tonggak sejarah kebangkitan nasional. Telah lebih sepuluh tahun, bahkan hampir lima belas tahun, saya memasuki dunia kerja. Semua orang, termasuk saya, bekerja dan berkiprah di bidang masing-masing. Dalam bekerja selama periode tersebut, pasti kita menghadapi pasang surut. Adakalanya berhasil. Tidak jarang gagal. Minimal selalu ada kesulitan teknis dan non teknis menghampiri.

Dalam Islam, bekerja dapat dipandang sebagai ibadah. Dua syarat ibadah agar bernilai di mata Allah: ikhlas dan sesuai contoh Rasulullah. Sesuai teladan Rasulullah dengan kata lain berarti sesuai dengan syariat. Dalam hal bekerja, itu artinya tidak curang, tidak khianat, dan tidak-tidak lainnya, sebaliknya harus jujur dan amanah. Namun demikian, terdapat area mubah dalam bekerja yang kadang menjadi sumber konflik. Sering terjadi masing-masing pihak merasa berniat baik dalam mengajukan sesuatu. Sesuatu itu pun juga dapat dipandang sebagai suatu yang baik, misalnya perubahan dan reformasi. Ketika para pihak ketemu, muncul berbagai friksi. Masing-masing kita tentu pernah bahkan sering mengalami kasus begini. Sama-sama bermaksud baik, tapi nggak akur.

Perkara konflik dalam beramal atau bekerja semakin ruwet ketika mekanisme pengorganisasian tidak berjalan efektif. Terlebih lagi, sebagai manusia kita memiliki kepentingan-kepentingan manusiawi yang bersaing dengan maksud mulia. Kalau nggak begini, tentu dunia akan sepi dan mungkin tidak menyenangkan lagi. Dalam artikel Keniscayaan Perbedaan, saya pernah mengemukakan bahwa demokrasi dapat menjadi cara resolusi yang efektif dan efisien. Kenyataannya, tidak semua masalah layak, walaupun bisa, diselesaikan dengan cara itu. Contohnya dalam organisasi. Walaupun melibatkan semua pihak adalah suatu yang baik, keputusan sering harus diambil sendirian oleh sang pemimpin. Dalam sunyi. Kalau tidak demikian, mungkin organisasi dimaksud lebih tepat disebut kumpulan warga di RT atau RW, yang tidak dituntut geraknya sesuai misi dan visi organisasi.

Nah, ketika keputusan diambil, ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan. Biasa. Yang sering kita masalahkan adalah kalau kepentingan manusiawi kita yang dirugikan. Bahkan di pasar sekalipun, di mana penjual dan pembeli melakukan transaksi secara sukarela tanpa niat curang atau khianat, ada pihak yang mengambil untung dan ada yang menanggung kerugian. Ada risiko. Tidak sedikit yang akhirnya bangkrut. Kalau kita rugi atau bangkrut (naudzubillah), tentu sedih dong. Apalagi kalau kita merasa telah bekerja dengan baik dan mestinya layak mendapat untung di pasar atau promosi di perusahaan. Lebih sakit lagi kalau kita melihat orang yang tidak bekerja dan berbisnis dengan baik justru bertahan dan berkembang. Hik... Siapa bilang hidup ini adil?

Kalau kita bercerita mengenai pengalaman personal, tentunya halaman-halaman ini tidak memadai, saking banyaknya perasaan tidak beruntung terpendam dalam diri. Di sini, saya pribadi belajar untuk ikhlas. Ikhlas menerima ketetapan Allah, dalam bentuk takdir. Katup ikhlas ini membuat kita mampu bertahan, bagaimanapun kondisinya. Dan itu berpahala. Kita patut menagih pahala dari Allah atas kemalangan itu. Maksud menagih tentunya berdo'a dan Allah suka dengan hambanya yang mengharap pahala. Ustadz saya pernah mengilustrasikan seorang yang suci, zuhud, dan tahu hakikat yang berdo'a kepada Allah, menagih banyak hal, tapi senang tidak dikabulkan di dunia, menunggu bagian di akhirat.

Saya di sini tidak menganjurkan kita jadi apatis dan malas bekerja. Justru sikap mental yang lahir dari ikhlas harusnya positif, sangat positif. Ketika hasil kerja kita tidak diapresiasi, ketika gagasan jenius kita ditolak mentah-mentah, ketika orang lain yang tidak berkontribusi justru mendapat reward, ketika orang yang tidak punya program justru dipilih menjadi pemimpin, dengan sikap mental positif, kita justru makin getol berkarya, melahirkan gagasan baru yang brilian, dan merancang program-program perbaikan. Apa yang akhirnya terjadi, menang atau kalah, bukan soal. Banyak pahlawan yang gugur. Banyak pahlawan hebat yang kalah dalam pertempuran. Kekalahan itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap nilai kejuangan dan kepahlawanannya.

Mari kita lirik sedikit hasil penelitian Jim Collins dalam bukunya Good to Great. Para pahlawan perusahaan yang berhasil mentransformasi perusahaan menjadi hebat menjawab dengan bingung ketika ditanya Collins resep rahasianya. Memang Collins dkk menggali dan menyarikan faktor-faktor sukses para CEO tersebut. Lihat ringkasan buku ini yang pernah saya buat. Namun demikian, tetap saja para pahlawan tersebut mengatakan mereka hanya beruntung. Beruntung punya SDM yang berkualitas. Beruntung berada pada tempat dan waktu yang tepat. Apa sih artinya? Orang yang hebat sekalipun, atau lebih tepatnya justru orang yang hebat dapat dengan kalem mengakui keberhasilan yang diraih tidak dapat sepenuhnya lepas dari faktor kebetulan. Istilah lainnya takdir, kata yang digunakan Ferguson (terjemahan sih) setelah MU menjadi kampiun Eropa lewat drama adu penalti.

Untuk memantapkan keyakinan secara ilmiah tentang adanya faktor kebetulan, mungkin Anda perlu membaca buku Fooled by Randomness, yang terjemahan bebasnya Terkecoh oleh Faktor Kebetulan, karya praktisi pasar keuangan Amerika asal Yunani yang cukup kesohor, Nassim Nicholas Thaleb. Jadi... Kekecewaan sesaat rasanya dapat dimaklumi. Justru nggak manusiawi kalau kita tidak kecewa terhadap kegagalan. Selanjutnya, biarkan ikhlas yang kembali bekerja. Yuk, sama-sama belajar ikhlas, sehingga hidup terasa adil!

Selengkapnya.....

Kamis, 22 Mei 2008

Korban Jalan Raya

Jalan yang rusak kembali meminta korban. Kali ini korbannya seorang tokoh seni dan politik. Di antara hingar bingar dan nuansa kebangkitan nasional serta gelombang protes rencana kenaikan harga BBM bersubsidi, tentu kejadian ini akan terlupakan begitu saja. Ironis. Kalau sebab musabab utama dari kemalangan tokoh nasional seperti itu segera luput dari ingatan publik, kita bisa paham kalau angka korban rakyat biasa yang terus bertambah tidak akan memantapkan tindak lanjut dari yang berwenang.

Dalam suatu pertemuan pengajian, kami pernah mendiskusikan masalah ini. Seorang teman, seorang ustadz mengajukan argumentasi bahwa yang paling tinggi prioritasnya adalah membangun manusia, jiwanya, bukan jalan atau gedung-gedung, badannya. Hikmah ini tentu diambil dari teladan Rasulullah yang mulia. Saya ketika itu terdiam, bukan karena tidak punya komentar, tapi apa yang disampaikan merupakan argumen yang berat untuk didebat. Sebaliknya, di dalam hati berkecamuk berbagai rasa ingin diskusi. Bagi saya, teladan Rasul adalah teladan yang paling baik. Namun demikian, saya pikir perlu strategi komunikasi dan eksekusi yang mengena.

Jalan adalah infrastruktur kehidupan. Salah satu yang utama. Seperti bahasa, jalan menghubungkan warga masyarakat satu dengan yang lain. Dengan hubungan yang lancar, seperti juga ketika kita merasakan berbagai nilai lebih melalui internet, warga masyarakat akan terbantu dalam berbagai kiprahnya. Memang jalan dapat dipandang sebagai alat saja yang bebas nilai, bahkan penjahat pun terbantu kiprahnya dengan adanya jalan yang bagus. Stop dulu... Kalau argumen kembali seperti ini, saya akan terdiam lagi seperti pada pengajian itu. Kita tidak pernah melupakan prioritas membangun jiwanya, baru badannya, tapi kita perlu maju selangkah, bukan dengan melupakan prioritas itu.

Prioritas yang rumit di zaman rumit seperti sekarang ini perlu dikelola dengan seimbang. Walaupun bukan ahlinya, saya menilai pendekatan balanced-scorecard dan yang sejenis cukup mampu menjawab kerumitan seperti itu. Ketika negara Madinah telah berdiri, fokus pembangunan meluas ke beberapa segmen. Ketika ada warga yang kelaparan, khalifah sendiri yang memanggul makanan untuk diserahkan ke warga tersebut. Ini menunjukkan membangun badannya tetap prioritas serius, di samping membangun jiwanya. Bahkan terdapat juga pesan agama yang kurang lebih intinya adalah kondisi badan dapat berdampak negatif terhadap kondisi jiwa. Kekufuran dekat dengan kekafiran. Penguasa yang peduli, seperti khalifah yang memanggul sendiri karung gandum untuk warga yang kelaparan, sangat takut dengan ancaman tersebut, karena dia bukan hanya seorang ulama tapi penguasa yang berwenang.

Saya jadi teringat dengan cerita orang Indonesia yang tidak disiplin tiba-tiba bisa disiplin ketika di Singapura. Sebaliknya warga Singapura mendadak jorok ketika berada di Batam. Hasil penelitian Malcolm Gladwell yang dapat dibaca di The Tipping Point juga konsisten mengatakan kondisi infrastruktur dapat mempengaruhi perilaku orang. Keberhasilan New York City mengurangi tingkat kriminalitas, yang dimulai dari inisiatif membersihkan KRL dan stasiun-stasiunnya, patut dicontoh. Dalam hal ini, selain mengedukasi warga, pihak berwenang membenahi infrastruktur juga.

Kembali ke diskusi pada pengajian yang saya singgung di atas, pernyataan teman bahwa memperbaiki jalan dan fasilitas umum tidak penting dibandingkan berda'wah dapat kita pahami sebagai pernyataan seorang ustadz, bukan penguasa. Sayang sekali kalau pemahaman itu dimiliki oleh seorang ustadz yang sekarang sudah menjadi pejabat publik. Untuk pejabat publik, ustadz atau bukan, memperbaiki jalan yang rusak hukumnya wajib. Lebih dari itu, memperbaiki jalan merupakan da'wah juga, di bidang pelayanan publik. Makanya saya kagum sekali dengan seorang ustadz yang sangat senang tidak bertugas atau ditugaskan sebagai pejabat publik, baik di legislatif maupun eksekutif. Kalimat pertama yang seharusnya keluar dari ustadz seperti Ahmad Heryawan ketika terpilih sebagai Gubernur Jabar adalah Innaa lilLahi.

Mudah-mudahan Allah mengampuni kita, terutama pejabat publik yang seharusnya tidak lupa memberikan layanan publik yang memadai, termasuk memperbaiki jalan rusak. Mudah-mudahan Allah memberikan pahala yang besar kepada pejabat publik yang telah berusaha keras melakukan perbaikan. Mudah-mudahan Allah membukakan hati para pejabat publik, atau kalau tidak, mudah-mudahan Allah mengganti saja hati-hati yang beku dengan yang lebih baik. Amin.

Selengkapnya.....

Selasa, 20 Mei 2008

Memesona atau Mempesona

Mas Shiddieq pernah memuat komentar di blog ini pada posting terdahulu. Pertanyaannya adalah mana yang benar mempengaruhi atau memengaruhi. Karena menganggap ini isu kontroversial, saya waktu itu menjawab perlu waktu untuk menanggapi. Sebenarnya, di koran-koran nasional kata yang benar dapat kita dapatkan. Tentunya koran nasional berusaha mengikuti ketetapan lembaga Bahasa Indonesia yang berwenang. Coba yang berikut ini.

Memesona atau mempesona
Memperhatikan atau memerhatikan
Memunyai atau mempunyai
Memperkirakan atau memerkirakan
Memproduksi atau memroduksi
Memroses atau memproses

Coba juga yang ini.

Memulangkan atau mempulangkan
Mempetakan atau memetakan
Memilih atau mempilih
Mempipihkan atau memipihkan
Mementaskan atau mempentaskan
Memutuskan atau memputuskan

Yang lain...

Mengkalkulasi atau mengalkulasi
Mengkaji atau mengaji
Mengoordinasi atau mengkoordinasi
Mengkerut atau mengerut
Mengronologikan atau mengkronologikan
Mengkibaskan atau mengibaskan
Mengkristal atau mengristal

Daftarnya bisa kita tambah lagi hingga panjang dan memanjang. Menurut kaidah Bahasa Indonesia, persoalan ini masuk dalam topik asimilasi bunyi. Asimilasi bunyi terjadi karena adanya imbuhan, terutama awalan me- yang mengubah bunyi huruf pertama kata yang diberikan awalan. Contoh kata dasar perlu akan mengalami perubahan bunyi huruf pertamanya jika ditambahkan imbuhan me- -kan, menjadi memerlukan. Dalam hal ini huruf p terasimilasi awalan me- atau mem- menjadi bunyi m. Contoh lain ada pada kata dasar kaji. Huruf k terasimilasi awalan me- atau meng- sehingga hilang ditelan kata-kata. Hasil akhirnya mengaji, walaupun kita mengenal juga kata mengkaji tanpa asimilasi bunyi huruf k.

Nah, mana kata-kata yang benar? Semuanya harus diasimilasi? Atau adakah pengecualian? Bahasa memang selalu ada pengecualian, bahasa apapun termasuk bahasa komputer. Menurut hemat saya, terlepas dari keputusan lembaga berwenang, asimilasi bunyi huruf pertama kata yang diberi awalan memang mengikuti aturan yang dijelaskan di atas. Namun demikian, pengecualian harus diakui adanya. Dalam Bahasa Inggris, ada rule of thumb kedengarannya enak atau aneh. Kalau terdengar aneh, berarti ada kesalaham. Sebaliknya, kalau kedengaran enak, sounds good, berarti benar. Untuk kasus asimilasi ini, saya pikir prinsip yang sama dapat diterapkan.

Ilustrasi berikut ini mungkin dapat membantu. Pada suatu resepsi pernikahan, saya diminta memberikan kata sambutan. Waktu ingin menggambarkan pesona dan aura kebahagiaan pengantin, saya berencana mengatakan, 'Dapat kita saksikan kebahagiaan pengantin yang memesona.' Ketika tiba pada kata memesona, tiba-tiba telinga saya menangkap suatu yang ganjil dan serta merta lidah saya menggantinya menjadi mempesona. Tentu bagi saya kata mempesona terdengar enak, sementara memesona terdengar ganjil. Kebetulan sang MC menggunakan kata yang sama, pengantin yang mempesona. Artinya, saya tidak sendirian!

Di telinga dan lidah saya, kata-kata ini yang lebih baik.

Memperhatikan
Mempunyai
Memperkirakan
Memproduksi
Memproses
Memulangkan
Memetakan
Memilih
Memipihkan
Mementaskan
Menuntaskan
Menentukan
Mentransfer
Menindih
Memutuskan
Mengkalkulasi
Mengkaji
Mengaji
Mengkoordinasi
Mengkerut
Mengkronologikan
Mengibaskan
Mengkristal

Setuju? Nggak? Nggak setuju juga nggak apa-apa. Perlu saya sampaikan bahwa pendengaran dan lidah saya mungkin dipengaruhi oleh pengetahuan internal mereka sendiri. Untuk kata serapan dari bahasa asing, terutama Inggris, aturan asimilasi bunyi dikecualikan. Untuk kata yang telah diimbuhi imbuhan per- seperti pada kata pertahankan, aturan asimilasi bunyi juga dikecualikan. Begitulah kira-kira penjelasan logis dari pendengaran dan lidah saya. Akhirnya, telinga dan lidah saya menjelaskan, tetap aja ada pengecualian. Bahkan yang tadinya dikecualikan dapat dikecualikan balik sehingga mengikuti aturan asal. Bingung? Ya, begitulah bahasa, makanya saya sering percaya saja pada telinga dan lidah saya, tanpa mempersoalkan (kan janggal kalau memersoalkan) alasan-alasan ilmiahnya.

Selengkapnya.....

Rabu, 14 Mei 2008

Protes Mahasiswa dan Harga BBM

Krisis ekonomi global memang makin berat menekan bangsa Indonesia. Presiden pernah memberi sinyal-sinyal dalam pidatonya beberapa waktu lalu di media-media TV, juga pada acara milad PKS di Gelora Bung Karno (lihat artikel Menyambut 2009). Menjadi presiden memang pasti berat, walaupun dalam protes-protes mahasiswa terhadap rencana kenaikan harga BBM dikesankan bahwa posisi presiden begitu-begitu aja. Seorang komentator di radio mengatakan dia juga bisa menjadi presiden, bahkan mungkin adik mahasiswa yang sedang di studio. Pernyataan seperti ini dan gelombang protes mahasiswa sangat populis sifatnya dan mungkin tidak dapat ditanggapi hanya dengan pendekatan rasional saja. Kita harus dapat membaca di antara baris-baris yang ditulis dan mendengarkan yang tidak terucap.

Saya pribadi membaca bahwa protes mahasiswa bukan semata-mata ditujukan pada kenaikan harga BBM. Apabila tekanan pasar global demikian berat, memang tidak rasional mempertahankan level harga BBM bersubsidi seperti saat ini. Protes mahasiswa tersebut seolah-olah menyoroti rencana kenaikan harga BBM sebagai kebijakan yang salah besar. Hakikatnya kalau ditelusuri, yang jadi soal adalah kesejahteraan rakyat yang terabaikan, terlepas dari tingkat harga BBM. Persoalan ini semakin serius ketika kita dihadapkan pada kenyataan semakin lebarnya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Nah, bertepatan dengan peringatan Tragedi Semanggi sepuluh tahun lalu, kita seyogyanya melihat protes yang merebak sebagai upaya artikulasi pembelaan terhadap rakyat. Lima fraksi di DPR yang menyatakan menolak rencana kenaikan harga BBM juga harus disikapi sama. Kita nggak perlu lagi mengobral prasangka buruk di hadapan publik, walaupun bisa jadi mahasiswa dan lima fraksi itu punya motivasi lain selain memperjuangkan pembelaan terhadap kaum tertindas.

Walaupun mengapresiasi gerakan penolakan kenaikan harga BBM, saya menilai gelombang protes yang cenderung pada tindakan anarkis tidak dapat diterima. Ketidakpuasan terhadap mekanisme yang telah disepakati boleh dan sah saja dilakukan, tapi itu berarti perlu koreksi terhadap mekanisme tersebut. Gerakan anarkis tidak akan mampu menjawab segalanya, dan kalau kebablasan akan mengembalikan kita pada titik nol lagi. Tekanan-tekanan yang dilakukan tidak perlu dimatikan begitu saja. Lagipula gelombang protes yang terjadi belakangan ini jauh lebih ringan intensitasnya dibandingkan yang terjadi kurang lebih satu dekade yang lalu. Kalau Presiden Habibie mampu bertahan dan mengeluarkan bangsa Indonesia dengan cara bermartabat melalui pemilu demokratis, seharusnya SBY dan JK lebih mampu lagi menghadapi situasi ini. Yang diperlukan Bapak Presiden saat ini adalah memikirkan alternatif-alternatif solusi dan alternatif eksekusinya di lapangan.

Izinkan saya mencoba memberikan saran-saran berikut. Pertama, buat mahasiswa. Niat yang lurus sangat menentukan nilai amalan Saudara. Oleh sebab itu, luruskanlah niat. Masyarakat juga mulai paham bahwa sebagian pejabat publik saat ini adalah para aktivis mahasiswa pada zamannya. Kita tentu tahu idealisme sulit untuk dipelihara. Sekali lagi, luruskanlah niat. Setelah niat, Saudara harus paham pada saatnya nanti, bisa cepat bisa lambat, Saudaralah yang akan mengisi posisi jabatan publik di negeri ini. Untuk itu, terus belajar dan juga mengajar dengan giat (lihat artikel Pembelajaran: Pengolahan Informasi Paling Strategis). Tantangan masa depan akan sangat berat. Jika ternyata tidak menempati posisi jabatan publik, Saudara tetap akan memainkan peran sangat penting di sektor swasta dan sosial lewat yayasan-yayasan yang mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Kalau Saudara masih suka nyontek, tinggalkan! Kerja sama dalam belajar sangat diperlukan, tapi bukan pada saat Saudara dilarang bekerja sama. Kalau kemampuan Bahasa Inggris Saudara masih lemah, cepat benahi! Globalisasi akan menggilas orang-orang yang tidak siap. Oya, jangan lupa arahkan protes Saudara tidak hanya kepada pemerintah tapi juga ke DPR dan DPD, karena itulah saluran demokratis Saudara. Kalau kecewa dengan yang ada, pilih alternatif lain yang relatif lebih baik.

Kedua, untuk masyarakat. Hidup penuh tantangan akan membuat kita lebih kreatif. Kita pernah mendengar bagaimana seorang warga di Medan mengolah sampah organik menjadi pupuk secara menguntungkan. Kita pula pernah mendengar seorang warga Jawa Barat mengolah sampah organik menjadi briket yang dijual sebagai alternatif BBM. Juga menguntungkan! Hidup mudah tidak selamanya baik. Oleh karena itu, tidak ada salahnya kita sama-sama bersiap-siap menghadapi kompetisi global yang kian berat, dengan jantan. Memang banyak wilayah lokal yang tidak dapat dimasuki oleh pesaing dari luar negeri, tapi ingat banyak juga wilayah yang justru lebih bernilai tambah yang dapat didominasi asing. Sekarang pun sudah terjadi. Mengandalkan kebaikan pemerintah saja tidak cukup. Kompetisi global memasuki apa yang disebut Thomas L Friedman dalam bukunya The World is Flat, Globalisasi 2.0. Bukan negara lagi yang bersaing satu dengan yang lain. Bukan pula perusahaan. Di Era Globalisasi 2.0, kita-kita ini para individu bersaing satu dengan lain secara global. Makanya terus tingkatkan diri dengan belajar. Jangan berhenti belajar setelah tamat sekolah. Itu nasihat dari seorang guru manajemen abad 20 dan 21, Peter Drucker (lihat ringkasan buku Managing in the Next Society karya Peter Drucker). Mengenai suara kita pada pilkada dan pemilu berikutnya, jangan lagi berikan kepada pihak-pihak yang tidak dapat menjaga amanah. Jangan curang dan jangan bantu kecurangan.

Ketiga, untuk pemegang jabatan publik terutama Bapak Presiden dan Para Anggota DPR yang terhormat. Saudara dipilih oleh rakyat dengan harapan memperbaiki kesejahteraan. Saudara adalah teladan. Bisa teladan baik, juga bisa teladan buruk. Kalau Saudara tidak dapat mengusung kebaikan dan kemuliaan, mungkin ini saatnya buat Saudara berpikir untuk tidak mencalonkan diri lagi. Amanah yang Saudara pegang sungguh sangat berat dan panas. Ini bukan saatnya enak-enakan. Dorong kreativitas masyarakat. Mudahkan masyarakat berusaha. Hapuskan praktik korupsi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Sediakan pendidikan yang mengena buat masyarakat sesuai potensi kawasannya. Sediakan fasilitas kesehatan yang memadai. Perbaiki infrastruktur. Tangani kriminalitas yang menyebabkan ketakutan warga. Lengkapnya, lihat Arsitektur Informasi Masyarakat Bekasi yang disusun mengikuti balanced-scorecard yang harusnya relevan pula buat pemerintah pusat. Kalau semua itu telah dilakukan, kiranya harga BBM berapapun yang dikehendaki pasar tidak perlu menyebabkan kehidupan yang tidak layak, karena masyarakat telah mandiri dan pandai mencari alternatif. Tentunya semua itu dapat Saudara lakukan jika niat Saudara tulus dan Saudara jujur kepada masyarakat dan kepada diri sendiri.

Akhirnya, secara khusus saya ingin mendiskusikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dijanjikan pemerintah sebagai jaring pengaman sosial (social safety net) dalam rangka mengantisipasi tekanan kenaikan harga BBM bersubsidi. Idenya sudah bagus, yaitu jaring pengaman sosial. Di negara maju, warga yang kurang beruntung dan warga yang telah lanjut usia ditanggung keselamatannya oleh jaring ini. Waktu di Amerika, saya lihat warga miskin - termasuk teman mahasiswa dari Indonesia yang beasiswanya nggak cukup - harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan hak-hak tertentu, di antaranya kupon belanja sembako. Memang sulit menirunya dalam kondisi birokrasi dan sistem distribusi di negeri ini yang belum sepenuhnya efisien. Mengingat keterbatasan negeri ini, menurut hemat saya pemberian BLT memang bukan pilihan yang tidak rasional. Hanya yang perlu diantisipasi oleh pemerintah adalah mekanisme penyalurannya. Jangan sampai nenek-nenek yang tidak berdaya terinjak-injak warga yang lapar. Sistem antrian yang baik semestinya dapat mencegah kejadian seperti itu. Harusnya warga lanjut usia, miskin pula, benar-benar dilayani dengan mulia. Kalau mau sulit dikit, BLT untuk warga usia produktif diubah saja menjadi upah atas layanan publik yang dilakukannya, misalnya sebagai tukang sapu jalan, tukang bersih parit, tukang pilah sampah organik, atau pekerjaan lain yang kalau dipikirkan benar-benar bisa panjang daftarnya. Saya pikir bantuan dalam bentuk upah atas layanan publik jauh lebih mendidik. Nggak sempet ya? Makanya pikirkan dari jauh hari. Jangan sudah kepepet baru mikir.

Selengkapnya.....

Selasa, 13 Mei 2008

Penandaan Personal dan Sosial

Istilah penandaan personal dan sosial seperti judul di atas saya karang sendiri sebagai terjemahan social bookmarking. Kata penandaan menurut hemat saya adalah yang paling pas untuk bookmarking atau tagging. Sementara itu, istilah personal dan sosial saya padukan untuk menampung konotasi kesan bahwa penandaan dilakukan masing-masing secara personal dan memiliki fungsi agregasi sosial. Layanan internet terkait yang saya ketahui pertama kali adalah Del.icio.us. Yang lainnya banyak tapi saya nggak terlalu mengetahui mengingat hampir semua pencarian informasi yang saya lakukan di internet menggunakan Google, tapi mungkin Anda belum tahu bahwa layanan penanda personal dan sosial versi Indonesia sudah ada: infoGue.

Beberapa waktu lalu, saya mendapati komentar pada artikel Krisis Ekonomi AS dan Global yang saya tulis sebelumnya. Isi komentar adalah ajakan untuk menggunakan layanan infoGue. Saya kemudian bergabung dengan membuat akun dan mencoba mempelajari cara kerjanya. Mungkin karena saya yang kurang ahli, saya mendapati kesulitan demi kesulitan hanya untuk memahami cara kerjanya. Pada waktu yang kurang lebih bersamaan, saya juga tertarik menginstal tombol bookmarking di blog ini. Dari pencarian di internet, saya akhirnya kepincut dengan www.addthis.com. Saya juga buat akun di situ dan menginstal tombolnya. Apa lacur, sayangnya, proses penandaan yang saya lakukan sebagai ujicoba nggak berlangsung mulus. Alamat URL dan judul artikel tidak ter-passing dengan sempurna sehingga menyulitkan proses penandaan.

Tanpa ingin membahas permasalahan teknis di atas, dapat saya sampaikan bahwa hari ini saya bergembira telah berhasil menginstal tombol addthis dan infoGue, walaupun tombol infoGue tidak juga mulus melakukan passing alamat URL artikel saya ke website infogue. Bagaimanapun, saya cukup senang sudah bisa melakukan publikasi artikel saya di infoGue dan memberikan suara atau vote terhadap artikel saya yang rupanya telah dipublikasikan oleh orang lain di infoGue. Mekanisme penandaan personal sangat mirip dengan mekanisme demokrasi dalam masyarakat. Pembacalah yang memiliki kekuasaan untuk membuat suatu artikel populer atau tidak. Apapun alasannya! Jadi, jangan heran kalau Anda akan dapati baik Del.icio.us maupun infoGue berisi penandaan-penandaan yang ngeres. Ya, begitulah, kualitas masyarakat akan tercermin pada kualitas informasi atau content yang dihasilkannya secara bersama-sama, juga pada kualitas pemimpin yang dipilihnya. Kalau Anda peduli dengan kemungkinan-kemungkinan buruk dari demokrasi, menurut saya nggak ada pilihan lain bagi Anda, kecuali untuk memproduksi content Anda sendiri dan mendidik pembaca Anda terus menerus.

Sekalian di sini saya mengajak pembaca untuk mempertimbangkan penggunaan layanan penandaan personal dan sosial rasa Indonesia, yaitu infoGue. Berikut ini beberapa artikel saya yang sudah ada di sana. Kalau berkenan, setelah bergabung dengan infoGue, Anda dapat memberikan suara agar artikel-artikel saya lebih populer lagi. Anda bahkan dapat menyuarakan aspirasi Anda terhadap content lain yang tersedia, dengan motivasi dan alasan apapun. Sangat personal!

Keniscayaan Perbedaan
Bangkitlah Negeriku
Menyambut 2009
Kewajiban dan Hak
Krisis Ekonomi AS dan Global

Tidak adil ya kalau layanan penandaan personal-sosial luar negeri nggak dipromosikan. Kita belajar dari sana dan meniru apa-apa yang kita anggap bernilai. Jadi, silakan pilih layanan bookmarking yang tersedia, dari luar negeri maupun dalam negeri. Toh, batas-batas wilayah semakin kurang relevan pada era informasi seperti saat ini. Apapun mekanismenya, Anda lah yang menentukan! Kenyataan ini yang menjadikan istilah PENANDAAN PERSONAL-SOSIAL paling mengena.

Selengkapnya.....

Senin, 12 Mei 2008

Ketika Sakit

Tidak enak emang sakit, tapi kalau boleh milih di antara sakit, jangan sampai sakit hati deh. Kan ada lagunya, "daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi..." Yang paling enak tentunya sehat semua, ruhani dan jasmani. Kalau pas lagi dapet sakit, gimana dong? Ya, sabar aja. Berdo'a kepada Allah agar segera diberikan kesembuhan dan pergi ke dokter untuk berobat.

Yang terjadi pada saya akhir pekan ini cukup menyedihkan. Pulang dari kantor, Jum'at malam rasa sakit di otot sekitar bahu kiri dan lengan kiri atas bikin tangan dan lengan kiri nggak bisa digerakkan bebas. Kalau maksa, pasti deh akhirnya teriak, AUW! Sebetulnya, Jum'at pagi pegel otot itu sudah terasa dan saya sudah coba minta tolong Pak Usman buat mijitin, tapi karena waktu nggak memungkinkan akhirnya begitulah. Di rumah, terpaksa istri dimintain tolong buat mijitin dengan bantuan counterpain. Karena nggak tahu ilmunya, masalah salah urat ini nggak ada perbaikan. Untung, sebelumnya istri saya pernah nganterin bibi yang ngebantu nyuci di rumah ke "orang pintar" yang kita sebut saja Om Joko.

Waktu itu, bibi kegeser tulang lengan bawahnya sampai bengkak. Setelah dironsen, istri saya nganterin bibi ke Om Joko. Sebentar saja, masalah bibi selesai. Mengingat manjurnya pengobatan salah urat Om Joko ini, istri saya Sabtu pagi berkeras membawa saya ke Om Joko, padahal saya paling anti dipijat dan diurut. Karena sakit banget, apa boleh buat, mungkin ini saatnya saya menerima kalau tukang pijat urut memang sangat diperlukan. Nggak semuanya bisa dilakukan oleh dokter. Ajaib memang. Om Joko melihat urat-urat di sekujur tubuh dengan sangat jelas seperti melihat kabel-kabel melintang terhubung satu dengan yang lain. Dia mulai dengan pertanyaan, yang saya jawab dengan menunjukkan titik salah uratnya. Tidak seperti kami, Om Joko tidak mulai dari titik itu. Ia justru mulai dari titik berlawanan. Katanya titik yang saya tunjukkan hanya dampaknya saja. Untuk memperbaiki salah urat ini harus dari titik awal masalah katanya.

Setelah terapi pertama itu, lengan kiri saya sudah mulai bisa digerakkan. Sudah bisa ngelus kaki. Ketawa Om Joko ngelihatnya. Lalu ia melakukan pemijatan di sekitar titik yang saya tunjukkan. Katanya di situ ada bengkak dan nggak bisa pulih seratus persen saat itu juga. Satu dua hari akan pulih. Olesi aja dengan counterpain, katanya. Alhamdulillah, satu masalah bisa dikatakan selesai, walaupun masih harus nunggu hari Senin sampai lengan kiri benar-benar bisa digerakkan bebas. Eh... pada saat yang sama Aisyah, anak kami nomor tiga, kena sakit mata. Ketularan dari sekolah katanya. Dulu pernah keluarga kami, kecuali saya yang sudah pernah kena waktu kecil, kena cacar semua gara-gara kebawa dari sekolah juga, padahal waktu itu istri saya lagi hamil Hanif, anak keempat kami. Mungkin penularan penyakit-penyakit seperti ini melalui sekolah perlu diperhatikan betul.

Singkat cerita, minggu sore akhirnya Aisyah "berhasil" menulari saya. Senin pagi, saya nggak masuk kantor dan langsung ke dokter. Kata dokter bisa seminggu. Wah, kelamaan... mudah-mudahan dua tiga hari sudah baikan. Buktinya Aisyah sekitar dua tiga hari sudah sembuh. Buat rekan dan pimpinan yang memerlukan saya pas lagi sakit gini, saya mohonkan maaf yang sebesar-besarnya. Do'ain ya biar saya cepet sembuh. Rencana kemarin mau ini itu, termasuk menulis mengenai inflasi dunia yang meroket tajam hari-hari ini, jadi gagal semua. Mau lihat kondisinya? Ini nih... (yang jantungan nggak usah lihat deh)

terus ke bawah...

terus ke bawah...

terus ke bawah...

terus ke bawah...

terus ke bawah...

terus ke bawah...

terus ke bawah...

terus ke bawah...

terus ke bawah...

terus ke bawah...

terus ke bawah...

terus ke bawah...

nah...

Selengkapnya.....

Kamis, 08 Mei 2008

Berpikir Lateral

Sejak lama saya mengenal Edward de Bono sebagai penulis yang berhubungan dengan berpikir. Bukunya yang pertama saya lihat adalah Berpikir Praktis, soalnya Ayahanda saya membaca buku itu waktu saya masih sekolah. Saya jadi lebih tertarik lagi ketika salah seorang senior saya yang aktif di Salman, Munawar Cholil, sering membawa-bawa buku yang sama. Pelajaran pertama yang saya ambil dari buku tersebut adalah bahwa berpikir merupakan suatu keahlian. Diibaratkan berpikir itu seperti mengemudi, sementara kecerdasan seperti mesin mobilnya. Mobil dengan power yang hebat hanya akan membahayakan pengemudinya dan orang-orang lain jika keahlian si pengemudi buruk. Mengikuti pola yang sama, otak yang encer akan berbahaya bila keterampilan orangnya dalam berpikir buruk.

Tak lama kemudian saya mengenal buku-buku de Bono yang lain, seperti Berpikir Lateral, Enam Topi Berpikir, dan Mekanisme Berpikir (yang saya punya versi aslinya Mechanism of Mind). Berpikir Lateral mungkin buku yang paling saya sukai di antara buku-buku de Bono. Inti pelajaran yang saya ambil adalah bahwa mengikuti logika tidak selamanya baik. Justru pada kondisi tertentu, menolak logika akan lebih bermanfaat. Apa artinya? Di samping berpikir dengan logika yang cenderung mendalam, manusia sering dan ada kalanya harus berpikir secara lateral, menyamping, bukan mendalam ke dalam. Saya pribadi memelesetkannya menjadi berpikir menyimpang, hehehe. Memang ada benernya juga karena dengan cara ini orang menolak kemapanan berpikir yang kadang menyebabkan jumud, mentok. Dengan menjungkirbalikkan fakta, asumsi, dan pola sebelumnya, kebuntuan berpikir dapat cair kembali. Tiba-tiba solusi sudah di depan mata.

Edward de Bono menggunakan perumpamaan ayam yang pandangannya tajam sebagai berpikir menurut logika dan ayam yang pandangannya rabun sebagai berpikir lateral. Orang naif dapat juga dimisalkan sebagai ayam yang rabun. Kasusnya dibuat menarik oleh de Bono ketika ayam yang matanya tajam dan ayam yang rabun hendak mengambil biji-bijian di muka mereka tapi terhalang pembatas kaca. Ayam dengan pandangan tajam serta merta berusaha mematuk biji-bijian tapi selalu gagal terhalang kaca. Semakin berusaha, ia semakin frustasi. Buntu! Ayam rabun seperti tidak peduli dengan biji-bijian di depan paruhnya. Yang satu ini malah main-main keluyuran kesana kemari. Akhirnya nggak sengaja nemu makanannya, sementara rivalnya masih sibuk mematuk kaca di hadapan.

Analogi ayam rabun di atas mungkin tidak mencerminkan realitas sesungguhnya, tapi cukup mengena untuk menjelaskan apa sebenarnya berpikir lateral itu. Minimal buat saya pribadi. Selanjutnya, de Bono menciptakan teknik-teknik berpikir lateral. Salah satunya kata Po, between Yes and No (ada buku tersendiri khusus ditulisnya mengenai kata Po). Dengan menggunakan kata Po, seseorang dipaksa menunda untuk menerima (Yes) atau menolak (No) suatu pernyataan. Kalau mau melakukan provokasi kreatif, Anda dapat mengatakan, 'Po, kotoran bisa dimakan.' Di titik ini saya tidak diperkenankan menolak pernyataan ini. Dengan meneruskan logika serampangan ala out of the box hasil provokasi tersebut, kita dapat muncul dengan ide luar biasa.

Diam-diam saya sering menggunakan teknik ini, juga teknik yang lain. Salah satu yang sering juga saya gunakan adalah jump to conclusion (dalam hati saya tahu kesimpulan saya lemah). Kemudian saya mencari jalan untuk membenarkan kesimpulan tersebut sehingga akhirnya kesimpulan asal-asalan yang saya buat memang menjadi benar atau saya kemudian merevisinya dan keluar dengan kesimpulan lain yang berguna. Perumpamaan yang digunakan oleh de Bono untuk teknik ini adalah 'lebih mudah mencari jalan ke suatu tempat dari rumah kita jika kita didrop di tujuan tersebut kemudian mencari jalan pulang, bukan mencari dari rumah' yang sepintas nggak bisa diterima. Tapi kalau Anda mau berpetualang sedikit, didrop di manapun Anda senang karena akan selalu menemukan jalan baru.

Masih banyak lagi teknik dan ilustrasi yang dijelaskan dalam buku Berpikir Lateral dan buku-buku de Bono lainnya. Kenapa nggak Anda coba baca (kalau belum)?

Selengkapnya.....

Selasa, 06 Mei 2008

Keniscayaan Perbedaan

Bagaimana pendapat Anda tentang dua pilihan ini: perbedaan yang terpuji dan perpecahan yang tercela? Menurut saya, perbedaan tidak mungkin dihindari. Kata seorang guru, menyatukan semua orang dalam pendapat tunggal adalah upaya sia-sia, karena perbedaan merupakan hukum alam. Ada siang, ada malam. Ada kaya, ada miskin. Ada susah, ada senang. Setiap orang mempunyai kebebasan untuk memiliki pendapat sendiri-sendiri. Memang seperti itulah tabiat manusia.

Namun demikian, perpecahan masyarakat bukanlah suatu yang lazim. Dengan kata lain, perpecahan masyarakat tidak akan terus menerus terjadi. Ini juga hukum alam. Ada masanya sekelompok manusia, katakanlah suatu masyarakat, dapat sepakat untuk hal tertentu. Sejarah diri kita pribadi, keluarga, daerah, negara Indonesia, bahkan dunia telah membuktikan kenyataan tersebut. Ketundukan terhadap aturan yang disepakati dapat saja karena terpaksa, walaupun nggak selalu. Bagaimanapun, hakikatnya adalah bahwa persatuan dapat dan memang telah terjadi serta dapat pula diupayakan melalui berbagai instrumen. Bisa jahat, bisa baik. Jadi, ramalan bahwa suatu masyarakat tertentu akan pecah mengikuti takdirnya harus diterima secara kritis, bahkan mungkin harus ditolak karena justru memberikan dampak sosial yang negatif.

OK, kalau kita fokus pada topik persatuan, bukan perpecahan, tetap perlu kita diskusikan faktornya. Sebagaimana sering dikemukakan para ilmuwan sospol, masyarakat (khususnya masyarakat negara) terbentuk melalui adanya kontrak sosial. Tanpanya masyarakat akan hancur pecah belah. Bahasa sederhana saya adalah terms and conditions, atau platform-lah. Lihat artikel saya sebelumnya berjudul Boleh Gabung Nggak? Memang ketika kita bicara mengenai kelompok masyarakat yang sangat besar semisal negara, platform tadi harusnya menjadi sangat kompleks. Wajar dong. Kalau menurut Malcolm Gladwell, kelompok dapat hidup harmonis tanpa protokol kehidupan atau birokrasi jika tidak lebih dari 150 orang (lihat ringkasan buku The Tipping Point, khususnya mengenai The Magic Number of 150 yang pernah saya buat di blog ini). Negara, sebaliknya, membutuhkan banyak aturan, yang tertulis dan tidak. Kantor saya aja banyak banget aturannya. Kantor Anda juga kan?

Nah, karena perbedaan adalah kepastian, diperlukan mekanisme tertentu dalam masyarakat untuk menyelesaikannya secara bermartabat. Tidak semua hal harus diatur. Nggak mungkin bagi kita mengatur segala hal. Dari yang diatur pun dapat kita keluarkan dua kategori besar: hal pokok dan hal tidak pokok atau hanya cabang. Keluar dari hal pokok berarti keluar dari kelompok masyarakat yang tadinya bersatu. Pecah! Pisah... Cerai. Timor Leste contohnya. Maia dan Ahmad Dhani juga. Di wilayah tanpa platform yang disepakati, Anda dapat melakukan apa saja sekehendak hati. Biasanya ini sangat privat. Di wilayah bersama, nggak bisa begitu. Anda nggak bisa asal beda memperturutkan hawa nafsu sendiri. Itu artinya Anda keluar dari kelompok atau dikeluarkan atau diusir. Minimal diasingkan, dalam penjara misalnya.

Supaya nggak kacau, setiap orang merasa berhak menghukum orang lain, dalam masyarakat harus ada penyelenggara aturan bersama, para birokrat atau pelayan publik. Platformnya sendiri terus berubah. Meluas. Menyusut. Naik. Turun. Tantangan selanjutnyanya adalah bagaimana perubahan itu bisa dikelola dengan baik. Dalam kelompok kecil, kita bisa duduk bersama untuk membahas dan menyepakati perubahan. Dalam kelompok besar, tidak praktis mengumpulkan semua orang untuk duduk bersama mendiskusikan perbedaan. Makanya ada perwakilan. Wakil-wakil inilah yang menyesuaikan aturan, sesuai tuntutan zaman. Persoalan selanjutnya adalah memilih wakil itu sendiri. Tanpa membuang tempo lagi, saya kemukakan pendapat saya mengenai ini: musyawarah adalah cara terbaik dan demokrasi adalah bagian atau salah satu cara yang praktis untuk bermusyawarah.

Mungkin Anda akan mendebat apakah semua perbedaan bisa diselesaikan dengan musyawarah, khususnya demokrasi. Bukankah dalam demokrasi suara seorang maling dinilai sama dengan suara seorang guru mulia!? Bagaimana jika justru ada wacana menghapuskan suatu yang sudah benar dan baik? Bagaimana jika justru kerusakan yang ingin dikedepankan oleh pihak tertentu? Seperti itulah mungkin argumen Anda yang tidak setuju dengan pendapat saya. Hm... ini memang salah satu kelemahan demokrasi, tapi saya masih belum menemukan alternatif lain yang lebih baik dan sekaligus praktis, dapat dilaksanakan dengan efisien. Di satu pihak, orang-orang yang positif tentu tidak akan tinggal diam. Mereka akan terus kampanye. Mereka terus meluaskan dukungan. Terus mendidik dan mengajak. Semuanya untuk kemaslahatan yang diyakininya. Di pihak lain, ada orang yang menilai mayoritas orang lain salah, dan dia yakin dengan kebenarannya. Untuk orang ini justru saya sarankan untuk mulai bekerja. Menjual kebenarannya. Kalau masih belum laku, harus usaha lagi. Jangan cuma mengeluh. Jangan anarkis juga. Inilah jalan yang bermartabat.

Selengkapnya.....

Minggu, 04 Mei 2008

Bangkitlah Negeriku

Karena tersentuh lagu Bangkitlah Negeriku yang pernah saya dengar di salah satu radio, saya mencari-cari siapa di belakangnya. Tidak terlalu lama untuk menyadari bahwa lagu ini adalah salah satu lagu kampanye pasangan HADE. Penyanyinya adalah kelompok nasyid Shoutul Harakah. Dengan sedikit pengetahuan Bahasa Arab, saya paham kelompok ini dapat juga dipanggil Seruan Pergerakan atau Seruan Perjuangan. Lagunya memang membangkitkan semangat empat lima. Pasti Bung Karno suka dengan gaya penuh semangatnya.

Saya lalu mencari kaset atau CD lagu ini sejak dua tiga pekan lalu, tapi nggak nemu di toko-toko buku dan kaset, bahkan di toko buku Islam yang biasa kami kunjungi di Bulak Kapal, Bekasi. Akhirnya setelah mencari-cari di Internet, saya dapat download-nya, setelah mendaftar segala di multiply. Apa pasal? Soalnya website HADE dan afiliasinya dari mana saya men-download ada di multiply, dan multiply.com memberi syarat bagi yang ingin men-download untuk mendaftar terlebih dulu. Untuk mendengar refrain-nya, Anda dapat ke artikel saya sebelumnya, Adakah Harapan untuk Kita? yang saya posting beberapa waktu lalu.

Singkat cerita, saya akhirnya mendapatkan CD dan kaset yang saya cari dari seorang simpatisan HADE. Berikut ini gambar-gambarnya.





Mau? Katanya kalau benar-benar mau, orang akan melakukan apa yang perlu untuk memenuhinya. Kalau nggak, ya... mungkin belum mau betul. Lihat juga artikel terkait sebelumnya, Menyambut 2009.

Selengkapnya.....

Menyambut 2009

Pidato SBY, Konflik PKB, dan Milad PKS

Tahun 2009 tidak begitu lama lagi. Banyak peristiwa politik yang dirancang dan terjadi hari-hari ini sebagai langkah persiapan. Pekan ini saja kita menyaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato ke publik yang memang terkait dengan perkembangan krisis global (lihat artikel sebelumnya Krisis Ekonomi AS dan Global dan Adakah Harapan untuk Kita?) yang mulai berat menekan bangsa Indonesia. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa pidato tersebut bukan semata-mata merespon krisis, tetapi lebih ke langkah preemptive menjaga aura kepemimpinan. Ada juga Musyawarah Luar Biasa PKB yang menghadirkan konflik internal partai. Yang terjadi hari ini adalah peringatan milad PKS yang dipusatkan di Gelora Bung Karno.

Pidato Bapak Presiden beberapa hari lalu menurut hemat saya cukup bagus dan komprehensif. Dimulai dengan uraian fakta beberapa keberhasilan dalam beberapa aspek, Bapak Presiden kemudian menyampaikan dengan apa adanya tantangan berat yang menekan bangsa, krisis energi dan pangan secara global. Lalu beliau memberikan sinyal langkah-langkah yang akan diambil selanjutnya. Saya bukanlah pendukung SBY sebagai pribadi ataupun tokoh Partai Demokrat, akan tetapi menurut hemat saya siapa pun pengusung reformasi, perbaikan, harus didukung. Apakah itu Fauzi Bowo, Mochtar Mohammad, Ratu Atut, Bang Doel, ataupun Ahmad Heryawan, perlu kita dukung bersama dan perlu kita cegah dari melakukan kezoliman. Kalaupun ngotot dengan perusakan utamanya yang menyangkut kepentingan rakyat banyak, mereka harus dikoreksi menurut mekanisme yang ada, partai apapun pendukungnya. Selanjutnya, tidak keliru kita mendo'akan Bapak Presiden agar arif mengambil keputusan-keputusan selanjutnya.

Ada yang berspekulasi konflik PKB sengaja dibikin Gus Dur untuk menarik perhatian publik. Sebaliknya, saya menilai apa yang terjadi lebih berdampak negatif bagi citra PKB. Kita tentu masih ingat bagaimana Matori Abdul Jalil disingkirkan oleh elit lainnya. Secara kasat mata, kita dapat menilai adanya kepentingan parsial elemen-elemen elit. Sederhananya, kepentingan bersama yang seharusnya dikedepankan diletakkan setelah kepentingan kelompok elit. Memang secara ilmiah, dampak konflik PKB harus diteliti menggunakan metodologi yang memadai. Apa yang saya tulis di sini hanyalah opini pribadi yang bersifat intuitif. Namun demikian, agar ada dukungan terhadap opini ini, saya perlu mengemukakan pendapat office boy di kantor saya, yang bernama Syaiful. "Wah payah PKB," komentarnya tentu tidak jauh dari MLB yang diselenggarakan di Parung, Bogor, tempat tinggalnya. Waktu saya bilang, kalau begitu pilih yang yang nggak pecah dong, teman Syaiful menyebutkan satu partai yang tidak perlu saya tuliskan di sini. Bagaimanapun kita berharap konflik internal PKB dapat diselesaikan dengan cara-cara bermartabat. Hanya dengan cara itu, aktivis politik dapat memberikan pendidikan politik langsung ke konstituennya.

Berbeda dengan PKB yang menghadirkan konflik internal berpusat pada figur tertentu, PKS lebih mengedepankan program dan persatuan. Momentum keberhasilan PKS pada Pilkada Jabar dan Sumut terlebih lagi memberikan penguatan positif pada kesatuan partai tersebut. Sebagaimana liputan media-media TV hari ini pada acara milad partai tersebut, temanya adalah BANGKIT BERSAMA MEMBANGUN NEGERI. Tema kampanye HADE yang memang senada juga dikedepankan, yaitu BANGKITLAH NEGERIKU, HARAPAN ITU MASIH ADA. Ungkapan ini bahkan disebutkan juga oleh Presiden SBY pada kesempatan beliau menyampaikan kata sambutan pada acara milad PKS ke-10 tersebut. Tema PKS dipuji oleh SBY karena mengusung optimisme, yang pada pidato SBY sendiri, optimisme bangsa di tengah tekanan krisis global diserukan. Di sini kita melihat adanya kesamaan visi antara pemerintah dan PKS. Lebih lanjut SBY mengatakan pada sambutannya hendaknya optimisme bangsa tersebut tidak hanya terbatas di lingkungan PKS tapi semangatnya meluas ke seluruh negeri dan komponen bangsa. Terkait dengan tema kampanye ini, pada khutbah Jum'at di kantor beberapa waktu lalu, Ketua MPR HNW menyampaikan hal yang sama.

Memang seruan optimisme sangat mengena bagi rakyat yang terus didera kesulitan hidup. Syarat suksesnya adalah kredibilitas para penyeru. Artinya para penyeru tersebut harus konsisten kata dan laku. Mari kita tunggu apakah perolehan suara PKS akan meningkat pada 2009. Pengurus pusatnya sendiri menargetkan perolehan 20 persen. Saya melihatnya agak ambisius, mungkin 15 lebih moderat, tapi siapa tahu. Di pihak lain, partai-partai lain perlu berjaga-jaga, termasuk PKB. Black campaign terhadap PKS justru akan berdampak positif baginya. Cara seperti itu sudah harus ditinggalkan. Partai-partai perlu mengedepankan program nyata bagi konstituennya. Kalau perlu, belajarlah dari yang kelihatan lebih baik. Nggak ada kata terlambat untuk yang memiliki cita-cita mulia.

Selengkapnya.....

Kamis, 01 Mei 2008

Managing in the Next Society

By Peter Drucker
Summarized by Y Pan

Table of Contents
Part I The Information Society
Chapter 1 Beyond the Information Revolution
Chapter 2 The Exploding World of the Internet
Chapter 3 From Computer Literacy to Information Literacy
Chapter 4 E-Commerce: The Central Challenge
Chapter 5 The New Economy Isn't Here Yet
Chapter 6 The CEO in the New Millennium

To read the summary of Part I, follow these links:
Managing in the Next Society 1
Managing in the Next Society 2

Part II Business Opportunities
Chapter 7 Entrepreneurs and Innovation
Chapter 8 They're Not Employees, They're People
Chapter 9 Financial Services: Innovate or Die
Chapter 10 Moving Beyond Capitalism?

To read the summary of Part II, follow these links:
Managing in the Next Society 3
Managing in the Next Society 4

Part III The Changing World Economy
Chapter 11 The Rise of the Great Institutions
Chapter 12 The Global Economy and the Nation-State
Chapter 13 It's the Society, Stupid
Chapter 14 On Civilizing the City

To read the summary of Part III, follow these links:
Managing in the Next Society 5
Managing in the Next Society 6


Part IV The Next Society
Chapter 15 The Next Society
- The New Demographics
- The New Workforce
- The Manufacturing Paradox
- Will the Corporation Survive?
- The Future of Top Management
- The Way Ahead

To read the summary of Part IV, follow these links:
Managing in the Next Society 7
Managing in the Next Society 8

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed