Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Jumat, 31 Desember 2010

Tahun 2010 dan 2011

Sebentar lagi 2010 berlalu.
Ia akan segera menjadi masa lalu.
Seberapa banyak rencana kita terwujud?
Seberapa akurat prediksi kita?
Saatnya menilai...
Untuk menjadi lebih arif menatap masa depan.

Betapa sering kita menyanyikan, "Ku yakin hari ini pasti menang..."
Hanya untuk menyadari keyakinan itu sering hanyalah harapan belaka.
Bahkan dengan memanipulasi doa, seorang mubaligh yakin...
Tim Garuda akan menang besar...
Hanya untuk menyadari Allah tidak dapat dipaksa dengan doa.

BMG pernah mengatakan April musim kemarau akan datang.
Tidak lama BMG mengkoreksinya menjadi bulan Juli.
Hujan tetap tak berhenti menimbulkan...
Istilah kemarau basah.
Kembali kita harus menyadari prediksi tetaplah hanya prediksi...
Karena Dia hanya mengungkap sedikit sekali ilmu-Nya untuk kita.

Maka sadarilah hanya Allah yang Maha Tahu.
Milikilah sedikit kerendahan hati.
Waspadalah terhadap ramalan...
Apalagi ramalan bintang, ramalan ekonomi, dan ramalan politik.

Jika harus membuat rencana untuk 2011 dan seterusnya...
Buatlah dengan rendah hati.
Sandarkan optimisme hanya kepada-Nya...
Karena kepada-Nya kita akan kembali.

Selengkapnya.....

Selasa, 16 November 2010

Pencari Sensasi dan Ahli Kubur

Bagi kita yang masih hidup, kebanyakan para pencari sensasi lebih sering kita perhatikan daripada kebanyakan ahli kubur. Memang ada ahli kubur tertentu yang sampai hari ini kita sebut-sebut namanya karena prestasi mereka yang luarbiasa, tapi umumnya kita lebih sering terpikat oleh pencari sensasi. Buktinya, acara info seleb lebih laku di TV.

Dulu ada film Accidental Hero. Sebuah pesawat nahas mengalami kecelakaan. Banyak penumpang tidak selamat. Kemudian muncul seorang misterius yang membantu para penumpang yang selamat. Dia kehilangan sebelah sepatunya selagi proses penyelamatan. Berdasarkan cerita mereka yang selamat, media kemudian mencari-cari siapa sih sang pahlawan.

Dari cerita film itu, sang pahlawan, Bernie, sebenarnya seorang kriminal. Karena profesinya, ia menghilang dari lampu sorot wartawan, tapi temannya, John, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Dengan bekal sebagai seorang veteran dan sebelah sepatu Bernie, dia berhasil mengelabui publik, tentunya dengan bantuan media yang senang dengan kisah inspiratif. Di sini, sebetulnya ada kesalahan fatal, tapi karena cerita yang sensasional, kebenaran tertutupi dari publik. Bernie adalah pahlawan yang sebenarnya, walaupun itu kebetulan juga!

Coba bayangkan di antara penumpang yang tewas, adakah seseorang yang benar-benar mengambil tindakan heroik untuk penyelamatan tapi kemudian gugur tanpa ketahuan jasanya? Boleh jadi figur itu memang ada, tetapi karena dia keburu jadi ahli kubur, nggak ada cerita yang menghiasi koran nasional. Demikian juga, pahlawan-pahlawan tak dikenal yang gugur melawan penjajah! Nama mereka tidak pernah menghiasi buku-buku sejarah. Boleh jadi, buku sejarah malah diisi pahlawan seperti John yang kebetulan masih bisa menuturkan cerita-cerita heroik meskipun palsu. Mungkin sekali pahlawan di buku-buku sejarah mempunyai kontribusi yang tidak lebih baik dari pahlawan tak dikenal yang keburu gugur.

Anda pasti tahu GT, pegawai pemerintah yang ketahuan memiliki aset yang tidak sesuai gajinya, kan? Baru-baru ini dia bahkan bikin berita besar lagi setelah seseorang yang mirip dirinya diketahui berada di Den Pasar ketika dia sendiri masih mendekam di tahanan Brimob Kelapa Dua. Melihat besaran korupsinya kita sudah geleng-geleng kepala. Ck ck ck! Semakin dibesarkan sensasinya, semakin terlena kita dari kasus-kasus yang jauh lebih besar di kuburan. Kasus-kasus di kuburan itu tidak akan pernah buka suara dan membuat Anda mungkin berpikir mereka tidak pernah ada. Begitulah perbedaan sensasi dan kuburan.

Ilustrasi yang lebih ilmiah dapat Anda baca di buku The Black Swan karya Dr Nassim Nicholas Taleb. Salah satunya mengenai bayi yang jatuh ke sumur di Italia pada akhir 1970-an. Karena kesulitan mengeluarkannya dari sumur, jadilah kisahnya suatu yang amat dramatis. Negeri Lebanon yang kala itu sedang mengalami perang saudara yang dahsyat bahkan heboh oleh tragedi bayi dari Italia itu sembari melupakan betapa banyak korban perang di rumah sendiri.

Memang kegandrungan kita pada berita yang sensasional membuat kita justru melupakan fakta yang relevan yang ada di kuburan. Ini adalah kelemahan bawaan yang tertanam dalam otak kita yang sekaligus menjadi kekuatannya (baca juga Hebatnya Pikiran - Y Pan). Yang jadi soal tambahan adalah faktor eksternal yang suka mengekploitasi kelemahan kita, dengan tidak sengaja atau lebih parah lagi dengan sengaja. Untuk itu, nggak ada salahnya kita berhati-hati.

Nah, di wilayah extremistan (baca juga Yang Belum Kebaca) - Y Pan), tempat bercokol kebanyakan masalah sosial, sikap hati-hati itu mesti lebih ditingkatkan lagi. Mengapa? Teman-teman kita mungkin suka mengolok-olok keyakinan kita dengan ganas, sampai kita keluar dari keyakinan itu dan akhirnya mengikuti jejak GT. Sanak kita mungkin menyalahkan profesi yang selama ini kita tekuni bergelimang dengan buku, percobaan, dan penelitian, tapi seret uang dan ketenaran. Karena tidak tahan, kita bisa saja keluar dari lembaga penelitian yang sudah membiayai sekolah kita sampai S3 ke luar negeri. Kita lalu lebih memilih bekerja di bank atau jadi pialang atau jadi pengamat yang dengannya sanak saudara tidak akan pernah memandang rendah lagi. Karena kita begitu menghargai imbalan segera, pihak eksternal dapat dengan mudah menjerumuskan kita ke kekeliruan yang kita sesali kemudian.

Andaikan imbalan surga dapat dihadirkan ke dunia ini, tentunya kita akan siap sedia mengalami kerugian-kerugian kecil sepanjang waktu dan mengabaikan begitu saja olok-olok teman dan pandangan merendahkan sanak saudara. Kenapa? Karena kita yakin pada saatnya semua kerugian kecil itu tidak akan ada artinya di hadapan imbalan surga. Demikian pula, kita tentu tidak keberatan menunda keuntungan-keuntungan kecil sepanjang waktu mengingat keuntungan-keuntungan kecil itu tidak berarti apa-apa di hadapan neraka.

Itulah sebabnya kita dapat mengerti bagaimana inginnya sosok seperti Khalid bin Walid tewas dalam peperangan yang diikutinya. Beliau bersusah payah mengikuti semua perang itu dengan luka-luka yang menggerogoti badan. Sungguh suatu ironi, semua perang itu dimenangkannya, tapi harapannya untuk syahid dalam perang tidak tercapai, hingga beliau meninggal di tempat tidur.

Berikut ini satu ilustrasi lagi dari Dr Taleb. Misalkan sebuah obat menyelamatkan banyak orang dari penyakit berpotensi membahayakan. Sebaik-baik obat itu, ada risiko ia dapat menewaskan beberapa orang. Secara obyektif "berat bersih" untuk masyarakat positif banget. Apakah dokter mau meresepkannya? Rasanya tidak, karena pengacara para korban akan memburu sang dokter dan menggebukinya seperti anjing, sementara fakta bahwa banyak orang yang terselamatkan tidak akan membelanya sedikitpun. Nyawa yang terselamatkan adalah statistik (kuburan), sedangkan beberapa korban efek samping adalah anekdot yang gampang diceritakan dan disebarkan (sensasi).

Menurut Dr Taleb, fenomena ahli kubur yang diilustrasikan di atas merupakan manifestasi bukti yang tidak bicara. Tugas kita adalah menghindari terjebak pada apa yang kita lihat (sensasi) saja, tetapi mencari apa-apa yang tidak kelihatan (kuburan). Seyogyanya dua-duanya sama-sama kita perhatikan dengan sungguh-sungguh. Bahkan kalau kita dapat mengidentifikasi suatu sensasi tidak relevan, kita sepatutnya segera mengabaikannya saja. Kalau tidak seperti itu, kita akan terjebak pada sensasi. Malangnya sensasi itu ternyata sering seperti John dalam Accidental Hero di atas, sementara bukti sebenarnya justru tidak bicara, diam seribu bahasa.

Sekarang mari kita kembali ke sekolah. Teori dan ruang kelas sudah mengajarkan kita banyak hal dan sudah membawa peradaban manusia berkembang hingga saat ini. Namun demikian, teori dan ruang kelas seperti sudah dibuktikan secara konsisten dalam sejarah tidak lebih adalah sensasi itu sendiri. Apa yang kita pahami saat ini berdasarkan teori dari ruang kelas yang kita hadiri kemarin mengungkung pikiran kita dalam kotak teori itu sendiri. Padahal kenyataan lebih rumit dari teori itu. Di luar kotak teori itu bersemayam bukti yang tidak bicara. Dr Taleb memberikan ilustrasi yang sangat menawan yang telah mencerahkan banyak orang sekaligus membingungkan banyak orang lain. Saya harus cari-cari bahan dulu di internet dalam bahasa aslinya sampai bisa mengkoreksi terjemahan yang terlanjur saya baca.

Tony yang Gemuk (Fat Tony) adalah seorang jalanan asal Brooklyn yang sangat sukses, sementara John yang Bukan Orang Brooklyn (Dr John) adalah seorang ahli yang berlatar akademis. Sungguh ilustrasi ini bukan untuk mengejek orang jalanan yang sukses ataupun seorang akademisi yang terlalu teoritis. Banyak akademisi yang menguasai jalanan dan tidak terlalu teoritis. Ada juga orang jalanan yang belajar sendiri banyak teori dan menguasasi banyak bahasa. Yang menyebalkan adalah orang jalanan yang sok teoritis. Perumpamaan Fat Tony dan Dr John hanya untuk menggugah pemahaman saja. Berikut ini percakapan antara Dr Nassim Nicholas Taleb (NNT) dengan keduanya.

NNT: Andaikan ada sebuah koin yang sempurna imbang (terjemahan The Black Swan menggunakan istilah "koin yang adil" yang kelewat harfiah, hehehe - Y Pan), yang memiliki kesempatan yang sama (50:50) untuk muncul sisi depan atau sisi belakang (dalam istilah Bahasa Inggris head or tail yang males saya terjemahkan sebagai kepala atau ekor - Y Pan) sewaktu diundi. Saya sudah melontarnya sembilan puluh sembilan kali dan selalu mendapatkan sisi depan. Bagaimana peluang saya mendapat sisi belakang pada lemparan berikutnya?

Dr John: Pertanyaan gampang. Separo, tentu saja, karena Anda mengasumsikan peluang 50 persen untuk masing-masing sisi dan lontaran yang satu tidak terkait dengan lontaran yang lain.

NNT: Bagaimana pendapat Anda, Tony?

Fat Tony: Hemat saya tidak lebih dari 1 persen, tentu saja.

NNT: Kenapa begitu? Saya telah memberimu asumsi awal bahwa koinnya betul-betul imbang, yang berarti peluang tiap sisi tepat 50 persen.

Fat Tony: Anda entah bodoh sekali atau murni seorang pecundang bila menerima pandangan "50 pehcent" (mungkin logat Brooklyn - Y Pan) itu. Koinnya pasti sudah disetel (versi asilnya loaded, tapi buku terjemahan menggunakan istilah "koin berhantu" yang bikin pembaca kayak saya bingung dan keburu merendahkan Fat Tony - Y Pan). Nggak mungkin imbang! (Maksudnya setelah diterjemahkan Dr Taleb yang lebih sekolahan: Mungkin sekali asumsi bahwa koin itu imbang merupakan asumsi yang salah dibandingkan kenyataan setelah 99 pelemparan selalu muncul sisi depan.)

NNT: Tapi Dr John mengatakan 50 persen.

Fat Tony (berbisik di telinga NNT): Saya tahu orang macam ini dengan contoh-contoh aneh dulu waktu saya kerja di bank. Mereka berpikir terlalu lambat. Terlalu pasaran.


Saya butuh beberapa kali membaca dialog di atas dan akhirnya memutuskan mencari sumbernya di internet. Dr Taleb menyediakan PDF yang bisa diunduh dari http://www.fooledbyrandomness.com/LudicFallacy.pdf. Saya pelajari tulisan aslinya hingga saya merasa memahaminya. Dr John berpikir sepenuhnya di dalam kotak, sementara Fat Tony sepenuhnya di luar kotak. Saya pikir keduanya bukan sosok ideal. Saya lebih senang sosok yang menguasai dalam dan luar kotak. Dalam definisi Dr Taleb, luar kotak adalah lipatan plato (platonic fold), suatu daerah yang belum dipahami (non-platonic) dan sering kita abaikan karena kita nggak nyaman dengan faktor yang misterius. Alih-alih mengekplorasi area di luar kotak dengan skeptis, kita sering memuaskan diri dengan apa yang sudah kita ketahui saja (platonic).

Dalam kasus Fat Tony dan Dr John, walaupun keduanya bukan sosok yang ideal, saya menyimpulkan bahwa Fat Tony lebih baik dari Dr John. Kehidupan sehari-hari lebih sering mengandung banyak hal di luar kotak teori yang tidak steril dari ketidakpastian yang sesungguhnya. Mungkin banyak pembaca The Black Swan mendebat bahwa tidak mungkin ahli statistik seperti Dr John berlaku sangat lugu dan steril seperti itu. Dia pasti akan menguji dulu asumsi bahwa koinnya imbang dengan data empiris bahwa dalam 99 lemparan selalu muncul sisi depan.

Memang selayaknya orang sekolahan tetap skeptis dengan apa yang "telah" diketahuinya dan melakukan pengujian empiris untuk mengeksplorasi area yang "belum" diketahuinya, tapi kenyataannya ada (untuk tidak mengatakan banyak - Y Pan) orang sekolahan yang gagal menggunakan prinsip-prinsip ilmiah dalam kehidupan sehari-hari. Kita sering terjebak menggunakan intuisi saja untuk suatu yang mestinya dipikirkan secara mendalam. Dengan instinct, kita sering menggunakan jalan pintas mungkin karena ingin cepat kabur dari buruan binatang buas.

Kesalahan yang dilakukan Dr John, disebut kesalahan spontan (ludic fallacy), ternyata dilakukan juga oleh kasino-kasino. Mungkin kita berpikir kasino, apalagi di Amerika, sangat ahli di bidang peluang dan ketidakpastian. Koq bisa kasino dengan lugunya mengatakan koinnya imbang? Di dalam permainan memang koinnya imbang. Dengan koin yang imbang, saking semuanya sudah terhitung akurat, nggak mungkin sebuah kasino rugi dari bisnis judi ini. Yang nggak cerdas adalah para pengunjung kasino! Memang ada orang yang memiliki kemampuan, didukung alat ataupun tidak, untuk mencari keuntungan yang bersifat bukan untung-untungan dari judi di kasino. Orang-orang seperti itu, yang disebut curang, akan diamati dan ditangani sendiri oleh kasino. Pernah lihat kan adegannya di film-film?

Lalu di mana letak kesalahan spontan yang dilakukan kasino? Dr Taleb menuliskan dari pengakuan pengusaha kasino sendiri bahwa sumber kerugian kasino bukan dari permainan itu, tapi berasal dari luar yang mereka tidak antisipasi. Contohnya? Pertama, pawang harimau untuk atraksi di kasino diterkam oleh harimaunya sendiri. Kedua, seorang kontraktor kecewa terhadap kasino dan berencana meledakkan kasino itu. Ketiga, pegawai kasino lalai menyampaikan formulir-formulir pajak ke kantor pajak yang mengakibatkan denda yang luarbiasa besar. Keempat, putri pemilik kasino diculik untuk tebusan sejumlah besar uang.

Contoh-contoh mengenai kerugian kasino di atas kelihatannya mendorong Dr Taleb dengan sinis mengatakan kasino berjudi dengan dadu yang salah! Artinya permasalahan dalam kehidupan tidak dapat disterilkan seperti ruangan kasino itu sendiri. Menurut Dr Taleb, peluang berjudi di dalam permainan-permainan kasino sih gampang dihitung. JUSTRU ANGSA HITAM BERSEMAYAM DI LUAR KOTAK permainan kasino itu sendiri. Dia ada di kuburan dan tidak terlihat sensasional!

* Setelah membaca artikel ini, ada baiknya jika berkenan, Anda baca sendiri buku The Black Swan agar Anda dapat mengidentifikasi konsep asli Dr Taleb dari kata-kata yang saya tambahkan sendiri dan dari kata-kata yang saya tidak suka masukkan di sini.

Diinspirasi oleh The Black Swan: Bab 7: Hidup di Beranda Sebuah Harapan (Living in the Antechamber of Hope), Bab 8: Giacomo Casanova yang Terus Beruntung: Masalah Bukti yang Tidak Bicara (Giacomo Casanova's Unfailing Luck: The Problem of Silent Evidence), Bab 9: Kesalahan Spontan, atau Ketidakpastian Si Kutu Buku (The Ludic Fallacy, or The Uncertainty of The Nerd)


Baca artikel terkait sebelumnya: Hebatnya Pikiran

Selengkapnya.....

Sabtu, 13 November 2010

Hanya Khutbah Biasa

Shalat Jum’at kemarin, seperti biasa kalau nggak dinas atau libur, saya ikuti di masjid kantor. Khotibnya Ustadz Muchlis Abdi. Walaupun belum pernah berguru langsung kepada beliau, saya menganggap beliau salah satu guru saya (beliau belum tentu mengakui saya sebagai murid sih, tapi nggak apa – Y Pan). Karena mendekati hari Arafah, topik khutbah seperti biasa penjelasan mengenai keluarga Ibrahim AS. Sudah berkali-kali mendengar khutbah seperti itu, saya pun berpikir ini akan menjadi suatu khutbah biasa.

Sebelum menceritakan kisah keluarga Ibrahim, Ustadz Muchlis memaparkan bahwa ibadah haji adalah satu-satunya ibadah yang bersifat internasional dan terikat dengan tempat tertentu. Beliau menyampaikan bahwa Allah mendesain ibadah haji seperti itu antara lain untuk menjadi contoh nyata bagi seluruh umat manusia perihal akibat yang baik bagi orang-orang yang baik.

Kalau Anda membaca artikel saya sebelumnya, Yang Belum Kebaca dan Hebatnya Pikiran, yang terinspirasi the Black Swan agar kita skeptis terhadap narasi sebab akibat, mohon jangan menganggap saya tidak yakin dengan ajaran agama saya sendiri. Berbeda mungkin dengan Dr Taleb, saya skeptis dengan perkataan siapa saja, tapi tidak jika ia bersumber dari RasululLah SAW, al-Amin.

Nah, kembali ke khutbah, Ustadz Muchlis menjelaskan lebih lanjut dengan menapaktilasi teladan keluarga Ibrahim, para peragu yang mengatakan ajaran al-Qur’an hanya teoritis dan hanya bagus dalam lembaran-lembaran tulisannya ditantang dengan bukti-bukti nyata di depan mata. Pergilah kamu ke Mekkah, maka kamu akan melihat bukti-bukti agung itu. Memang sih, kita masih tetap bisa menolak., tapi itu nggak masalah. Tidak ada paksaan dalam agama (keyakinan).

Demikianlah kisah dimulai. Ternyata tidak seperti khutbah biasa mengenai keluarga Ibrahim, khutbah ini benar-benar membawaku ke suasana penghayatan. Entah karena cara bertuturnya atau karena latar belakang akademisnya atau karena memang tingkat ruhiyah sang penyampai pesan!

Dalam usia yang sudah senja. Rumah tangga Ibrahim belum juga dapat tertawa lepas bersama kehadiran anak-anak yang dicintai. Bukan karena anak-anak itu akan membuktikan kenormalan beliau sebagai laki-laki, tetapi karena anak-anak itu diharapkan dapat melanjutkan perjuangan. Dengan persetujuan istrinya yang pertama, Nabi Ibrahim menikahi seorang perempuan lagi yang masih muda. Karena kehendak Allah jua, setelah itu hamil keduanya. Betapa senang hati beliau.

Tiba saatnya, istri pertama Nabi Ibrahim melahirkan seorang anak laki-laki. Anak yang dinanti-nanti. Anak yang membuat keluarga ini dapat tertawa senang. Karena itu, ia diberi nama Ishak. Menyusul berikutnya, istri kedua melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail, yang bermakna doa yang dipenuhi. Situasi kemudian berubah. Terjadilah ketegangan di dalam keluarganya.

Setelah mendapatkan instruksi dari Allah, Nabi Ibrahim membawa istri keduanya dan putranya Ismail pergi dari rumah di Kanaa, Palestina bagian selatan, menuju ke arah selatan. Berjalan berbulan-bulan, akhirnya beliau mendapat wahyu agar berhenti di suatu tempat bernama Bakkah, yang bermakna tempat penuh duka. Di tempat itu tidak ada air sedikitpun. Tidak ada tanda kehidupan sama sekali.

Ustadz Muchlis tidak menceritakan detil mengenai dialog panjang penuh kesedihan dan perpisahan Ibrahim dengan keluarganya di Bakkah, tetapi tetap saja kata-katanya membuat sulit linangan air mata. Hanya ketika istrinya memahami bahwa ini wahyu Allah Swt, perpisahan tersebut bagaimanapun beratnya terjadi juga. Ustadz tidak menceritakan bagaimana akhirnya sumur Zam Zam muncul di kaki Ismail, tapi cukuplah di benak saya sudah ada cerita itu dan menambah kepedihan perasaan ditinggal di lembah duka.

Sepuluh tahun berlalu. Nabi Ibrahim tidak turut membesarkan Ismail, tapi pada saat itu diterimalah wahyu untuk mengunjungi keluarganya di Bakkah. Di pihak lain, karena tidak mungkin hanya mengandalkan air Zam Zam untuk bertahan hidup. Ismail kecil dan ibunya telah terbiasa beredar di kawasan sekitar Bakkah, sekarang Mekkah. Hingga mereka biasa berada di Arafah. Di sinilah Nabi Ibrahim bertemu kembali dengan keluarganya.

Betapa bahagia keluarga ini bersatu kembali Tanpa mengikuti tumbuh kembang anaknya, Nabi Ibrahim mendapati anaknya sudah remaja dan berperilaku sholeh. Sungguh suatu ni’mat luar biasa dari Tuhannya. Namun tiba-tiba di Muzdalifah, Nabi Ibrahim mendapat wahyu untuk menyembelih anaknya. Kalau kita disuruh melakukan hal seperti ini, bisa dibayangkan betapa banyak deraian air mata mengalir! Alternatifnya, betapa dahsyat perseteruan dalam keluarga! Berbeda dengan kita, Ibrahim adalah seorang RasululLah.

Nabi Ibrahim mendekati anaknya dan menceritakan di dalam mimpinya ia menyembelih anaknya itu. Nabi Ibrahim tentu sudah siap menerima jawaban penolakan dari anaknya, karena ini memang sangat berat. Tanpa disangka, Ismail menjawab, ”Lakukanlah Ayah apa yang diperintahkan itu, insya Allah engkau dapati aku termasuk orang-orang yang sabar.” SubhanalLah!

Berdua, mereka kemudian mengajukan hal ini ke Ibunda Ismail. Kali ini Nabi Ibrahim pun telah siap menerima jawaban penolakan dari istrinya. Wong dia nggak merasakan suka duka membesarkan anak ini. Tanpa disangka, Ibunda Ismail juga membenarkan Nabi Ibrahim. Begitulah seorang Rasul dan keluarganya. Ismail mengajukan tiga permintaan terakhir. Ibundanya juga mengajukan satu permintaan.

Ismail meminta agar pedang yang digunakan untuk menyembelih benar-benar diasah setajamnya agar tidak terlalu sakit, walaupun tetap sakit. Kemudian, yang kedua, ia meminta matanya ditutup agar sang ayah tidak merasa iba dan ragu. Yang terakhir, baju yang dikenakan yang akan berlumuran darah dimintanya untuk diserahkan ke Ibundanya sebagai kenang-kenangan. Oh, betapa mengharukan! Sementara itu, Ibunda Ismail meminta diri untuk tidak mengikuti prosesi penyembelihan. Maka tinggallah ia di Muzdalifah. Di dalam manasik, kita mabit di sini sebelum ke Mina.

Nabi Ibrahim dan Ismail (yang kemudian menjadi salah seorang RasululLah juga dan kemudian melahirkan Nabi Muhammad SAW) pergi mencari tempat pelaksanaan penyembelihan. Di jalan mereka menemui hambatan dari setan yang kemudian mereka hadapi secara fisik dengan melemparinya. Tempat kejadian itu sampai sekarang menjadi situs jamarat, tempat jemaah haji melempari setan! Akhirnya ditemukan juga lokasi yang sesuai di Mina.

Mata Ismail sudah ditutup, pedang sudah dibuka dari sarungnya, pelipis Ismail telah diletakkan di tanah... oh... Nabi Ibrahim meletakkan pedangnya di tempat yang paling tepat agar darah deras mengucur yang akan menyebabkan kematian Ismail... oh... Nabi Ibrahim menggerakkan tangannya dan mengucur deraslah darah... oh... Nabi Ibrahim masih memejamkan matanya karena tidak tega... oh...

Bagaimana kalau saya yang disuruh melakukan ini terhadap anak yang dinanti-nanti? Ya Allah, jadikanlah aku mencintai anak-anakku karena Engkau, bukan hanya karena mencintai mereka saja. Ya Allah, jadikanlah aku tidak terlalu mencintai anak-anakku sehingga melampaui cintaku pada-Mu. Padahal aku sangat mencintai mereka... Dan tiap kali aku melihat wajahnya dan rasa cinta itu membuncah, aku bersyukur dan berdo’a agar cinta itu membawa kami ke surga.

Akhirnya, Nabi Ibrahim mendengar suara gaib yang menjadi klimaks yang mengharukan. Ternyata yang disembelihnya adalah seekor Qibas yang gemuk, sementara Ismail berdiri di depannya tanpa kurang suatu apapun. Allahu akbar wa lilLahi l-hamd.

Heran... walaupun sudah berulangkali mendengar kisah ini, selalu saja keharuan tidak dapat ditahan. Bahkan kali ini, seperti yang saya katakan di atas, entah karena cara bertuturnya atau karena latar belakang akademiknya atau karena tingkat ruhiyah sang penyampai pesan, keharuan kali ini lebih mendalam. Ya Allah selamatkanlah keluargaku dan masukkanlah kami ke dalam surga-Mu, amin.

Dengan kondisi ruhiyah yang sangat kondusif, tidak sulit sama sekali untuk menerima suatu pelajaran yang dieksplisitkan oleh Ustadz Muchlis Abdi di akhir khutbah pertamanya. Dalam situasi negeri yang sangat memprihatinkan, kita hendaknya meneladani keluarga Ibrahim. Kalau tidak dapat memperbaiki, minimal jangan membuat kerusakan!

Mengangkat negeri dari krisis yang tidak habis-habis dapat menjadi kontribusi dan upaya kita, tapi kita tidak dapat melakukannya kalau kita masih berada di tataran materi alias kita masih materialistis atau matrek. Kita bisa ikut berkontribusi dalam perbaikan masyarakat hanya jika kita sudah berada di tataran spiritual, seperti keluarga Ibrahim!

* Sebagaimana biasa, setelah shalat, dilakukan pendalaman materi khutbah. Sebenarnya menarik. Ada tiga pertanyaan. Salah satunya mengenai kontroversi penentuan Hari Raya, tapi tulisan ini sudah terlalu panjang...

Baca juga cerita:
Kekuatan Cerita
Qurban Memaknai Syukur
Cerita Jenaka dari kyai yang sedang mendapatkan ujian karena wanita (kita doakan agar masalah beliau segera selesai)

Selengkapnya.....

Minggu, 07 November 2010

Hebatnya Pikiran

Pernah nggak kita sekilas melihat teman kita di balik tikungan? Baru hidungnya yang kelihatan, kita udah tahu itu si fulan. Kemampuan ini sangat canggih, sampai-sampai komputer paling canggih yang memiliki kemampuan image processing paling canggih di dunia iri sekali.

Kemampuan mengenali pola katanya berada di bagian kiri otak kita. Saya sendiri tidak terlalu peduli dengan kategori otak kiri, otak kanan, bahkan belakangan ini otak tengah. Yang jelas manusia, alhamdulillah, diberi karunia yang luarbiasa. Kalau nggak seperti itu, mungkin pas kita berpapasan dengan anak atau istri kita, kita butuh beberapa menit atau malah satu jam lebih untuk mengenalinya. Hehehe, dengan kondisi seperti itu, umur kita yang rata-rata di sekitar 60 tahun nggak akan cukup untuk menambah nilai dan memberi manfaat bagi sesama karena sibuk mengenali penampakan.


Saking efisiennya cara kerja pikiran kita, bukan perkara yang sulit bagi kita untuk membedakan berbagai spesies binatang dan tumbuhan. Untuk kita orang awam, mungkin sudah cukup mengenali perbedaan kucing dan jaguar, ulat dan ular, kadal dan komodo, lalat dan lebah, dan seterusnya. Untuk para ahli, tingkatnya sampai membedakan hal yang sangat detil, misalnya perbedaan dalam bentuk taringnya atau cara bertelurnya atau bunyi khasnya, hehehe.

Kemampuan pengenalan pola tidak hanya terbatas pada perkara fisik saja, tapi juga kita gunakan untuk perkara-perkara yang lebih abstrak dan tidak fisik sifatnya. Misalnya waktu tes psikologi, kita disuruh menebak angka apa yang muncul berikutnya setelah kita diberikan sederet angka. Bukan cuma angka, malah ada juga tes pola gambar tertentu, misalnya setelah garis, segi tiga, dan segi empat, kita diminta menebak yang berikutnya. Ada juga pola kata-kata, apakah itu analogi, lawan kata, ataupun sinonim. Nah, kemampuan mengenali dan memahami ini kemudian dijadikan salah satu indikator tingkat kecerdasan seseorang.

Melanjutkan contoh-contoh di atas, tanggapan kita kepada fenomena alam juga sangat didukung oleh kemampuan kita dalam mengenali pola berdasarkan pengalaman. Kalau mendung di langit Jakarta sudah berat banget, ditambah angin yang bertiup tak henti-henti, pertanda banjir... eh salah... genangan air akan menyebabkan macet di mana-mana. Contoh lain? Status Merapi dari waspada, siaga, menjadi awas, dan kemudian diikuti perluasan area berbahaya juga sepenuhnya perkara pengenalan pola yang membuat antisipasi bencana menjadi lebih baik, walaupun ada sebagian kalangan yang mengikuti kategori bahaya dari juru kunci, bukan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana.


Jika kita terus menambah cakupan dan kompleksitas masalah, misalnya yang berhubungan dengan interaksi sosial, otak kita tetap saja bekerja dengan efisien. Sampai-sampai kita dapat segera mengenali aliran atau mazhab seseorang dari cara bicaranya, atau cara shalatnya, atau posting-posting yang dikirimnya ke milis, atau bahkan komentarnya terhadap posting tertentu. Di tim kami, kalau ada dokumen penting yang tidak berada di tempat yang seharusnya, perhatian langsung mengarah kepada sosok yang sudah dicap suka, lebih tepatnya pernah, meminjam arsip tanpa mengembalikan, padahal belum tentu beliau yang salah, hehehe (maaf Mas, cuma buat ilustrasi).

Satu ilustrasi lagi mari kita ambil dari tanah Paman Sam. Di Amerika, opini atau tulisan yang berpihak ke Republik dan yang ke Demokrat cukup mudah dibedakan. Yang agak sulit dibedakan mungkin sikap moderat yang ngambang di tengah. Porsi kelompok moderat yang bisa swing ke Demokrat maupun Republik menurut laporan justru lebih besar daripada porsi orang Amerika yang secara definitif mencap diri sendiri sebagai konservatif (cenderung ke Republik) maupun liberal (cenderung ke Demokrat), tapi publik hanya tahu dua partai saja (memang ada yang lain, tapi sungguh tidak signifikan – Y Pan).

Menurut pemahaman saya, liberal lebih ke kiri (lebih sosialis) dalam ideologi, sedangkan konservatif lebih ke kanan (sangat ekstrem pro pasar dalam kebijakan ekonomi yang kurang percaya pada redistribusi kekayaan melalui pajak). Saya mengira publik Amerika sudah muak dengan ideologi ultra liberal dalam ekonomi yang sangat menguntungkan orang-orang yang super kaya yang jumlahnya di bawah 1%, seperti ditunjukkan Bush dalam dua periode kepemimpinannya. Saya kaget ternyata hanya butuh dua tahun, di pemilu sela 2010, partai Presiden Obama mengalami kekalahan telak di DPR (House), walaupun masih mendominasi DPD (Senat). Rupanya ada yang keliru! Kenyataan terlalu rumit untuk dijelaskan dengan teori atau cerita sederhana.

Dari sedikit contoh di sini, kita sudah dapat melihat bahwa pengenalan pola yang kita lakukan bisa salah. Lebih parah lagi, dalam kasus tertentu, sikap yang kaku menambah faktor risiko. Akibatnya bisa fatal, seperti kesalahan dalam menanggapi bahaya Gunung Merapi. Akibat lain, misalnya, seseorang atau suatu kaum kita perlakukan tidak adil, karena kebencian yang sangat dan karena cap yang sudah kita berikan secara serampangan.

Menurut Nassim Nicholas Taleb, kesalahan seperti ini disebut kesalahan naratif (lihat juga artikel sebelumnya Yang Belum Kebaca). Saya sih lebih senang menamakannya kesalahan dalam berteori. Ini disebabkan kita kurang peka membedakan proses memahami dengan proses menjelaskan. Sekali kita berteori atau membangun cerita yang masuk akal, seketika itu pula pemahaman kita bias mengikuti kecenderungan kita dalam membuat penjelasan.

Baru-baru ini di koran saya menemukan satu contoh cara belajar induktif yang menggelikan dari Bang Foke. Beliau menyatakan fenomena curah hujan akhir-akhir ini tidak dapat diprediksi, karena tahun lalu rata-rata curah hujan bulan-bulan ini di Jakarta 0... ya NOL mm. Hihihi, sebelum mengambil kesimpulan itu, baiknya Bang Foke menambah dulu sampelnya, dengan data sepuluh tahun kek atau malah data curah hujan seabad ke belakang. Kalau perlu, beliau dapat menambahkan faktor atau dimensi lain, misalnya apakah ada badai tropis.

Memang prediksi tetap tidak dapat sepenuhnya akurat walau dengan variabel dan sampel yang lebih banyak, tapi penjelasan Bang Foke kesannya terlalu lugu. Kayaknya Dr Nassim Taleb harus datang sendiri ke Jakarta untuk meluruskan pola berpikir beliau. Kita berharap beliau suatu saat tidak lagi berkata bahwa tidak ada tuh angsa hitam karena tahun lalu sama sekali tidak ada.

Pertanyaannya adalah mengapa Bang Foke dan kita semua, termasuk saya, gampang sekali terjebak dalam kesalahan berpikir seperti ini. Seperti disinggung di atas, otak kita secara biologis membutuhkan pola untuk mengingat lebih banyak informasi. Artinya pikiran kita senang mendapatkan suatu yang terpola. Di sini jebakannya. Alih-alih mendapatkan pola dari kenyataan yang sebenarnya, pikiran kita sering tertipu oleh sesuatu yang seolah terpola, padahal tidak. Nah, cerita atau teori terhadap bias berpikir seperti bensin terhadap api.

Dalam salah satu bagian bukunya, Dr Taleb mengutip novelis E. M. Forster perihal kisah wafatnya Raja dan Ratu. Coba telaah dua narasi berikut. Pertama: Raja wafat dan Ratu pun wafat. Kedua: Raja wafat, dan belakangan Ratu meninggal karena berduka. Pikiran kita cenderung lebih tertarik dengan yang kedua, karena ia “lebih bercerita” dari yang pertama. Ia mengandung pola sebab akibat.

Masalah dengan narasi kedua adalah walaupun narasinya mengandung lebih banyak kata-kata (informasi), sesungguhnya narasi ini telah tereduksi. Seolah-olah Ratu memang wafat karena berduka, padahal bisa saja ada faktor atau dimensi lain. Sama seperti Bang Foke, seolah-olah curah hujan hanya ditentukan curah hujan tahun lalu di bulan-bulan yang sama. Malangnya, karena ceritanya lebih mudah dijejalkan ke otak kita, penjelasan yang bias seperti ini justru mudah dijual. Wartawan yang katanya sangat kritis pun ikut menjual alasan Bang Foke atas ketidaksiapannya mengantisipasi banjir.

Masak sih Bang Foke demikian lugunya? Begitu mungkin Anda membelanya. Kan dia itu doktor dan penyandang titel kesarjanaan lainnya? Ya begitulah. Bahkan profesor internasional yang ditemui Dr Taleb pada suatu konferensi estetika di Roma tahun 2004 dengan mudah terjebak oleh kesalahan naratif ini. Ketika itu, sang profesor memuji-muji wawasan Dr Taleb tentang ketidakpastian. Seketika kemudian sang profesor menunjukkan sebab mengapa Dr Taleb dapat berwawasan seperti itu: karena ia dibesarkan di Timur Tengah yang ortodoks dibandingkan komunitas Protestan yang mengajarkan sebab-akibat antara usaha dan ganjaran.

Hehehe, banyak contoh yang dituliskan Dr Taleb dalam bukunya The Black Swan mengenai kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh banyak orang terdidik, termasuk ahli statistik yang sama sekali melupakan prinsip-prinsip statistik ketika berhadapan dengan persoalan sehari-hari. Jadi Bang Foke nggak perlu malu.

Bukan cuma Bang Foke. Wartawan juga nggak perlu malu. Dr Taleb mengungkap Bloomberg News suatu hari di bulan Desember 2003 mengaitkan naiknya US Treasuries dengan sebab tertangkapnya Saddam Hussein. Suatu yang sensasional! Setengah jam kemudian Bloomberg News mengaitkan turunnya US Treasuries dengan musabab tertangkapnya Saddam. Koq bisa? Begitulah manusia, bahkan yang mengaku ahli. Kita bisa membuat kesalahan yang lebih parah.

Mengapa otak kita menyukai narasi walaupun bias? Ketika kita sudah menyusun teori atau narasi – dan itu secara biologis cenderung kita lakukan bahkan tanpa sadar – kita kemudian dapat mengingat lebih jelas fakta-fakta yang cocok dengan narasi itu sembari melupakan sama sekali fakta lain yang tidak cocok. Ini memberi kita keyakinan yang bikin nyaman! Sayangnya keyakinan itu kadang keliru. Untuk menghindari jebakan kesalahan naratif ini, dalam proses berpikir kognitif, kita wajib waspada terhadap intuisi yang sering tanpa sadar kita gunakan, terutama ketika masalahnya di wilayah Extremistan.

Intuisi memang sangat efisien, cepat, dan kadang sensasional (baca juga salah satu buku favorit saya, Blink oleh Malcolm Gladwell, dan saya suka menggunakan intuisi – Y Pan), seperti ketika melihat hidung si fulan di balik tikungan. Seperti juga ketika seorang polisi terlibat dalam situasi tembak menembak yang kritis dengan penjahat yang membuatnya hanya melihat obyek penjahat saja dan “buta” dari yang lainnya. Seperti ketika kita langsung ingat bahwa Ratu wafat karena berduka.

Nah, lain kali ketika hendak menyimpulkan sesuatu, jangan mudah terjebak dengan narasi. Ketika hendak mengatakan semua kekacauan ini disebabkan oleh Inggris, introspeksi dulu. Ketika hendak mencap seseorang sebagai penganut aliran tertentu dan kemudian hendak mencap aliran tertentu itu sangat berbahaya, coba ambil wudlu, duduk, dan berhenti mengambil kesimpulan!

* Setelah membaca artikel ini, ada baiknya jika berkenan, Anda baca sendiri buku The Black Swan agar Anda dapat mengidentifikasi konsep asli Dr Taleb dari kata-kata yang saya tambahkan sendiri dan dari kata-kata yang saya tidak suka masukkan di sini.

Diinspirasi oleh The Black Swan: Bab 4: Seribu Satu Hari, atau Bagaimana Supaya Tidak Mudah Tertipu (One Thousand and One Days, or How Not to Be a Sucker), Bab 5: Konfirmasi Informasi (Confirmation Shmonfirmation!), Bab 6: Kesalahan Naratif (The Narrative Fallacy)


Baca artikel terkait sebelumnya: Yang Belum Kebaca

Selengkapnya.....

Senin, 25 Oktober 2010

Masalah Ekonomi Dunia

Satu dekade lalu, masalah krisis ekonomi pasti mengarahkan perhatian seluruh dunia ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Saat ini, kalau bicara mengenai masalah ekonomi, perhatian justru mengarah ke negara-negara maju, terutama AS dan negara-negara Eropa. Pemulihan ekonomi yang terjadi katanya berjalan lambat di negara-negara maju, sementara di negara-negara berkembang, terutama Asia, lebih cepat. Para ekonom konon khabarnya sedang berdiskusi hangat mengenai kebijakan baru untuk menyeimbangkan kembali ekonomi yang gonjang-ganjing terkena tsunami yang berpusat di AS.

Kebijakan baru yang sangat bertolak belakang dengan sebelumnya harus bersifat multilateral dan butuh koordinasi antar negara dan wilayah. Katanya untuk mencegah regulation arbitrage. Hehehe, jangankan melangkah bersama, dulu ekonom berpikir bahwa tidak perlu upaya bersama yang terkoordinasi . Pasar pasti akan mengkoreksi ketidakseimbangan. Bahkan intervensi harus seminimal mungkin. Rupanya perkembangan ekonomi dan sistem keuangan dunia akhir-akhir ini sepenuhnya di luar perkiraan para ekonom dan ahli keuangan pada masa itu. Kemungkinan besar sih sudah ada yang sadar, tapi entah kenapa, mungkin karena faktor ideologi, kegilaan dibiarkan sedemikian parah. Para penari di sektor keuangan tidak akan berhenti menari sepanjang musiknya masih hidup. Tariannya semakin dan semakin liar dan akhirnya sampai juga pada suatu titik musiknya mesti dimatikan. Titik. Suka atau tidak.

Ekonom senior Indonesia yang lama malang melintang di AS (saya nggak berani mengutip namanya karena tulisan ini nggak level untuk beliau, walaupun saya sangat bangga dengan beliau) di suatu konferensi internasional yang diselenggarakan bank sentral baru-baru ini, menyatakan kini saatnya para ekonom dengan rendah hati mengakui keterbatasan konsep-konsep mereka selama ini. Beliau menjelaskan dengan gamblang masalah aliran dana yang bersifat “round tripping” yang bikin proses intermediasi antar wilayah surplus dengan wilayah defisit menjadi tidak efisien. Semuanya mesti terkumpul dulu di AS untuk kemudian kembali lagi ke wilayah asal. Nah, konon ceritanya instrumen keuangan yang ada sangat tidak memadai untuk mendorong investasi yang lebih efisien di sektor riil. Jadi, nggak heran kemudian kalau ada tuntutan untuk mereformasi sistem keuangan, sampai ke instrumen-instrumennya.

Ah, masak sih? Coba kita lihat lagi prestasi sektor keuangan global selama ini.

Bukankah para praktisi perbankan dan sistem keuangan secara umum telah begitu sukses menghadirkan pertumbuhan yang luar biasa? Karenanya mereka menikmati juga berbagai insentif dari prestasi tersebut, baik insentif dari penguasa maupun dari pasar itu sendiri. Krisis keuangan global yang ditandai dengan runtuhnya raksasa keuangan dunia membuka mata semua orang bahwa dinamika sektor keuangan lebih dipicu oleh perilaku pengambilan risiko yang kian berisiko. Judi! Pasar memang menghargai perilaku spekulasi tersebut. Ironisnya pihak yang berwenang membiarkannya dan justru mendorongnya lebih jauh, melalui mekanisme pengamanan yang bersifat fatamorgana, seperti sekedar deposit insurance. Belum lagi di sektor keuangan terdapat mentalitas too big to fail. Yang paling parah, pihak berwenang seolah tidak mau kelihatan bodoh dengan mempertanyakan inovasi-inovasi di sektor keuangan yang makin rumit dan tidak jelas. Alasannya pasar pasti dapat menilai suatu produk keuangan. Ternyata pasar salah menilai!

Ah, masak sih? Kayaknya masih sulit dipercaya.

Coba deh perhatikan tingkat keuntungan industri keuangan dan industri sektor riil. Dapat dipastikan tingkat keuntungan (return) di sektor keuangan jauh lebih tinggi. Lebih dari itu, dalam setengah abad terakhir, pertumbuhan sektor keuangan jauh melampaui pertumbuhan sektor riil. Sebelum itu, menurut statistik yang saya perhatikan sambil lalu di seminar, pertumbuhan sektor keuangan seiring sejalan dengan pertumbuhan sektor riil. Kesimpulannya, dulu sektor keuangan layak disebut industri jasa (service industry) karena bermanfaat untuk pelanggannya, yaitu sektor riil, namun sekarang sektor keuangan lebih cocok disebut industri yang melayani diri sendiri (self-serving industry). Ini yang disebut-sebut sebagai tipuan sektor keuangan (financial sector fallacy). Hehehe pilihan kata terjemahannya berat ya? Tapi begitulah adanya. Nah, untuk itulah diperlukan apa yang disebut regulasi prudensial secara makro, untuk melengkapi regulasi prudensial secara mikro yang sudah ada.

Kalau di Indonesia, regulasi secara mikro saat ini dilakukan oleh Bapepam dan Bank Indonesia. Menurut UU, regulasi mikro ini akan diselenggarakan oleh lembaga baru yang disebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Di semua negara, regulasi prudensial makro, berbeda dengan kebijakan ekonomi makro baik fiskal maupun moneter, belum merupakan praktik yang ajeg. Sebetulnya, prinsipnya sederhana, yaitu untuk mencegah perilaku pengambilan risiko yang berlebihan. Kalau di jalanan kota-kota di Indonesia, nama kerennya polisi tidur atau speed bump. Siapa yang berwenang? Kalau bicara jalanan, harusnya polisi atau dishub. Kenyataannya, hampir setiap orang bisa bikin polisi tidur. Aneh! Hehehe, balik ke masalah di sektor keuangan, tentunya perlu juga lembaga pengatur polisi tidur sektor keuangan. Pemerintah? Bank sentral kayaknya lebih tepat! Dan harus terkoordinasi secara global.

Saya pribadi melihat perkembangan sistem ekonomi dan keuangan akhir-akhir ini cukup menggembirakan. Bukan karena krisisnya, tapi karena tanggapan ekonom dan ahli keuangan yang cenderung membalikkan arah “kebijakan” selama ini. Pasti tetap ada yang kaya dan ada yang miskin. Itu sunatullah. Bahkan di teritori ekstremistan menurut Nassem N Thaleb, orang yang berhasil seperti Bill Gates dan Steve Jobs cenderung super kaya banget. The winners take all. Jumlah mereka sangat sedikit dengan sebagian besar profit dan kekayaan. Cocok kan dengan sektor keuangan? Salah! Kalau di sektor keuangan, the winners take all and more. Orang lain, pembayar pajak misalnya, rugi menanggung kelakukan spekulatif mereka. Dengan konsep dan kebijakan yang berbalik arah, wilayah ekstremistan di sektor keuangan haram hukumnya melebihi dinamika ekstremistan di sektor riil. Malah mungkin harus lebih konservatif, mengarah ke mediokristan sedikit.

Caranya gimana? Ya belum tahu... Ekonom dan ahli keuangan, baik praktisi maupun akademisi, saja belum bisa menjawab semuanya. Konferensi internasional yang saya singgung di atas, menurut pengakuan salah seorang moderatornya, merupakan tempat mendiskusikan masalah dan wacana. Solusinya masih harus dipikirkan setelah pulang ke rumah! Artinya apa nih? Ya, reformasi sektor keuangan dan regulasi prudensial secara makro, baik institusi maupun instrumennya, masih perlu dipikirkan lagi lebih mendalam, terlebih lagi katanya diperlukan kesepakatan internasional, Basel III atau Basel IV, hmm. Wah, susah juga ya. Kalau geraknya nggak cepat, status quo akan tetap bertahan dalam waktu yang cukup lama, takutnya krisis berikutnya terlanjur terjadi! Wow, kalau yang kemarin disebut melting down, yang berikutnya bisa-bisa bursting up... ih ngeri.

Mungkin saatnya nih ekonom dan ahli keuangan syariah menunjukkan jalan pencerahan. Sayangnya di konferensi yang saya sebut di atas, nggak ada tokohnya baik dari timur maupun barat yang hadir. Nggak diundang kali?

Baca cerita lain:
Bankir
Dunia Perlu Di-Restart
Kebijakan Berbalik Arah
Menggugat Warisan Greenspan

Selengkapnya.....

Selasa, 28 September 2010

Maafkan Dulu

Kadang-kadang saat kita capek, anak-anak yang kita sayangi malah bikin gara-gara. Pertama, dia mungkin hanya menunjukkan manjanya. Karena tidak mendapat cukup perhatian, kemudian dia mengeskalasi aksinya. Darah mulai panas dan makin panas. Akhirnya dia bikin darah kita mendidih. Anak ini harus diperbaiki. Caranya? Penalti atau sanksi!

Dulu waktu belum pengalaman mendidik dan belum cukup pengetahuan, penalti berupa pukulan walaupun ringan sering jadi senjata pertama. Sungguh menyesal rasanya begitu mudah menyakiti buah hati sendiri. Sejak memahami hukuman berupa time-out, anak kedua kami sampai yang kelima sekarang nyaris bebas dari pukulan fisik. Hukuman duduk di pojok, duduk di kursi lengket, atau kurungan kamar terasa cukup efektif sebagai sarana pengendalian. Sesekali hukuman fisik saya terapkan juga.

Nah, suatu saat anak kelima kami yang masih balita bikin ulah. Entah gara-gara apa, dia akhirnya didiamkan oleh istri saya. Memang anak bungsu kami ini termasuk jarang terkena time-out. Sebagiannya mungkin karena dia lebih anteng dari kakaknya. Sebagian lain mungkin kami terkena sindrom memanjakan anak bungsu. Karena didiamkan terus oleh ibunya, akhirnya dia masuk ke modus akhir, yaitu nangis sekeras-kerasnya dan nggak putus-putus.

Hehehe, rasanya kesal banget waktu itu. "Ayolah Dik, penuhilah apa maunya anak ini." Demikian saya coba bujuk istri, soalnya si anak nggak mau deal sama siapa-siapa, kecuali ibunya. Akhirnya terungkap juga. Rupanya anak ini sempat menyakiti ibunya. "Dia harus minta maaf dulu," demikian kata istri saya. Ah, rupanya sanksi yang diterapkan istri adalah kewajiban Ahmad untuk minta maaf dulu. Ya, memang kita harus menanamkan nilai-nilai penghormatan kepada orangtua.

Sementara itu, suasana belum reda juga. Anak bungsu kami rupanya sudah mengunci modusnya, nangis keras-keras. Akhirnya ibu mertua saya yang kebetulan sudah beberapa hari di rumah kami berkata ke istri saya, "Maafkanlah. Maafkan dulu." Setelah istri saya melepaskan kekesalannya dengan memaafkan, meskipun mungkin baru sebagian, si anak akhirnya bisa dibuat berhenti menangis. Koreksi kemudian baru mungkin dilakukan.

Cerita di atas terjadi kurang lebih setahun lalu. Berbulan-bulan kemudian, tepatnya hari ke-29 Ramadhan lalu, saya mengikuti kuliah dzuhur di masjid kantor. Kata ustadz, kita bisa membalas perlakuan buruk orang lain dengan yang setara, tapi akhlak yang lebih baik adalah jika kita memaafkan. Yang lebih baik lagi adalah jika setelah memaafkan kita melakukan perbaikan. Misalnya, kalau mobil kita diserempet, kita maafkan saja, lalu kita ingatkan besok-besok jangan begitu lagi.

Rupanya contoh itu nggak terasa mengacu ke kejadian serempetan antar alumni perguruan tinggi terkemuka di Jakarta dengan alumni perguruan tinggi terkenal di Bandung. Waktu dengerin ceramah, saya nggak langsung sadar, mungkin sebagian karena lapar. Setelah saya ingat-ingat isi kuliah dzuhur itu di rumah, ngertilah saya sang ustadz dengan cara yang sangat halus menyindir banyak atau bahkan sebagian besar pengguna jalan yang bermaksud memperbaiki kelakuan orang lain.

Saya sering kesal di jalan ketika pengendara lain berperilaku seenaknya. Rasanya ingin sekali memperbaiki kesalahan itu. Saya juga sering kesal kalau di kantor ada rekan yang seolah ingin bikin masalah terus. Ingin rasanya mengkoreksinya. Di rumah juga begitu. Di toko, di restoran, di antrian bank, di kantor layanan pemerintah, di masjid dekat rumah, di sekitar rumah, dan seterusnya dan seterusnya.

Kesal mungkin kosakata yang negatif untuk Anda. Sebaiknya saya ganti dengan kata peduli. Peduli kemudian menimbulkan aspirasi untuk perbaikan. Namun demikian, ketika tindakan koreksi diambil tanpa memaafkan terlebih dulu, betapapun positif kata peduli itu, lebih sering malah timbul masalah baru. Justru orang yang mau kita tuntut tanggung jawabnya itu serta merta menuntut balik ke kita, bahkan menyalahkan dan mencela kita.

Siklus saling mencela itu mudah sekali kita lihat di sekitar kita. Aliran atau mazhab yang satu mencela aliran yang lain. Itu dibalas dengan celaan lagi. Eskalasi sertamerta terjadi. Salah-salah malah jadi adu tonjok, seperti yang dialami dua pengemudi yang serempetan itu. Malah eskalasinya menyebar ke milis alumni. Untung masalahnya tidak berkepanjangan. Karena apa? Karena ada maaf.

Nah, kalau kita bicara lebih spesifik mengenai perselisihan khilafiah antar mazhab Islam, rindu sekali kita akan suatu diskusi yang santun. Miris rasanya kita menyaksikan aksi saling hujat. Bahkan saling hujat ulama masing-masing, padahal ulama-ulama yang dihujat itu telah berijtihad dan bekerja. Yang lebih sedih lagi, perselisihan ini mudah sekali menimbulkan kesan negatif terhadap Islam.

Alangkah indahnya ketika dialog atau bantahan yang dilakukan benar-benar dilakukan dengan cara yang baik. Jika ada yang tidak bisa diselesaikan lewat dialog, biarlah jalur yang disediakan pihak berwenang yang menjadi saluran utama penyelesaiannya, tentu dengan kelapangan dada menerima perbedaan yang belum dapat disatukan itu.

Akhirnya, kita tetap perlu menyadari bahwa usaha perbaikan dalam banyak hal tidak langsung efektif hanya dengan satu-dua tindakan. Makanya dibutuhkan banyak sekali kesabaran. Satu truk nggak cukup! Untuk itu, mudah memaafkan mesti jadi bagian karakter kita. Seperti akhlak Nabi Muhammad SAW -lah. Walaupun sikap mudah memaafkan pihak lain dapat dimanfaatkan atau dimanipulasi oleh pihak lain tersebut, jelas ia jauh lebih baik dibandingkan sikap mudah menyalahkan dan mencela!

Selengkapnya.....

Sabtu, 25 September 2010

Di Luar atau Diluar

Seorang pengunjung blog ini, Mas Fajar mengajukan mana yang betul...

di luar atau diluar

Saya memang belum pernah membahas masalah ini yang menurut saya memang tidak bisa hitam-putih begitu saja. Sementara, saya menganggap dua-duanya dapat digunakan. Lho koq pragmatis banget? Ya, kesannya pragmatis, tapi sebetulnya alasannya tidak pragmatis. Begini alasan saya...

Kata dasar luar sesungguhnya menunjukkan tempat, sebagaimana dalam, atas, bawah, depan, belakang, samping, kiri, dan kanan. Aslinya begitu, tapi penggunaannya terkadang agak samar. Misalnya, kita sering mengatakan, "Di samping itu, ada masalah yang lebih penting." Nah, kata samping dalam kalimat ini bernuansa tempat, walau agak samar. Maksudnya bukan tempat secara fisik, tapi "tempat" dalam tataran ide yang lebih abstrak.

Nah, mengikuti argumen di atas, bisa disimpulkan bahwa penggunaan frasa-frasa di bawah ini tul-betul-betul belaka.
di dalam
di atas
di bawah
di depan
di belakang
di samping
di kiri
di kanan

Inilah aturan aslinya, dan dalam hal ini, "di" adalah kata depan. Kalau begitu, diluar keliru dong. Ok, menurut aturan asli memang keliru, tapi pernah mungkin kita bertanya-tanya apakah kata "into" dan "onto" dalam Bahasa Inggris aslinya memang begitu. Ternyata tidak! Mereka berasal dari "in to" dan "on to" yang kemudian digabung. Penggabungan kata seperti ini dikenal juga dalam tata bahasa kita.

Contoh penggabungan dua kata... Dua kata "orang tua" menjadi "orangtua" yang artinya bukan sekedar orang yang sudah tua, tapi ayah atau ibu atau pendahulu kita. Dua kata "ke luar" menjadi "keluar" yang bukan hanya berarti ke arah luar, tapi suatu aktivitas atau kerja. Bahasa Arabnya khoroja dan Bahasa Inggrisnya exit. Malah turunannya ada lagi, seperti mengeluarkan dan dikeluarkan.

Kasus "di luar" menjadi "diluar" mirip kasusnya dengan "out side" menjadi "outside" ya nggak? Tapi diluar bukan dibentuk dari awalan di- dan suatu kata kerja, karena luar bukan kata kerja sama sekali meskipun bisa aja kemudian diikuti kata kerja atau kata-kata yang bernuansa aktivitas. "Di" tetap saja asalnya adalah kata depan yang digabung dengan "luar" yang merupakan kata bernuansa tempat. "Diluar" seperti "outside" menjadi satu kata sendiri.

Nah, jebakannya di sini. Tidak semua pasangan dua kata, khususnya yang menggunakan kata depan, dapat digabungkan. Lho emang kenapa? Ya, karena memang begitu. Yang berikut ini mungkin bisa jadi ilustrasi.

dikantor tetap salah, mestinya di kantor
dijakarta tetap salah, mestinya di Jakarta
dikiri tetap salah, mestinya di kiri
... dan seterusnya...

Yang boleh digabung dan kemudian membentuk kata baru: keluar, kemana, kesana, kemari, diluar, dimana, tapi tetap saja ada dorongan untuk menggabung semuanya, hehehe, walaupun kurang tepat, seperti yang ini: diatas, dibawah, disini. Yah, begitulah bahasa memang apa yang digunakan, sedangkan penggunaan apapun oleh makhluk yang bernama manusia selalu ada pengecualian yang keluar dari aturan asal.

Anyway, akhirnya, kita tidak perlu banyak mengeluarkan energi untuk debat yang sifatnya seperti kasus belakangan ini. Khilafiah! Kita serahkan ke yang (tentunya aneh kalau kita gabung jadi keyang) berwenang aja. Artinya... Lihat kamus dong. Sayangnya Kamus Besar Bahasa Indonesia terkesan masih sulit diakses. PR pemerintah dan Lembaga Bahasa Indonesia.
!

Selengkapnya.....

Jumat, 17 September 2010

Seputar Ramadhan

Seorang teman berjalan di koridor kantor menuju masjid. Saya baru kembali dari masjid menuju kantor. Sedikit menggoda, saya bilang, "Wah ketinggalan nih." Setelah kasih alasan, dia balik menggoda, "Lho, koq nggak dengerin ceramah dzuhur?"

Sekenanya saya jawab kurang lebih, "Ibadah ramadhan bukan hanya denger ceramah."

"Kalau gitu, apa artinya Ramadhan syahrut tarbiyah (bulan pendidikan)?"

Masih agak bercanda, saya jawab, "Artinya bulan latihan. Bukan hanya sekedar mengumpulkan materi. Ntar jadi materialistis."

"Oh..."

Hehehe, dialog di atas memang terkesan nggak serius, tapi sebenarnya materinya cukup berat dan cukup berdasar juga. Beberapa hari sebelumnya, saya mendapat email perihal ceramah tarawih. Menurut seorang ulama dari Saudi, ceramah tarawih memiliki sisi negatif. Pertama, bisa terkena hukum bid'ah, jika pengurus masjid merasa kurang afdhol tanpa ceramah tarawih. Kedua, ceramah tsb membuat sebagian jamaah pulang lebih awal, tanpa ikut shalat witir, karena alasan ceramahnya bikin lama. Hal ini membuat sebagian orang tersebut tidak mendapat ganjaran penuh dari Allah, sebagaimana seorang yang shalat semalam suntuk.

Ah, isi email itu punya poin juga, tapi saya ngerti banget sikap para pengurus masjid dan mubaligh. Ramadhan dijadikan momentum super sebagai upaya menyebar pencerahan bagi jamaah. Yah, selama niatnya bener, mudah-mudahan Allah memaafkan dan mengampuni kita semua dengan segala sisi ketidaksempurnaan.

Nada yang kurang lebih sama saya dapati ketika mengikuti kuliah subuh dengan materi fikh i'tikaf. Menurut sang ustadz, kegiatan i'tikaf kita kebanyakan dilakukan secara kolektif. Itu kurang sesuai sebetulnya dengan makna i'tikaf itu sendiri, yaitu ketika kita mengkhususkan diri berduaan dengan Allah saja. Lagi-lagi saya paham mengapa pengurus masjid tetap menggelar shalat malam berjamaah pada malam-malam i'tikaf. Saya juga paham ketika ada peserta i'tikaf membaca Al-Qur'an dengan suara keras atau ada yang berdiskusi materi tertentu.

Saat-saat itu, antara jam satu hingga jam empat dini hari menurut saya duduk atau berdiri-ruku-sujud dalam sunyi lebih utama. Kalaupun ada bacaan dan doa yang kita lafadzkan, cukuplah telinga kita sendiri yang mendengar. Kenyataannya aktivitas di malam-malam i'tikaf itu sering tidak sesunyi yang saya rindukan. Nggak apalah.

Segala aktivitas kolektif itu bagian dari syiar dan pembiasaan. Bagaimanapun, alangkah indahnya ketika tiap muslim punya kapasitas yang memadai untuk melaksanakan latihan-latihan di bulan Ramadhan, termasuk i'tikaf, secara individual ketika memang seharusnya lebih tepat untuk dilakukan sendiri-sendiri. Sebagai suatu proses, lagi-lagi kita mesti berusaha saling memahami segala keterbatasan. Dan kepada Allah jua kita memohon ampun.

Nah, ngomong-ngomong mengenai realitas yang kurang ideal, saya jadi teringat ungkapan bahwa keindahan Islam tertutup oleh kaum muslimin itu sendiri, tentunya termasuk saya, yang bertanggung jawab membuat non-muslim sering salah paham terhadap Islam. Ah, ini cerita lain. Mungkin setelah kembali dari Solo, saya insya Allah akan menulis mengenainya.

Peace!

Selengkapnya.....

Senin, 30 Agustus 2010

Dia Bukan Pilihanku Lagi

Waktu berangkat remaja, saya sering sengaja memandang rendah anak pejabat publik yang tidak tahu diri. Ya mungkin saya terjangkit perasaan iri terhadap berbagai fasilitasnya. Entahlah! Yang jelas saya tidak suka saja. Nah, waktu suatu orde menjadi-jadi dan cenderung menjadi dinasti, perasaan itu makin menjadi. Ketika BJH memberikan banyak bintang penghargaan ke kerabat dan teman dekatnya, perasaan yang sama sedikit banyak muncul. Ah, sayang.

Konon menurut cerita, khalifah Umar bin Abdul Aziz kedatangan tamu di ruang kerjanya. Ternyata itu putranya sendiri. Setelah mengklarifikasi maksud kedatangan putranya, dengan santai Sang Khalifah mematikan lampu penerangan yang dibiayai oleh negara. Wow, ektrem kata sebagian orang. Ya benar juga, tapi itu pilihan yang indah.

Cerita lain, konon sebagaimana orang-orang lain, putra penguasa memiliki ternak yang digembalakan di tanah milik publik. Herannya ternak yang bersangkutan terlihat lebih gemuk dari milik orang-orang lain. Penguasa yang merupakan salah seorang sahabat mulia merasa gerah. Jangan-jangan publik sengaja memberi jatah lebih ke ternak-ternak milik putranya merumput di situ. Segera beliau mengambil tindakan untuk menghindari fitnah.

Kisah teladan lainnya, suatu saat putra khalifah melakukan kunjungan ke salah satu provinsi. Dalam kunjungan ke bawahan ayahandanya tersebut, sang putra melakukan transaksi jual beli yang menguntungkan. Ketika kembali dan melaporkan perjalanannya ke khalifah, terkejutlah sang putra karena khalifah tidak berkenan dengan transaksi tersebut. Sebagian besar keuntungan diambil untuk negara karena khalifah kuatir keuntungan besar timbul karena putranya adalah pihak yang terafiliasi.

Istri khalifah gimana? Ya ada juga contohnya. Sang istri banyak menerima hadiah dari istri kepala negara lain. Setelah tahu, khalifah mengambilnya untuk perbendaharaan negara. Memang hal seperti ini serta contoh-contoh di atas sering dianggap terlalu indah, too good to be true, tapi demikianlah kisah-kisah teladan itu pernah terjadi.

Nah, hari-hari ini kita rindu pada sosok pemimpin yang bisa meletakkan dunia dan kekuasaan di tangannya, bukan di hatinya, apalagi di hati-hati keluarga, kerabat, dan pengikutnya. Pembelaan bahwa semua orang boleh menitipkan souvenir ke istana untuk dibagi-bagikan ke rakyat pada upacara kenegaraan terasa jauh dari nuansa kejernihan. Pembelaan bahwa penjara akan terbebani jika grasi tidak dikeluarkan mencerminkan kegalauan hati pemiliknya.

Hari-hari ini sungguh penuh krisis. Harapan yang dibangun kenapa harus dipadamkan lagi? Oh, memang demikianlah, dia bukan pilihanku lagi!

Selengkapnya.....

Rabu, 04 Agustus 2010

Bentuk Kata Kerja Aktif

Ayo makan.
Pergi sana!
Dia sedang makan.
Dia baru saja pergi.
Pada saat itu sang pawang bepergian ke kota.
Singa itu memakan mangsanya.

Kalimat-kalimat di atas adalah beberapa contoh penggunaan berbagai bentuk kata kerja aktif.

Anak-anak berlarian ke sana ke mari.
Atlet itu berlari cepat sekali.
Pelatih segera melarikan Badu ke rumah sakit.

Mereka melempar batu.
Mereka melempar jumroh.
Mereka melempari jumroh dengan kerikil.
Mereka melemparkan kerikil ke jumroh.

Nah, kalau kita perhatikan baik-baik berbagai penggunaan kata kerja di atas, dengan mengkombinasikan kata kerja dasar dengan awalan dan akhiran, kita dapat membuat pola seperti ini.

<kata kerja dasar>
ber-<kata kerja dasar>
ber-<kata kerja dasar>-an
me-<kata kerja dasar>
me-<kata kerja dasar>-kan
me-<kata kerja dasar>-i

Selanjutnya, kita juga tahu nggak semua kata kerja dasar dapat dikembangkan dan digunakan menurut semua kombinasi pola di atas. Maksud saya, kita tidak dapat menggunakan mengerja tetapi harus mengerjakan. Sama juga kasusnya, kita tidak dapat menggunakan bermakan, kecuali untuk kasus sangat khusus bermakan ria, berjoget ria, berdangdut ria, berpesta ria, dan lain-lain.

Di bawah ini contoh bentukan kata kerja yang nggak pernah atau sangat-sangat jarang digunakan.

berlempar (bisa juga berlemparan)
melari
melarii (hehehe kombinasi dengan me- dan -i)
menasehat
menasehatkan (bisa sih digunakan, tapi...)
mengkonsumsikan (paling banter mengkonsumsi)

Oya kenapa saya tidak suka menggunakan mengonsumsi ada di artikel yang lain: Memesona atau Mempesona.

Mungkin kita penasaran, ada nggak kata kerja yang bisa dibentuk mengikuti semua pola di atas. Nih, coba...

kerja
bekerja
bekerjaan atau bekerja-kerjaan (agak aneh tapi masih ok)
mengerja (nah jelas nggak bisa)
mengerjakan
mengerjai
Eh ada satu lagi: mempekerjakan (wah pola satu lagi nih)

Coba lagi yang ini...

dukung
berdukung (hm kayaknya nggak deh)
berdukungan
mendukung
mendukungkan (aneh tapi masih ok)
mendukungi (aneh ini tapi mungkin penggunaannya seperti ini: orang yang didukung mendukungi yang mendukung, hehehe)

Wah, saya belum menemukan juga. Ntar deh kapan-kapan. Yang jelas saya belajar bahwa semakin banyak imbuhan yang digunakan, bentukan kata kerjanya semakin bernuansa rumit dan spesifik.

Saya belajar. (ya begitu aja sudah jadi kalimat sempurna)
Saya mempelajari. (kalimatnya belum sempurna, seharusnya ada obyek)
Saya mempelajari sejarah. (ini baru ok)

Secara umum, makin kompleks polanya, obyek dan keterangan yang menyertai kata kerja bisa makin banyak.

Presiden mengandalkan kabinetnya.

Ini sebetulnya sudah cukup, tapi terdapat sesuatu yang implisit, yang bisa ditanyakan: untuk apa?

Presiden mengandalkan kabinetnya untuk mewujudkan janji-janji kampanye.

Memang ekstrim 'saya belajar' bisa aja dibuat kompleks dengan menambahkan obyek dan keterangan, tapi ia sudah cukup dengan sendirinya karena nggak wajib disertai obyek dan nggak mesti cenderung mengandung muatan implisit.

Nah yang terakhir, saya mendapat pertanyaan dari pengunjung blog saya di artikel Akhiran -kan dan Akhiran -an. Kasusnya begini:

memberi yang terbaik ATAU memberikan yang terbaik

Mari kita kaji dulu...

beri
berberi atau beberi (nggak deh)
berberian (wah apa lagi ini)
memberi
memberikan
memberii (hehehe nggak ada penggunaan ini)
memperberikan (hehehe nggak juga deh)

Jadi yang paling tinggi dengan nuansa yang paling rumit dan paling spesifik adalah memberikan. Harus ada subyek dan harus ada obyek. Kalau mengikuti rasa bahasa saya, masih ada yang implisit. Tambahan keterangan akan melengkapinya.

Dia memberikan uangnya (kepada pengemis itu).

Lebih jauh, masih ada konotasi lain bahwa obyek yang diberikan bukan miliknya sendiri.

Dia memberikan uang (sumbangan warga) (kepada pengemis itu).

Nah, klop sudah, tapi bagaimana dengan memberi? Tidak harus ada obyek yang mengikutinya, tapi lebih baik kedengarannya kalau diikuti obyek. Apakah ada juga kecenderungan adanya keterangan yang implisit? Fifty-fifty menurut saya. Tambahan keterangan bukan suatu kecenderungan, tapi boleh aja ada.

Dia memberi (makan) (anak-anaknya) (dari belas kasihan orang lain). (wow dua obyek)

Ternyata baik memberi maupun memberikan merupakan bentukan kata kerja yang dapat bernuansa rumit dan spesifik, tapi memberi bisa lebih lebih sederhana karena 'dia memberi' sudah cukup dengan sendirinya.

Kembali ke dua pilihan 'memberi yang terbaik' ATAU 'memberikan yang terbaik', saya rasa (ya benar-benar rasa bahasa saya yang banyak dipengaruhi bagaimana kedengarannya suatu kata atau kalimat) keduanya dapat digunakan. Namun demikian, menurut hemat saya 'memberikan yang terbaik' adalah yang terbaik. Frasa 'memberikan yang terbaik' lebih menyiratkan:

(1) ada obyek lain yang menerima pemberian,
(2) bahwa yang diberikan bukanlah mutlak milik sang pemberi,
(3) bahwa ada kontribusi pihak lain dalam obyek yang diberikan, dan
(4) bahwa memberikan LEBIH AKTIF dari sekedar memberi.

Kesimpulannya untuk dua pilihan tersebut: 'memberikan yang terbaik' jauh lebih dahsyat secara kontekstual, baik dilihat dari pihak-pihak yang terlibat maupun prosesnya itu sendiri. Wallahu a'lam!

Selengkapnya.....

Rabu, 07 Juli 2010

Taksir, Taksir, Taksir

Sangat sering dalam manajemen proyek, kita menaksir atau memperkirakan jadwal dan biaya suatu proyek pada awalnya (ketika kita masih sedikit sekali tahu) dan kemudian tidak pernah melihat kembali taksiran tersebut selama jalannya proyek (ketika kita sudah tahu lebih banyak dibandingkan pada awalnya). Lebih buruk lagi, kita sama sekali tidak pernah membandingkan taksiran mula-mula dengan hasil aktual untuk mengasah keahlian kita ke depan.

Praktik yang berlaku pada organisasi saya (Richard Sheridan di Ann Arbor sebagai penulis artikel asli – Y Pan) berbeda. Kami menaksir seminggu sekali untuk tiap proyek. Bahkan untuk kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya tapi belum dikerjakan, kami menaksirnya lagi. Mengapa? Alasannya sebagai berikut:

(1) Kami makin baik dalam memperkirakan kalau kami makin sering melakukannya.

(2) Kadang-kadang kami kemudian tahu hal baru dan itu membantu perkiraan selanjutnya.

(3) Kadang-kadang kami baru sadar bahwa kami tidak tahu seperti yang kami duga dan itu membantu perkiraan selanjutnya.

(4) Seringkali ketika proyek kami melibatkan teknologi baru, taksiran awal mengandung ”ketakutan” built-in; seiring kami belajar lebih banyak tentang teknologi baru dimaksud, faktor ”ketakutan” akan berkurang.

(5) Pembuatan estimasi adalah suatu diskusi yang penting di tempat kami, karena kami melakukannya sebagai aktivitas kelompok.

Cara terbaik untuk mengasah kemampuan memperkirakan atau menaksir adalah dengan mencatat dan mengikuti kejadian aktual sehingga tim yang terlibat mendapatkan masukan seberapa bagus prakiraan sebelumnya. Sedikit peringatan: Anda tidak dapat menggunakan informasi ini untuk menghukum tim yang terlibat! Akuntabilitas yang hakiki dalam menaksir bukan berarti tim Anda harus mencapai perkiraan, tapi lebih kepada mereka menginformasikan segera jika diketahui perkiraan akan meleset.

Berikut ini suatu permainan sederhana untuk melatih kemampuan dalam menaksir dan mendapatkan feedback. Ambil tiga botol kosong yang ukurannya mulai dari kecil ke sedang ke besar dan isi ketiganya dengan butiran agar-agar. Catat seberapa banyak butiran untuk memenuhi tiap botol.

Kumpulkan kelompok Anda yang berminat belajar estimasi. Lalu mintalah semua anggota menaksir jumlah butiran agar-agar di botol kecil. Bagus juga sih kalau Anda meminta mereka melakukannya berpasang-pasangan.

Berilah mereka waktu yang sangat singkat untuk menghasilkan suatu taksiran dan mintalah mereka menuliskannya. Kumpulkan data dengan meminta setiap pasang menyebutkan secara lantang perkiraan masing-masing. Tuliskan taksiran-taksiran di whiteboard atau flipchart. Lakukan hal yang sama untuk botol kedua dan ketiga.

Akhirnya, sampaikan kepada kelompok bahwa ini adalah cara yang cukup baik untuk mengestimasi. Jangan lupa berterima kasih atas input mereka dan undanglah anggota kelompok untuk mengajukan pertanyaan sebelum kegiatan dilanjutkan. Nah, seseorang akan (belum pernah gagal di pengalaman saya) bertanya sebetulnya berapa butir agar-agar yang ada di tiap botol. Mereka ingin tahu! Biarkan mereka menduga-duga sebentar kemudian katakan betapa lucunya mereka. Bagaimanapun, it’s just a jar of jelly beans.

Sekarang Anda sudah membuat mereka berada di posisi yang Anda inginkan. Tanyakan pada mereka berapa kali mereka mendapatkan data sebagai umpan balik kepada tim mereka pada topik yang jauh lebih penting dan mereka mencemooh dan menganggapnya tidak penting (maksudnya kalee: kalau untuk permainan sederhana di atas mereka sangat ingin mendapatkan umpan balik, seharusnya untuk umpan balik proyek lebih serius lagi – Y Pan). Mengabaikan umpan balik tak akan terjadi lagi...

* Terjemahan bebas dari ”Estimate, Estimate, Estimate” oleh Richard Sheridan, Ann Arbor, Michigan, US, di buku “97 Things Every Project Manager Should Know”

Selengkapnya.....

Selasa, 06 Juli 2010

Kekuatan Cerita

Cerita merupakan alat perubahan yang sangat powerful. Semua penda'wah menggunakannya. Guru-guru yang cerdas juga selalu menyampaikan kisah penuh hikmah agar pesan benar-benar meresap ke dalam hati para murid. Hanya orangtua yang belum berpengalaman yang tidak suka bercerita kepada anak-anaknya. Bisa dikatakan bahkan semua buku, artikel, dokumen, berita koran, iklan komersial, iklan layanan masyarakat, dan pidato adalah cerita.

Sungguh membosankan membaca buku atau mendengar nasihat atau mengikuti argumen yang kering dari tuturan cerita. Bagi kebanyakan orang angka statistik, persamaan matematika, dan kalimat normatif adalah jejalan informasi yang sangat tidak menarik, tetapi begitu ceritanya diketahui barulah perhatian mengikuti. Nah, andai kita suatu waktu bertugas memimpin workshop, seminar, atau pertemuan apapun, kita mesti persiapkan kumpulan cerita yang bagus.

Cerita ada di mana-mana. Ketika kita duduk mengamati sekitar, cerita sudah menanti untuk dituturkan. Asal kita tidak tidur... eh bahkan bunga tidur sekalipun selalu siap dituliskan. Lalu mengapa sering kita tidak mau bercerita? Banyak sih faktornya. Mungkin terlalu capek. Mungkin juga tidak ada tema atau tujuan. Dalam kondisi terakhir, cerita yang dipaksa keluar menjadi kurang bermakna. Mungkin juga kita sangat jarang mendengar dan membaca cerita.

Suatu hari saya duduk mengikuti kuliah zuhur di masjid kantor. Penceramahnya sudah saya anggap sebagai salah satu guru besar saya. Beliau memang profesor. Doktornya dari Al Azhar. Hari itu inti ceramahnya dimulai dengan satu kisah ketika RasululLah ditagih hutang oleh seorang yahudi. RasululLah sedang memberikan ceramah (tentu di dalamnya banyak tuturan kisah) kepada sahabat-sahabat beliau yang utama. Tiba-tiba datanglah seorang yahudi menghardik sambil mencengkeram kerah RasululLah. "Hai Muhammad bayarlah hutangmu!"

Yahudi memang terkenal sangat bermusuhan dengan kaum muslimin sampai hari ini. Tetapi hardikan kepada RasululLah ketika sedang berceramah tentu sangat kelewatan. Wajar jika kemudian Umar ra yang naik pitam meminta izin RasululLah untuk menghukum orang itu. Namun, akhlak RasululLah sungguh teramat mulia.

Walaupun banyak yahudi memusuhi beliau karena da'wahnya, beliau tetap bermuamalah dengan mereka dengan cara yang baik. Tidak heran kalau terjadi transaksi dagang antara beliau dengan orang-orang yahudi. Dengan orang yang menagih itu, beliau melakukan transaksi non-tunai. Pembayaran yang dijanjikan belumlah jatuh tempo. Entah mengapa si yahudi menyegerakan penagihan. Tanpa etika pula! Jika kita di posisi RasululLah, wajar kita langsung mengizinkan Umar ra memenggal lehernya. Namun, tidak demikian akhlak seorang nabi.

RasululLah tetap santun dan lembut. Ketika ditanya dengan baik, orang tersebut berkata kurang lebih, "Aku telah mempelajari ciri-ciri engkau, hai Muhammad. Semuanya cocok dengan ciri-ciri seorang nabi. Hanya satu yang belum kuketahui, tapi hari ini aku mendapati engkau tetap lembut ketika layak marah kepadaku. Saksikanlah tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah RasululLah."

Ceramah lalu dilanjutkan dengan satu kisah lain. Di kota Madinah memang banyak orang yahudi. Mereka sebenarnya mencari-cari nabi akhir zaman di kota yang teduh ini. Sayangnya ketika ternyata Muhammad seorang arab yang mendapat wahyu, banyak yahudi Madinah yang tidak mau mengakuinya. Salah satunya adalah seorang pengemis buta. Setiap waktu dia berkata, "Jangan ikuti Muhammad karena dia itu jahat." RasululLah tetap menyantuni si pengemis, walaupun dihina seperti itu.

Beliau memberi roti kepadanya. Ah rupanya karena sudah uzur roti keras tidak nyaman baginya. RasululLah segera tahu hal itu. Beliau melembutkan roti itu dengan mencelupnya ke susu sebelum disuapkan kepadanya. Pengemis itu seperti biasa berkata, "Jangan ikuti Muhammad karena dia itu jahat." Ini kemudian menjadi rutinitas, hingga akhirnya RasululLah wafat. Pengganti beliau, khalifah Abubakar ra berupaya sekeras tenaga untuk mengikuti kebiasaan Nabi Muhammad. Ada yang diketahuinya. Ada yang tidak.

Saking inginnya mengikuti RasululLah, Abubakar ra bertanya kepada putrinya Aisyah ra yang juga istri RasululLah, kira-kira apalagi kebiasaan beliau yang belum diikuti. Aisyah memberitahu ayahandanya mengenai si pengemis yahudi. Abubakar kemudian menemuinya dan memberikan roti sebagaimana RasululLah, tapi ia tidak tahu persis bagaimana caranya. Ketika hal itu terjadi, si pengemis menggamit tangan Abubakar ra dan berkata, "Ini bukanlah orang yang biasa memberikan roti ini untukku. Dia biasanya melembutkan roti terlebih dahulu dengan susu. Di mana dia?"

Abubakar menjelaskan bahwa orang yang biasa memberi roti ke pengemis itu telah wafat. Ia bertanya siapa orang itu sebenarnya. Dijelaskan bahwa orang itu adalah Muhammad RasululLah. Seketika pengemis yang selalu mencela RasululLah itu bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad itu RasululLah.

Demikianlah dua kisah yang sangat powerful. Pesan apa yang ingin disampaikan dalam dua cerita ini? RasululLah sungguh memiliki sifat ihsan yang luar biasa. Ah, ceramah selanjutnya jadi lebih mudah. Cerita sudah masuk ke hati. Dengan dorongan sedikit demi sedikit, pendengar ceramah pertama akan makin cinta kepada RasululLah dan kedua akan mencoba semakin mendekati jejak nabi untuk memberikan yang terbaik.

Nah, kembali ke kekuatan cerita, dapat dikatakan cerita sudah mengubah peradaban manusia! Apalagi hanya suatu organisasi!

Selengkapnya.....

Rabu, 26 Mei 2010

Turki-Brasil Kagetkan Barat

Laporan wartawan Rakaryan Sukarjaputra
Rabu, 26 Mei 2010 | 06:16 WIB

KOMPAS.com - Ketika memutuskan pergi ke Teheran untuk menembus kebuntuan program nuklir Iran, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mendapat cemoohan. Dia dituding sekadar mencari popularitas.

Nyatanya, Lula bersama pemimpin Turki bisa menghasilkan kesepakatan dengan Iran. Inti kesepakatan 17 Mei itu relatif sama dengan yang pernah diusulkan mantan Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) Mohammed ElBaradei.

Kesepakatan itu berupa kesediaan Iran mengirimkan 1.200 kilogram uranium dengan kadar pengayaan rendah ke Turki. Setelah setahun Iran akan menerima kiriman uranium kadar pengayaan tinggi untuk bahan bakar reaktor nuklir di Teheran. Usulan IAEA dukungan Barat, negara yang ditunjuk untuk menerima ”titipan” uranium Iran antara lain Rusia.

Muncul komentar menihilkan kesepakatan Brasil-Turki-Iran. Namun, AS dan Barat tertampar dengan hasil diplomasi Lula. China dan Rusia, sama-sama anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, menyambut kompromi Iran itu.

Reaksi AS dan Barat bisa ditebak. Kubu ini langsung menyebarkan rancangan resolusi mengenai sanksi-sanksi baru lebih keras terhadap Iran, tidak peduli dengan upaya Brasil dan Turki, sama-sama anggota tidak tetap DK PBB.

Lula, dalam sebuah pidato di Brasilia, ibu kota Brasil, Rabu (19/5), menuduh Barat memiliki sikap ingin menang sendiri soal nuklir Iran.

Hal yang dilakukan Lula menjadi pelajaran diplomasi yang sangat berharga. Sebagai negara yang serius ingin melakukan perubahan di PBB, terutama reformasi DK PBB, terobosan Lula mendukung cita-cita Brasil untuk menjadi anggota tetap DK PBB. Diplomasi Lula juga mencerminkan bagaimana Brasil mengoptimalkan posisinya di DK PBB, berani mengambil risiko berseberangan dengan adidaya tanpa tendensi bermusuhan dengan adidaya.

Peran Rusia

Diplomasi Lula tidak terlepas dari peran Presiden Rusia Dmitry Medvedev yang mengusulkan pendekatan baru pada pertemuan dengan Lula di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi BRIC (Brasil, Rusia, India, China) April lalu. Medvedev mempertajam misinya dengan berkunjung ke Turki dan Suriah.

Terobosan Medvedev itu, seperti ditulis The Hindu, lolos dari perhatian AS dan Barat yang terlalu sibuk meyakinkan Rusia dan China mengenai resolusi sanksi baru untuk Iran itu.

Melalui diplomasinya, Lula sebenarnya juga hendak menelanjangi sikap curang AS dan sekutunya soal nuklir Iran. Bagi Barat, tujuan mereka hanya satu, jangan sampai Iran menguasai teknologi nuklir. Penegasan Iran bahwa pengembangan teknologi nuklir bertujuan damai tidak bermakna.

Presiden AS Barack Obama menelepon langsung Perdana Menteri Turki Recep Erdogan. Obama mengatakan, kompromi terbaru Teheran itu ”tidak menumbuhkan kepercayaan”.

Lula geram. ”Ada sejumlah orang yang tidak tahu bagaimana berpolitik tanpa musuh,” tegasnya.

Rusia pun memperingatkan, pengenaan sanksi sepihak oleh AS dan sekutunya kepada Iran bertentangan dengan prinsip supremasi hukum internasional.

Pada akhirnya, sebagaimana terjadi dengan Iran, negara yang boleh memanfaatkan teknologi nuklir sangat ditentukan oleh AS dan sekutunya. Rusia dan China menolak itu.

Lula semakin membuka mata dunia atas ketidakadilan Barat. Hal itu menonjolkan ketidakberesan dalam sistem politik internasional. Hadirnya kekuatan pengimbang sangat diperlukan pada saat China dan Rusia sering bimbang untuk berperan sebagai pengimbang.

Namun, dari kesepakatan Brasil-Iran-Turki, kita melihat peran menonjol Rusia. Peran penting Rusia dan China sebagai pengimbang sebenarnya masih bisa dimanfaatkan meski tidak selalu harus dengan terbuka.

Jika Lula berhasil memanfaatkan masalah nuklir Iran untuk mengangkat tinggi citra diplomasi Brasil, Indonesia bisa melakukan hal serupa. Yang diperlukan adalah para pemikir yang siap memanfaatkan permasalahan dunia menjadi peluang diplomasi. Pada saat hard-power bukanlah menjadi keunggulan, kekuatan soft-power (diplomasi) harus dimaksimalkan.

Sumber: http://internasional.kompas.com/read/2010/05/26/06164149/Turki-Brasil.Kagetkan.Barat-7

Selengkapnya.....

Selasa, 27 April 2010

Cara Baru Melaporkan SPT

Pernah merasakan ribetnya melaporkan SPT Anda? Pasti Anda merasakannya, tapi bagi Kantor Pajak lebih ribet lagi bagaimana mengolah dokumen SPT yang berjibun. Ah, kan pasti sudah pakai IT. Benar! Dugaan saya pun begitu, tapi kelihatannya ada cara baru yang bakal mengurangi keribetan di sisi Anda dan di sisi Kantor Pajak. Apakah cara pelaporan SPT saja yang mungkin berubah ke depannya. Nggaklah, banyak yang mungkin berubah, seperti pelaporan ke pengawas bursa, pengawas bank, bea cukai, dan lain-lain.

Nah, saya menemukan sebuah dokumen dari Ernst & Young yang saya terjemahkan bagian awalnya berikut ini. Sebagai catatan saja, di banyak negara lain, cara menyampaikan laporan ke pihak berwenang sudah menggunakan cara baru ini lho. Kapan ya di kita?


Sejumlah regulator terkemuka sedang semangat-semangatnya menjual standard teknologi baru – eXtensible Business Reporting Language (XBRL) – sebagai suatu cara untuk mempermudah otomasi pelaporan informasi keuangan, yang diyakini bermanfaat bagi seluruh stakeholder pasar keuangan.

Perusahaan-perusahaan di US, UK, Cina, Jepang, Prancis, Singapura, dan banyak negara lainnya sudah melaporkan informasi ke lembaga regulator atau bursa efek dengan XBRL. Setelah BAPEPAM Amerika dan Kantor Pajak dan Bea Cukai Inggris meliriknya, momentum penerapan XBRL makin bergerak cepat secara global dan ada indikasi kuat bahwa semakin banyak regulator akan mewajibkan penggunaan XBRL untuk pelaporan regulatoris dalam waktu yang tidak terlalu lama. Jelas, XBRL memiliki potensi menjadi standard teknologi global untuk pelaporan informasi keuangan maupun operasional.

Seiring upaya Anda untuk menguatkan fondasi pelaporan perusahaan Anda dengan XBRL, sebaiknya Anda tidak menganggap remeh pentingnya tahap persiapan. Seperti inovasi apapun, pasti terdapat ketidakpastian, terutama terhadap pendekatan awal pelaporan XBRL. Kebutuhan pelapor akan jasa konsultansi dan upaya memastikan keberhasilan tidak 100 persen jelas. Agak burem dikitlah. Beberapa rintangan sudah menanti di depan, termasuk ketakutan akan persyaratan yang demikian ketat dan persepsi bahwa XBRL hanyalah fenomena bertepuk-sebelah-tangan para regulator.

Dalam publikasi ini, kami menyoroti sepuluh tantangan kesiapan bagi pelapor, mulai dari membangun kesadaran (awareness) dan menginisiasi proyek hingga implementasi dan realisasi. Kami berharap para pembaca akan memahami bahwa pelaporan XBRL sesungguhnya lebih rumit daripada yang mungkin dipahami oleh para pendukung atau lembaga yang mewajibkannya. Kami yakin dengan pemahaman dan kesadaran yang benar, melalui persiapan dan perencanaan yang matang, upaya untuk mengikuti standard pelaporan XBRL akan lebih hemat dalam jangka menengah-panjang.

Mengikuti standard XBRL dengan mantap dan percaya diri serta membangun kemampuan yang dibutuhkan dengan tepat akan lebih menyiapkan pelapor dalam menyongsong perubahan sistem pelaporan yang masih akan terus berkembang ke depannya. Kami (EY, yaitu penerbit artikel yang saya terjemahkan sebebas-bebasnya ini – Y Pan) berharap dapat bekerja sama dengan para pelapor untuk membantu mereka menyongsong sistem pelaporan yang baru.

Pengenalan

XBRL adalah standard pelaporan informasi keuangan dan operasional bisnis berbasis Extensible Markup Languange (XML), yang bebas lisensi dan terbuka. Standard ini digunakan untuk pertukaran informasi bisnis secara elektronis. XML adalah sebuah bahasa deskriptif mengenai data yang bersifat universal dan digunakan untuk mendeskripsikan wadah, pengolahan, dan pertukaran data melalui internet.

Ide dasar di belakang XBRL sangat sederhana. XBRL menyediakan penjelasan (dengan tag atau disebut juga metadata) untuk setiap item data yang dilaporkan. Tanda penjelasan tersebut dapat dibaca oleh komputer dan memungkinkan informasi digunakan secara interaktif. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan sebelumnya yang cenderung menggunakan formulir isian, baik tercetak (manual) atau melalui sistem on-line.

XBRL memungkinkan pertukaran dan analisis data bisnis melalui penyandian informasi atau penandaan yang lebih mempunyai arti buat komputer (karena ada penjelasan atau metadatanya). Oleh karenanya, aplikasi komputer dapat mengolah data XBRL secara ”cerdas” dengan mengenali informasi di suatu dokumen XBRL. Selanjutnya, dengan logik tertentu, aplikasi dapat memilih, menganalisa, menyimpan, dan mempertukarkan data XBRL dengan komputer atau sistem lain serta selanjutnya menyajikan datanya dalam berbagai bentuk kepada pengguna.

Pelapor-pelapor yang berhasil mengikuti tuntutan standard XBRL dari lembaga regulator melakukan persiapan matang jauh hari dalam menghadapi proses perubahan untuk mengikuti standard XBRL. Mengapa demikian? Secara umum, pelaksanaan strategi TI apapun membutuhkan pengetahuan, wawasan, dan perencanaan yang hati-hati. XBRL bukan pengecualian. Lalu bagaimana pelapor memulai kegiatan yang memakan waktu untuk persiapan melaporkan data yang diminta regulator? Padahal argo persiapan tersebut berjalan jauh hari sebelum kegiatan pelaporannya terjadi dan kemudian tetap akan berlangsung seterusnya.

Kami yakin artikel ini dapat membantu Anda menjawab tantangan di atas dan dapat memberikan gagasan yang berguna mengenai XBRL, termasuk beberapa permasalahan pokok dan pertimbangan-pertimbangan terkait dengan penerapan XBRL dalam pelaporan informasi keuangan. Walaupun isu dan pertimbangan yang perlu dipikirkan sebetulnya banyak sekali, kami yakin isu-isu dan pertimbangan yang kami tulis di bawah ini merupakan yang paling mewakili tantangan kesiapan para pelapor; dan jika isu-isu dimaksud dihadapi dengan tepat, tentu hasilnya adalah laporan XBRL yang berkualitas.

CFO dan para eksekutif keuangan senior akan sangat berperan dalam menentukan keseimbangan transisi pelaporan XBRL dari pelaporan sebelumnya. Dalam menjalani perubahannya, mereka akan menghadapi berbagai tantangan teknologi yang akan menguji kesiapan mereka dalam pelaporan XBRL. Oleh karena itu, pertanyaan utama buat CFO dan para eksekutif tersebut adalah, ”Apakah kita benar-benar siap?”

Sepuluh Tantangan Kesiapan XBRL

1. Membangun kesadaran (raising awareness) – Sejumlah besar eksekutif keuangan masih belum paham apakah XBRL itu, bagaimana cara kerjanya, dan problem apa yang dapat diselesaikannya.

2. Memilih saat yang tepat (getting the timing right) – Menyerahkan laporan XBRL secara sukarela atau membuat suatu bentuk ujicoba sebelum XBRL benar-benar diwajibkan terbukti merupakan praktik yang sangat bermanfaat. Para pelapor menemui fakta bahwa semakin meningkat pengalaman dengan XBRL, semakin cepat dan akurat proses pelaporannya. Pada kasus BAPEPAM Amerika, pelaporan XBRL sukarela sebelum diwajibkan dapat menekan risiko yang selanjutnya membuat penerapan pelaporan XBRL berlangsung lebih aman.

3. Mempertimbangkan pilihan implementasi (considering implementation options) – Terdapat beberapa pilihan bagi pelapor untuk mempesiapkan pelaporan XBRL. Waktu yang diinvestasikan di muka untuk edukasi, peningkatan kesadaran, persiapan, dan perencanaan dapat menghemat biaya dan waktu di belakang hari.

4. Membentuk tim yang tepat (building the right team) – Pelaporan XBRL membutuhkan kerjasama dan koordinasi lintas fungsi teknologi, akunting, dan keuangan dalam suatu perusahaan. Biasanya bagian keuangan (finance) adalah fungsi yang bertugas (in charge) mengelola prosesnya.

5. Memilih software (selecting software) – XBRL adalah teknologi yang terus berkembang. Saat ini (sesuai waktu penerbitan artikel oleh EY – Y Pan), belum ada solusi lengkap untuk pelaporan XBRL. Dalam kasus ini, waktu dan biaya pelaporan XBRL sering melampaui antisipasi lembaga regulator.

6. Mengantisipasi kebutuhan pemeliharaan (anticipating manintenance needs) – Pemeliharaan data dan metadata sering terlewat atau sangat dianggap enteng, padahal proses ini adalah kegiatan XBRL yang paling sulit dan mungkin paling penting.

7. Memetakan data (mapping data) – Penandaan (tagging), terutama yang sangat unik bagi suatu laporan keuangan suatu perusahaan, menghabiskan waktu untuk dieksekusi. Pemetaan data ke taksonomi XBRL merupakan suatu yang bersifat ”art” dan ”science” sekaligus.

8. Mengelola ekstensibilitas (addressing extensibility) – Para pelapor cenderung melewatkan fakta bahwa di bawah berbagai regim regulator, mereka juga perlu mengetahui bagaimana mengembangkan (extend) taksonomi pelaporan. Saat ini, masih terdapat ketidakpastian mengenai teknik perluasan (extension) taksonomi XBRL.

9. Menampilkan data (visualizing the data) – Badan regulator yang berbeda mungkin menetapkan mekanisme teknis yang berbeda-beda untuk menampilkan data ke bentuk yang dapat dimengerti manusia sebagai user akhir.

10. Memastikan kualitas (ensuring quality) – Kegiatan terakhir sebelum pelaporan itu sendiri adalah suatu tinjauan menyeluruh terhadap dokumen-dokumen XBRL yang dihasilkan. Proses tinjauan dimaksud melampaui kebutuhan untuk mengindentifikasi tanda-tanda (tags) yang paling tepat. Tinjauan dimaksud harus lebih luas cakupannya, meliputi akurasi, kelengkapan, penampilan data, dan struktur data di dalam XBRL.

Selengkapnya.....

Selasa, 20 April 2010

Guru SMA Kami

Kemarin malam HP saya berdering dari nomor tak dikenal. Saya agak sungkan menerimanya, tapi istri memberi nasihat. Siapa tahu penting. Setelah memastikan saya adalah yang dimaksudnya, si penelpon memperkenalkan sebagai teman SMA. Namanya Safaruddin. Agak limbung di awal, saya tiba-tiba diingatkan istri bahwa itu adik Pak Ali Idrus. Seketika ingatan saya kembali. Masya Allah, betapa tumpul ingatan saya mengenai kenangan dua puluh dua tahun silam. Maklum, sudah lama sekali tidak saling kontak.

Kami kemudian bicara banyak, termasuk kerjanya di MUBA, SUMSEL. Nggak semuanya bisa diceritakan kembali di sini, tapi satu topik hangat adalah mengenai rencana reuni akbar. Ya reuni SMA Negeri 11 Palembang untuk semua angkatan. Kebetulan kami generasi pertama. Kalau mau, silakan Anda baca satu fragmen kisah sekolah kami di link ini. Nah, setelah pembicaraan telpon itu, terbetik dalam hati saya alangkah indahnya kalau dalam reuni kami ketemu lagi dengan para guru generasi awal. Saya berjuang keras untuk memanggil ingatan saya. Akhirnya, inilah daftar nama mereka dengan posisinya waktu itu.

Pak Asmawi, kepala sekolah
Pak Ali Idrus, wakil kepala sekolah sekaligus guru PMP
Bu Nur Jasiyah, guru ekonomi dan sosiologi
Pak Nazlimi, guru bahasa Indonesia
Pak Najib, guru bahasa Ingris
Bu Isnaeni Palupi, guru matematika
Bu Nelly Jamilah, guru fisika
Pak Samson, guru biologi


Wah, ternyata susah juga mengingat semuanya. Yang masih di ujung lidah adalah guru agama, guru kimia, dan guru olahraga. Padahal dengan guru agama dan olahraga masih jelas terpampang beberapa momen di mata saya. Misalnya saya gelagapan disuruh baca Al Qur'an oleh guru agama. Waktu disuruh membacakan hafalan surat pendek juga payah. Akhirnya beliau dengan becanda memukul paha saya. Suatu pukulan di hati sesungguhnya.

Dengan guru olahraga, yang terbayang jelas adalah ketika beliau memberi aba-aba pada kami di jalan sepi untuk mengurangi kecepatan. Saya sebagai komandan regu gerak jalan langsung paham. Hasilnya kami juara dua se-kotamadya. Dengan guru-guru yang saya ingat namanya, banyak juga kenangan. Misalnya, saya sering disuruh memeriksa tugas kelas bawah oleh Bu Nelly Jamilah. Waktu saya kuliah di Bandung, kami pernah ketemu sekali. Pak Najib pernah mau menceramahi saya panjang lebar mengenai akhlak saya, eh kepotong karena ada berita sedih.

Ah, udah dulu. Kayaknya pengen langsung reuni aja. Jadi nama guru-guru yang belum saya ingat bakal kembali lagi. Paling asyik kalau bisa ketemu.

Baca sepenggal kisah sekolah kami di:
http://ypanca.blogspot.com/2010/01/sekolah.html

Selengkapnya.....

Senin, 29 Maret 2010

Obama Akan Batasi Aktivitas Investasi Perbankan AS

Dikutip dari http://bisniskeuangan.kompas.com

Senin, 25 Januari 2010 | 08:44 WIB

WASHINGTON, KOMPAS.com — Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama akan mengajukan proposal aturan untuk membatasi kegiatan usaha perbankan di negara itu. Terutama, Obama ingin membatasi kegiatan investasi bank berupa pembelian aset atau saham untuk meraup keuntungan.

"Kegiatan itu tidak ada hubungannya dengan kepentingan nasabah," ungkap Obama dalam wawancara dengan ABC, seperti dikutip Bloomberg, pekan lalu.

Transaksi yang biasa disebut proprietary trading ini menjadi penyebab praktik spekulasi di pasar properti AS yang menjadi penyebab krisis pada tahun 2008. Makanya, lanjut Obama, pembatasan ukuran dan kegiatan lembaga keuangan penting untuk mengurangi risiko yang berlebihan.

Usulan ini akan menjadi bagian dari perombakan regulasi keuangan yang akan mengatur pelakunya berperilaku wajar. "Sistem regulasi keuangan AS saat ini tidak cukup mampu mengawasi risiko-risiko ekstra dan perilaku pemain yang tidak bertanggung jawab," ujar Obama.

Tutup bisnis "private equity"

Usulan itu bakal memaksa perbankan raksasa AS, seperti JP Morgan, Goldman Sachs, dan Morgan Stanley, menjual unit bisnis private equity mereka. Tak bisa dimungkiri, bank-bank besar seperti Goldman bakal kehilangan banyak pemasukan.

Maklum, dari bisnis-bisnis tadi, pada tahun lalu Goldman menjadi bank paling menguntungkan dalam sejarah Wall Street. Lebih dari 90 persen pendapatan sebelum pajak Goldman Sachs berasal dari unit private equity tersebut.

Direktur Utama Goldman Sachs Lloyd Blankfein menyatakan, perusahaannya harus menghasilkan keuntungan sendiri agar bisa menutup kerugian yang terjadi akibat krisis pada 2008.

Rencana pemerintah Negeri Uwak Sam ini sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang dilakukan Pemerintah Inggris. Sebulan lalu, otoritas jasa keuangan di Inggris mengumumkan rencana membatasi proprietary trading di perbankan. Akibat aturan itu, industri perbankan negara itu harus menyisihkan cadangan modal hingga 47 miliar dollar AS untuk menutupi potensi kerugian dari bisnis tersebut.

Aturan ini bukan tidak mendapat kritik. Bruce Ettelson, konsultan hukum di Kirkland & Ellis LLP, bilang, ini akan berdampak pada perubahan aturan di Wall Street dan banyak perjanjian bisnis yang sebelumnya telah disepakati. "Aturan ini juga makin menciutkan sumber pendanaan bagi equity private dan hedge fund," cetusnya. (Sopia Siregar/Kontan)

Selengkapnya.....

Rabu, 10 Maret 2010

Stasiun Rawa Buntu

Baru-baru ini pengguna KRL yang tinggal di sekitar stasiun Rawa Buntu mendapat khabar gembira. KRL Ekspres dari Serpong menuju Tanah Abang akhirnya singgah juga di Rawa Buntu, setelah demikian lama para pelanggan mengajukan permohonan. Malahan saya pernah dengar para pelanggan membuat petisi untuk itu. Entahlah pujian atau kritik yang pantas diberikan ke PT KA.

Terlepas dari lambatnya tanggapan PT KA, alhamdulillah berhentinya KRL Ekspres dari Serpong menuju Tanah Abang di stasiun kami tetap merupakan berkah. Manfaat pertama sih sederhana saja. Pelanggan memiliki satu pilihan tambahan. Kedua, pengguna yang high profile tidak perlu lagi memaksakan diri ke Serpong atau Sudimara untuk naik KRL Ekspres. Saya pernah sih menjalaninya sendiri.

Supaya bisa naik Ekspres, saya harus naik ojek dari rumah ke Serpong yang jaraknya tiga kali lebih jauh. Pernah juga saya naik KRL ekonomi atau kereta ekonomi Rangkas dari Rawabuntu ke Sudimara, lalu buru-buru turun untuk antri beli tiket Ekspres. Tapi itu semua sudah jadi sejarah. Saya sekarang bisa naik Ekspres langsung dari Rawa Buntu.

Memang dua manfaat yang langsung saya nikmati terasa sepele, tapi bagi saya cukup berarti. Jika manfaat tiap individu dikumpulkan, bukan mustahil manfaat keseluruhan untuk masyarakat cukup memadai untuk mengurangi biaya sosial yang hingga hari ini masih di bawah tekanan faktor korupsi.

Tanda pembenahan lain yang dilakukan PT KA terlihat dari penampilan fisik stasiun. Foto berikut ini buktinya. Stasiun Rawa Buntu hanyalah satu dari sekian banyak stasiun yang dibenahi. Belajar dari pengalaman NYC (lihat artikel terkait), stasiun yang bersih dan rapi, dengan penerangan yang cukup, mampu menekan risiko timbulnya kriminalitas. Apalagi kalau kereta-keretanya juga OK. Lagi-lagi PT KA bisa menanam jasa mengurangi ongkos sosial warga yang sebagiannya sampai hari ini masih dihantui kemiskinan.

Foto...

Cukup deh puji-pujian. Kenyataannya masih banyak yang harus dibenahi. Keterlambatan kereta dan gangguan sinyal hanyalah sedikit dari sekian banyak contoh. Yang paling bikin kecele adalah ketika kereta berangkat lebih awal dari jadwal. Bagaimanapun, kritik atau pujian untuk PT KA rasanya tidak pantas menurunkan kinerjanya. Justru keduanya harus jadi motivator untuk terus berbenah. Ayo Pak Ignasius Jonan dkk, Anda bisa!

Baca juga kisah lainnya:
Granada Square
Stasiun Senen
Iklan di KRL
Pelayanan KRL: Membaik Nggak?
Roker Bekasi Nelangsa

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed