Terus terang saya dari kecil mengidolakan beliau. Hampir saja menjadi salah satu binaan beliau lewat beasiswa ke luar negeri, karena satu dan lain hal, saya memilih kuliah di Bandung saja. Pada kesempatan lain kemudian, waktu kuliah, saya sempat magang di BPPT awal tahun 90-an dan sesekali melihat beliau saat shalat Jum'at.
Apa perasaan ngefans ke beliau berhenti di situ? Ga juga. Waktu itu, beliau mendirikan ICMI, bersama tokoh-tokoh Islam lainnya. Saya ikut larut dalam atmosfir itu dan bahkan ikutan share ke harian Republika di awal pendiriannya. Hingga waktu mau masuk kerja di tempat saya sekarang, ketika ditanya siapa tokoh idolamu, aku tulis aja Prof. Dr. B. J. Habibie.
Hari ini pas kebetulan ke Solo, jenguk Rani dan Aisyah, Pak Habibie menyempatkan memberi kuliah di PPMI As Salam. Betul-betul pas-pasan, saat kami berdua tiba di masjid, ga berapa lama tausiyah beliau dimulai. Sambutan santriwan dan santriwati sangat meriah. Mungkin efek buku dan film Ainun dan Habibie yang bikin beliau populer di generasi hari ini.
Apa pokok pelajaran yang disampaikannya? Seperti dulu intinya adalah nilai tambah. Bagaimana agar nilai tambah bisa tinggi? Semua bermula dari imtaq dan iptek - perasaan dan akal. Masing-masing dikembangkan melalui pembudayaan dan pendidikan. Sinergi positif - bisa dikatakan jodoh yang sebenarnya - antara perasaan dan akal itu menjadi modal dalam penciptaan sinergi positif yang lebih besar.
Gelombang yang lebih besar itu punya tiga elemen. Pertama interaksi pribadi dengan sesama manusia, terutama dengan jodohnya dan kemudian keluarganya Kedua adalah interaksinya dengan karya-karya umat manusia. Yang ketiga interaksinya dengan pekerjaannya. Jadi semuanya ada lima elemen yang harus diperhatikan untuk menciptakan sinergi positif atau nilai tambah yang besar.
Perasaan, akal, interaksi dengan umat manusia, interaksi dengan karya-karya umat manusia, dan interaksi dengan pekerjaan!
Memang kuliah Pak Habibie jauh lebih lengket (sticky) dan lebih punya daya tarik. Beliau menyampaikan pokok pikirannya itu dengan cerita-cerita. Sedikit kisahnya dengan Ainun. Pernikahannya tahun 62. Praktis belum punya apa-apa. Kemudian lompatannya di tahun 72. Pada waktu itu beliau telah memiliki rumah yang pekarangannya 1,5 hektar. Kemudian lompatannya lagi dengan memiliki pesawat pribadi.
Setelah mengemukakan semua itu, akhirnya Pak Habibie mengungkap satu rahasia besar. Dua saudara kembar yang dibesarkan dengan proses pembudayaan dan pendidikan yang persis sama masih saja dapat menghasilkan nilai tambah yang berbeda. Lima elemen dalam proses penciptaan nilai tambah itu haruslah dilandasi sesuatu yang lebih agung, yakni Cinta.
Jumat, 29 Maret 2013
Kuliah Habibie di As Salam
Senin, 11 Maret 2013
Semangat Baru
Hari ini dua orang teman menanyakan mengenai blog saya. Koq lama ga ada tulisan baru? Gitu kurang lebih. Keduanya mengatakan perlunya melanjutkan kebiasaan sharing. Tentu dalam hal ini lewat tulisan di blog.
Terus terang saya sendiri heran mengapa saya berhenti menulis. Kadang yang jadi alasan adalah beban kerja yang bertambah banyak seiring dengan tanggung jawab baru di kantor. Kadang saya juga merasa ada yang salah di luar sana yang mematikan selera menulis.
Memang menyalahkan faktor eksternal adalah jalan paling mudah untuk sekedar jadi nyaman. Nyaman dengan kondisi apa adanya, tanpa gelora untuk membuat suatu perbedaan. Betapapun kecil perbedaan itu.
Saya masih punya alasan tambahan untuk argumen ini. Kan saya sudah bekerja seprofesional mungkin? Kontribusi saya cukup OK di pekerjaan. Setidaknya begitulah pikiran saya beralasan. Biarlah kekacauan di luar sana terjadi. Yang penting saya bekerja sebaik mungkin dan mendidik keluarga semampu saya.
Oh, rupanya saya kecewa dengan keadaan dan mulai apatis. Dulu saya yakin harapan itu masih ada, tapi kenyataan menantangnya. Nomor satu adalah korupsi dan kecurangan di sektor apapun di level apapun. Yang lain adalah kriminalitas yang tak kunjung menurun. Jangan tanya kemiskinan dan kesenjangan. Prospek ekonomi global yang tetap saja menjajah ekonomi nasional? Bah!
Oh, rupanya saya kecewa kepada pihak-pihak yang sempat saya titipkan harapan pada mereka. Intinya saya ngambek! Apa yang saya suarakan ga ngaruh. Lagian mungkin saya terlalu pede dengan kemampuan saya melakukan perubahan atau sedikitnya ikutan men-trigger perubahan.
Saya ternyata ga ada apa-apanya. Oleh karena itu, sekarang saya sadari, blog ini jadi vakum karena apatisme, hingga dua orang teman memberi sentilan sedikit. Saya patut berterima kasih pada keduanya. Paralel dengan kejadian dan perenungan di atas, terjadi perubahan aura di lingkungan sekitar saya. Tiba-tiba salah satu komunitas mengangkat lagi urgensi taubat. Hehe klasik.
Mungkin... Sekali lagi mungkin latar belakang diangkatnya urgensi taubat itu yang memberi hentakan. Memberi dorongan! Memberi energi baru untuk kembali membuat perubahan. Betapapun kecilnya perubahan itu yang dimulai dari diri sendiri, setelah adanya kesadaran akan kesalahan-kesalahan yang dibuat.
Baru-baru ini, dalam suatu pertemuan, seorang motivator memberi gambaran dua sisi kehidupan. Sisi pertama adalah tujuan yang biasanya bersifat sangat mulia. Setidaknya mulia menurut subyektivitas sang subyek kehidupan. Yah, contohnya Ra's al Ghul yang ingin mengkoreksi dunia yang korup. Contoh di seberangnya tentu Bruce Wayne yang mati-matian membela kota Gotham dari makar Ra's al Ghul dan pengikutnya. Ah, dua contoh ini bukan dari motivator yang disebut di atas. Saya aja yang tiba-tiba kesamber pikiran yang melayang.
Sisi kedua, balik ke beliau, adalah proses untuk mencapai tujuan itu. Nah, jika semua orang ingin menggunakan kesempatan dan sumber daya yang terbatas untuk mencapai tujuan masing-masing, otomatis yang bakal timbul adalah "rebutan kekuasaan" yang mana istilah ini lagi-lagi nyamber pikiran saya. Bukan dari beliau.
Selanjutnya beliau mengatakan untuk bertahan dalam proses kehidupan itu diperlukan dua keterampilan. Manajemen perubahan dan manajemen konflik. Nah, karena tabiat proses kehidupan seperti ini, ga perlulah berkecil hati. Semua orang mengalaminya. Semua orang hebat melalui kehidupan yang penuh dengan konflik. Mau contoh?
Nabi Yusuf, ini kata beliau, harus melalui dinamika kehidupan yang sangat panjang sebelum akhirnya menceritakan kembali perbuatan jahat saudara-saudaranya. Rentang antara peristiwa dijebloskannya Yusuf kecil ke dalam sumur dengan era kejayaannya sebagai salah satu penguasa Mesir adalah 40 tahun, atau di riwayat lain 80 tahun. Bahasa Indonesianya minimal delapan kali pemilu, atau enam belas kali pemilu.
Jadi? Wahai diriku, Ga usah galau. Taubat, sabar, dan teguh aja!
Minggu, 18 September 2011
Yuk Ngarang
Karena dunia tulis menulis adalah aktivitas berbahasa, kali ini saya coba membahas mengenai itu saja. Saya sering mengkhayal bagaimana caranya menjelaskan membuat karangan sebagai suatu proses mental. Penjelasan yang sederhana tapi mengena, mudah-mudahan, bisa mendorong siapa saja yang ingin menulis memulai keinginannya itu. Begini... Sesungguhnya karangan tidak lain adalah sekumpulan gagasan yang disusun sedemikian rupa melalui bab-bab, kemudian paragraf-paragraf, kalimat-kalimat, kata-kata, hingga ke huruf-hurufnya.
Nah, ketika membuat karangan, misalnya dalam bentuk essay satu atau dua halaman, kita bisa memulai dengan membuat kerangka karangan. Eh sebelumnya kita harus memikirkan topiknya. Setelah kerangkanya bagus, kita membuat topik-topik gagasan untuk tiap paragraf, yang semuanya mengalir menjadi suatu gagasan utuh sesuai dengan topik utama. Masing-masing topik paragraf itu sendiri kita buat menjadi suatu kalimat utama. Dulu waktu masih sekolah, kita diajarkan menempatkan kalimat utama di awal paragraf atau di akhirnya.
Selanjutnya, paragraf yang sudah kita tentukan kalimat utamanya kita kembangkan dengan menambahkan kalimat-kalimat pendukung. Bentuknya dapat berupa uraian atau deskripsi atau contoh-contoh yang mendukung gagasan kalimat utama. OK, sebelum kejauhan, saya stop aja di sini. Bagi Anda yang membutuhkan penjelasan lebih lengkap perihal tulis menulis dapat mencari di sumber lain. Di world wide web apa sih yang nggak bisa dicari? Saya ingin mengulasnya dari sisi yang lain.
Dulu sesudah kita lancar membaca dan mulai mengenal kata-kata, guru kita meminta kita untuk menyusun kalimat sempurna. Tidak cukup hanya menuliskan satu kata, kira-kira di kelas dua, kita sudah diberi tugas menyusun ulang kata-kata acak menjadi suatu kalimat sempurna. Di tahap inilah, proses mental kita seharusnya naik ke level baru. Mengapa? Satu kalimat sudah lengkap gagasannya. Ia bisa berdiri sendiri. Coba bandingkan.
Lapar… Saya lapar.
Ungu… Dia suka warna ungu.
Anak… Kalian adalah anak-anak yang baik.
…
Warna ungu membuat kalian menjadi anak-anak yang lapar!
Beda kan? Satu kata memang berarti. Seribu kata apalagi. Itulah yang pertama kali diajarkan Allah kepada Adam. Pengetahuannya tentang kata-kata itu yang membuatnya lebih mulia dari para malaikat. Tapi coba bandingkan kata-kata yang berserak dengan satu kalimat sempurna. You know what I mean, don’t you? Saya kira nggak perlu lagi uraian panjang lebar untuk menunjukkan tingginya kedudukan suatu kalimat.
Kembali ke khayalan saya, sebetulnya tulisan itu tidak lebih dari sebuah kalimat, Judul karangan, walaupun biasanya dituliskan dalam suatu frasa saja, sebetulnya mewakili sebuah kalimat. Satu karangan yang terdiri dari ratusan atau ribuan kalimat selalu bisa dimampatkan menjadi satu kalimat sempurna saja. Contoh yang diberikan Nassim Nicholas Taleb buat saya sangat menarik. Ilustrasinya agak sinis yang bernada kurang lebih sebagai berikut: biografi seorang CEO hebat setebal 500 halaman dapat diringkas menjadi “CEO anu adalah orang yang beruntung pada waktu dan tempat yang tepat dengan teman-teman yang tepat.”
Masih melanjutkan khayalan, suatu bab atau suatu paragraf selalu dapat dimampatkan menjadi satu kalimat sempurna saja. Ya iyalah. Satu buku aja bisa, apalagi hanya satu paragraph. Di sinilah saya ingin membuat satu argumen yang berat: pengetahuan kita tidak lain hanyalah SATU KALIMAT SAJA dengan pola SPOK: Saya hanya tahu sedikit saja! Atau: Segala sesuatu mempunyai hubungan dengan sesuatu yang lain! Atau: Hidup sungguh sangat singkat!
Memang SATU KALIMAT SAJA itu bisa dielaborasi menjadi satu set kalimat-kalimat, jutaan mungkin, dengan susunan tertentu. Kita bisa mengubah fokus perhatian kita, seperti mikroskop, sehingga kita bisa turun naik dari satu level ke level granularity lainnya. Berapa level? Banyaklah! Level paling detail misalnya sejuta kalimat. Level ringkasan pertama mungkin 100 ribu kalimat. Level ringkasan kedua mungkin 10 ribu kalimat. Demikian seterusnya diringkas-ringkas terus sampai jadi SATU KALIMAT SAJA.
Wah, wah, wah... Tulisan ini seharusnya belum berakhir, tapi koq rasanya sudah kepanjangan. Lain kali diterusin, insya Allah.
Selasa, 30 Agustus 2011
Selamat Idul Fitri 1432H
Walaupun saya mengikuti keputusan pemerintah mengenai jatuhnya 1 Syawwal 1432H pada hari Rabu, 31 Agustus 2011, masih terdapat catatan kecil di lubuk hati paling dalam. Sebelum curhat dilanjutkan, saya ingin mengucapkan terlebih dahulu:
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432H...
TaqobbalalLahu minna wa minkum...
Semoga Allah menerima amal dan tobat kita...
Mohon maaf lahir dan batin...
Nah, bagaimana kenyataan di lapangan. Kalender sudah jauh hari mengindikasikan hari raya jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011. Kantor pemerintah sih sudah kosong sejak Senin, 29 Agustus. berbeda dengan kantor pemerintah, seandainya punya usaha, kita pasti seminimal mungkin tutup warung, iya kan? Kalau bisa, cukup tutup dua hari saja atau malah satu hari. Kemarin pas jalan ke ITC BSD, pas mau nyari hadiah buat sunatan Hanif, banyak toko mainan yang menyatakan libur dua hari, mengikuti kalender.
Sedih juga deh dengan realitas perbedaan hari raya yang sudah berlangsung dari tahun ke tahun dan mungkin masih akan terjadi bertahun-tahun ke depan. Buktinya toko mainan yang tutup itu aja. Cerminan kebingungan di akar rumput. Malah di berita, masyarakat miskin di Sulawesi kecewa karena sudah terlanjur menyiapkan hidangan lebaran buat hari Selasa dan tidak cukup punya uang untuk menyiapkan hari Rabunya. Komentar-komentar terhadap berita di media online juga sama saja. Walaupun ada yang cukup arif menyikapi perbedaan, banyak yang bingung dan menyalahkan elit pemerintah dan ormas Islam.
Ya udah deh... kata Rani, anak pertama kami... sabar aja, hidup penuh cobaan. Dan kalau kita melihat dari sudut pandang lain, situasi ini bisa aja justru membahagiakan. Setidaknya ada lelucon atau sindiran buat kita mentertawakan diri sendiri. Contoh sikap positif bisa dilihat pada foto di atas. Memang bukan dalam konteks perbedaan hari raya, tapi dalam konteks menghadirkan iklan yang berbeda dari kenyataan yang biasa-biasa saja. Pengumumannya begini:
Libur Makan Bebek
Mulai Senin, 29 Agustus 2011
Mulai Makan Bebek Lagi
Kamis, 5 September 2011
Kembali ke topik perbedaan hari raya, kepada elit pemerintah dan ormas Islam, walaupun harapannya tipis, saya berharap ke depan ada jalan keluar yang arif. Mungkin bisa dimulai dengan penentuan dateline penanggalan hijriyah. Bisa saja dateline hijriyah itu sama dengan dateline penanggalan masehi yang membelah globe tepat di kawasan yang populasinya sedikit, karena kondisi kawasan berupa samudera pasifik yang teramat luas. Barangkali ada hikmahnya Allah menciptakan bentuk daratan di muka bumi ini seperti bentuknya yang sekarang.
Mengapa kita nggak belajar dari kaum lain?
Minggu, 28 Agustus 2011
Menulis Lagi
Tahun ini kegiatan saya menulis sangat minimal. Mungkin karena waktu habis untuk aktivitas lain, seperti latihan catur. Alhamdulillah pada porsebi 2011 ini, tim kami mendapatkan emas. Buat saya sendiri, perak sudah pernah dapat, pada tahun pertama masuk kerja. Perunggu juga pernah didapat dua tahun lalu, ketika Pak Bahari mengajak saya kembali ke dunia catur. Sebelum pekan olah raga kali ini dimulai, saya sudah berniat berhenti dan kembali menekuni banyak hal lain yang sempat tertinggal, termasuk tulis menulis ini.
Beberapa waktu lalu saya makan siang bersama beberapa mahasiswa yang sedang praktek kerja di kantor. Di luar dugaan, seorang di antaranya menanyakan mengenai blog saya. Setahun lalu atau dua tahun lalu, saya selalu mempromosikan blog pribadi ini, tapi sekarang agak malu karena update-nya sangat jarang.
Sambil makan siang, di antara topik-topik lain, kami berdiskusi mengenai manfaat menulis. Saya memberi kuliah bahwa menulis itu berarti harus membaca. Itu yang pertama. Yang kedua saya sampaikan menulis adalah kegiatan mental yang jauh lebih aktif daripada sekedar membaca. Dengan menulis, kita dipaksa meng-organize gagasan dengan cara yang lebih baik. Di situlah proses pembelajaran terjadi di level yang lebih tinggi.
Setelah dipikir-pikir lagi… ah mungkin kuliah itu jadi nggak berarti kalau saya sendiri meninggalkannya. Ya sudah… mulai hari ini saya akan coba lagi aktif mengisi blog. Itu artinya harus lebih banyak buku yang dibaca. Banyak artikel yang dibaca. Banyak fenomena yang harus diamati dan dituliskan, kecuali fenomena politik yang membuat selera menulis hilang entah kemana.
Rabu, 02 Februari 2011
Black to Play
The game has reached this extraordinary position, as if the game were played by Tal and Kasparov. Black has a significant advantage in the king's side, while white has a dominant position in center and in the queen's side. Both white's and black's kings are in desperate situations.
On our final analysis, the outrageous battle is concluded by a slight tempo advantage.
Trying a sharp counter attack, white makes a very threatening move, i.e. d5xe6.
What is the best move for black to conclude the game?
Jumat, 31 Desember 2010
Tahun 2010 dan 2011
Sebentar lagi 2010 berlalu.
Ia akan segera menjadi masa lalu.
Seberapa banyak rencana kita terwujud?
Seberapa akurat prediksi kita?
Saatnya menilai...
Untuk menjadi lebih arif menatap masa depan.
Betapa sering kita menyanyikan, "Ku yakin hari ini pasti menang..."
Hanya untuk menyadari keyakinan itu sering hanyalah harapan belaka.
Bahkan dengan memanipulasi doa, seorang mubaligh yakin...
Tim Garuda akan menang besar...
Hanya untuk menyadari Allah tidak dapat dipaksa dengan doa.
BMG pernah mengatakan April musim kemarau akan datang.
Tidak lama BMG mengkoreksinya menjadi bulan Juli.
Hujan tetap tak berhenti menimbulkan...
Istilah kemarau basah.
Kembali kita harus menyadari prediksi tetaplah hanya prediksi...
Karena Dia hanya mengungkap sedikit sekali ilmu-Nya untuk kita.
Maka sadarilah hanya Allah yang Maha Tahu.
Milikilah sedikit kerendahan hati.
Waspadalah terhadap ramalan...
Apalagi ramalan bintang, ramalan ekonomi, dan ramalan politik.
Jika harus membuat rencana untuk 2011 dan seterusnya...
Buatlah dengan rendah hati.
Sandarkan optimisme hanya kepada-Nya...
Karena kepada-Nya kita akan kembali.
Selasa, 28 September 2010
Maafkan Dulu
Kadang-kadang saat kita capek, anak-anak yang kita sayangi malah bikin gara-gara. Pertama, dia mungkin hanya menunjukkan manjanya. Karena tidak mendapat cukup perhatian, kemudian dia mengeskalasi aksinya. Darah mulai panas dan makin panas. Akhirnya dia bikin darah kita mendidih. Anak ini harus diperbaiki. Caranya? Penalti atau sanksi!
Dulu waktu belum pengalaman mendidik dan belum cukup pengetahuan, penalti berupa pukulan walaupun ringan sering jadi senjata pertama. Sungguh menyesal rasanya begitu mudah menyakiti buah hati sendiri. Sejak memahami hukuman berupa time-out, anak kedua kami sampai yang kelima sekarang nyaris bebas dari pukulan fisik. Hukuman duduk di pojok, duduk di kursi lengket, atau kurungan kamar terasa cukup efektif sebagai sarana pengendalian. Sesekali hukuman fisik saya terapkan juga.
Nah, suatu saat anak kelima kami yang masih balita bikin ulah. Entah gara-gara apa, dia akhirnya didiamkan oleh istri saya. Memang anak bungsu kami ini termasuk jarang terkena time-out. Sebagiannya mungkin karena dia lebih anteng dari kakaknya. Sebagian lain mungkin kami terkena sindrom memanjakan anak bungsu. Karena didiamkan terus oleh ibunya, akhirnya dia masuk ke modus akhir, yaitu nangis sekeras-kerasnya dan nggak putus-putus.
Hehehe, rasanya kesal banget waktu itu. "Ayolah Dik, penuhilah apa maunya anak ini." Demikian saya coba bujuk istri, soalnya si anak nggak mau deal sama siapa-siapa, kecuali ibunya. Akhirnya terungkap juga. Rupanya anak ini sempat menyakiti ibunya. "Dia harus minta maaf dulu," demikian kata istri saya. Ah, rupanya sanksi yang diterapkan istri adalah kewajiban Ahmad untuk minta maaf dulu. Ya, memang kita harus menanamkan nilai-nilai penghormatan kepada orangtua.
Sementara itu, suasana belum reda juga. Anak bungsu kami rupanya sudah mengunci modusnya, nangis keras-keras. Akhirnya ibu mertua saya yang kebetulan sudah beberapa hari di rumah kami berkata ke istri saya, "Maafkanlah. Maafkan dulu." Setelah istri saya melepaskan kekesalannya dengan memaafkan, meskipun mungkin baru sebagian, si anak akhirnya bisa dibuat berhenti menangis. Koreksi kemudian baru mungkin dilakukan.
Cerita di atas terjadi kurang lebih setahun lalu. Berbulan-bulan kemudian, tepatnya hari ke-29 Ramadhan lalu, saya mengikuti kuliah dzuhur di masjid kantor. Kata ustadz, kita bisa membalas perlakuan buruk orang lain dengan yang setara, tapi akhlak yang lebih baik adalah jika kita memaafkan. Yang lebih baik lagi adalah jika setelah memaafkan kita melakukan perbaikan. Misalnya, kalau mobil kita diserempet, kita maafkan saja, lalu kita ingatkan besok-besok jangan begitu lagi.
Rupanya contoh itu nggak terasa mengacu ke kejadian serempetan antar alumni perguruan tinggi terkemuka di Jakarta dengan alumni perguruan tinggi terkenal di Bandung. Waktu dengerin ceramah, saya nggak langsung sadar, mungkin sebagian karena lapar. Setelah saya ingat-ingat isi kuliah dzuhur itu di rumah, ngertilah saya sang ustadz dengan cara yang sangat halus menyindir banyak atau bahkan sebagian besar pengguna jalan yang bermaksud memperbaiki kelakuan orang lain.
Saya sering kesal di jalan ketika pengendara lain berperilaku seenaknya. Rasanya ingin sekali memperbaiki kesalahan itu. Saya juga sering kesal kalau di kantor ada rekan yang seolah ingin bikin masalah terus. Ingin rasanya mengkoreksinya. Di rumah juga begitu. Di toko, di restoran, di antrian bank, di kantor layanan pemerintah, di masjid dekat rumah, di sekitar rumah, dan seterusnya dan seterusnya.
Kesal mungkin kosakata yang negatif untuk Anda. Sebaiknya saya ganti dengan kata peduli. Peduli kemudian menimbulkan aspirasi untuk perbaikan. Namun demikian, ketika tindakan koreksi diambil tanpa memaafkan terlebih dulu, betapapun positif kata peduli itu, lebih sering malah timbul masalah baru. Justru orang yang mau kita tuntut tanggung jawabnya itu serta merta menuntut balik ke kita, bahkan menyalahkan dan mencela kita.
Siklus saling mencela itu mudah sekali kita lihat di sekitar kita. Aliran atau mazhab yang satu mencela aliran yang lain. Itu dibalas dengan celaan lagi. Eskalasi sertamerta terjadi. Salah-salah malah jadi adu tonjok, seperti yang dialami dua pengemudi yang serempetan itu. Malah eskalasinya menyebar ke milis alumni. Untung masalahnya tidak berkepanjangan. Karena apa? Karena ada maaf.
Nah, kalau kita bicara lebih spesifik mengenai perselisihan khilafiah antar mazhab Islam, rindu sekali kita akan suatu diskusi yang santun. Miris rasanya kita menyaksikan aksi saling hujat. Bahkan saling hujat ulama masing-masing, padahal ulama-ulama yang dihujat itu telah berijtihad dan bekerja. Yang lebih sedih lagi, perselisihan ini mudah sekali menimbulkan kesan negatif terhadap Islam.
Alangkah indahnya ketika dialog atau bantahan yang dilakukan benar-benar dilakukan dengan cara yang baik. Jika ada yang tidak bisa diselesaikan lewat dialog, biarlah jalur yang disediakan pihak berwenang yang menjadi saluran utama penyelesaiannya, tentu dengan kelapangan dada menerima perbedaan yang belum dapat disatukan itu.
Akhirnya, kita tetap perlu menyadari bahwa usaha perbaikan dalam banyak hal tidak langsung efektif hanya dengan satu-dua tindakan. Makanya dibutuhkan banyak sekali kesabaran. Satu truk nggak cukup! Untuk itu, mudah memaafkan mesti jadi bagian karakter kita. Seperti akhlak Nabi Muhammad SAW -lah. Walaupun sikap mudah memaafkan pihak lain dapat dimanfaatkan atau dimanipulasi oleh pihak lain tersebut, jelas ia jauh lebih baik dibandingkan sikap mudah menyalahkan dan mencela!
Selasa, 20 April 2010
Guru SMA Kami
Kemarin malam HP saya berdering dari nomor tak dikenal. Saya agak sungkan menerimanya, tapi istri memberi nasihat. Siapa tahu penting. Setelah memastikan saya adalah yang dimaksudnya, si penelpon memperkenalkan sebagai teman SMA. Namanya Safaruddin. Agak limbung di awal, saya tiba-tiba diingatkan istri bahwa itu adik Pak Ali Idrus. Seketika ingatan saya kembali. Masya Allah, betapa tumpul ingatan saya mengenai kenangan dua puluh dua tahun silam. Maklum, sudah lama sekali tidak saling kontak.
Kami kemudian bicara banyak, termasuk kerjanya di MUBA, SUMSEL. Nggak semuanya bisa diceritakan kembali di sini, tapi satu topik hangat adalah mengenai rencana reuni akbar. Ya reuni SMA Negeri 11 Palembang untuk semua angkatan. Kebetulan kami generasi pertama. Kalau mau, silakan Anda baca satu fragmen kisah sekolah kami di link ini. Nah, setelah pembicaraan telpon itu, terbetik dalam hati saya alangkah indahnya kalau dalam reuni kami ketemu lagi dengan para guru generasi awal. Saya berjuang keras untuk memanggil ingatan saya. Akhirnya, inilah daftar nama mereka dengan posisinya waktu itu.
Pak Asmawi, kepala sekolah
Pak Ali Idrus, wakil kepala sekolah sekaligus guru PMP
Bu Nur Jasiyah, guru ekonomi dan sosiologi
Pak Nazlimi, guru bahasa Indonesia
Pak Najib, guru bahasa Ingris
Bu Isnaeni Palupi, guru matematika
Bu Nelly Jamilah, guru fisika
Pak Samson, guru biologi
Wah, ternyata susah juga mengingat semuanya. Yang masih di ujung lidah adalah guru agama, guru kimia, dan guru olahraga. Padahal dengan guru agama dan olahraga masih jelas terpampang beberapa momen di mata saya. Misalnya saya gelagapan disuruh baca Al Qur'an oleh guru agama. Waktu disuruh membacakan hafalan surat pendek juga payah. Akhirnya beliau dengan becanda memukul paha saya. Suatu pukulan di hati sesungguhnya.
Dengan guru olahraga, yang terbayang jelas adalah ketika beliau memberi aba-aba pada kami di jalan sepi untuk mengurangi kecepatan. Saya sebagai komandan regu gerak jalan langsung paham. Hasilnya kami juara dua se-kotamadya. Dengan guru-guru yang saya ingat namanya, banyak juga kenangan. Misalnya, saya sering disuruh memeriksa tugas kelas bawah oleh Bu Nelly Jamilah. Waktu saya kuliah di Bandung, kami pernah ketemu sekali. Pak Najib pernah mau menceramahi saya panjang lebar mengenai akhlak saya, eh kepotong karena ada berita sedih.
Ah, udah dulu. Kayaknya pengen langsung reuni aja. Jadi nama guru-guru yang belum saya ingat bakal kembali lagi. Paling asyik kalau bisa ketemu.
Baca sepenggal kisah sekolah kami di:
http://ypanca.blogspot.com/2010/01/sekolah.html
Jumat, 29 Januari 2010
Sekolah
Ikal dan Arai beruntung pernah diajar seorang guru sejarah sekaliber Pak Julian. Kata-kata beliau yang menginspirasi berhasil gemilang mewujudkan cita-cita kedua pemimpi dari Belitung itu. Sekolahnya sendiri? Ya, seperti rata-rata sekolah negeri di daerah. Tidak kenal les tambahan. Tidak ada ekstrakurikuler drum band. Tidak ada kemewahan yang mudah dijumpai di sekolah negeri favorit di Jakarta, apalagi yang swasta! Begitu juga SMA tempat ku sekolah dulu. SMA Negeri 11 Palembang...
Saya masuk tahun 1985 setelah lulus dari SMP Negeri 3. Biasanya lulusan SMP 3 masuk ke SMA 3 yang cukup favorit. Entah kenapa giliran saya lulus dari situ, rayonnya ke SMA baru yang gedungnya belum berdiri. Setelah menumpang beberapa bulan di SMA 1 di tiga ruangan kelas yang jendelanya biasa digunakan teman-teman untuk keluar-masuk kelas, akhirnya kami pindah ke gedung baru. Lokasinya di Pakjo Ujung, yang walaupun hanya beberapa kilometer dari rumah terasa jauh waktu itu. Maklumlah namanya Ujung benar-benar secara harfiah ujung... mentok! Nggak ada jalan lagi, kecuali jalan tikus.
Yang lebih melekat lagi adalah ingatan jalan becek di sekitar Bulan Desember. Tanah merah terjal yang licin menuju sekolah dari ujung jalan aspal jadi lebih licin karena kami suka membungkus kaki dengan plastik. Sebetulnya nggak terlalu jauh, tapi itu cukup membuat kami berlumuran tanah. Belum lagi kalau terpeleset. Eit... Saya dan teman perempuan yang telah memberi saya lima orang anak sering ke sumur di samping sekolah untuk bersih-bersih. Kenangan yang luar biasa! Dan saya tidak termotivasi sama sekali untuk pindah seperti teman-teman yang lain. Ah, hubungan saya dengannya adalah cerita lain yang butuh perpustakaan sendiri untuk menampungnya.
Kita cerita mengenai sekolah bae. Wakil Kepala Sekolah kami, Pak Ali Idrus, benar-benar beruntung ketemu dengan Pak Samson, guru biologi yang baru lulus dari FKIP. Dari Pak Samson, Pak Ali Idrus mampu dalam waktu singkat membangun tim untuk menjalankan fungsi sekolahan. Jadilah dewan guru kami terdiri dari dua guru tetap dan guru-guru honorer, yaitu Pak Samson dan kawan-kawan. Waktu itu, kami belajar di ruang kelas pinjaman seadanya di SMA 1. Butuh waktu beberapa bulan akhirnya Kepala Sekolah kami hadir. Dewan guru akhirnya makin kuat dengan tambahan guru tetap.
Waktu kelas dua. saya masuk kelas A1, Fisika. Ya, memang dari kecil saya pengen jadi ilmuwan, cita-cita yang sudah berubah sama sekali setelah saya mulai ngerti uang. Bagaimana laboratoriumnya? Jelas nggak ada lah. Bahkan tabung-tabung reaksi dan peralatan eksperimen lainnya dipinjam entah dari mana oleh guru Fisika kami yang cukup tinggi langsing dan berparas menarik. Beruntung pelajaran Matematika tidak mutlak membutuhkan alat peraga. Bu Isnaeni Palupi bisa mengajar tanpa hambatan berarti. Jadilah Matematika, Fisika, dan Kimia adalah tiga pelajaran favorit saya, walaupun dengan fasilitas seadanya.
Pelajaran yang lain gimana? Hmm, seingat saya semuanya rata-rata serba terbatas. Perpustakaan sekalipun. Oya, Olahraga adalah pelajaran yang mengasyikkan juga. Kami bisa main bola sesukanya di lapangan. Kalau lagi serius, kami disuruh lari berkeliling sekolah atau keluar kompleks. Awalnya saya nggak suka, tapi setelah saya serius menjalankan program lari hampir tiap hari, berpedoman pada buku Aerobic karangan Dr. Kenneth Cooper, tugas lari jadi ringan. Ada senangnya juga ketika saya berkali-kali menyusul teman yang ketinggalan beberapa putaran, sambil menggoda, "duluan ya..."
Dengan modal kebugaran itu, saya bisa mengomandani pasukan gerak jalan 28 KM tanpa lelah sedikitpun dalam lomba se-kotamadya. Senangnya lagi kami meraih tempat kedua terbaik. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Pada hari pengumuman hasil lomba itu, setelah mendapat ceramah singkat dari Pak Najib mengenai perilaku saya yang perlu diperbaiki, berita duka datang dari rumah teman perempuanku. Ayahnya meninggal pada 28 Oktober 1986. Aku dan Ibunda (almh) pergi melayat. Ah... itupun bagian cerita yang butuh satu perpustakaan tadi untuk menampungnya.
Banyak sebetulnya cerita yang bisa diingat-ingat kembali, tapi rasanya cukuplah cerita kenangan di sekolah ini sampai di sini. Toh nggak semuanya indah, baik, dan benar, misalnya waktu itu saya belum bisa ngaji. Oh, disuruh baca Al-Qur'an oleh guru Agama kami, terbata. Disuruh mengulang hafalan surat pendek, nggak sempurna. Alhamdulillah kekurangan seperti itu sudah banyak berubah saat ini, setelah saya ketemu teman-teman aktivis pengajian waktu sekolah di Amrik. Yang baik-baik waktu SMA itu? Banyak! Gurunya, temannya, lingkungannya, sekolah itu sendiri, dan kesempatan yang diberinya untuk belajar memimpin! Semuanya sudah membantu membentuk diriku seperti apa adanya.
Ya Allah, berilah kami pahala-Mu yang mulia atas upaya dan kebaikan kami. Ya Allah, ampunilah semua dosa kami.
Selamat REUNI untuk seluruh keluarga besar alumni SMA Negeri 11 Palembang. Semoga silaturahmi yang terjalin membawa lebih banyak berkah, amin...
Baca cerita lainnya:
Nama
Pondok Ku, Rumah Baru
Kucing Kami
Baca berita mengenai reuni SMA 11:
http://www.sripoku.com/view/25174/reuni_perdana_sma_11_palembang
http://www.facebook.com/group.php?gid=222269690763&ref=share
Senin, 21 Desember 2009
Lupa
Lupa artinya tidak ingat. Tidak ingat apa? Bisa saja tidak ingat masa lalu. Ya iyalah, masa tidak ingat masa depan? Masa depan kan belum terjadi? Betul, tapi ada sesuatu tentang masa depan yang bisa kita ingat-ingat atau lupakan, misalnya rencana dan ramalan. Baik rencana maupun ramalan sama-sama berorientasi ke masa depan. Bagaimanapun orientasinya, tetap saja rencana dan ramalan terjadi di masa lalu. Waduh, koq mbulet gini?
Misalnya gambaran mengenai kiamat. Kiamat terjadi di masa depan, tapi gambarannya sudah disampaikan di masa lalu, lewat berita dari para nabi. Atau bisa juga diramalkan oleh teori 'ilmiah' yang artinya jauh dari akurasi kepastian. Ilmu fisika, misalnya, menerangkan dunia ini terus menerus mengembang, seperti balon yang ditiup. Ilmu fisika juga menerangkan bahwa dari sebelah atas kita senantiasa diserang oleh benda-benda angkasa yang menabrak bumi, sementara dari sebelah bawah kita diancam pergerakan lempeng bumi dan dahsyatnya magma.
Berita atau teori mengenai masa depan itu bisa saja tidak kita yakini. Bisa juga kita yakini. Bisa juga kita yakini sebagiannya. Bisa juga ragu-ragu. Kalau lagi nggak ada masalah, seolah ancaman kiamat tidak kita anggap sama sekali. Sebaliknya, kalau disingkapkan sedikit bencana ke depan muka kita, hati tiba-tiba berteriak... jangan-jangan... Ya begitulah manusia tempatnya lupa. Kalau seseorang nggak ada lupanya mungkin dia bukan jenis manusia, tapi sejenis mesin pencatat atau entahlah.
Wah, emangnya lupa melulu bersifat jahat? Coba bayangkan kalau kita tidak bisa melupakan mimpi buruk atau suatu pengalaman buruk. Untung, untung, untung kita bisa melupakan banyak hal, karena kalau tidak demikian, perasaan kita jadi selalu campur aduk berbentuk spektrum, mulai dari sedih banget, marah banget, bete, sampai rasa gembira luar biasa dan berani menjurus nekad. Semuanya campur aduk dalam satu saat. Alhamdulillah, perasaan kita tidak seperti itu, pastinya karena banyak lupa, sehingga pengendalian diri tidak luar biasa sulit.
Nah, di titik ini kita menyadari manfaat lupa. Kita bahkan ternyata dapat mengendalikan sampai tingkat tertentu (pasti ga semuanya) mana yang mau kita ingat dan mana yang kita mau lupakan. Proses belajar, merenung, mendengar, membaca, menulis, menerangkan, dan melakukan adalah sarana-sarana untuk menguatkan ingatan dalam memori kita. Sementara proses mengabaikan dengan berbagai variasinya adalah sarana untuk melupakan.
Dengan kenyataan bahwa kita punya ruang untuk melupakan dan tidak melupakan sesuatu, masalah sebenarnya adalah apa sih yang mesti diingat terus dan apa yang wajib dilupakan. Tanpa kesadaran ini, kita akan melupakan apa yang pihak lain ingin kita melupakannya, dan kita akan mengingat hal-hal yang disodori pihak lain. Lha, kalau banyak pihak ingin merencanakan atau mengagendakan sesuatu untuk kita, mana yang akan kita ikuti. Secara tak sadar, kita akan mengikuti pihak yang paling lihay memasarkan sesuatu.
Celakalah kita! Pihak yang paling lihay merencanakan hidup kita belum tentu di pihak yang benar. Untuk menghadapinya, kita harus tahu: mana yang diingat-ingat dan mana yang dilupakan aja. Untuk menghemat kata-kata, saya langsung ke kalimat suci syahadah, sesuai keyakinan saya: tiada tuhan selain Allah. Bagi saya, inilah puncaknya. Yang mesti diingat pertama kali adalah Dia. Selanjutnya, yang harus diingat adalah apa-apa yang Allah ingin kita mengingat-ingatnya. Sebaliknya, kita wajib melupakan apa yang Allah ingin kita melupakannya. Ajakan setan adalah contohnya, betapapun menarik dia.
Untuk ilustrasi sederhana, dalam kehidupan sehari-hari, lupa anak, istri, dan orangtua terkadang menjadi suatu yang utama. Lho koq bisa? Ya bisa aja jikalau anak dan istri atau orangtua justru menghalangi kita dari Allah. Masih ingat kisah hidup Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim kan? Cuma, normalnya lupa anak dan istri apalagi orangtua adalah suatu yang dibenci Allah. Dalam Islam dan kayaknya budaya manapun, anak dan istri serta orangtua juga saudara kandung adalah pihak terdekat kita.
Untuk panduan secara umum, lihatlah contoh-contoh akhlak yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Secara khusus, lihatlah hukum waris. Lihat juga hukum perwalian dalam nikah. Nah, jika demikian, masihkah kita bingung menentukan untuk melupakan sesuatu atau mengingat-ingat suatu yang lain? Mudah-mudahan nggak, sehingga kita bisa menyikapi hal-hal berikut ini dengan benar.
Lupa diri (nggak nyadar)
Lupa ingatan (amnesia)
Lupa-lupa ingat (kayak lagu aja)
Lupa daratan (mabok laut)
Lupa anak-istri (madu tiga)
Lupa janji (awas!)
Lupa kalau lupa (gawat)
Lupa Allah (naudzubilLah)
Minggu, 22 November 2009
Monster Kecil
Kupu-kupu adalah makhluk kecil yang indah. Warnanya sering memukau. Coraknya apa lagi. Ia laksana batik yang digoreskan oleh kebijaksanaan alam. Proses metamorfosalah yang paling bertanggung jawab melahirkan makhluk cantik dari seekor ulat yang buruk rupa. Hikmah apa yang mau diajarkan Allah pada kita? Banyak, tapi bukan itu yang mau kita bahas... Sebaliknya, tema kita adalah makhluk kecil yang cantik tiba-tiba dianggap sebagai monster paling berbahaya. Lho, di mana? Di film SpongeBob!
Suatu hari, Sandy Tupai kedatangan dua sahabatnya, SpongeBob dan Patrick Bintang Laut. Rupanya hari itu, dia membawa beberapa makhluk darat ke rumah kapsulnya di BikiniBottom. Salah satunya seekor ulat kecil. Setelah perkenalan, walaupun buruk rupa, si ulat terlihat lucu bagi SpongeBob dan Patrick. Karena itu, mereka berdua sama sekali tidak keberatan menjaga si ulat, selama Sandy pergi.
Sepeninggal Sandy, SpongeBob dan Patrict mengajak si ulat bermain. Asyik sekali. Malahan terlalu asyik, sehingga mereka berdua sepakat hari itu adalah hari terindah yang pernah mereka alami. Setibanya waktu malam, Sandy tak kunjung pulang, mau nggak mau SpongeBob dan teman gemuknya pulang meninggalkan si ulat di rumah kapsul Sandy. Di dalam botol selai sih. Pasti aman. Begitu pikir keduanya.
Nah, pagi-pagi sekali SpongeBob dan Patrick pergi ke rumah Sandy untuk bermain lagi. Tak dinyana, si ulat sudah tidak ada lagi. Yang ada di dalam botol selai adalah seekor kupu-kupu cantik. Sayang mereka berdua tidak mengetahui proses metamorfosa yang terjadi dalam semalam. Sandy pun lupa menginformasikannya. Ketika si kupu-kupu kecil mengajak bermain seperti hari sebelumnya, baik SpongeBob maupun Patrick ketakutan setengah mati. Mungkin karena antenanya atau matanya atau entahlah. Mereka belum pernah melihat makhluk itu!
Yang menarik dari kisah ini adalah teror yang dialami SpongeBob dan Patrick secara individual sebetulnya hanya permulaan dari kerusakan masif di BikiniBottom. Jika makhluk tak dikenal itu berada di botol selai tempat si ulat tidur malam sebelumnya, sementara si ulat sudah tidak ada, KESIMPULAN yang dapat diambil adalah makhluk aneh itu sudah membinasakan si ulat. Telah ketakutan sebelumnya, SpongeBob dan Patrick mengambil kesimpulan lanjutan bahwa kupu-kupu itu adalah monster.
Selanjutnya, bukan perkara sulit buat SpongeBob dan Patrick untuk membuat seluruh isi BikiniBottom panik. Kemudian, kepanikan masal itu lebih mudah lagi menyebabkan kerusakan masif. Sebetulnya kerusakan itu dibuat sendiri oleh penduduk BikiniBottom. Si monster kecil hanya perlu menampakkan diri untuk men-trigger kepanikan di alam pikiran, kemudian di alam nyata, dan selanjutnya di alam kerusuhan dan kerusakan. Tidak seorang pun warga BikiniBottom berani melumpuhkan si monster kecil.
Akhirnya Sandy kembali dari daratan ke BikiniBottom. Ia cemas melihat kerusakan BikiniBottom. Ia heran melihat semua orang lari tunggang langgang, menyebabkan kerusakan, dan kemudian ngumpet. Ketika ia melihat kupu-kupu cantik di dalam gelembung, betapa senangnya ia mengetahui ulatnya sudah mewujud menjadi makhluk cantik. Ia kemudian memasukkannya ke dalam botol selai untuk dibawa pulang ke rumah kapsul. Tercenganglah ia ketika seluruh warga menyambutnya bak pahlawan super...
Satu kisah SpongeBob di atas tetaplah cerita anak-anak, tapi coba renungkan. Pernahkah kita mengalaminya? Karena ketidaktahuan, kita memproduksi phobia. Mulanya individual dan kecil, tapi kemudian membesar dan selanjutnya terkadang merusak. Pernahkah? Di rumah? Di komunitas? Di kantor? Atau bahkan di level negara dan dunia? Saya...... pernah! Makanya ketika nggak sengaja nonton cerita ini bersama anak-anak, saya terpingkal-pingkal sendiri, mentertawakan diri. Anak-anak nggak ngerti, sementara istri menegur seperti biasa: "Ayah, ayah. Anak-anak aja ga ketawa!"
Senin, 12 Oktober 2009
Masalah Air
Bangun sebelum subuh nggak mudah. Hanya orang tertentu saja yang mampu melakukannya secara konsisten. Pagi tadi, saya mulai terjaga jam 4.00. Wah bakal nggak sempat shalat malam nih. Begitu saya pikir. Masih ada niat. Sementara badan saya tetap ngajak tidur, sampai kedengaran adzan subuh. Pada saat yang sama, istri saya teriak dari kamar mandi, “Ayah ada masalah air lagi!” Masya Allah masalah air lagi. Spontan saya bangun dan ngecek pompa sedot, bak penampungan, dan pompa dorong.
Kedua pompa masih hidup. Buru-buru saya matiin. Syukurlah. Kalau nggak, bisa-bisa mesti diservis lagi. Masalahnya pompa sedot air sumur sama sekali tidak menghisap air. Akibatnya penampungan di atas kosong karena mungkin dari kemarin sore air dipake terus. Di samping bocor tentu saja! Karena kami nggak pake bak mandi, terpaksa saya gunakan segalon air mineral Vit untuk memancing air dari sumur. Habis segalon, air nggak kehisap juga. Akhirnya buru-buru saya ke tempat Mbak Ika, buat shalat subuh terus minta air ledeng sebanyak empat galon untuk mancing lagi.
Sibuk deh pokoknya. Nggak berhasil lagi. Bahkan setelah coba mancing lagi dengan tambahan empat galon air. Anak-anak mulai panik dan diarahkan untuk mandi di rumah budenya. Alhamdulillah tinggal deket saudara banyak untungnya. Waktu sudah jam 6.30 dan anak-anak mulai berangkat sekolah, saya sadar jatah cuti harus kepake lagi untuk emergency ini, huhuhu…
Sambil menenangkan diri dan mengelap keringat yang bercucuran, saya mulai memutar akal. Pertama, saya telepon Pak Wawan, tukang pompa yang memasang bak penampungan kami dan pernah membantu menyelesaikan masalah pompa dorong kami. Karena baik nggak ketulungan, Pak Wawan memberikan konsultasi yang sangat berharga. Kemungkinan kelep di dalam sumur nggak berfungsi. Begitu penjelasannya. Rupanya kesimpulan itu diambilnya dari keterangan saya yang nggak penuh-penuh ngisi air pancingan. Dua kali empat galon. Lagi! Eh, ditambah air Vit di awal jadi total sembilan.
Pak Wawan juga berjanji akan mengupayakan temannya di “toko” untuk datang. Setelah agak tenang, saya baru telepon ke kantor. Lewat Mas Tony, saya minta izin. Saya juga menitipkan beberapa agenda pekerjaan hari ini. Sebelumnya, waktu nelpon Pak Mika, Koordinator Tim kami, beliau nggak ngangkat. Siangan dikit, Pak Mika nelpon ke saya dan saya minta maaf karena memutuskan nggak masuk padahal sudah banyak agenda dengan beliau. Ya iya lah, ini kan menyangkut hajat hidup orang banyak. Begitu komentar Emma, teman di facebook.
Saya kemudian mandi di rumah ayahanda tercinta. “Wah, ada kelemahannya juga ya,” komentar beliau mengenai sistem “pengairan” di rumah kami. Diskusi merembet ke alternatif pake air PAM. Di BSD sih bagus, tapi harganya itu loh. Diskusi juga merembet ke wilayah pribadi. Kelihatannya semua baik-baik saja, kecuali masalah air kami. Setelah itu, istri saya giliran mandi di tempat Mbak Ika. Teteh yang biasa nyuci nggak bisa nyuci dan bantuin beres-beres aja. Terus dia minta ijin pulang. Lalu kami sarapan soto mie di Pasar Modern BSD. Lumayan…
Nungguin Pak Wawan lama juga. Beberapa kali saya telepon. Rupanya lagi pada sibuk. Jam 12 seperti yang dikatakannya lewat begitu saja. Akhirnya setengah satu, saya telepon lagi. Juga ke toko tempat ia bekerja. Ternyata tukang pompa dan sumur di toko Pak Joni lagi sibuk ke pelanggan yang lain. Saya memutuskan untuk cari alternatif lain. Kebetulan, alhamdulillah, sehari sebelumnya ada brosur iklan di pagar dari Mulya Technical Service, melayani berbagai servis, seperti kulkas, AC, pompa, dll, dll. Kata orang bijak sih nggak ada yang kebetulan. Mungkin sudah saatnya saya kenalan dengan Pak Mulya.
Di pembicaraan telepon Pak Mul memberikan analisa yang sama dengan Pak Wawan. Ia berjanji datang jam 1.30 siang. Segera bekerja. Ia periksa pompa sedot dan coba memancing. Ah, ternyata memang mesti dibongkar. “Di mana titiknya, Pak?” tanyanya. Saya tunjukkan satu titik di antara pintu dapur dan pintu gudang. Titik itu sudah saya tanyakan informasinya pagi tadi ke Pak Rifky, arsitek rumah kami, dan juga Pak Gimin, tukang besi pembangunan rumah kami. Sebetulnya yang paling tahu adalah Pak Oman, mandor tukang dulu, tapi beliau udah pulang ke Bandung dan belum balik lagi.
“Pak, keramiknya mesti dihancurin,” katanya. Apa boleh buat. Dengan mantap, saya minta beliau mulai bekerja. Setelah dua biji keramik dihancurin, pipa mulai diangkat keluar. Kurang lebih dua puluh meter ke bawah. Bisa dibayangin kalau saya yang ngerjain sendiri. Mungkin seminggu gak kelar-kelar. Belum tentu berhasil lagi. Di tangan profesional yang berpengalaman, pekerjaan selesai efektif dan efisien. Wah, kalau pekerja dan pejabat di sektor publik dan privat semuanya kayak Pak Mul, betapa hebatnya negeri ini.
Sekarang saatnya mencoba hasil kerja Pak Mul. Mudah-mudahan beres…
Senin, 28 September 2009
Umang-umang
Seneng deh punya binatang piaraan. Tergantung keuangan dan budaya masing-masing, biasanya orang seneng ikan, kucing, anjing, kelinci, dan burung. Jenis lainnya masih banyak, tapi nggak sepopuler ikan dkk. Kami di rumah punya kucing. Yang dulu namanya Cingi, masih sering dikenang, walaupun sudah nggak ada. Baca deh ceritanya di artikel Kucing Kami. Penggantinya Cing-cing, kucing betina mirip dengan Cingi. Mungkin emak si Cingi. Selain Cing-cing, kami juga punya beberapa umang-umang.
Tahu umang-umang nggak? Pak Bahari temen kantor yang orang Jawa Barat menamakannya kumang. Ada juga yang menamakannya klomang. Bahasa Inggris untuk hewan ini adalah hermit crab. Awalnya waktu pindahan dari Bekasi ke BSD, saya suatu hari ke ITC bersama anak-anak. Terus lewat di lapak-lapak penjual tanaman dan hewan peliharaan. Umang-umang langsung mengingatkan masa kecilku dulu. Bedanya, yang di ITC, cangkangnya dihias dan dicat biar menarik. Katanya ngambilnya di Papua. Ukurannya bermacam, dari yang kecil, sedang, sampai yang besar. Hiasan cangkangnya juga sangat bervariasi. Umang-umangnya sendiri ada yang berwarna merah (strowberi), hitam, abu-abu, dan yang paling unik ungu. Sekalian yang ungu itu paling mahal.
Pertama kali beli tiga ekor jenis strowberi. Anak-anak menamakannya Petir, Bola, dan Pohon, sesuai corak hiasan cengkerangnya. Karena belum tahu cara miaranya, akhirnya si Petir dan si Bola mati. Terus saya beli lagi dua ekor jenis strowberi. Anak-anak nggak beri nama, tapi warnanya pink dan biru. Terus yang biru dan si Pohon mati. Setelah itu, saya beli beberapa lagi, sehingga sekarang jumlahnya sembilan. Waktu beli, saya nanya kenapa mudah mati. Katanya umang-umang nggak tahan panas, padahal makannya gampang. Pepaya, semangka, melon, nanas, kotoran kucing (ups maaf), semut, rumputan, dan daun-daunan.
Umang-umang suka masuk ke dalam pasir. Pernah si Pohon dan yang warnanya pink hilang lama, tapi tiba-tiba muncul. Waktu itu nggak sadar kalau mereka masuk ke pasir. Mungkin dia masuk ke pasir karena kepanasan. Sekarang saya selalu sempatkan menyiram bak pasir kami supaya pasir tetap lembab dan nggak terlalu panas di siang hari. Umang-umang juga suka memanjat dan bersosialisasi. Makanya kalau miara umang-umang, jangan cuma satu. Bisa stres dia. Satu lagi yang unik, yaitu mengenai rumahnya. Rumah umang-umang sebenarnya dari hewan lain. Baru-baru ini kami mendapati satu umang-umang kecil kami pindah rumah ke cangkang yang lebih gede (rumah si Pohon yang sudah mati).
Berikut ini beberapa fotonya. Lucu kan?
Berlindung di balik pot...
Sudah sembunyi di dalam pasir, koq masih ketahuan juga sih...
Menjelajah dulu ah...
Asyik tinggi...
Asyik juga...
Baca juga artikel berikut:
http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/1785144-tips-singkat-memelihara-umang-umang/
Minggu, 20 September 2009
Selamat Iedul Fitri 1430H
TaqobbalalLahu minna wa minkum
Taqobbal ya Karim
Kullu am wa antum bikhoirin
Minal aidin wal faizin
Ied mubarok
Selamat iedul fitri
Mohon maaf lahir dan batin
Selasa, 25 Agustus 2009
Kenangan Lama
Setiap orang punya kenangan. Kalau nggak, mungkin dia sedang sakit. Amnesia. Kenangan kita tentu berbeda-beda. Ada yang didominasi kenangan manis. Tidak sedikit yang sebaliknya. Nah, kalau ditanya apa kenangan termanis Anda, banyak yang akan menjawab ibu.
Suatu hari saya sendirian kedinginan di balik selimut. Walaupun matahari sudah tinggi, udara dingin menusuk tetap nggak mau pergi. Sebenarnya di luar sana begitu banyak kesibukan kota. Ada yang belajar. Ada yang jualan. Ada yang bersenang-senang. Ada juga yang cuma menghabiskan waktu yang membeku, sambil menunggu belas kasih sesama. Karena sudah bosan keliling-keliling di tengah kebisingan, saya mencoba menghangatkan diri di kamar.
Walau sudah mencoba berdzikir terus, mata nggak menemukan juga tempat istirahatnya. Biasanya saya akan teruskan saja berdzikir dengan harapan besar menemukan ketenangan dan kasih sayang-Nya. Tiba-tiba keadaan berubah.
Aneh sekali. Perasaan nggak aman mencekam kesadaran. Was-was akan jatuh dari tepi jurang. Was-was terhadap ancaman ular besar yang menyelinap ke kamar. Situasi benar-benar aneh. Sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ular itu bisa saja jin lewat. Jurang di depan mata bisa saja risiko-risiko yang mengendap mendekat.
Mungkin... Mungkin kenangan rasa aman di dalam rahimnya membuatku memanggil-manggil dia. Dan dia datang memberi rasa aman. Sudah lama sekali tidak bersua dengannya.
Ya Allah pertemukanlah kami di dalam surga-Mu, amin.
Minggu, 12 Juli 2009
Liburan Usai
Musim liburan kali ini bener-bener bikin kami sibuk. Pindahan adalah kegiatan utama kami. Selain mindahin barang-barang, tentu kami harus mindahin sekolahan anak-anak. Beruntung satu orang di pesantren, jadi hanya empat yang mesti menyesuaikan diri dengan lingkungan bakal sekolah baru. Lebih beruntung lagi, tiga anak kami memang pas masuk SMP, SD, dan TK. Hanya satu yang putus di tengah: Aisyah dari kelas 3 ke kelas 4 SD.
Secara umum, musim liburan ini paling exciting sekaligus paling bikin capek dan paling menguras sumber daya. Nggak apalah. Saya pernah dapet nasihat, perubahan besar hanya dapat terjadi kalau kita mau strecth the limit. Momentum ini sekalian merupakan kesempatan untuk belajar membentuk kebiasaan baru dan belajar meninggalkan kebiasaan buruk.
Nah, kemarin kami mengantar Hanif ke sekolah untuk pengenalan dan orientasi. Mulai Senin besok, empat anak kami masuk sekolah. Semuanya pada seneng dan semangat. Alhamdulillah. Karena banyak yang mesti diurus, Kepala Urusan Rumah Tangga kami khusus meminta saya meninggalkan pekerjaan barang sehari, hari Senin ini, buat sedikit ngeringanin kerepotan.
Eh cuma sehari? Cukup? Insya Allah cukup. Lagian, hari Kamis dan Jum'atnya saya ijin cuti lagi, nganterin Rani ke pesantrennya di Solo. Insya Allah, di kelas dua nanti dia masuk kelas internasional dengan penguatan Bahasa Inggris, Bahasa Arab, dan Sains. O, betapa banyak ni'mat yang dilimpahkan Allah pada kami. Semestinya kami terus belajar pandai bersyukur.
Wah, liburan usai, padahal nggak liburan kemana-mana. Ah nggak juga. Waktu itu, kami full team jalan ke arah Puncak, nginep di Wisma Mulyasari, naik lagi ke Cilember, terus main air. Pekan lalu kami, jalan-jalan ke Taman Mini, sekalian sama sepupu-sepupu dan bude-budenya anak-anak, malahan sama Alif dan Desi yang datang dari Yogya buat ngeramein liburan. Terus pas hari pilpres, anak-anak perempuan diajak budenya ke Lippo Super Mall, bersama sepupu-sepupu mereka.
Wah, masih dikit banget! Ah, nggak juga. Di sekitar tempat tinggal kami yang baru, tinggallah yai dan dua keluarga bude anak-anak. Meskipun nggak pergi jalan-jalan, anak-anak asyik bermain di lingkungan baru bersama kerabat, anak-anak tetangga, dan kucing kami 'Emak Cingi' yang kami bawa dari Bekasi. Enaknya lagi, rumah kami menghadap taman yang lalu lintasnya nggak rame. Jadi kalau bosen ngubek-ngubek di dalam rumah atau main pasir di halaman belakang, anak-anak main sepeda mengelilingi taman.
Nah, walaupun liburan mau usai, bolehlah tetap mengharap liburan kali ini penuh manfaat, hikmah, dan berkah buat anak-anak. Ya Allah, berkahilah hidup kami dalam senang maupun susah, dan masukkanlah kami ke surgaMu bersama orang-orang yang baik.
Senin, 22 Juni 2009
Musim Libur Tiba
Libur tlah tiba. Libur tlah tiba. Hore, hore, hore... Kayaknya anak sekolah pada jalan semua. Dari TK sampe SMA sampe Perguruan Tinggi. Bahkan bimbingan belajar dan kursus Bahasa Inggris ngadain rekreasi atau rihlah bareng.
Yang duit atau waktunya pas-pasan, perginya deket-deket aja, misalnya ke Taman Mini atau Ancol atau Ragunan. Yang punya waktu dan duit agak lebih, perginya jauhan dikit, misalnya ke Puncak atau Anyer. Yang duit dan waktunya banyak, perginya ke Singapura atau Malaysia atau Umroh sekalian.
Nah, Puncak rupanya masih merupakan tujuan wisata utama. Buktinya hari ini, kami berangkat dari Bekasi jam 8.15 dan tiba di Mulya Sari di Jalan Raya Cipayung menuju Puncak jam 11.15, padahal normalnya mungkin sejam lebih dikit. Mulai dari keluar tol di Gadog, macet udah terasa. Makin ke atas makin macet dan berhentinya makin lama. Kaki ini rasanya mau copot dan nagih minta dipijet. Sayangnya yang biasa disuruh mijet sibuk juga dengan kegiatan masing-masing.
Anak-anak main sampe puas. Ibunya sibuk kumpul dengan ibu-ibu panitia lainnya ngebantu guru ngurusin acara. Di Curug Cilember, Rita dan kawan-kawannya kelas 6 SDIT Thoriq bin Ziyad main air sampe puas. Kami sekeluarga yang ikutan rombongan rihlah juga kecipak kecipuk. Aisyah malah bener-bener nyebur. Ini dia, belum sempet kaki ngasoh setelah nginjek-nginjek pedal kopling, rem, dan gas, pegelnya ditambah lagi naik turun medan Curug 7 Cilember. Biar capek, seneng rasanya lihat anak-anak puas bermain.
Nah, malem ini Rita dan kawan-kawan akan mendapatkan surat cinta dari sekolah. Lulus? Mudah-mudahan seratus persen. Dan mudah-mudahan program mabit (bermalam - Y Pan) terakhir buat anak-anak kelas 6 dengan guru-guru dan staf SDIT Thariq bin Ziyad ini penuh kesan dan hikmah buat semua. Hm... memang berpisah selalu diiringi kesedihan. Sedih berpisah dari teman-teman yang baik!
Jumat, 19 Juni 2009
Granada Square
Lokasinya di Kencana Loka, Sektor XII, BSD. Susunan tokonya tidak seperti susunan toko lainnya di BSD. Pertama, ukurannya lebih kecil, cenderung seperti ukuran kios. Kedua, tidak semua kios atau toko menghadap langsung ke jalan. Ada yang cuma menghadap pelataran. Ketiga, pelatarannya dibuat agak luas, sehingga bisa digunakan buat jualan kaki lima. Yang jualan di pelataran macem-macem. Ada lontong sayur, zuppa soup, roti jala, aneka jus, pakaian, keperluan sekolah, dan lain-lain.
Saya dan keluarga sering melewatinya karena di dekat situ tinggallah ayahanda tercinta dan keluarga-keluarga kakak saya. Nah, kalau sedang melewatinya, saya merasakan atmosfir mediterania karena namanya. Tampak depan bangunannya gimana ya? Berbau latin sedikit (maksa mode ON). Wajar toh karena Granada aslinya nama ibukota bangsa Moor di Andalusia-Spanyol di era keemasan. Untuk tulisan ini, yang penting standard BSD City di kawasan ini sama dengan kawasan lainnya.
Drainase bagus. Bahkan orang dewasa normal bisa aja menelusuri jaringannya. Parkir memadai. Penerangan OK banget. Toilet umum ada. Pohon dan tanaman OK juga. Ya pokoknya, infrastrukturnya bagus dan memadai untuk pasar kecil di tepian Laut Tengah yang seolah bikin nyaman buat menikmati pemandangan indah di sekitarnya hingga ke Negeri Maghribi di Afrika Utara jika saja mata bisa menembus berpuluh-puluh mil pekatnya udara laut. Bedanya, Granada Square hanya mengenal dua musim, bukan empat musim seperti di Andalusia.
Tahun 2001, kami beli kavling dekat Granada Square. Itu karena desakan Mbak Ika. Bertahun-tahun digunakan buat anak-anak tetangga main bola, baru tahun lalu kavling mulai dibangun karena saya dapet utangan yang lumayan. Cukup? Ya, tepatnya mepet! Nah, empat pekan lalu, kami memulai proses pindahan. Mulai dua pekan lalu, kami mencoba nginep Sabtu malam. Paginya, kami coba menyusuri jalan-jalan sekitar, termasuk jajan di Granada Square itu. Roti jala kare kambing... muantap banget. Anak-anak lebih suka Zuppa soup, kecuali Hanif. Dia memang dari dulu suka kambing, bahkan sejak dalam kandungan, hehehe...
Keasyikan ini memang patut disyukuri. Tinggal berdekatan dengan keluarga besar, itu alasan pertama. Kemudian, lingkungannya asri. Terus alternatif transportasi banyak, khususnya KRL yang paling asyik. Stasiun Rawabuntu nggak jauh, kayaknya bisa ditempuh nggak sampe setengah jam jalan kaki dari rumah. Masjid Al-Hakim juga deket, bisa ditempuh paling sepuluh menit jalan kaki. Semuanya indah. Ya, semuanya... Sungguh? Ah, nggak juga.
Kembali ke Granada Square, tempat ini beberapa waktu lalu sangat rame tiap akhir pekan karena dijadikan Flohmarkt Market, pasar kecil akhir pekan, meniru Flohmarkt di daratan Eropa, khususnya sekitar Jerman. Sekarang, obyek wisata Flohmarkt di Granada Square ditutup. Khabarnya ada warga sekitar yang keberatan, karena pasar kalangan itu bikin kotor. Bahkan aroma kotoran kuda biasa merebak. Bukan cuma itu, risiko keamanan khabarnya meningkat. Ini dia, ternyata di BSD City sekalipun budaya bersih belum sepenuhnya bisa dikondisikan lewat lingkungan yang asri. Kenapa ya?
Kalau area Taman Monas kotor, terutama hari Senin setelah warga berekreasi di situ Sabtu dan Ahad, saya rasa masih bisa dimaklumi. Areanya sangat luas. Pengunjungnya padet dari berbagai lapisan masyarakat. Sementara itu, Pemerintah DKI tahu sendiri kan sudah menghadapi bejibun masalah, walaupun ini sebenernya nggak boleh dijadikan alasan (lihat artikel saya sebelumnya Kebersihan di Area Publik - Y Pan). Granada Square yang jauh lebih kecil harusnya bisa dikelola dengan baik, terutama aspek kebersihan dan keamanannya. Memang kebersihan dan keamanan berjalan seiring.
Di NYC, dulu sistem KRL-nya menyeramkan. Kotor dan nggak aman, sampai terjadi insiden Bernie Goetz. Lalu penanggung jawab keamanan stasiun dan kereta mulai kampanye kebersihan. Setiap kereta yang 'dirusak' dengan grafiti selalu dicat ulang, walaupun baru kemarin dicat. Bersih dan rapi membantu meningkatkan keamanan. Lihat deh artikel saya sebelumnya berupa ringkasan dari Bab 4 The Tipping Point karya Malcolm Gladwell. Menurut hemat saya, pengelola Granada Square mesti kayak gitu juga, tapi... oh jangan-jangan nggak ada pengelola yang bertanggung jawab. Gimana nih BSD?
Senin, 20 April 2009
Klinik Pendidikan MIPA
Kemarin saya ke Bogor, nganterin Aisyah latihan soal-soal olimpiade matematika bersama Pak Ridwan Hasan Saputra. Berangkat jam 7.00 dari Bekasi, kami tiba di Pusdiklat Dephub yang lokasinya sudah deket Parung sekitar jam 8.30. Sudah telat. Latihannya sendiri berakhir sekitar jam 12.00. Capek juga tuh anak-anak. Apalagi Aisyah dari dulu susah banget sarapan.
Sembari nungguin anak-anak mengerjakan soal, Pak Ridwan mengambil kesempatan untuk melakukan briefing ke para orangtua. Intinya, beliau menyampaikan prinsip-prinsipnya dalam menjalankan Klinik Pendidikan MIPA dan rencana-rencana ke depan. Selain itu, beliau juga menyampaikan perlunya murid dan orangtua murid 'patuh' pada guru. Patuh pada guru merupakan kunci keberhasilan anak. Ilmu ibarat air yang dituangkan dari ceret (guru) ke gelas (murid). Air nggak bakalan pindah ke gelas, kalau gelas lebih tinggi.
Aisyah sendiri yang saat ini hampir sembilan tahun dan masih duduk di kelas tiga tergabung dalam kelas berbakat Pak Ridwan di Al Azhar, Kemang Pratama, melalui seleksi pada awal tahun ajaran 2008-2009. Wakil-wakil dari sekolah Aisyah, SDIT Thariq bin Ziyad, Pondok Hijau, Bekasi, diundang oleh Pak Ridwan setelah acara pelatihan untuk orangtua dan guru tengah tahun 2008 yang lalu (lihat foto-fotonya di link Belajar Matematika Asyik Menyenangkan). Selama hampir satu tahun ajaran, alhamdulillah Aisyah masih bertahan. Ujian eliminasi berikutnya sudah menanti Sabtu ini...
Mudah-mudahan berhasil Aisyah!
Pak Ridwan sedang ngobrol dengan beberapa orangtua murid...
Jualan kaos dan buku Klinik Pendidikan MIPA diserbu...
Ini contoh kaosnya (diperagakan oleh model, hehehe)...
Aisyah capek habis seleksi tahun 2008...
addthis
Kategori
- bahasa-matematika (23)
- demokrasi-politik (51)
- ekonomi-bisnis (71)
- lebih personal (42)
- manajemen (111)
- nilai-nilai (137)
- review buku (68)
- sistem informasi (37)