Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Kamis, 31 Januari 2008

Kehebatan Sistem Informasi

Ada pertanyaan mendasar yang harus diajukan ketika seorang CEO mengatakan SDM kami adalah asset yang paling berharga. Apakah memang ia yakin setiap orang di perusahaannya berkualitas? Pasalnya hanya SDM berkualitas saja yang merupakan asset, sisanya justru liabilities. Demikian juga dengan informasi.

Information is power! What? Ini yang saya maksud. Apatah mungkin informasi yang salah bisa menjadi sumber kekuatan? Justru kelemahan. Mungkin ada kata sifat tersembunyi dari pernyataan itu, yaitu quality. Jadi harusnya: quality information is our asset or quality information is power!

Seperti sudah dibahas sebelumnya, informasi merupakan input dan output dari suatu sistem informasi. Rasanya OK lah kalau dikatakan bahwa informasi berkualitas hanya dapat dihasilkan oleh sistem informasi yang berkualitas -- sistem informasi hebat, bukan yang biasa-biasa saja, apalagi yang payah.

Dalam membangun sistem informasi yang hebat dan menjalankannya dengan hebat pula, kita dapat menggunakan nasihat Jim Collins dalam buku Good to Great. Pertama, harus ada pemimpin level 5, yang ambisinya menjadikan sistem yang hebat, bukan dirinya. Kedua level 5 leader tersebut mencari dan ditemani orang-orang yang tepat, yang punya karakter terutama integritas. Kemudian ketiga, mereka jujur menghadapi realitas betapapun pahitnya, dst.

Kerangka Good to Great di atas sangat sesuai dengan kesimpulan pada posting Faktor Sukses Sistem Informasi yang menempatkan unsur SDM yang berintegritas sebagai kunci sukses pertama dan terutama. Hanya dengan SDM yang hebat suatu sistem informasi menjadi hebat. Pada titik ini baru kehebatan sistem informasi terwujud sesuai teori dengan menghasilkan informasi berkualitas tinggi.

Menurut wikepedia kehebatannya antara lain membuat suatu entitas yang senantiasa bersaing dalam era informasi (information age) ini meningkatkan kemampuannya bersaing dengan bertumpu pada proses yang berkualitas dan inovasi melalui penguasaan terhadap informasi dan pengetahuan (knowldege). Lihat di wikipedia.

Pertanyaannya kapan kita melihat ini terjadi di tempat kita: di RT, RW, kelurahan, sampai departemen dan lembaga-lembaga non departemen. Juga kita ingin melihat buktinya pada perusahaan-perusahaan domestik, kecil maupun besar. Ataukah pertanyaannya harus diubah? Mungkinkah kehebatan itu betul-betul dapat terwujud di sini?

Jawabnya bisa, tapi hanya setelah lahir anak-anak yang dididik menjunjung integritas yang pada saatnya nanti mampu memutus lingkaran setan komunitas saling menjaga, komunitas saling menjaga kecurangan satu sama lain, komunitas saling menutupi. Mereka, anak-anak itu, bisa mati sendiri karenanya, tapi anak-anak mereka akan lahir, tumbuh, dan terus bekerja!

Selengkapnya.....

Rabu, 30 Januari 2008

Faktor Sukses Sistem Informasi

Teknologi informasi berkembang demikian pesatnya sehingga sistem informasi yang di masa lalu berbasis kertas dan tinta berubah wajah hanya dalam tempo beberapa dekade. Fenomena ini menyebabkan perubahan budaya manusia dalam mengolah informasi, bahkan secara revolusioner (lihat posting sebelumnya mengenai evolusi dan revolusi informasi). Mengingat fenomena tersebut dan karena informasi menempati posisi sentral dalam kehidupan manusia baik sebagai individu otonom maupun sebagai masyarakat, suksesnya individu dan masyarakat dalam mengelola informasi berarti sukses kehidupannya. Oleh karena itu cukup relevan buat kita membahas faktor sukses manajemen informasi umumnya dan khususnya sistem informasi.

Menurut literatur di bidang sistem informasi, manajemen informasi, manajemen data, atau apapun istilah yang digunakan, kualitas informasi merupakan faktor sangat penting. Tanpa kualitas sistem informasi yang dibangun secanggih apapun menjadi tak berarti. Betapapun SDM dan teknologi "terbaik" digunakan untuk membangun dan mengoperasikannya.

Singkatan CIA mungkin mudah diingat untuk merujuk pada aspek-aspek kualitas informasi yang umum digunakan, yaitu confidentiality, integrity, dan availability. Menurut hemat saya yang paling penting dari ketiga -ity dimaksud adalah integrity. Informasi menjadi tidak berharga jika tidak mengandung kebenaran. Kalimat terakhir ini memang moderat banget karena saya kuatir dengan argumen bahwa dalam realita kehidupan kebenaran nggak selalu hitam putih.

Integritas adalah satu konsep yang sangat tua dan membentuk karakter dasar, dalam hal ini karakter informasi. Kalau kita kaitkan dengan manusia sebagai mesin pengolah informasi yang berarti sistem informasi juga (lihat posting Sistem Informasi... Apa Sih?), maka kualitas sistem informasi berupa manusia seperti saya dan Anda menjadi relevan pula secara paralel untuk dibahas. Pertimbangannya adalah menurut keyakinan saya manusia adalah mesin pengolah informasi paling canggih, melebihi kehebatan internet dan web 2.0. Lagipula, kehebatan internet dengan triliunan kata atau lebih tidak mungkin terjadi tanpa manusia yang menjadi produsen kontennya.

Selanjutnya, bagaimana kita mengetahui apakah sistem informasi berkualitas atau tidak? Dalam hal ini yang menjadi diskusi pokok adalah karakter integritasnya. Menurut rujukan-rujukan dari ratusan bahkan ribuan tahun lalu, paling tidak ada tiga ciri sistem informasi ini memiliki integritas. Pertama, output yang keluar adalah output yang benar. Kalau salah karena ketidaktahuan atau ketidaksengajaan, kita mungkin bisa memberi toleransi (lihat posting Tipologi Kecurangan Pengelolaan Informasi). Sebaliknya, kalau output yang dikeluarkan salah karena manipulasi, hm Anda tahu apa yang harus dilakukan. Namun demikian, jika kita bagian dari sistem yang sakit, justru kita tidak melakukan yang seharusnya.

Kedua, ciri sistem informasi yang berintegritas tinggi adalah dia dapat diprediksi. Ketidakpastian relatif rendah. Unsur ego di dalamnya tidak pernah ingkar atau mangkir dengan sengaja dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tingkat layanan yang dijanjikan (agreed service level). Janji tersebut dalam cukup banyak kasus disakralkan dengan sumpah atas nama Tuhan. Nah kalau kita bicara mengenai individu manusia sebagai sistem informasi tercanggih, baik nafsu, pikiran, dan nuraninya bekerja sesuai fungsi masing-masing dalam harmoni.

Ciri ketiga adalah suatu yang terkait dengan mentalitas "ini tanggung jawabku, bukan sekedar pekerjaanku" -- mentalitas yang harus merasuki unsur SDM dalam suatu sistem informasi. Pernah terjadi seorang presiden perusahaan menyamar layaknya a mysterious guest dan bertanya kepada seorang penggembala informasi, "Mengapa tak Anda jual saja informasi gembalaanmu ini padaku? Toh, employer Anda tidak akan tahu, bahkan siapa saja tidak akan tahu." Apa jawaban si penggembala informasi yang memang bukan baron informasi (istilah yang diperkenalkan Pak Dimitri Mahayana* ke saya)? "Where is God?" Incredible, what an answer!

Sebagai rangkuman, dapat dikemukakan bahwa faktor keberhasilan utama sistem informasi adalah kualitas informasi, utamanya integritas. Indikatornya ada tiga: (1) informasi yang dikeluarkan adalah output yang benar, tidak mengandung kebohongan; (2) sistem informasi tersebut tidak melanggar SLA, suatu yang dijanjikan; dan (3) unsur ego pengelolanya dikalahkan mentalitas menjaga amanah. Jadi, bila kita sedang membangun sistem informasi dan/atau mengoperasikannya, atau minimal kita bermaksud menjadikan diri sendiri sistem informasi yang lebih baik, patut diingat faktor keberhasilan yang paling utama ini.

* Dimitri Mahayana adalah... ah mending Anda cari sendiri ya lewat Google.

Selengkapnya.....

Minggu, 27 Januari 2008

Beberapa Foto Hari Pencoblosan

Berikut beberapa foto yang diambil pada hari pencoblosan Pilkada Bekasi hari ini, 27 Januari. Lokasi: TPS 14 dan 15, RW 06, Pengasinan, Rawalumbu. Lihat juga posting sebelumnya: Seberapa Cepat? yang menggambarkan jalannya proses pencoblosan dan penghitungan suara dilihat dari kerangka sistem informasi.

Ketiga Pasangan Kontestan



Ketua dan Anggota KPPS Bertugas



Pemilih Setelah Beraksi

Selengkapnya.....

Seberapa Cepat?

Hari H pencoblosan Pilkada Kota Bekasi bertepatan dengan meninggalnya Presiden Soeharto, Minggu, 27 Januari 2008. Dari jam 7 tepat TPS 14 dan 15 RW 06 sibuk melayani sumber data (yaitu pemilih) mengirimkan input ke sistem. Teknologi yang digunakan untuk data capturing adalah ruang kelas sekolah Taman Siswa, kertas, paku, alas coblosan, tinta, dan lain-lain. Para pengelola sistem, SDM yang penuh dedikasi, sebetulnya bagian dari sistem informasi itu juga. Mereka taat mengikuti tiap prosedur. Ada juga yang mengawasi jalannya sistem, baik para saksi tiap pasangan maupun pengawas independen.

Ini pertunjukan menarik jalannya sistem informasi (lihat definisi sistem informasi pada posting sebelumnya, Sistem Informasi... Apa Sih?) guna mendapatkan output siapakah gerangan yang paling mewakili aspirasi warga, dari pilihan calon yang telah diproses sebelumnya. Sampai jam 1 proses data capturing berlangsung untuk memberi keluangan pada sumber data yang pasti punya kesibukan bisnis masing-masing. Window dari jam 7 sampai jam 1 siang memang suatu keharusan. Justru yang menarik adalah seberapa cepat pemilih menunggu untuk mencoblos sampai akhirnya mencoblos, memasukkan surat suara ke kotak suara, serta terakhir memperoleh sertifikat atau cookies berupa tinta biru pekat di jari.

Setelah melaksanakan sendiri proses data entry ini dan setelah mengamati cukup lama, saya menilai bahwa proses capturing yang terjadi cukup efisien, bahkan jarang sekali terlihat antrian. Dari saat tiba di TPS sampai dengan perolehan cookies dan keluar TPS memakan waktu paling hanya 1 sampai 3 menit. Not bad. Oya, faktor yang mendukung efisiensi waktu selain sistemnya sendiri adalah sumber data atau pemilih yang datang ke TPS sudah cukup teredukasi untuk mengikuti aturan main.

Tepat jam 1 siang proses penghitungan dimulai. Fungsi matematis yang digunakan adalah penjumlahan. Operator pengurangan hanya digunakan untuk derivasi dan cross-check. Selain itu ada juga instrumen image recognition yang paling canggih yaitu beberapa pasang mata panitia dan saksi-saksi. Masyarakat umum diperbolehkan menyaksikan proses ini, tapi tidak mempunyai hak kecuali memberi masukan saja. Betapapun tajam penglihatan dan kecerdasannya!

Hasil akhir dua TPS di RW 06 hanya membedakan tipis perolehan pasangan no 2 dan nomor 3. Pada satu TPS, nomor 2 menang tipis, sementara pada TPS yang lain no 3 menang tipis. Total... ah tidak perlu disebutkan. Satu pasangan calon lagi, nomor 1 sebagaimana telah diduga tertinggal di belakang. Proses perhitungan ini selesai semuanya jam 3.30 sore, itu pun sudah dengan mengerjakan pekerjaan administratif (housekeeping). Hm... sistem informasi yang cukup efektif dan efisien.

Catatan akhir, pemilih yang betul-betul hadir untuk memberikan suaranya hanya sedikit di atas 50 persen. Itupun akan berkurang lagi kalau pemilih yang tidak terdaftar dimasukkan dalam perhitungan. Perlu dikatakan bahwa itu tidak ada hubungannya dengan baik atau tidaknya sistem informasi ini. Mungkin ada masalah lain, yaitu kepercayaan masyarakat yang belum terlalu tinggi terhadap calon yang diusung, begitu juga persepsi masyarakat bahwa kebanyakan politisi berlaku curang. Bagaimanapun, perilaku curang seperti politik uang harus diungkap dan dikoreksi sebelum biaya material dan sosialnya menenggelamkan kita semua, tidak peduli bahwa di dalamnya ada orang-orang yang baik, sholeh secara pribadi maupun sosial!

Mungkin Anda ingin melihat posting sebelumnya:
Contoh Kasus: Pilkada Kota Bekasi
Kecurangan Pengelolaan Informasi
Kecurangan Organisasi

Selengkapnya.....

Sabtu, 26 Januari 2008

Contoh Kasus: Pilkada Kota Bekasi

Sampai detik ini ketika menuliskan posting ini, saya yakin para petarung di Pilkada Kota Bekasi masih giat mempersiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi hari H pencoblosan besok, Minggu, 27 Januari 2008. Pihak lain yang juga sibuk adalah penyelenggaranya, mulai dari KPUD Kota Bekasi sampai KPPS di tiap-tiap RW. Masa tenang cukup terasa, walaupun tetap ada kampanye terselubung atau terbuka. Untungnya nggak terlalu esktensif.

Coba kita lihat kegiatan di level mikro, yaitu RW. Di RW tempat saya tinggal, ada dua TPS. Ketua dan anggota KPPS dari pagi tadi dan mungkin sampai sekarang sibuk menyiapkan TPS. Katanya akan ada penilaian TPS terbaik Sekota Bekasi. Tim Sukses pasangan-pasangan yang mengikuti pilkada ini sampai detik ini, saya yakin, masih sibuk. Mungkin masih ada yang mencari-cari orang yang mau menjadi saksi mewakili pasangan peserta. Untuk apa sih semua kerepotan ini?

Langsung menjawab pertanyaan di atas tapi dengan tetap bertahan di level RW, saya mengajukan pilkada ini sebagai suatu sistem informasi (lihat artikel Sistem Informasi... Apa Sih? yang membahas pengertian sederhana istilah sistem informasi). Tujuannya apa? Untuk mengetahui pemimpin kota yang paling mewakili aspirasi warga di RW 06 ini. Proses informasinya seperti apa? Pertama, pemilih akan memberikan input pilihannya ke sistem, dimulai dari bilik suara yang berada di TPS, dengan menggunakan paku untuk mencoblos. Segera setelah semua input masuk dari para pemilih akan berlangsung proses-proses berikutnya.

Proses-proses sebagaimana disebutkan di atas cukup rumit dan panjang, tapi intinya proses tersebut adalah penghitungan perolehan suara yang dilakukan panitia dan disaksikan oleh para saksi. Ini betul-betul suatu proses informasi yang disengaja (deliberate information process). Hasil penghitungan yang merupakan output dari proses informasi ini kemudian dilaporkan ke panitia pemilihan di tingkat yang lebih tinggi. Para saksi juga akan melapor ke Tim Sukses berapa perolehan suara jagoannya dan berapa buat lawan-lawannya.

Lho, koq sistem informasi demikian sederhananya, hanya masalah orang dan prosedur? Koq nggak ada teknologinya? Siapa bilang nggak ada. Sarana pendukung proses informasi tersebut dapat disebut sebagai solusi teknologi untuk sistem informasi ini, mulai dari bantalan untuk mencoblos, paku, kertas, pena, kotak suara yang terbuat dari logam, dan lain-lain. Yang agak keren adalah proses pelaporan yang dilakukan oleh para saksi ke Tim Sukses dengan menggunakan SMS. Bener... SMS, teknologi tepat guna untuk mempercepat pelaporan hasil proses informasi penghitungan suara. Cerdas! Hehehe, did I make my case well?

Selengkapnya.....

Sistem Informasi... Apa Sih?

Sebagaimana saya kemukakan pada posting sebelumnya berjudul Revolusi Informasi, sebagai konsep, informasi sudah berumur setua manusia karena penggunaannya sangat embedded alias melekat dengan keberadaan manusia itu sendiri. Semua pesan yang lalu lalang dalam pikiran manusia dan yang lalu lalang antara pikirannya dengan dunia luar adalah informasi. Dunia luar yang dimaksud tentunya termasuk tubuhnya sendiri, dengan seluruh komponen pembentuknya. Eh... jadi rumit dan sok filosofis.

Dengan mengabaikan kerumitan filosofis dari pengertian di atas, kita rasanya dapat sepakat bahwa manusia senantiasa terus menerus memproses informasi. Melanjutkan simplifikasi, saya ingin mengajukan dua kategori besar, yaitu pengolahan hampir otomatis dan nyaris tak disadari (instinctive process) dan pengolahan informasi yang disengaja (deliberate process). Pasti ada gradasi antara keduanya, tetapi kita coba berpikir sederhana.

Pengolahan informasi yang instinctive tidak akan banyak dibahas selanjutnya. Hanya yang perlu dicatat adalah sikap manusia yang kurang bersyukur atas anugerah Tuhan yang sangat istimewa ini, yang tanpanya bisa-bisa manusia melukai dirinya atau membiarkan dirinya terluka. Itu pertama. Yang kedua, kita perlu sadari juga bahwa pemrosesan model basic instinct ini bisa mempengaruhi keseluruhan proses informasi secara signifikan tanpa disadari.

Selanjutnya, kita coba beranjak ke pemrosesan informasi deliberate. Contoh sederhananya antara lain percakapan antara individu, respon pengemudi terhadap lampu lalu lintas, dan persaksian para saksi di TPS pada hari pencoblosan. Pemrosesan yang lebih kompleks misalnya kolaborasi sedemikian banyak orang dalam mengisi konten wikipedia, terlebih lagi internet secara keseluruhan. Ada pula seorang dokter melakukan tanya jawab dengan pasien untuk mengetahui penyakit yang diderita.

Nah, sekarang saatnya kita mencari definisi sistem informasi. Pengertian sederhana dari sistem informasi adalah suatu sistem yang terdiri dari manusia, sarana atau perangkat, proses, dan aturan yang dibangun untuk memfasilitasi pemrosesan informasi (dalam hal ini yang deliberate) guna mencapai tujuan tertentu. Hm, ternyata nggak sederhana juga ya?

OK, kalau begini, gimana? Suatu sistem yang memfasilitasi pemrosesan informasi dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Kuncinya adalah memfasilitasi pemrosesan informasi secara sengaja dan adanya tujuan tertentu yang diupayakan juga secara sengaja. Yah... mudah-mudahan definisi sistem informasi seperti ini cukup sederhana dan berguna, terutama untuk pembahasan-pembahasan berikutnya yang antara lain mencakup jenis-jenis sistem informasi, peranan solusi teknologi, peranan sentral individu, peranan proses, dan lain-lain.

Selengkapnya.....

Jumat, 25 Januari 2008

Awalan di- atau Kata Depan di

Di menangkan atau dimenangkan?
Di kandang atau dikandang?
Diberi atau di beri?
Dikantor atau di kantor?

Walaupun pilihannya tidak rumit, masih banyak di antara kita yang keliru memilih. Kekeliruan disebabkan kerancuan antara fungsi kata depan di dan awalan di-. Menurut kaidah tata bahasa, awalan di- harus dituliskan nyambung dengan kata dasar menjadi satu kata bentukan baru dan fungsi awalan di- tsb adalah membentuk kata kerja pasif. Sedangkan, kata depan di dituliskan terpisah dari kata yang mengikutinya dan fungsinya menunjukkan tempat.

Contoh yang sudah disampaikan tadi bisa kita bedah. Dari kata dasar menang, di- harusnya berfungsi sebagai awalan dan membentuk kata kerja pasif. Perlu pula disampaikan bahwa untuk kasus ini awalan di- harus dipasangkan dengan akhiran -kan, bukan -an yah, sehingga bentukannya menjadi dimenangkan. Kasus ketiga, kata beri merupakan kata kerja yang bila diberi awalan di- menjadi diberi.

Untuk kasus kedua dan keempat, tentunya kita bisa menebak bahwa yang diinginkan adalah kata yang menunjukkan tempat. Oleh karena itu, yang betul adalah di kandang dan di kantor. Um... emangnya tidak ada kata dikandang? Betul kata itu nggak ada, tapi kalau dikandangkan ada -- artinya dimasukkan ke kandang -- yang merupakan kata kerja pasif.

Coba tes diri sendiri:
dicoba atau di coba?
diterima atau di terimakan?
di gunakan atau dipergunakan atau digunakan atau di pergunakan?
di syukuri atau disyukuri?
diembat atau di embat?

Coba lagi:
dikolong atau di kolong?
diacara itu atau di acara itu?
di krl atau dikrl?
disurga atau di surga?
di jalan atau dijalan?

Coba lagi, sekali lagi:
dirumah atau di rumah atau dirumahkan atau di rumahkan?
di penjarakan atau di penjara atau dipenjara atau dipenjarakan?
diberitakan sore kemarin atau di berita sore kemarin?

Selengkapnya.....

Rabu, 23 Januari 2008

Good to Great

Transformasi perusahaan dari kondisi biasa saja (good) ke kondisi hebat (great) sering kelihatan revolusioner dan dramatis. Pada kenyataannya, tranformasi tsb merupakan akumulasi proses-proses panjang.

Walaupun hasil akhirnya kelihatan dramatis, transformasi from good to great tidak pernah terjadi hanya dengan satu aksi hebat. Sebaliknya, transformasi tsb seperti memutar piringan keberhasilan raksasa yang sangat berat (the flywheel), yang memerlukan upaya-upaya terus menerus dan konsisten (build-up process) dalam jangka panjang, hingga putarannya mencapai momentum yang pada akhirnya dapat melahirkan suatu hasil dramatis (breakthrough).

Perlu pula dikemukakan, transformasi yang gagal biasanya mengikuti pola yang berbeda, yaitu mencoba jalan pintas dan melompat menuju terobosan, penuh dengan hura-hura, slogan, dan aksi-aksi heroik besar, tetapi tidak fokus dan tidak konsisten. Hasilnya adalah kegagalan, yang kemudian dikoreksi kembali dengan hura-hura, slogan, dan aksi-aksi besar, seperti lingkaran setan (the doom loop). Mau?

Bagaimana fenomena from zero to hero ini terjadi pada perusahaan-perusahaan merupakan topik penelitian Jim Collins yang dituangkan dalam bukunya Good to Great. Ingin tahu jawabannya. Ikuti links berikut.


Selengkapnya.....

Good to Great (7)

Perusahaan hebat tidak semata-mata menggunakan teknologi terbaru, tetapi menggunakannya untuk mendukung bisnis yang pada dasarnya sehat. Jadi, teknologi berperan sebagai akselerator (faktor keenam, technology accelerators). Pertanyaannya adalah apakah penerapan teknologi tersebut sesuai dengan dan mendukung konsep bisnis.

Teknologi tidak dapat menciptakan bisnis yang hebat, tapi ia dapat menjadi katalisator atau akselerator!

Selengkapnya.....

Good to Great (6)

Faktor kelima yang membuat perusahaan biasa saja bisa muncul sebagai perusahaan hebat adalah dengan membangun budaya disiplin (a culture of discipline): orang yang disiplin, konsep yang disiplin, dan akhirnya tindakan yang disiplin. Tanpa budaya disiplin, dibutuhkan birokrasi yang tidak perlu. Jim Collins bahkan lebih jauh menulis birokrasi perusahaan hanya dibutuhkan jika perusahaan tidak memiliki budaya disiplin. Terkait dengan faktor sebelumnya, Jim Collins dkk menyarankan: makanya dari awal cari orang yang tepat dan tentukan konsep bisnis yang jelas.

Perusahaan hebat dibangun oleh orang-orang yang rajin dan disiplin yang rela mengorbankan waktu ekstra agar dapat lebih baik (tapi tidak perlu tiranis toh). Kemudian dengan orang-orang yang disiplin, perusahaan secara disiplin melakukan bisnis sesuai konsepnya, sekaligus secara disiplin tidak melakukan bisnis yang tidak sesuai konsep.

Selengkapnya.....

Good to Great (5)

Perusahaan hebat memilih konsep bisnis yang sederhana dan jelas, seperti strategi landak menghadapi rubah dengan menggulung tubuhnya untuk menghindari serangan dari segala arah. Konsep ini disebut the hedgehog concept dan datang dari tiga pertanyaan berikut. (a) Bisnis apa yang dapat dilakukan sebagai yang terbaik di dunia? (b) Bisnis apa yang dapat membangkitkan gairah dan semangat manajemen maupun pegawai? (c) Bisnis apa yang mendatangkan keuntungan?

Konsep bisnis perusahaan hebat memenuhi ketiga pertanyaan di atas sekaligus. Salah satu saja syarat tidak dipenuhi: bila perusahaan tidak dapat menjadi yang terbaik, atau pemimpin dan pegawainya tidak semangat dengan bisnisnya, atau bisnis tersebut tidak menguntungkan (mendatangkan manfaat, untuk non profit), jangan lakukan bisnis itu. Fokuslah!

Selengkapnya.....

Good to Great (4)

Perusahaan-perusahaan hebat selalu menghadapi kenyataan, betapapun pahit. Ini adalah faktor ketiga, confront the brutal fact. Dengan kejujuran menerima dan menghadapi kenyataan pahit, solusi biasanya akan terlihat dengan sendirinya. Nah, agar kenyataan dapat terungkap dengan jujur, perusahaan hebat menciptakan budaya keterbukaan yang menjamin pegawainya pasti didengar. Cara pemimpin perusahaan hebat menciptakan budaya tersebut adalah dengan (a) mulai dengan pertanyaan, bukan jawaban; (b) ciptakan dialog dan diskusi, bukan pemaksaan; dan (c) cari masalahnya (otopsi masalah), bukan menyalahkan.

Dalam berinteraksi dalam suasana terbuka, pemimpin level 5 membatasi pengaruh kharisma, agar orang tidak sungkan padanya. Selain itu, memotivasi pegawai untuk menerima dan menghadapi kenyataan pahit hanya buang waktu, maka terkait dengan faktor kedua, dari awal cari orang yang tepat.

Selengkapnya.....

Good to Great (3)

Faktor kedua yang membuat perusahaan biasa-biasa saja menjadi hebat adalah orang, maka pemimpin level 5 memulai perubahan dengan mencari orang yang tepat untuk menemaninya di level eksekutif, dan kemudian bersama mereka menentukan arah, strategi, dan sistem perusahaan. Ini yang saya sebut dengan "lebih mementingkan orang daripada sekedar sistem" atau aslinya "first who... then what." Selanjutnya, pemimpin level 5 sangat tegas untuk mendapatkan orang yang tepat dan mengeluarkan orang yang tidak tepat. Bukannya robot, ia melakukan hal cukup sensitif ini dengan hati-hati. Ia tidak kejam tapi sangat tegas.

Dalam menangani SDM, pemimpin level 5 memberikan nasihat berikut, sesuai dengan kebiasaannya. Pertama, jangan rekrut orang kalau ragu dengan kemampuannya, tapi yang bersangkutan tetap perlu dipantau. Kedua, kalau harus ada perubahan, segera bertindak, jangan menunggu. Ketiga, tempatkan orang-orang terbaik pada tempat-tempat yang berpeluang terbaik, bukan di tempat-tempat bermasalah.

Dalam mengambil keputusan, tim manajemen yang dipimpin oleh pemimpin level 5 tidak sungkan bermusyawarah, berdiskusi, dan berdebat, tetapi setelah keputusan diambil semua mendukung. Yang agak mengejutkan adalah ternyata kompensasi tidak terlalu penting, karena orang-orang yang tepat tidak perlu dimotivasi secara berlebihan karena self motivated. Terakhir, yang mungkin tidak kalah mengejutkan adalah bahwa orang yang tepat tidak ditentukan oleh pengetahuan tertentu, latar belakang, dan keahlian, tetapi lebih ditentukan oleh karakternya.

Bagaimana dengan faktor berikutnya??? Di posting berikutnya.

Selengkapnya.....

Selasa, 22 Januari 2008

Good to Great (2)

Level 5 leader (pemimpin level 5) adalah individu yang telah melewati kemampuan sebagai individu yang kompeten (level 1), kontributor dalam tim (level 2), manajer yang efektif mengelola sumber daya (level 3), dan pemimpin yang memiliki visi (level 4). Pada awalnya, Jim Collins berupaya menolak faktor pemimpin dalam membuat perusahaan menjadi hebat. Tetapi hasil penelitian menunjukkan sebaliknya. Justru seluruh perusahaan yang berubah menjadi hebat pada saat-saat transisi yang kritis dipimpin oleh pemimpin level 5 yang memiliki ciri sbb.

  1. Ambisinya adalah menjadikan perusahaan hebat, bukan dirinya.
  2. Penggantinya betul-betul disiapkan dengan harapan perusahaan akan lebih hebat sepeninggalnya.
  3. Sifatnya rendah hati, sederhana, kalem, bahkan cenderung tidak dianggap oleh pengamat.
  4. Ia menyalahkan dirinya sendiri (bertanggung jawab) jika perusahaan gagal, tapi memberikan pujian (kredit) kepada orang lain jika perusahaan berhasil. Ia merasa keberhasilan itu berkat keberuntungan dan bantuan yang lain.
  5. Ia berasal dari dalam perusahaan itu sendiri, bukan pemimpin selebritis yang biasanya berpindah-pindah perusahaan.

Posting berikutnya membahas faktor kedua. Tunggu ya.

Selengkapnya.....

Senin, 21 Januari 2008

Good to Great (1)

Salah satu buku favorit saya adalah Good to Great oleh Jim Collins. Jim Collins dan tim menyusun buku ini berdasarkan penelitian serius. Penelitian dilakukan terhadap 11 perusahaan (1965-1995) yang dalam 15 tahun mengakumulasi return (keuntungan) minimal 3 kali lebih baik dari rata-rata industri, setelah pada kurun waktu 15 tahun sebelumnya biasa-biasa saja atau di bawah rata-rata. Kesebelas perusahaan itu dibandingkan dengan perusahaan kompetitor yang hanya rata-rata atau lebih buruk dari rata-rata industri. Penelitian juga dilengkapi dengan observasi terhadap beberapa perusahaan yang sempat hebat tetapi tidak mampu bertahan.

Menurut Jim Collins dan tim, faktor yang membuat suatu perusahaan dapat berubah dari sekedar perusahaan yang baik (good) menjadi hebat (great) adalah:

  1. Dipimpin oleh pemimpin level 5
  2. Lebih mementingkan orang daripada sekedar sistem
  3. Selalu menghadapi kenyataan walau pahit
  4. Memiliki konsep usaha yang jelas dan sederhana
  5. Membangun budaya disiplin
  6. Menggunakan bantuan teknologi tepat guna

Bagaimana penjelasan masing-masing faktor? Tunggu deh di posting berikutnya.

Selengkapnya.....

Minggu, 20 Januari 2008

Tipologi Kecurangan

Kecurangan Pengelolaan Informasi menurut saya seiring sejalan dengan Kecurangan Organisasi secara luas. Mengapa? Karena informasi yang ditutupi atau lebih buruk lagi upaya disinformasi merupakan tanda besar kecurangan-kecurangan lain, seperti korupsi, manipulasi, markup, dan lain-lain. Jikapun tidak demikian, keenggapan untuk transparan minimal merupakan tanda mencolok kurangnya profesionalisme. Yah... tentu saja tidak semua informasi harus diungkap. Yang dimaksudkan di sini adalah pengungkapan informasi profesional.

Memang tidak semua kesalahan disengaja dan juga tidak semua mismanajemen informasi disengaja. Ini adalah satu tipe kecurangan yang ringan sifatnya. Biasanya penyebab utama kecurangan jenis ini adalah ketidakpedulian (ignorant) atau ketidakmampuan. Contoh: kualitas informasi termasuk kerahasiaannya tidak dianggap sebagai permasalahan serius. Hal ini secara langsung menyentuh aspek keahlian dan kompetensi (SDM), software dan hardware (teknologi), dan peraturan versus budaya yang dijalankan atau tidak dijalankan (proses).

Lho kalau contoh kasus di atas betul-betul faktor tidak sengaja, mengapa masih dikategorikan curang. Hm... tidak lain yang membuatnya tetap curang adalah karena sumber-sumber yang digunakan pengelola bukan miliknya sendiri, bukan pula uang nenek moyangnya, tapi uang pemegang saham untuk kasus perusahaan, uang donatur untuk yayasan, dan uang rakyat untuk pemerintahan. Sebagaimana principal-agent problem, pengelola menikmati hidup dan proses pembelajaran, sementara para pemegang saham dirugikan dengan pengelolaan yang tidak optimal. Di mana tanggung jawab?

Yang lebih parah adalah ketika mulai muncul ungkapan pengelola sebagai penguasa dan pemilik. Ini sudah menuju pada tipe kecurangan yang serius. Jenis kecurangan yang serius, seperti kasus Enron, adalah sengaja memanipulasi informasi untuk kepentingan pengelola atas beban shareholder, donatur, atau rakyat. Praktik yang dilakukan misalnya pembukuan ganda dan window dressing, sekalian bersekongkol dengan pihak lain yang berwenang. Kasus lainnya adalah memiliki, memonopoli informasi dan menghalangi akses oleh pihak lain di dalam organisasi atau di luar organisasi yang sebetulnya berhak.

Secara psikologis, information hoarding yang ditingkahi penolakan sharing seperti kasus terakhir di atas disebabkan takut ketahuan atau takut tersaingi. Mentalitas takut ketahuan dan takut tersaingi tersebut tumbuh subur pada komunitas yang mengedepankan kekuasaan daripada tanggung jawab kepengurusan. Information is Power. Dengan praktik ini, kekuasaan tentunya dapat terus digenggam. Itu pun dengan tidak peduli manfaatnya bagi pihak yang paling berhak atas segala kepentingan.

Selengkapnya.....

Kecurangan Pengelolaan Informasi

Curang atau tidak jujur dapat terjadi pada seluruh aspek kehidupan. Sebagaimana posting sebelumnya, Kecurangan Organisasi, curang dalam bentuk apapun memiliki konsekuensi biaya. Kasus Enron yang melibatkan perusahaan konsultan sehebat Anderson adalah salah satu contoh kecurangan yang sangat serius.

Kecurangan yang dilakukan oleh Enron sangat luas dimensinya, tapi yang akan kita diskusikan kali ini adalah dari aspek pengelolaan informasi. Sederhananya, Enron curang karena memberikan informasi, yaitu laporan keuangan, yang sangat tidak mencerminkan kondisi bisnis Enron yang sesungguhnya. Disebabkan shareholder Enron sangat luas dan penting-penting sekaligus untuk menghindari kejadian berulang, legislator AS merasa perlu melahirkan perundangan yang memaksa CEO bertanggung jawab atas pengelolaan informasi dalam perusahaan. Undang-undang dimaksud diberi nama sesuai pengusulnya, Sarbanes-Oxley, disingkat SOX.

Bila kita masuk ke tataran mikro dalam suatu organisasi, SOX menggarisbawahi pentingnya information stewardship, atau kepengurusan informasi. Setiap steward atau pengurus informasi di tiap level dengan demikian memiliki tanggung jawab yang melekat yang menempatkan kepentingannya sebagai individu pegawai di bawah kepentingan yang lebih besar. Larry English mengadopsi definisi stewardship dari Peter Block dan memperkenalkan definisi kepengurusan informasi (information stewardship) sebagai “the willingness to be accountable for a set of business information for the well-being of the larger organization by operating in service, rather than in control of those around us" yang kiranya bersifat universal. Karena universal, kepengurusan informasi menurut hemat saya dapat diterapkan di Indonesia, di organisasi-organisasi profit maupun non profit.

Memang selanjutnya untuk urusan penerapan, isu budaya dan ketidakmampuan atau kelumpuhan komunitas untuk berbenah membuat optimisme perlu diimbangi kesadaran atas realitas yang ada. Bahkan pesimisme bisa saja menjadi-jadi, apalagi mengingat kecepatan revolusi informasi yang menambah potensi melebarnya gap antara keharusan berbenah dengan kemampuan. Namun demikian, orang-orang yang peduli, punya kemampuan, dan memiliki strategi penularan, perlu senantiasa diamati, didukung, dan dikoreksi. Hanya dengan usaha sadar saja inisiatif dapat diambil. Selanjutnya, biarkan the wisdom of crowds memberikan penilaiannya dan kemudian individu atau badan yang berwenang mengambil keputusan.

Selama kecurangan informasi ditoleransi dengan sangat permisif, entah untuk berapa lama, ekonomi biaya tinggi baik di level organisasi maupun negara bangsa akan menyebabkan langkah ke depan tetap terseok-seok, sementara para pesaing telah melaju dan berlalu. Satu hal, terakhir, bahaya yang perlu diwaspadai adalah adanya kemungkinan timbul dan menguatnya ilusi perbaikan hanya karena adanya pengawasan yang 'efektif' padahal boleh jadi kasusnya sama seperti hubungan auditor Anderson dengan Enron.

Selengkapnya.....

Sabtu, 19 Januari 2008

Penunjukkan atau Penunjukan

Lagi mengenai bahasa, saya ingin mengangkat persoalan yang langsung saya saksikan di sekitar saya. Seperti posting yang lalu mengenai Merubah atau Mengubah, persoalannya terkait erat dengan penggunaan imbuhan, terutama awalan dan akhiran. Seperti yang lalu juga, saya riset dulu di internet dengan Google dan mendapatkan ada saja blogger yang telah membahas isu ini. Namun demikian, saya mengharapkan posting ini tetap bermanfaat, betapapun sedikitnya.

Suatu saat ketika mengikuti proses tender di kantor, saya mendapatkan kami menggunakan frase "penunjukkan vendor yang paling tepat." Ketika kami mengirimkan memo ke unit kerja lain, terkait dengan tender tadi, kami juga menggunakan kata yang sama. Timbul pertanyaan dalam hati saya, apakah saya yang salah atau kata itu yang salah. Kalau mengikuti kaidah bahasa versi saya harusnya kata yang digunakan adalah penunjukan. Lho, koq bisa kontroversi begini? Mungkinkah keduanya benar. Baiklah ini pendapat saya.

Sementara imbuhan awalan atau akhiran sederhana dapat digunakan sendiri-sendiri, sebagian imbuhan yang lain menggunakan pasangan awalan-akhiran tertentu. Di satu pihak, dari kata penunjukkan, dapat kita tarik pasangan awalan-akhiran pe- dan -kan. Di pihak lain, dari kata penunjukan, kita tarik pasangan pe- dan -an. Sepanjang pengetahuan saya (lebih tepatnya sependek pengetahuan saya -- suatu ungkapan yang diambil dari salah seorang atasan saya), pasangan pe- dan -an adalah pasangan imbuhan yang benar, sementara pasangan pe- dan -kan tidak saya temui sebagai pasangan yang benar menurut kaidah.

Pertanyaan lanjutannya mungkin memangnya akhiran -kan tidak ada? Benar ada, tetapi pasangan pe- dan -kan tidak ada. Boleh juga dikemukakan di sini, biasanya akhiran -kan digunakan untuk membentuk kata kerja, yang oleh karenanya harus dipasangkan dengan awalan me- dan di-. Nah, kalau kita gunakan kata dasar tunjuk sebagai kasus kita, kita dapat membentuk me-tunjuk-kan yang menjadi menunjukkan dan di-tunjuk-kan yang menjadi ditunjukkan.

Akhirnya, coba klik hasil pencarian Google dengan keyword awalan pe- dan akhiran -an dan dengan keyword penunjukkan atau penunjukan.

Selengkapnya.....

Jumat, 18 Januari 2008

Merubah atau Mengubah

Hari-hari menjelang pencoblosan pilkada, Kota Bekasi semakin dihujani stiker, poster, spanduk, umbul-umbul, dan lain-lain. Kelihatannya masing-masing pasangan calon nggak mau ketinggalan dari saingannya, demi memberi kesan kehadirannya di setiap sudut kota. Salah satu spanduk yang menarik buat saya adalah "SUARA ANDA AKAN MERUBAH WAJAH BEKASI."

Sebetulnya ide yang hendak disampaikan cukup mengena, tetapi di sini saya tidak akan membahas mengenai pesan politiknya itu sendiri. Pesan politik tersebut biarlah tetap masuk menghujam ke hati calon-calon pemilih yang setuju dengan program yang ditawarkan dan percaya pasangan calon dimaksud memang akan efektif menjalankan program mereka.

Kali ini kita coba masuk ke wilayah bahasa sedikit, Bahasa Indonesia, bahasa yang kita cintai. Waktu masih di bangku sekolah, saya bukan seorang murid yang senang dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Jujur saja, pelajaran Bahasa Inggris lebih terasa menaikkan prestiseku, dan pada kenyataannya nilai Bahasa Inggris di raporku hampir selalu lebih baik dari nilai Bahasa Indonesia. Ini nggak berarti saya tidak cinta dengan bahasa ini... nggak begitu.

Suatu kali dalam salah satu tulisan yang kusetor ke guru, aku menggunakan kata MERUBAH, seperti kata yang ada di spanduk yang kita bicarakan di atas. Beliau menanyakan, "Apa kata dasarnya?" Menurut kaidah bahasa, awalan me- tidak mungkin berubah menjadi awalan mer- tapi bisa saja menjadi men-, meng-, meny-, atau tetap me- tergantung huruf pertama kata dasarnya. Contoh kalau kata dasarnya sapu, maka kata kerja berawalan me- menjadi menyapu. Kalau kata dasarnya kali, maka kata kerjanya menjadi mengalikan... bilangan misalnya.

Ada beberapa kata dasar yang menyebabkan awalan me- tetap digunakan tanpa perubahan (ngomong-ngomong, perubahan-perubahan bunyi berkaitan dengan imbuhan dalam Bahasa Indonesia kata orang asing yang belajar memang menyulitkan). Contohnya adalah lari yang menjadi melarikan. Demikian juga kata rubah, tentunya tidak mungkin menggunakan awalan men-, meng-, atau meny- tapi harus tetap me...rubah. Benar?

TET-TOT. Salah! Kalau kita lihat lagi, rubah merupakan kata dasar yang artinya seekor binatang seperti anjing dan serigala. Konsekuensinya merubah berarti menjadi rubah, tentu saja bukan begitu maksudnya. Menurut guruku tadi kata dasar yang dimaksud seharusnya adalah ubah sehingga harusnya menjadi mengubah. Memang kata bentukannya mungkin saja seolah-olah menjadi seperti rubah dalam kata ber...ubah, berubah. Sebagai tambahan saja, kata-kata bentukan lainnya dari kata dasar ubah antara lain ubahlah, perubahan, diubah, dan diubahkan.

Sebetulnya sebelum melakukan posting ini, saya sempat juga mencari dulu di internet untuk memastikan pendapatku ini benar, paling tidak ada orang yang memang mengatakan hal yang sama. Klik hasil pencarianku ini dengan keyword mengubah atau merubah.

Selengkapnya.....

Kamis, 17 Januari 2008

R/evolusi Informasi

Informasi adalah suatu obyek yang telah berumur demikian tua, setua peradaban manusia. Hanya sekedar mencium wangi mawar dan mengagumi merahnya, seorang telah berinteraksi dengan informasi. Pesan wangi dan citra merah mawar tersebut yang ditangkap dari obyek mawar oleh indra kemudian diteruskan ke otak adalah informasi. Tanpa informasi, manusia tidak mengenal dunia sekitarnya dan mungkin tidak dirinya juga.

Kemalangan penulis Hellen Keller (1880-1968) yang buta dan tuli hampir saja membuatnya menjadi seorang yang sama sekali terisolasi dari informasi dan pemrosesan informasi, terisolasi dari dunia dan dirinya sendiri. Hampir saja ia tidak menjadi apa-apa, jika saja gurunya yang luar biasa Anne Sullivan yang juga nyaris buta tidak datang padanya. Ia mengajarkan Helen mengenal dunia dengan memproses pesan-pesan melalui indra perabaan. Dengan kemampuannya mengolah informasi, Helen dapat menciptakan dunia virtualnya sendiri hanya di dalam kepala, yang kemudian melahirkan karya-karya luar biasa!

Informasi dikomunikasikan antar individu melalui berbagai media. Media kertas dan bentuk primitifnya, seperti daun lontar, ditambah dengan kemampuan manusia bertutur sungguh telah sangat berjasa mengantarkan akumulasi informasi dan pengetahuan dari generasi ke generasi. Tidak seperti tuturan lisan, buku-buku terutama setelah ditemukannya mesin cetak dapat dengan mudah dilipatgandakan yang menyebabkan antaran dan penyebaran informasi dan pengetahuan melaju dengan cepatnya dalam volume sangat besar.

Setelah teknologi informasi dan internet dikembangkan, kita bisa merasakan betapa lebih luar biasa lagi potensi manusia untuk belajar, menciptakan informasi baru, menyimpannya, dan menyebarkannya ke segala penjuru. Konsep Web 2.0, termasuk blog ini, adalah salah satu contoh enabler yang memungkinkan personal publishing. Apakah cara kita mengolah informasi kemudian berubah secara mendasar? Apakah harusnya berubah tapi belum berubah? Atau apakah justru perilaku informasi yang sudah berubah, informasi yang menemukan kita, bukan sebaliknya?

Coba lihat video di bawah ini yang saya dapatkan dari YouTube dengan judul Information R/evolution, http://www.youtube.com/watch?v=-4CV05HyAbM.

Selengkapnya.....

Rabu, 16 Januari 2008

Kepentingan Partai

Partai seharusnya memiliki suatu idealisme atau cita-cita mulia tertentu. Dalam medan pertarungan antar partai, kita seharusnya melihat pertarungan dan kompetisi idealisme. Pertarungan kepentingan ideal tersebut kadang sampai begitu sengitnya, sehingga polarisasi begitu tersorot dan dapat diindra begitu mudahnya. Sebelum jalan pikiran menuju hanya ke satu pola definitif untuk memahami pemikiran ini, perlu pula saya kemukakan bahwa pada kenyataannya pertarungan tersebut tidaklah selalu bersama motivasi mulia.

Tidak semuanya sih, tapi saya merasa ada partai yang dibentuk oleh para pencari keuntungan material sesaat. Jangan heran kalau kemudian ada personil-personil yang loncat-loncat kayak kutu itu. Bahkan konsisten pula sebagian melakukan reinkarnasi partai politik karena pada kesempatan sebelumnya belum lewat threshold. Agar adil, sekali lagi perlu pula dikemukakan tentulah ada partai yang betul-betul mengusung idealisme.

Persaingan Demokrat dan Republik dari masa ke masa menyuguhkan tontonan yang menarik. Kalau dilihat dari sisi pandangan ekonomi, di satu sisi, Demokrat bisa dikatakan agak ke kiri sedikit menuju sosialisme. Isu-isu yang diangkat adalah masalah ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin di Amerika. Sebagaimana sosialisme, gol yang ingin dituju adalah kesamaan atau dengan kata lain gap yang tidak terlalu lebar.

Di sisi lain, Republik kurang peduli dengan masalah kesamaan atau ketimpangan. Yang penting adalah bagaimana kekayaan total tetap bisa digenjot. Makanya orang-orang super kaya Amerika lebih cenderung mendukung partai ini. Akhirnya, pemerintah kalau di bawah pengaruh Republik cenderung tidak mendukung program-program kesejahteraan bersama, misalnya pajak yang tinggi yang diambil dari si kaya untuk membantu lapisan bawah masyarakat.

Polarisasi antara Demokrat dan Republik disorot demikian tajam oleh Paul Krugman, seorang ekonom neo-Keynesian yang konsisten mengkritik kebijakan-kebijakan Administrasi Bush. Dia menulis polarisasi tersebut saat ini demikian ekstrem karena kaum konservatif di Republik semakin pro kepada para super kaya Amerika yang jumlahnya sangat sedikit. Sembari mengkritik penguasa, dia juga meyakinkan bahwa kebijakan pemerintah dapat membantu secara signifikan memperbaiki ekonomi, suatu pandangan yang diragukan penganut ekonomi neo-Klasik.

Satu bukti yang dikemukakan oleh beliau adalah kebijakan FTR setelah diangkat menjadi presiden AS pada masa sekitar perang dunia, yang berpihak lebih pada pekerja dan kelas menengah termasuk minoritas daripada pemilik modal. Kebijakan-kebijakan ini diyakini oleh Krugman membawa kesejahteraan rakyat Amerika kemudian setelah perang dengan ketimpangan yang tidak terlalu jauh. Periode yang dimulai setelah the great depression 1928 hingga satu dekade setelah Administrasi FTR disebutnya sebagai the great compression. Lebih jauh lagi ditulisnya dalam The Conscience of a Liberal bahwa kesetaraan relatif yang dialami oleh rakyat Amerika pada masa the great compression tidak menghalangi pertumbuhan optimal total kekayaan secara nasional.

Seorang Demokrat atau Republik yang akan ke Gedung Putih? Kita tunggu aja... the crowds of American people will decide. Belajar dari sini, bagi saya, school of thought ilmu ekonomi yang dianut suatu partai berkuasa dan pemerintahan demokratis sangat erat kaitannya dengan kepentingan konstituennya.

Bagaimana dengan partai-partai politik kita? Adakah yang menipu pemilihnya sendiri? Prasangka baik saya: ada yang betul-betul memiliki idealisme untuk kebaikan publik. Mudah-mudahan, insya Allah, amin.

Selengkapnya.....

Pondok Ku, Rumah Baru

Hingga saat ini kami sekeluarga masih tinggal di rumah milik orangtua. Beliau memang mempunyai beberapa yang salah satunya kami tempati. Kami pernah punya rumah sendiri, tetapi tidak pernah kami tinggali karena terlalu jauh dari tempat kerja, jadinya kami jual. Memang sih ada rencana buat bangun rumah di kavling milik kami di BSD.

Terlepas dari membangun rumah idaman yang insya Allah kami kuatkan lagi niat dan sumber-sumbernya, membangun sebuah blog seperti ini rasanya memberi sensasi membangun dan menempati rumah baru. Apakah sensasi itu merupakan penyebab saya selalu ingin kembali ke pondok ini dan menuliskan sesuatu? Entahlah... Mudah-mudahan menulis di blog ini tetap menjadi kebiasaan saya yang konsisten.

Selengkapnya.....

Selasa, 15 Januari 2008

Kecurangan Organisasi

Kecurangan atau ketidakjujuran dapat terjadi pada siapa saja. Salah satu perilaku curang misalnya menyerobot antrian. Selain tidak jujur dan tidak adil pada pengantri yang telah datang lebih dulu, si pelaku terlebih lagi tidak jujur pada dirinya sendiri. Biarpun konsep curang versus adil dan jujur versus dusta sederhana aja, tetap kita saksikan curang dilakukan dengan cara yang paling konsisten.

Seorang mulai curang diikuti teman-teman dan musuh-musuhnya melahirkan sekelompok komunitas curang. Mulai dari satu RT, satu RW, satu kelurahan, hingga keseluruhan masyarakat bangsa. Pasti ada juga komunitas pendukung kejujuran dan keadilan, di antara satu seksi, satu bagian, hingga keseluruhan perusahaan. Apakah gerangan yang membuat trend curang kemudian menjadi prevalen? Adakah harga yang harus dibayar untuk kecurangan?

Beberapa tahun lalu dari salah satu majalah saya mendapatkan artikel mengenai The Hidden Cost of Organizational Dishonesty, dari MIT. Kalau Anda mencari melalui Google, Anda akan dapat dengan mudah menemukan situs-situs yang relevan dengan topik ini. Bila beruntung, Anda dapat download materi-materi terkait, mudah-mudahan tanpa bayar. Di sini saya akan coba rangkum artikel tersebut.

Bahaya dari kecurangan organisasi menurut artikel tersebut adalah (1) reputasi buruk dan return yang rendah, (2) ketidakcocokan dengan nilai-nilai yang dianut pegawai, dan (3) pengawasan yang terpaksa ditingkatkan. Masing-masing bahaya tersebut memiliki konsekuensi biaya yang harus dibayar.

Bahaya pertama, reputasi buruk dan return yang rendah secara langsung mengakibatkan berkurangnya keuntungan jangka panjang. Bahaya kedua, ketidakcocokan nilai memiliki konsekuensi yang sedikit rumit. Pegawai yang jujur akan merasa tidak cocok dengan kecurangan yang berlaku di organisasi. Pilihannya kemudian hanya dua: menyesuaikan diri seperti keluar dari agama yang dianut atau ngotot jujur yang berakibat meningkatnya stres, ketidakhadiran, ketidakpuasan, dan akhirnya banyak yang keluar, nggak tahan. Akibatnya tentu saja biaya yang meningkat.

Bagaimana dengan yang menyesuaikan diri? Pegawai seperti ini akan bergabung dengan pegawai-pegawai curang lainnya melakukan korupsi dan politisasi untuk melawan kepentingan perusahaan, yaitu kepentingan pemegang saham. Konsekuensinya sama... biaya yang meningkat. Akan tetapi cerita belum berakhir. Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan akan mencoba meningkatkan pengawasan, yang jika terpaksa sebetulnya adalah bahaya nomor tiga.

Bahaya yang terakhir ini menyebabkan (a) stres dan masalah kesehatan, (b) ketidakpercayaan antar pegawai dan permusuhan terselubung, (c) munculnya perilaku mencari celah pengawasan, (d) persepsi pegawai bahwa mereka sudah jujur padahal tidak demikian, dan (e) persepsi yang menipu dari manajer bahwa sistem pengawasan efektif memaksa pegawai untuk jujur yang kemudian mengeskalasi kebutuhan adanya sistem pengawasan yang lebih efektif. Semuanya ini memiliki konsekuensi meningkatnya biaya.

Bagaimana dengan perusahaan tempat kita bekerja? Bagaimana dengan institusi-institusi pemerintah? Pesan moralnya: cegahlah sebelum terlambat. Kalau sudah terlanjur, bagaimana dong? Hm... dapatkah kita mengandalkan the wisdom of crowds?

Selengkapnya.....

Senin, 14 Januari 2008

Demokrasi

Beberapa hari terakhir ini, suasana politik Kota Bekasi semakin memanas. Beberapa calon walikota dan wakilnya mulai melakukan kampanye, yang sebetulnya sudah mereka lakukan jauh mendahului masa kampanye resmi. Sebelumnya, daerah penyangga Jakarta lainnya baru melaksanakan pesta pilkada dengan tabiat yang sama. Pada saat ini, secara hampir bersamaan Kabupaten Tangerang sedang memulai hiruk pikuk kekuasaan serupa, demikian halnya Propinsi Jawa Barat yang akan segera memilih gubernur baru.

Mungkin sebagian masyarakat sudah mulai bosan dengan kesibukan seperti itu. Sebagian lainnya justru semangat, entah karena idealisme atau karena beberapa juta atau puluh juta yang sedang menghujani turun deras dari kegiatan kampanye. Sulit dipungkiri bahwa pesta seperti ini, sebagaimana pesta lainnya, selalu meningkatkan bisnis, paling tidak bagi sebagian anggota masyarakat. Apakah pilihan yang akan dijatuhkan nantinya akan terpengaruh kegiatan bisnis ini atau lebih didominasi cita-cita mulia merupakan pertanyaan menarik bagi saya.

Sejalan dengan demokrasi, pasar -- apakah itu pasar tradisional, pasar OTC, pasar yang bersih, atau sebaliknya -- sedikit banyak memiliki sifat yang sama. Pembeli dan penjual secara kolektif akan menentukan produk mana yang bertahan dan pada tingkat harga berapa, tanpa koordinasi dan kerjasama yang disengaja. Fenomena Google, Wikipedia, Linux, dan Open Source mendemonstrasikan suksesnya mekanisme bottom up bahkan pada pasar yang transaksinya boleh jadi lebih rumit dari pasar keuangan.  Tidak terlalu berlebihan kalau kita akui prestasi mekanisme pasar dan demokrasi dalam memberikan manfaat kepada masyarakat secara efisien.

James Surowiecki dalam bukunya The Wisdom of Crowds mengatakan suatu kelompok terutama jika anggotanya banyak, beragam, independen satu dengan lainnya, dan decentralized memiliki kecerdasan yang secara konsisten lebih tinggi dari individu paling cerdas sekalipun di dalam kelompok tersebut. Tentunya ini selaras banget dengan teori yang menjunjung tinggi kehebatan mekanisme pasar. Kalau dihubungkan dengan pilkada Kota Bekasi, artinya masyarakat Bekasi yang terdiri dari kaum terpelajar, nasionalis, religius, terbelakang, tersesat, dan seterusnya secara kolektif akan lebih cerdas dalam memilih pemimpinnya dibandingkan individu paling terpelajar sekalipun. Ini juga berarti nilai suara seorang Doktor tidak lebih berharga dari nilai suara (maaf) pencuri gembel sekalipun.

Demokrasi, menurut saya, perlu diuji sepanjang waktu dalam masa yang panjang untuk membuktikan janji-janjinya. Ujian seperti ini lebih mudah dilihat di pasar, walaupun pada pasar keuangan yang rentan terhadap fenomena bubble dan burst, 'kebenaran' perilaku kerumunan masih perlu diskusi lebih lanjut. Malangnya kalau sampai ada yang secara ekstrem memilih hanya kebijaksanaan kerumuman sebagai satu-satunya alternatif dalam memprediksi sesuatu atau memecahkan masalah. Meskipun tidak ekstrem, Surowiecki menurut hemat saya cenderung sangat pro dengan The Wisdom of Crowds. La iyalah, nggak heran ia telah menuliskan teorinya dalam buku tersebut, dengan menafikan peran CEO yang secara faktual masih dianggap orang yang paling bertanggung jawab atas nasib suatu korporasi. Bahkan ia agak genit ketika menuliskan CEO paling-paling hanya menambah sedikit saja value kepada perusahaan, untuk tidak mengatakan tiada, nothing.

Akhirnya, melanjutkan argumen bahwa mekanisme pasar ataupun demokrasi bukan satu-satunya alternatif, kita dapat dengan mudah mengambil contoh-contoh pendukung.  Umpamanya suatu persoalan matematis telah diketahui jawaban pastinya oleh salah satu individu, sungguh tidak bijaksana untuk menanyakan persoalan tersebut kepada khalayak umum.  OK, memang persoalan riil kehidupan jauh lebih rumit dari contoh sederhana tersebut, paling tidak tulis Surowiecki dalam melakukan kognisi, koordinasi, dan kerjasama.  Namun demikian, dalam banyak kasus tetap saja ada satu badan atau individu yang berinisiatif mengagregasi kecerdasan kolektif dan pada akhirnya mengambil keputusan, di puncak kesendirian.  Kalau tidak demikian, untuk apa ada pilkada.  Individu di puncak kekuasaan akan ditanya dan harus bertanggung jawab.  Kalau tidak sekarang, pasti nanti.

Selengkapnya.....

Minggu, 13 Januari 2008

Nama

Nama saya Yulistian Pancawijaya, biasa juga dikenal dengan Aan (nama kecil) atau Y Pan. Harus diakui bahwa nama lengkap saya memang kepanjangan, tapi begitulah sepasang orangtua memilih nama yang paling cocok buat putra kelimanya yang tercinta. Karena kepanjangan itulah, sedari kecil dalam keluarga maupun dalam komunitas sepermainan saya terbiasa dipanggil Aan -- begitu singkat. Sementara bagi kebanyakan orang bule, baik Aan maupun Yulistian Pancawijaya tetap nama-nama yang sulit diucap dan diingat.

Waktu saya berkesempatan sekolah di University of Illinois at Urbana-Champaign, tahun 1998-2000, saya mulai sering memperkenalkan diri dengan nama Y... ya huruf "Y" yang dalam alfabet Bahasa Inggris dilafadzkan sebagai WHY. Perkenalan dengan nama ini terasa lebih mudah, setidaknya bagi saya, di tengah-tengah komunitas bule. Bagaimana dengan nama belakang? Pan adalah pilihan yang terasa paling enak. Jadi lain waktu memperkenalkan diri, saya bisa berkata my name is Y Pan, Pan as in Peter Pan, hehehe...

Sebenarnya ide menggunakan nama Y Pan tidak muncul begitu saja. Konsepsinya dimulai sekitar tahun 1994. Setelah selesai kuliah di salah satu perguruan tinggi ngetop di Bandung, saya bersama teman-teman mulai masuk dunia kerja dan kami terdampar di tanah Riau, tidak jauh dari tepian Sungai Siak. Perusahaaan tempat kami bekerja sebagai Programer Analyst punya hubungan erat sekali dengan perusahaan minyak Amerika. Oleh karenanya, tidak aneh kalau satu dua hari mulai kerja, saya sudah dapat email, yang waktu itu masih belum sejamak sekarang. Email address saya ketika itu adalah ypancaw@ptblablabla.com. UserID ypancaw tentunya diambil dari huruf pertama nama depan saya dan digabung dengan nama belakang saya. Karena kepanjangan, tentu tidak bisa dihindari pemotongan ypancawijaya menjadi ypancaw oleh Pak Admin.

Selama kerja tahun 1994-1995, banyak pengalaman yang betul-betul berharga, tetapi yang ada hubungannya dengan posting ini adalah salah seorang teman saya kerap memanggil saya YP yang di-pronounced dalam Bahasa Inggris. Jadilah saya seorang yang seolah-olah mengenali diri dengan identitas baru. Singkat cerita, setelah evolusi yang cukup lama, sepertinya saya merasa nyaman dengan nama pendek nan keren Y Pan (dilafadzkan menggunakan Bahasa Inggris) di samping nama kecil saya Aan dan nama lengkap pemberian orangtua saya yang sangat indah: Yulistian Pancawijaya. I'm always grateful to have such great parents!

Selengkapnya.....

My Post Sitemap

http://ypanca.blogspot.com/
http://ypanca.blogspot.com/2008/03/filsafat-ekonomi-greenspan.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/03/ayat-ayat-cinta-novel-versus-film.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/greenspan-dan-bush-yunior.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/fakta-mengenai-greenspan_27.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/sistem-informasi-strategis-kinerja.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/dont-dont-b.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/dont-dont-i-wrong.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/kasus-burger-king-di-singapura.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/arsitektur-informasi-masyarakat-bekasi_21.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/arsitektur-informasi-masyarakat-bekasi_18.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/arsitektur-informasi-masyarakat-bekasi.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/example-of-social-epidemic.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/informasi-strategis-untuk-masyarakat.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/buka-bukaan-dalam-manajemen-sampah.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/ilustrasi-masalah-sampah.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/kasus-manajemen-sampah-kota-bekasi.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/tipping-point.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/tipping-point-1.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/tipping-point-2.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/tipping-point-3.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/tipping-point-4.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/tipping-point-5.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/tipping-point-6.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/tipping-point-7.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/tipping-point-8.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/02/kecurangan-bisakah-diatasi.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/kehebatan-sistem-informasi.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/faktor-sukses-sistem-informasi.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/beberapa-foto-hari-pencoblosan.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/seberapa-cepat.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/contoh-kasus-pilkada-kota-bekasi.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/sistem-informasi-apa-sih.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/awalan-di-atau-kata-depan-di.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/good-to-great.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/good-to-great-1.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/good-to-great-2.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/good-to-great-3.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/good-to-great-4.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/good-to-great-5.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/good-to-great-6.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/good-to-great-7.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/tipologi-kecurangan.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/kecurangan-pengelolaan-informasi.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/penunjukkan-atau-penunjukan.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/merubah-atau-mengubah.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/revolusi-informasi.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/kepentingan-partai.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/pondok-ku-rumah-baru.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/kecurangan-organisasi.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/demokrasi.html
http://ypanca.blogspot.com/2008/01/nama.html

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed