Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Senin, 25 Oktober 2010

Masalah Ekonomi Dunia

Satu dekade lalu, masalah krisis ekonomi pasti mengarahkan perhatian seluruh dunia ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Saat ini, kalau bicara mengenai masalah ekonomi, perhatian justru mengarah ke negara-negara maju, terutama AS dan negara-negara Eropa. Pemulihan ekonomi yang terjadi katanya berjalan lambat di negara-negara maju, sementara di negara-negara berkembang, terutama Asia, lebih cepat. Para ekonom konon khabarnya sedang berdiskusi hangat mengenai kebijakan baru untuk menyeimbangkan kembali ekonomi yang gonjang-ganjing terkena tsunami yang berpusat di AS.

Kebijakan baru yang sangat bertolak belakang dengan sebelumnya harus bersifat multilateral dan butuh koordinasi antar negara dan wilayah. Katanya untuk mencegah regulation arbitrage. Hehehe, jangankan melangkah bersama, dulu ekonom berpikir bahwa tidak perlu upaya bersama yang terkoordinasi . Pasar pasti akan mengkoreksi ketidakseimbangan. Bahkan intervensi harus seminimal mungkin. Rupanya perkembangan ekonomi dan sistem keuangan dunia akhir-akhir ini sepenuhnya di luar perkiraan para ekonom dan ahli keuangan pada masa itu. Kemungkinan besar sih sudah ada yang sadar, tapi entah kenapa, mungkin karena faktor ideologi, kegilaan dibiarkan sedemikian parah. Para penari di sektor keuangan tidak akan berhenti menari sepanjang musiknya masih hidup. Tariannya semakin dan semakin liar dan akhirnya sampai juga pada suatu titik musiknya mesti dimatikan. Titik. Suka atau tidak.

Ekonom senior Indonesia yang lama malang melintang di AS (saya nggak berani mengutip namanya karena tulisan ini nggak level untuk beliau, walaupun saya sangat bangga dengan beliau) di suatu konferensi internasional yang diselenggarakan bank sentral baru-baru ini, menyatakan kini saatnya para ekonom dengan rendah hati mengakui keterbatasan konsep-konsep mereka selama ini. Beliau menjelaskan dengan gamblang masalah aliran dana yang bersifat “round tripping” yang bikin proses intermediasi antar wilayah surplus dengan wilayah defisit menjadi tidak efisien. Semuanya mesti terkumpul dulu di AS untuk kemudian kembali lagi ke wilayah asal. Nah, konon ceritanya instrumen keuangan yang ada sangat tidak memadai untuk mendorong investasi yang lebih efisien di sektor riil. Jadi, nggak heran kemudian kalau ada tuntutan untuk mereformasi sistem keuangan, sampai ke instrumen-instrumennya.

Ah, masak sih? Coba kita lihat lagi prestasi sektor keuangan global selama ini.

Bukankah para praktisi perbankan dan sistem keuangan secara umum telah begitu sukses menghadirkan pertumbuhan yang luar biasa? Karenanya mereka menikmati juga berbagai insentif dari prestasi tersebut, baik insentif dari penguasa maupun dari pasar itu sendiri. Krisis keuangan global yang ditandai dengan runtuhnya raksasa keuangan dunia membuka mata semua orang bahwa dinamika sektor keuangan lebih dipicu oleh perilaku pengambilan risiko yang kian berisiko. Judi! Pasar memang menghargai perilaku spekulasi tersebut. Ironisnya pihak yang berwenang membiarkannya dan justru mendorongnya lebih jauh, melalui mekanisme pengamanan yang bersifat fatamorgana, seperti sekedar deposit insurance. Belum lagi di sektor keuangan terdapat mentalitas too big to fail. Yang paling parah, pihak berwenang seolah tidak mau kelihatan bodoh dengan mempertanyakan inovasi-inovasi di sektor keuangan yang makin rumit dan tidak jelas. Alasannya pasar pasti dapat menilai suatu produk keuangan. Ternyata pasar salah menilai!

Ah, masak sih? Kayaknya masih sulit dipercaya.

Coba deh perhatikan tingkat keuntungan industri keuangan dan industri sektor riil. Dapat dipastikan tingkat keuntungan (return) di sektor keuangan jauh lebih tinggi. Lebih dari itu, dalam setengah abad terakhir, pertumbuhan sektor keuangan jauh melampaui pertumbuhan sektor riil. Sebelum itu, menurut statistik yang saya perhatikan sambil lalu di seminar, pertumbuhan sektor keuangan seiring sejalan dengan pertumbuhan sektor riil. Kesimpulannya, dulu sektor keuangan layak disebut industri jasa (service industry) karena bermanfaat untuk pelanggannya, yaitu sektor riil, namun sekarang sektor keuangan lebih cocok disebut industri yang melayani diri sendiri (self-serving industry). Ini yang disebut-sebut sebagai tipuan sektor keuangan (financial sector fallacy). Hehehe pilihan kata terjemahannya berat ya? Tapi begitulah adanya. Nah, untuk itulah diperlukan apa yang disebut regulasi prudensial secara makro, untuk melengkapi regulasi prudensial secara mikro yang sudah ada.

Kalau di Indonesia, regulasi secara mikro saat ini dilakukan oleh Bapepam dan Bank Indonesia. Menurut UU, regulasi mikro ini akan diselenggarakan oleh lembaga baru yang disebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Di semua negara, regulasi prudensial makro, berbeda dengan kebijakan ekonomi makro baik fiskal maupun moneter, belum merupakan praktik yang ajeg. Sebetulnya, prinsipnya sederhana, yaitu untuk mencegah perilaku pengambilan risiko yang berlebihan. Kalau di jalanan kota-kota di Indonesia, nama kerennya polisi tidur atau speed bump. Siapa yang berwenang? Kalau bicara jalanan, harusnya polisi atau dishub. Kenyataannya, hampir setiap orang bisa bikin polisi tidur. Aneh! Hehehe, balik ke masalah di sektor keuangan, tentunya perlu juga lembaga pengatur polisi tidur sektor keuangan. Pemerintah? Bank sentral kayaknya lebih tepat! Dan harus terkoordinasi secara global.

Saya pribadi melihat perkembangan sistem ekonomi dan keuangan akhir-akhir ini cukup menggembirakan. Bukan karena krisisnya, tapi karena tanggapan ekonom dan ahli keuangan yang cenderung membalikkan arah “kebijakan” selama ini. Pasti tetap ada yang kaya dan ada yang miskin. Itu sunatullah. Bahkan di teritori ekstremistan menurut Nassem N Thaleb, orang yang berhasil seperti Bill Gates dan Steve Jobs cenderung super kaya banget. The winners take all. Jumlah mereka sangat sedikit dengan sebagian besar profit dan kekayaan. Cocok kan dengan sektor keuangan? Salah! Kalau di sektor keuangan, the winners take all and more. Orang lain, pembayar pajak misalnya, rugi menanggung kelakukan spekulatif mereka. Dengan konsep dan kebijakan yang berbalik arah, wilayah ekstremistan di sektor keuangan haram hukumnya melebihi dinamika ekstremistan di sektor riil. Malah mungkin harus lebih konservatif, mengarah ke mediokristan sedikit.

Caranya gimana? Ya belum tahu... Ekonom dan ahli keuangan, baik praktisi maupun akademisi, saja belum bisa menjawab semuanya. Konferensi internasional yang saya singgung di atas, menurut pengakuan salah seorang moderatornya, merupakan tempat mendiskusikan masalah dan wacana. Solusinya masih harus dipikirkan setelah pulang ke rumah! Artinya apa nih? Ya, reformasi sektor keuangan dan regulasi prudensial secara makro, baik institusi maupun instrumennya, masih perlu dipikirkan lagi lebih mendalam, terlebih lagi katanya diperlukan kesepakatan internasional, Basel III atau Basel IV, hmm. Wah, susah juga ya. Kalau geraknya nggak cepat, status quo akan tetap bertahan dalam waktu yang cukup lama, takutnya krisis berikutnya terlanjur terjadi! Wow, kalau yang kemarin disebut melting down, yang berikutnya bisa-bisa bursting up... ih ngeri.

Mungkin saatnya nih ekonom dan ahli keuangan syariah menunjukkan jalan pencerahan. Sayangnya di konferensi yang saya sebut di atas, nggak ada tokohnya baik dari timur maupun barat yang hadir. Nggak diundang kali?

Baca cerita lain:
Bankir
Dunia Perlu Di-Restart
Kebijakan Berbalik Arah
Menggugat Warisan Greenspan

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed