Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Selasa, 16 November 2010

Pencari Sensasi dan Ahli Kubur

Bagi kita yang masih hidup, kebanyakan para pencari sensasi lebih sering kita perhatikan daripada kebanyakan ahli kubur. Memang ada ahli kubur tertentu yang sampai hari ini kita sebut-sebut namanya karena prestasi mereka yang luarbiasa, tapi umumnya kita lebih sering terpikat oleh pencari sensasi. Buktinya, acara info seleb lebih laku di TV.

Dulu ada film Accidental Hero. Sebuah pesawat nahas mengalami kecelakaan. Banyak penumpang tidak selamat. Kemudian muncul seorang misterius yang membantu para penumpang yang selamat. Dia kehilangan sebelah sepatunya selagi proses penyelamatan. Berdasarkan cerita mereka yang selamat, media kemudian mencari-cari siapa sih sang pahlawan.

Dari cerita film itu, sang pahlawan, Bernie, sebenarnya seorang kriminal. Karena profesinya, ia menghilang dari lampu sorot wartawan, tapi temannya, John, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Dengan bekal sebagai seorang veteran dan sebelah sepatu Bernie, dia berhasil mengelabui publik, tentunya dengan bantuan media yang senang dengan kisah inspiratif. Di sini, sebetulnya ada kesalahan fatal, tapi karena cerita yang sensasional, kebenaran tertutupi dari publik. Bernie adalah pahlawan yang sebenarnya, walaupun itu kebetulan juga!

Coba bayangkan di antara penumpang yang tewas, adakah seseorang yang benar-benar mengambil tindakan heroik untuk penyelamatan tapi kemudian gugur tanpa ketahuan jasanya? Boleh jadi figur itu memang ada, tetapi karena dia keburu jadi ahli kubur, nggak ada cerita yang menghiasi koran nasional. Demikian juga, pahlawan-pahlawan tak dikenal yang gugur melawan penjajah! Nama mereka tidak pernah menghiasi buku-buku sejarah. Boleh jadi, buku sejarah malah diisi pahlawan seperti John yang kebetulan masih bisa menuturkan cerita-cerita heroik meskipun palsu. Mungkin sekali pahlawan di buku-buku sejarah mempunyai kontribusi yang tidak lebih baik dari pahlawan tak dikenal yang keburu gugur.

Anda pasti tahu GT, pegawai pemerintah yang ketahuan memiliki aset yang tidak sesuai gajinya, kan? Baru-baru ini dia bahkan bikin berita besar lagi setelah seseorang yang mirip dirinya diketahui berada di Den Pasar ketika dia sendiri masih mendekam di tahanan Brimob Kelapa Dua. Melihat besaran korupsinya kita sudah geleng-geleng kepala. Ck ck ck! Semakin dibesarkan sensasinya, semakin terlena kita dari kasus-kasus yang jauh lebih besar di kuburan. Kasus-kasus di kuburan itu tidak akan pernah buka suara dan membuat Anda mungkin berpikir mereka tidak pernah ada. Begitulah perbedaan sensasi dan kuburan.

Ilustrasi yang lebih ilmiah dapat Anda baca di buku The Black Swan karya Dr Nassim Nicholas Taleb. Salah satunya mengenai bayi yang jatuh ke sumur di Italia pada akhir 1970-an. Karena kesulitan mengeluarkannya dari sumur, jadilah kisahnya suatu yang amat dramatis. Negeri Lebanon yang kala itu sedang mengalami perang saudara yang dahsyat bahkan heboh oleh tragedi bayi dari Italia itu sembari melupakan betapa banyak korban perang di rumah sendiri.

Memang kegandrungan kita pada berita yang sensasional membuat kita justru melupakan fakta yang relevan yang ada di kuburan. Ini adalah kelemahan bawaan yang tertanam dalam otak kita yang sekaligus menjadi kekuatannya (baca juga Hebatnya Pikiran - Y Pan). Yang jadi soal tambahan adalah faktor eksternal yang suka mengekploitasi kelemahan kita, dengan tidak sengaja atau lebih parah lagi dengan sengaja. Untuk itu, nggak ada salahnya kita berhati-hati.

Nah, di wilayah extremistan (baca juga Yang Belum Kebaca) - Y Pan), tempat bercokol kebanyakan masalah sosial, sikap hati-hati itu mesti lebih ditingkatkan lagi. Mengapa? Teman-teman kita mungkin suka mengolok-olok keyakinan kita dengan ganas, sampai kita keluar dari keyakinan itu dan akhirnya mengikuti jejak GT. Sanak kita mungkin menyalahkan profesi yang selama ini kita tekuni bergelimang dengan buku, percobaan, dan penelitian, tapi seret uang dan ketenaran. Karena tidak tahan, kita bisa saja keluar dari lembaga penelitian yang sudah membiayai sekolah kita sampai S3 ke luar negeri. Kita lalu lebih memilih bekerja di bank atau jadi pialang atau jadi pengamat yang dengannya sanak saudara tidak akan pernah memandang rendah lagi. Karena kita begitu menghargai imbalan segera, pihak eksternal dapat dengan mudah menjerumuskan kita ke kekeliruan yang kita sesali kemudian.

Andaikan imbalan surga dapat dihadirkan ke dunia ini, tentunya kita akan siap sedia mengalami kerugian-kerugian kecil sepanjang waktu dan mengabaikan begitu saja olok-olok teman dan pandangan merendahkan sanak saudara. Kenapa? Karena kita yakin pada saatnya semua kerugian kecil itu tidak akan ada artinya di hadapan imbalan surga. Demikian pula, kita tentu tidak keberatan menunda keuntungan-keuntungan kecil sepanjang waktu mengingat keuntungan-keuntungan kecil itu tidak berarti apa-apa di hadapan neraka.

Itulah sebabnya kita dapat mengerti bagaimana inginnya sosok seperti Khalid bin Walid tewas dalam peperangan yang diikutinya. Beliau bersusah payah mengikuti semua perang itu dengan luka-luka yang menggerogoti badan. Sungguh suatu ironi, semua perang itu dimenangkannya, tapi harapannya untuk syahid dalam perang tidak tercapai, hingga beliau meninggal di tempat tidur.

Berikut ini satu ilustrasi lagi dari Dr Taleb. Misalkan sebuah obat menyelamatkan banyak orang dari penyakit berpotensi membahayakan. Sebaik-baik obat itu, ada risiko ia dapat menewaskan beberapa orang. Secara obyektif "berat bersih" untuk masyarakat positif banget. Apakah dokter mau meresepkannya? Rasanya tidak, karena pengacara para korban akan memburu sang dokter dan menggebukinya seperti anjing, sementara fakta bahwa banyak orang yang terselamatkan tidak akan membelanya sedikitpun. Nyawa yang terselamatkan adalah statistik (kuburan), sedangkan beberapa korban efek samping adalah anekdot yang gampang diceritakan dan disebarkan (sensasi).

Menurut Dr Taleb, fenomena ahli kubur yang diilustrasikan di atas merupakan manifestasi bukti yang tidak bicara. Tugas kita adalah menghindari terjebak pada apa yang kita lihat (sensasi) saja, tetapi mencari apa-apa yang tidak kelihatan (kuburan). Seyogyanya dua-duanya sama-sama kita perhatikan dengan sungguh-sungguh. Bahkan kalau kita dapat mengidentifikasi suatu sensasi tidak relevan, kita sepatutnya segera mengabaikannya saja. Kalau tidak seperti itu, kita akan terjebak pada sensasi. Malangnya sensasi itu ternyata sering seperti John dalam Accidental Hero di atas, sementara bukti sebenarnya justru tidak bicara, diam seribu bahasa.

Sekarang mari kita kembali ke sekolah. Teori dan ruang kelas sudah mengajarkan kita banyak hal dan sudah membawa peradaban manusia berkembang hingga saat ini. Namun demikian, teori dan ruang kelas seperti sudah dibuktikan secara konsisten dalam sejarah tidak lebih adalah sensasi itu sendiri. Apa yang kita pahami saat ini berdasarkan teori dari ruang kelas yang kita hadiri kemarin mengungkung pikiran kita dalam kotak teori itu sendiri. Padahal kenyataan lebih rumit dari teori itu. Di luar kotak teori itu bersemayam bukti yang tidak bicara. Dr Taleb memberikan ilustrasi yang sangat menawan yang telah mencerahkan banyak orang sekaligus membingungkan banyak orang lain. Saya harus cari-cari bahan dulu di internet dalam bahasa aslinya sampai bisa mengkoreksi terjemahan yang terlanjur saya baca.

Tony yang Gemuk (Fat Tony) adalah seorang jalanan asal Brooklyn yang sangat sukses, sementara John yang Bukan Orang Brooklyn (Dr John) adalah seorang ahli yang berlatar akademis. Sungguh ilustrasi ini bukan untuk mengejek orang jalanan yang sukses ataupun seorang akademisi yang terlalu teoritis. Banyak akademisi yang menguasai jalanan dan tidak terlalu teoritis. Ada juga orang jalanan yang belajar sendiri banyak teori dan menguasasi banyak bahasa. Yang menyebalkan adalah orang jalanan yang sok teoritis. Perumpamaan Fat Tony dan Dr John hanya untuk menggugah pemahaman saja. Berikut ini percakapan antara Dr Nassim Nicholas Taleb (NNT) dengan keduanya.

NNT: Andaikan ada sebuah koin yang sempurna imbang (terjemahan The Black Swan menggunakan istilah "koin yang adil" yang kelewat harfiah, hehehe - Y Pan), yang memiliki kesempatan yang sama (50:50) untuk muncul sisi depan atau sisi belakang (dalam istilah Bahasa Inggris head or tail yang males saya terjemahkan sebagai kepala atau ekor - Y Pan) sewaktu diundi. Saya sudah melontarnya sembilan puluh sembilan kali dan selalu mendapatkan sisi depan. Bagaimana peluang saya mendapat sisi belakang pada lemparan berikutnya?

Dr John: Pertanyaan gampang. Separo, tentu saja, karena Anda mengasumsikan peluang 50 persen untuk masing-masing sisi dan lontaran yang satu tidak terkait dengan lontaran yang lain.

NNT: Bagaimana pendapat Anda, Tony?

Fat Tony: Hemat saya tidak lebih dari 1 persen, tentu saja.

NNT: Kenapa begitu? Saya telah memberimu asumsi awal bahwa koinnya betul-betul imbang, yang berarti peluang tiap sisi tepat 50 persen.

Fat Tony: Anda entah bodoh sekali atau murni seorang pecundang bila menerima pandangan "50 pehcent" (mungkin logat Brooklyn - Y Pan) itu. Koinnya pasti sudah disetel (versi asilnya loaded, tapi buku terjemahan menggunakan istilah "koin berhantu" yang bikin pembaca kayak saya bingung dan keburu merendahkan Fat Tony - Y Pan). Nggak mungkin imbang! (Maksudnya setelah diterjemahkan Dr Taleb yang lebih sekolahan: Mungkin sekali asumsi bahwa koin itu imbang merupakan asumsi yang salah dibandingkan kenyataan setelah 99 pelemparan selalu muncul sisi depan.)

NNT: Tapi Dr John mengatakan 50 persen.

Fat Tony (berbisik di telinga NNT): Saya tahu orang macam ini dengan contoh-contoh aneh dulu waktu saya kerja di bank. Mereka berpikir terlalu lambat. Terlalu pasaran.


Saya butuh beberapa kali membaca dialog di atas dan akhirnya memutuskan mencari sumbernya di internet. Dr Taleb menyediakan PDF yang bisa diunduh dari http://www.fooledbyrandomness.com/LudicFallacy.pdf. Saya pelajari tulisan aslinya hingga saya merasa memahaminya. Dr John berpikir sepenuhnya di dalam kotak, sementara Fat Tony sepenuhnya di luar kotak. Saya pikir keduanya bukan sosok ideal. Saya lebih senang sosok yang menguasai dalam dan luar kotak. Dalam definisi Dr Taleb, luar kotak adalah lipatan plato (platonic fold), suatu daerah yang belum dipahami (non-platonic) dan sering kita abaikan karena kita nggak nyaman dengan faktor yang misterius. Alih-alih mengekplorasi area di luar kotak dengan skeptis, kita sering memuaskan diri dengan apa yang sudah kita ketahui saja (platonic).

Dalam kasus Fat Tony dan Dr John, walaupun keduanya bukan sosok yang ideal, saya menyimpulkan bahwa Fat Tony lebih baik dari Dr John. Kehidupan sehari-hari lebih sering mengandung banyak hal di luar kotak teori yang tidak steril dari ketidakpastian yang sesungguhnya. Mungkin banyak pembaca The Black Swan mendebat bahwa tidak mungkin ahli statistik seperti Dr John berlaku sangat lugu dan steril seperti itu. Dia pasti akan menguji dulu asumsi bahwa koinnya imbang dengan data empiris bahwa dalam 99 lemparan selalu muncul sisi depan.

Memang selayaknya orang sekolahan tetap skeptis dengan apa yang "telah" diketahuinya dan melakukan pengujian empiris untuk mengeksplorasi area yang "belum" diketahuinya, tapi kenyataannya ada (untuk tidak mengatakan banyak - Y Pan) orang sekolahan yang gagal menggunakan prinsip-prinsip ilmiah dalam kehidupan sehari-hari. Kita sering terjebak menggunakan intuisi saja untuk suatu yang mestinya dipikirkan secara mendalam. Dengan instinct, kita sering menggunakan jalan pintas mungkin karena ingin cepat kabur dari buruan binatang buas.

Kesalahan yang dilakukan Dr John, disebut kesalahan spontan (ludic fallacy), ternyata dilakukan juga oleh kasino-kasino. Mungkin kita berpikir kasino, apalagi di Amerika, sangat ahli di bidang peluang dan ketidakpastian. Koq bisa kasino dengan lugunya mengatakan koinnya imbang? Di dalam permainan memang koinnya imbang. Dengan koin yang imbang, saking semuanya sudah terhitung akurat, nggak mungkin sebuah kasino rugi dari bisnis judi ini. Yang nggak cerdas adalah para pengunjung kasino! Memang ada orang yang memiliki kemampuan, didukung alat ataupun tidak, untuk mencari keuntungan yang bersifat bukan untung-untungan dari judi di kasino. Orang-orang seperti itu, yang disebut curang, akan diamati dan ditangani sendiri oleh kasino. Pernah lihat kan adegannya di film-film?

Lalu di mana letak kesalahan spontan yang dilakukan kasino? Dr Taleb menuliskan dari pengakuan pengusaha kasino sendiri bahwa sumber kerugian kasino bukan dari permainan itu, tapi berasal dari luar yang mereka tidak antisipasi. Contohnya? Pertama, pawang harimau untuk atraksi di kasino diterkam oleh harimaunya sendiri. Kedua, seorang kontraktor kecewa terhadap kasino dan berencana meledakkan kasino itu. Ketiga, pegawai kasino lalai menyampaikan formulir-formulir pajak ke kantor pajak yang mengakibatkan denda yang luarbiasa besar. Keempat, putri pemilik kasino diculik untuk tebusan sejumlah besar uang.

Contoh-contoh mengenai kerugian kasino di atas kelihatannya mendorong Dr Taleb dengan sinis mengatakan kasino berjudi dengan dadu yang salah! Artinya permasalahan dalam kehidupan tidak dapat disterilkan seperti ruangan kasino itu sendiri. Menurut Dr Taleb, peluang berjudi di dalam permainan-permainan kasino sih gampang dihitung. JUSTRU ANGSA HITAM BERSEMAYAM DI LUAR KOTAK permainan kasino itu sendiri. Dia ada di kuburan dan tidak terlihat sensasional!

* Setelah membaca artikel ini, ada baiknya jika berkenan, Anda baca sendiri buku The Black Swan agar Anda dapat mengidentifikasi konsep asli Dr Taleb dari kata-kata yang saya tambahkan sendiri dan dari kata-kata yang saya tidak suka masukkan di sini.

Diinspirasi oleh The Black Swan: Bab 7: Hidup di Beranda Sebuah Harapan (Living in the Antechamber of Hope), Bab 8: Giacomo Casanova yang Terus Beruntung: Masalah Bukti yang Tidak Bicara (Giacomo Casanova's Unfailing Luck: The Problem of Silent Evidence), Bab 9: Kesalahan Spontan, atau Ketidakpastian Si Kutu Buku (The Ludic Fallacy, or The Uncertainty of The Nerd)


Baca artikel terkait sebelumnya: Hebatnya Pikiran

Selengkapnya.....

Sabtu, 13 November 2010

Hanya Khutbah Biasa

Shalat Jum’at kemarin, seperti biasa kalau nggak dinas atau libur, saya ikuti di masjid kantor. Khotibnya Ustadz Muchlis Abdi. Walaupun belum pernah berguru langsung kepada beliau, saya menganggap beliau salah satu guru saya (beliau belum tentu mengakui saya sebagai murid sih, tapi nggak apa – Y Pan). Karena mendekati hari Arafah, topik khutbah seperti biasa penjelasan mengenai keluarga Ibrahim AS. Sudah berkali-kali mendengar khutbah seperti itu, saya pun berpikir ini akan menjadi suatu khutbah biasa.

Sebelum menceritakan kisah keluarga Ibrahim, Ustadz Muchlis memaparkan bahwa ibadah haji adalah satu-satunya ibadah yang bersifat internasional dan terikat dengan tempat tertentu. Beliau menyampaikan bahwa Allah mendesain ibadah haji seperti itu antara lain untuk menjadi contoh nyata bagi seluruh umat manusia perihal akibat yang baik bagi orang-orang yang baik.

Kalau Anda membaca artikel saya sebelumnya, Yang Belum Kebaca dan Hebatnya Pikiran, yang terinspirasi the Black Swan agar kita skeptis terhadap narasi sebab akibat, mohon jangan menganggap saya tidak yakin dengan ajaran agama saya sendiri. Berbeda mungkin dengan Dr Taleb, saya skeptis dengan perkataan siapa saja, tapi tidak jika ia bersumber dari RasululLah SAW, al-Amin.

Nah, kembali ke khutbah, Ustadz Muchlis menjelaskan lebih lanjut dengan menapaktilasi teladan keluarga Ibrahim, para peragu yang mengatakan ajaran al-Qur’an hanya teoritis dan hanya bagus dalam lembaran-lembaran tulisannya ditantang dengan bukti-bukti nyata di depan mata. Pergilah kamu ke Mekkah, maka kamu akan melihat bukti-bukti agung itu. Memang sih, kita masih tetap bisa menolak., tapi itu nggak masalah. Tidak ada paksaan dalam agama (keyakinan).

Demikianlah kisah dimulai. Ternyata tidak seperti khutbah biasa mengenai keluarga Ibrahim, khutbah ini benar-benar membawaku ke suasana penghayatan. Entah karena cara bertuturnya atau karena latar belakang akademisnya atau karena memang tingkat ruhiyah sang penyampai pesan!

Dalam usia yang sudah senja. Rumah tangga Ibrahim belum juga dapat tertawa lepas bersama kehadiran anak-anak yang dicintai. Bukan karena anak-anak itu akan membuktikan kenormalan beliau sebagai laki-laki, tetapi karena anak-anak itu diharapkan dapat melanjutkan perjuangan. Dengan persetujuan istrinya yang pertama, Nabi Ibrahim menikahi seorang perempuan lagi yang masih muda. Karena kehendak Allah jua, setelah itu hamil keduanya. Betapa senang hati beliau.

Tiba saatnya, istri pertama Nabi Ibrahim melahirkan seorang anak laki-laki. Anak yang dinanti-nanti. Anak yang membuat keluarga ini dapat tertawa senang. Karena itu, ia diberi nama Ishak. Menyusul berikutnya, istri kedua melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail, yang bermakna doa yang dipenuhi. Situasi kemudian berubah. Terjadilah ketegangan di dalam keluarganya.

Setelah mendapatkan instruksi dari Allah, Nabi Ibrahim membawa istri keduanya dan putranya Ismail pergi dari rumah di Kanaa, Palestina bagian selatan, menuju ke arah selatan. Berjalan berbulan-bulan, akhirnya beliau mendapat wahyu agar berhenti di suatu tempat bernama Bakkah, yang bermakna tempat penuh duka. Di tempat itu tidak ada air sedikitpun. Tidak ada tanda kehidupan sama sekali.

Ustadz Muchlis tidak menceritakan detil mengenai dialog panjang penuh kesedihan dan perpisahan Ibrahim dengan keluarganya di Bakkah, tetapi tetap saja kata-katanya membuat sulit linangan air mata. Hanya ketika istrinya memahami bahwa ini wahyu Allah Swt, perpisahan tersebut bagaimanapun beratnya terjadi juga. Ustadz tidak menceritakan bagaimana akhirnya sumur Zam Zam muncul di kaki Ismail, tapi cukuplah di benak saya sudah ada cerita itu dan menambah kepedihan perasaan ditinggal di lembah duka.

Sepuluh tahun berlalu. Nabi Ibrahim tidak turut membesarkan Ismail, tapi pada saat itu diterimalah wahyu untuk mengunjungi keluarganya di Bakkah. Di pihak lain, karena tidak mungkin hanya mengandalkan air Zam Zam untuk bertahan hidup. Ismail kecil dan ibunya telah terbiasa beredar di kawasan sekitar Bakkah, sekarang Mekkah. Hingga mereka biasa berada di Arafah. Di sinilah Nabi Ibrahim bertemu kembali dengan keluarganya.

Betapa bahagia keluarga ini bersatu kembali Tanpa mengikuti tumbuh kembang anaknya, Nabi Ibrahim mendapati anaknya sudah remaja dan berperilaku sholeh. Sungguh suatu ni’mat luar biasa dari Tuhannya. Namun tiba-tiba di Muzdalifah, Nabi Ibrahim mendapat wahyu untuk menyembelih anaknya. Kalau kita disuruh melakukan hal seperti ini, bisa dibayangkan betapa banyak deraian air mata mengalir! Alternatifnya, betapa dahsyat perseteruan dalam keluarga! Berbeda dengan kita, Ibrahim adalah seorang RasululLah.

Nabi Ibrahim mendekati anaknya dan menceritakan di dalam mimpinya ia menyembelih anaknya itu. Nabi Ibrahim tentu sudah siap menerima jawaban penolakan dari anaknya, karena ini memang sangat berat. Tanpa disangka, Ismail menjawab, ”Lakukanlah Ayah apa yang diperintahkan itu, insya Allah engkau dapati aku termasuk orang-orang yang sabar.” SubhanalLah!

Berdua, mereka kemudian mengajukan hal ini ke Ibunda Ismail. Kali ini Nabi Ibrahim pun telah siap menerima jawaban penolakan dari istrinya. Wong dia nggak merasakan suka duka membesarkan anak ini. Tanpa disangka, Ibunda Ismail juga membenarkan Nabi Ibrahim. Begitulah seorang Rasul dan keluarganya. Ismail mengajukan tiga permintaan terakhir. Ibundanya juga mengajukan satu permintaan.

Ismail meminta agar pedang yang digunakan untuk menyembelih benar-benar diasah setajamnya agar tidak terlalu sakit, walaupun tetap sakit. Kemudian, yang kedua, ia meminta matanya ditutup agar sang ayah tidak merasa iba dan ragu. Yang terakhir, baju yang dikenakan yang akan berlumuran darah dimintanya untuk diserahkan ke Ibundanya sebagai kenang-kenangan. Oh, betapa mengharukan! Sementara itu, Ibunda Ismail meminta diri untuk tidak mengikuti prosesi penyembelihan. Maka tinggallah ia di Muzdalifah. Di dalam manasik, kita mabit di sini sebelum ke Mina.

Nabi Ibrahim dan Ismail (yang kemudian menjadi salah seorang RasululLah juga dan kemudian melahirkan Nabi Muhammad SAW) pergi mencari tempat pelaksanaan penyembelihan. Di jalan mereka menemui hambatan dari setan yang kemudian mereka hadapi secara fisik dengan melemparinya. Tempat kejadian itu sampai sekarang menjadi situs jamarat, tempat jemaah haji melempari setan! Akhirnya ditemukan juga lokasi yang sesuai di Mina.

Mata Ismail sudah ditutup, pedang sudah dibuka dari sarungnya, pelipis Ismail telah diletakkan di tanah... oh... Nabi Ibrahim meletakkan pedangnya di tempat yang paling tepat agar darah deras mengucur yang akan menyebabkan kematian Ismail... oh... Nabi Ibrahim menggerakkan tangannya dan mengucur deraslah darah... oh... Nabi Ibrahim masih memejamkan matanya karena tidak tega... oh...

Bagaimana kalau saya yang disuruh melakukan ini terhadap anak yang dinanti-nanti? Ya Allah, jadikanlah aku mencintai anak-anakku karena Engkau, bukan hanya karena mencintai mereka saja. Ya Allah, jadikanlah aku tidak terlalu mencintai anak-anakku sehingga melampaui cintaku pada-Mu. Padahal aku sangat mencintai mereka... Dan tiap kali aku melihat wajahnya dan rasa cinta itu membuncah, aku bersyukur dan berdo’a agar cinta itu membawa kami ke surga.

Akhirnya, Nabi Ibrahim mendengar suara gaib yang menjadi klimaks yang mengharukan. Ternyata yang disembelihnya adalah seekor Qibas yang gemuk, sementara Ismail berdiri di depannya tanpa kurang suatu apapun. Allahu akbar wa lilLahi l-hamd.

Heran... walaupun sudah berulangkali mendengar kisah ini, selalu saja keharuan tidak dapat ditahan. Bahkan kali ini, seperti yang saya katakan di atas, entah karena cara bertuturnya atau karena latar belakang akademiknya atau karena tingkat ruhiyah sang penyampai pesan, keharuan kali ini lebih mendalam. Ya Allah selamatkanlah keluargaku dan masukkanlah kami ke dalam surga-Mu, amin.

Dengan kondisi ruhiyah yang sangat kondusif, tidak sulit sama sekali untuk menerima suatu pelajaran yang dieksplisitkan oleh Ustadz Muchlis Abdi di akhir khutbah pertamanya. Dalam situasi negeri yang sangat memprihatinkan, kita hendaknya meneladani keluarga Ibrahim. Kalau tidak dapat memperbaiki, minimal jangan membuat kerusakan!

Mengangkat negeri dari krisis yang tidak habis-habis dapat menjadi kontribusi dan upaya kita, tapi kita tidak dapat melakukannya kalau kita masih berada di tataran materi alias kita masih materialistis atau matrek. Kita bisa ikut berkontribusi dalam perbaikan masyarakat hanya jika kita sudah berada di tataran spiritual, seperti keluarga Ibrahim!

* Sebagaimana biasa, setelah shalat, dilakukan pendalaman materi khutbah. Sebenarnya menarik. Ada tiga pertanyaan. Salah satunya mengenai kontroversi penentuan Hari Raya, tapi tulisan ini sudah terlalu panjang...

Baca juga cerita:
Kekuatan Cerita
Qurban Memaknai Syukur
Cerita Jenaka dari kyai yang sedang mendapatkan ujian karena wanita (kita doakan agar masalah beliau segera selesai)

Selengkapnya.....

Minggu, 07 November 2010

Hebatnya Pikiran

Pernah nggak kita sekilas melihat teman kita di balik tikungan? Baru hidungnya yang kelihatan, kita udah tahu itu si fulan. Kemampuan ini sangat canggih, sampai-sampai komputer paling canggih yang memiliki kemampuan image processing paling canggih di dunia iri sekali.

Kemampuan mengenali pola katanya berada di bagian kiri otak kita. Saya sendiri tidak terlalu peduli dengan kategori otak kiri, otak kanan, bahkan belakangan ini otak tengah. Yang jelas manusia, alhamdulillah, diberi karunia yang luarbiasa. Kalau nggak seperti itu, mungkin pas kita berpapasan dengan anak atau istri kita, kita butuh beberapa menit atau malah satu jam lebih untuk mengenalinya. Hehehe, dengan kondisi seperti itu, umur kita yang rata-rata di sekitar 60 tahun nggak akan cukup untuk menambah nilai dan memberi manfaat bagi sesama karena sibuk mengenali penampakan.


Saking efisiennya cara kerja pikiran kita, bukan perkara yang sulit bagi kita untuk membedakan berbagai spesies binatang dan tumbuhan. Untuk kita orang awam, mungkin sudah cukup mengenali perbedaan kucing dan jaguar, ulat dan ular, kadal dan komodo, lalat dan lebah, dan seterusnya. Untuk para ahli, tingkatnya sampai membedakan hal yang sangat detil, misalnya perbedaan dalam bentuk taringnya atau cara bertelurnya atau bunyi khasnya, hehehe.

Kemampuan pengenalan pola tidak hanya terbatas pada perkara fisik saja, tapi juga kita gunakan untuk perkara-perkara yang lebih abstrak dan tidak fisik sifatnya. Misalnya waktu tes psikologi, kita disuruh menebak angka apa yang muncul berikutnya setelah kita diberikan sederet angka. Bukan cuma angka, malah ada juga tes pola gambar tertentu, misalnya setelah garis, segi tiga, dan segi empat, kita diminta menebak yang berikutnya. Ada juga pola kata-kata, apakah itu analogi, lawan kata, ataupun sinonim. Nah, kemampuan mengenali dan memahami ini kemudian dijadikan salah satu indikator tingkat kecerdasan seseorang.

Melanjutkan contoh-contoh di atas, tanggapan kita kepada fenomena alam juga sangat didukung oleh kemampuan kita dalam mengenali pola berdasarkan pengalaman. Kalau mendung di langit Jakarta sudah berat banget, ditambah angin yang bertiup tak henti-henti, pertanda banjir... eh salah... genangan air akan menyebabkan macet di mana-mana. Contoh lain? Status Merapi dari waspada, siaga, menjadi awas, dan kemudian diikuti perluasan area berbahaya juga sepenuhnya perkara pengenalan pola yang membuat antisipasi bencana menjadi lebih baik, walaupun ada sebagian kalangan yang mengikuti kategori bahaya dari juru kunci, bukan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana.


Jika kita terus menambah cakupan dan kompleksitas masalah, misalnya yang berhubungan dengan interaksi sosial, otak kita tetap saja bekerja dengan efisien. Sampai-sampai kita dapat segera mengenali aliran atau mazhab seseorang dari cara bicaranya, atau cara shalatnya, atau posting-posting yang dikirimnya ke milis, atau bahkan komentarnya terhadap posting tertentu. Di tim kami, kalau ada dokumen penting yang tidak berada di tempat yang seharusnya, perhatian langsung mengarah kepada sosok yang sudah dicap suka, lebih tepatnya pernah, meminjam arsip tanpa mengembalikan, padahal belum tentu beliau yang salah, hehehe (maaf Mas, cuma buat ilustrasi).

Satu ilustrasi lagi mari kita ambil dari tanah Paman Sam. Di Amerika, opini atau tulisan yang berpihak ke Republik dan yang ke Demokrat cukup mudah dibedakan. Yang agak sulit dibedakan mungkin sikap moderat yang ngambang di tengah. Porsi kelompok moderat yang bisa swing ke Demokrat maupun Republik menurut laporan justru lebih besar daripada porsi orang Amerika yang secara definitif mencap diri sendiri sebagai konservatif (cenderung ke Republik) maupun liberal (cenderung ke Demokrat), tapi publik hanya tahu dua partai saja (memang ada yang lain, tapi sungguh tidak signifikan – Y Pan).

Menurut pemahaman saya, liberal lebih ke kiri (lebih sosialis) dalam ideologi, sedangkan konservatif lebih ke kanan (sangat ekstrem pro pasar dalam kebijakan ekonomi yang kurang percaya pada redistribusi kekayaan melalui pajak). Saya mengira publik Amerika sudah muak dengan ideologi ultra liberal dalam ekonomi yang sangat menguntungkan orang-orang yang super kaya yang jumlahnya di bawah 1%, seperti ditunjukkan Bush dalam dua periode kepemimpinannya. Saya kaget ternyata hanya butuh dua tahun, di pemilu sela 2010, partai Presiden Obama mengalami kekalahan telak di DPR (House), walaupun masih mendominasi DPD (Senat). Rupanya ada yang keliru! Kenyataan terlalu rumit untuk dijelaskan dengan teori atau cerita sederhana.

Dari sedikit contoh di sini, kita sudah dapat melihat bahwa pengenalan pola yang kita lakukan bisa salah. Lebih parah lagi, dalam kasus tertentu, sikap yang kaku menambah faktor risiko. Akibatnya bisa fatal, seperti kesalahan dalam menanggapi bahaya Gunung Merapi. Akibat lain, misalnya, seseorang atau suatu kaum kita perlakukan tidak adil, karena kebencian yang sangat dan karena cap yang sudah kita berikan secara serampangan.

Menurut Nassim Nicholas Taleb, kesalahan seperti ini disebut kesalahan naratif (lihat juga artikel sebelumnya Yang Belum Kebaca). Saya sih lebih senang menamakannya kesalahan dalam berteori. Ini disebabkan kita kurang peka membedakan proses memahami dengan proses menjelaskan. Sekali kita berteori atau membangun cerita yang masuk akal, seketika itu pula pemahaman kita bias mengikuti kecenderungan kita dalam membuat penjelasan.

Baru-baru ini di koran saya menemukan satu contoh cara belajar induktif yang menggelikan dari Bang Foke. Beliau menyatakan fenomena curah hujan akhir-akhir ini tidak dapat diprediksi, karena tahun lalu rata-rata curah hujan bulan-bulan ini di Jakarta 0... ya NOL mm. Hihihi, sebelum mengambil kesimpulan itu, baiknya Bang Foke menambah dulu sampelnya, dengan data sepuluh tahun kek atau malah data curah hujan seabad ke belakang. Kalau perlu, beliau dapat menambahkan faktor atau dimensi lain, misalnya apakah ada badai tropis.

Memang prediksi tetap tidak dapat sepenuhnya akurat walau dengan variabel dan sampel yang lebih banyak, tapi penjelasan Bang Foke kesannya terlalu lugu. Kayaknya Dr Nassim Taleb harus datang sendiri ke Jakarta untuk meluruskan pola berpikir beliau. Kita berharap beliau suatu saat tidak lagi berkata bahwa tidak ada tuh angsa hitam karena tahun lalu sama sekali tidak ada.

Pertanyaannya adalah mengapa Bang Foke dan kita semua, termasuk saya, gampang sekali terjebak dalam kesalahan berpikir seperti ini. Seperti disinggung di atas, otak kita secara biologis membutuhkan pola untuk mengingat lebih banyak informasi. Artinya pikiran kita senang mendapatkan suatu yang terpola. Di sini jebakannya. Alih-alih mendapatkan pola dari kenyataan yang sebenarnya, pikiran kita sering tertipu oleh sesuatu yang seolah terpola, padahal tidak. Nah, cerita atau teori terhadap bias berpikir seperti bensin terhadap api.

Dalam salah satu bagian bukunya, Dr Taleb mengutip novelis E. M. Forster perihal kisah wafatnya Raja dan Ratu. Coba telaah dua narasi berikut. Pertama: Raja wafat dan Ratu pun wafat. Kedua: Raja wafat, dan belakangan Ratu meninggal karena berduka. Pikiran kita cenderung lebih tertarik dengan yang kedua, karena ia “lebih bercerita” dari yang pertama. Ia mengandung pola sebab akibat.

Masalah dengan narasi kedua adalah walaupun narasinya mengandung lebih banyak kata-kata (informasi), sesungguhnya narasi ini telah tereduksi. Seolah-olah Ratu memang wafat karena berduka, padahal bisa saja ada faktor atau dimensi lain. Sama seperti Bang Foke, seolah-olah curah hujan hanya ditentukan curah hujan tahun lalu di bulan-bulan yang sama. Malangnya, karena ceritanya lebih mudah dijejalkan ke otak kita, penjelasan yang bias seperti ini justru mudah dijual. Wartawan yang katanya sangat kritis pun ikut menjual alasan Bang Foke atas ketidaksiapannya mengantisipasi banjir.

Masak sih Bang Foke demikian lugunya? Begitu mungkin Anda membelanya. Kan dia itu doktor dan penyandang titel kesarjanaan lainnya? Ya begitulah. Bahkan profesor internasional yang ditemui Dr Taleb pada suatu konferensi estetika di Roma tahun 2004 dengan mudah terjebak oleh kesalahan naratif ini. Ketika itu, sang profesor memuji-muji wawasan Dr Taleb tentang ketidakpastian. Seketika kemudian sang profesor menunjukkan sebab mengapa Dr Taleb dapat berwawasan seperti itu: karena ia dibesarkan di Timur Tengah yang ortodoks dibandingkan komunitas Protestan yang mengajarkan sebab-akibat antara usaha dan ganjaran.

Hehehe, banyak contoh yang dituliskan Dr Taleb dalam bukunya The Black Swan mengenai kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh banyak orang terdidik, termasuk ahli statistik yang sama sekali melupakan prinsip-prinsip statistik ketika berhadapan dengan persoalan sehari-hari. Jadi Bang Foke nggak perlu malu.

Bukan cuma Bang Foke. Wartawan juga nggak perlu malu. Dr Taleb mengungkap Bloomberg News suatu hari di bulan Desember 2003 mengaitkan naiknya US Treasuries dengan sebab tertangkapnya Saddam Hussein. Suatu yang sensasional! Setengah jam kemudian Bloomberg News mengaitkan turunnya US Treasuries dengan musabab tertangkapnya Saddam. Koq bisa? Begitulah manusia, bahkan yang mengaku ahli. Kita bisa membuat kesalahan yang lebih parah.

Mengapa otak kita menyukai narasi walaupun bias? Ketika kita sudah menyusun teori atau narasi – dan itu secara biologis cenderung kita lakukan bahkan tanpa sadar – kita kemudian dapat mengingat lebih jelas fakta-fakta yang cocok dengan narasi itu sembari melupakan sama sekali fakta lain yang tidak cocok. Ini memberi kita keyakinan yang bikin nyaman! Sayangnya keyakinan itu kadang keliru. Untuk menghindari jebakan kesalahan naratif ini, dalam proses berpikir kognitif, kita wajib waspada terhadap intuisi yang sering tanpa sadar kita gunakan, terutama ketika masalahnya di wilayah Extremistan.

Intuisi memang sangat efisien, cepat, dan kadang sensasional (baca juga salah satu buku favorit saya, Blink oleh Malcolm Gladwell, dan saya suka menggunakan intuisi – Y Pan), seperti ketika melihat hidung si fulan di balik tikungan. Seperti juga ketika seorang polisi terlibat dalam situasi tembak menembak yang kritis dengan penjahat yang membuatnya hanya melihat obyek penjahat saja dan “buta” dari yang lainnya. Seperti ketika kita langsung ingat bahwa Ratu wafat karena berduka.

Nah, lain kali ketika hendak menyimpulkan sesuatu, jangan mudah terjebak dengan narasi. Ketika hendak mengatakan semua kekacauan ini disebabkan oleh Inggris, introspeksi dulu. Ketika hendak mencap seseorang sebagai penganut aliran tertentu dan kemudian hendak mencap aliran tertentu itu sangat berbahaya, coba ambil wudlu, duduk, dan berhenti mengambil kesimpulan!

* Setelah membaca artikel ini, ada baiknya jika berkenan, Anda baca sendiri buku The Black Swan agar Anda dapat mengidentifikasi konsep asli Dr Taleb dari kata-kata yang saya tambahkan sendiri dan dari kata-kata yang saya tidak suka masukkan di sini.

Diinspirasi oleh The Black Swan: Bab 4: Seribu Satu Hari, atau Bagaimana Supaya Tidak Mudah Tertipu (One Thousand and One Days, or How Not to Be a Sucker), Bab 5: Konfirmasi Informasi (Confirmation Shmonfirmation!), Bab 6: Kesalahan Naratif (The Narrative Fallacy)


Baca artikel terkait sebelumnya: Yang Belum Kebaca

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed