Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Selasa, 28 September 2010

Maafkan Dulu

Kadang-kadang saat kita capek, anak-anak yang kita sayangi malah bikin gara-gara. Pertama, dia mungkin hanya menunjukkan manjanya. Karena tidak mendapat cukup perhatian, kemudian dia mengeskalasi aksinya. Darah mulai panas dan makin panas. Akhirnya dia bikin darah kita mendidih. Anak ini harus diperbaiki. Caranya? Penalti atau sanksi!

Dulu waktu belum pengalaman mendidik dan belum cukup pengetahuan, penalti berupa pukulan walaupun ringan sering jadi senjata pertama. Sungguh menyesal rasanya begitu mudah menyakiti buah hati sendiri. Sejak memahami hukuman berupa time-out, anak kedua kami sampai yang kelima sekarang nyaris bebas dari pukulan fisik. Hukuman duduk di pojok, duduk di kursi lengket, atau kurungan kamar terasa cukup efektif sebagai sarana pengendalian. Sesekali hukuman fisik saya terapkan juga.

Nah, suatu saat anak kelima kami yang masih balita bikin ulah. Entah gara-gara apa, dia akhirnya didiamkan oleh istri saya. Memang anak bungsu kami ini termasuk jarang terkena time-out. Sebagiannya mungkin karena dia lebih anteng dari kakaknya. Sebagian lain mungkin kami terkena sindrom memanjakan anak bungsu. Karena didiamkan terus oleh ibunya, akhirnya dia masuk ke modus akhir, yaitu nangis sekeras-kerasnya dan nggak putus-putus.

Hehehe, rasanya kesal banget waktu itu. "Ayolah Dik, penuhilah apa maunya anak ini." Demikian saya coba bujuk istri, soalnya si anak nggak mau deal sama siapa-siapa, kecuali ibunya. Akhirnya terungkap juga. Rupanya anak ini sempat menyakiti ibunya. "Dia harus minta maaf dulu," demikian kata istri saya. Ah, rupanya sanksi yang diterapkan istri adalah kewajiban Ahmad untuk minta maaf dulu. Ya, memang kita harus menanamkan nilai-nilai penghormatan kepada orangtua.

Sementara itu, suasana belum reda juga. Anak bungsu kami rupanya sudah mengunci modusnya, nangis keras-keras. Akhirnya ibu mertua saya yang kebetulan sudah beberapa hari di rumah kami berkata ke istri saya, "Maafkanlah. Maafkan dulu." Setelah istri saya melepaskan kekesalannya dengan memaafkan, meskipun mungkin baru sebagian, si anak akhirnya bisa dibuat berhenti menangis. Koreksi kemudian baru mungkin dilakukan.

Cerita di atas terjadi kurang lebih setahun lalu. Berbulan-bulan kemudian, tepatnya hari ke-29 Ramadhan lalu, saya mengikuti kuliah dzuhur di masjid kantor. Kata ustadz, kita bisa membalas perlakuan buruk orang lain dengan yang setara, tapi akhlak yang lebih baik adalah jika kita memaafkan. Yang lebih baik lagi adalah jika setelah memaafkan kita melakukan perbaikan. Misalnya, kalau mobil kita diserempet, kita maafkan saja, lalu kita ingatkan besok-besok jangan begitu lagi.

Rupanya contoh itu nggak terasa mengacu ke kejadian serempetan antar alumni perguruan tinggi terkemuka di Jakarta dengan alumni perguruan tinggi terkenal di Bandung. Waktu dengerin ceramah, saya nggak langsung sadar, mungkin sebagian karena lapar. Setelah saya ingat-ingat isi kuliah dzuhur itu di rumah, ngertilah saya sang ustadz dengan cara yang sangat halus menyindir banyak atau bahkan sebagian besar pengguna jalan yang bermaksud memperbaiki kelakuan orang lain.

Saya sering kesal di jalan ketika pengendara lain berperilaku seenaknya. Rasanya ingin sekali memperbaiki kesalahan itu. Saya juga sering kesal kalau di kantor ada rekan yang seolah ingin bikin masalah terus. Ingin rasanya mengkoreksinya. Di rumah juga begitu. Di toko, di restoran, di antrian bank, di kantor layanan pemerintah, di masjid dekat rumah, di sekitar rumah, dan seterusnya dan seterusnya.

Kesal mungkin kosakata yang negatif untuk Anda. Sebaiknya saya ganti dengan kata peduli. Peduli kemudian menimbulkan aspirasi untuk perbaikan. Namun demikian, ketika tindakan koreksi diambil tanpa memaafkan terlebih dulu, betapapun positif kata peduli itu, lebih sering malah timbul masalah baru. Justru orang yang mau kita tuntut tanggung jawabnya itu serta merta menuntut balik ke kita, bahkan menyalahkan dan mencela kita.

Siklus saling mencela itu mudah sekali kita lihat di sekitar kita. Aliran atau mazhab yang satu mencela aliran yang lain. Itu dibalas dengan celaan lagi. Eskalasi sertamerta terjadi. Salah-salah malah jadi adu tonjok, seperti yang dialami dua pengemudi yang serempetan itu. Malah eskalasinya menyebar ke milis alumni. Untung masalahnya tidak berkepanjangan. Karena apa? Karena ada maaf.

Nah, kalau kita bicara lebih spesifik mengenai perselisihan khilafiah antar mazhab Islam, rindu sekali kita akan suatu diskusi yang santun. Miris rasanya kita menyaksikan aksi saling hujat. Bahkan saling hujat ulama masing-masing, padahal ulama-ulama yang dihujat itu telah berijtihad dan bekerja. Yang lebih sedih lagi, perselisihan ini mudah sekali menimbulkan kesan negatif terhadap Islam.

Alangkah indahnya ketika dialog atau bantahan yang dilakukan benar-benar dilakukan dengan cara yang baik. Jika ada yang tidak bisa diselesaikan lewat dialog, biarlah jalur yang disediakan pihak berwenang yang menjadi saluran utama penyelesaiannya, tentu dengan kelapangan dada menerima perbedaan yang belum dapat disatukan itu.

Akhirnya, kita tetap perlu menyadari bahwa usaha perbaikan dalam banyak hal tidak langsung efektif hanya dengan satu-dua tindakan. Makanya dibutuhkan banyak sekali kesabaran. Satu truk nggak cukup! Untuk itu, mudah memaafkan mesti jadi bagian karakter kita. Seperti akhlak Nabi Muhammad SAW -lah. Walaupun sikap mudah memaafkan pihak lain dapat dimanfaatkan atau dimanipulasi oleh pihak lain tersebut, jelas ia jauh lebih baik dibandingkan sikap mudah menyalahkan dan mencela!

Selengkapnya.....

Sabtu, 25 September 2010

Di Luar atau Diluar

Seorang pengunjung blog ini, Mas Fajar mengajukan mana yang betul...

di luar atau diluar

Saya memang belum pernah membahas masalah ini yang menurut saya memang tidak bisa hitam-putih begitu saja. Sementara, saya menganggap dua-duanya dapat digunakan. Lho koq pragmatis banget? Ya, kesannya pragmatis, tapi sebetulnya alasannya tidak pragmatis. Begini alasan saya...

Kata dasar luar sesungguhnya menunjukkan tempat, sebagaimana dalam, atas, bawah, depan, belakang, samping, kiri, dan kanan. Aslinya begitu, tapi penggunaannya terkadang agak samar. Misalnya, kita sering mengatakan, "Di samping itu, ada masalah yang lebih penting." Nah, kata samping dalam kalimat ini bernuansa tempat, walau agak samar. Maksudnya bukan tempat secara fisik, tapi "tempat" dalam tataran ide yang lebih abstrak.

Nah, mengikuti argumen di atas, bisa disimpulkan bahwa penggunaan frasa-frasa di bawah ini tul-betul-betul belaka.
di dalam
di atas
di bawah
di depan
di belakang
di samping
di kiri
di kanan

Inilah aturan aslinya, dan dalam hal ini, "di" adalah kata depan. Kalau begitu, diluar keliru dong. Ok, menurut aturan asli memang keliru, tapi pernah mungkin kita bertanya-tanya apakah kata "into" dan "onto" dalam Bahasa Inggris aslinya memang begitu. Ternyata tidak! Mereka berasal dari "in to" dan "on to" yang kemudian digabung. Penggabungan kata seperti ini dikenal juga dalam tata bahasa kita.

Contoh penggabungan dua kata... Dua kata "orang tua" menjadi "orangtua" yang artinya bukan sekedar orang yang sudah tua, tapi ayah atau ibu atau pendahulu kita. Dua kata "ke luar" menjadi "keluar" yang bukan hanya berarti ke arah luar, tapi suatu aktivitas atau kerja. Bahasa Arabnya khoroja dan Bahasa Inggrisnya exit. Malah turunannya ada lagi, seperti mengeluarkan dan dikeluarkan.

Kasus "di luar" menjadi "diluar" mirip kasusnya dengan "out side" menjadi "outside" ya nggak? Tapi diluar bukan dibentuk dari awalan di- dan suatu kata kerja, karena luar bukan kata kerja sama sekali meskipun bisa aja kemudian diikuti kata kerja atau kata-kata yang bernuansa aktivitas. "Di" tetap saja asalnya adalah kata depan yang digabung dengan "luar" yang merupakan kata bernuansa tempat. "Diluar" seperti "outside" menjadi satu kata sendiri.

Nah, jebakannya di sini. Tidak semua pasangan dua kata, khususnya yang menggunakan kata depan, dapat digabungkan. Lho emang kenapa? Ya, karena memang begitu. Yang berikut ini mungkin bisa jadi ilustrasi.

dikantor tetap salah, mestinya di kantor
dijakarta tetap salah, mestinya di Jakarta
dikiri tetap salah, mestinya di kiri
... dan seterusnya...

Yang boleh digabung dan kemudian membentuk kata baru: keluar, kemana, kesana, kemari, diluar, dimana, tapi tetap saja ada dorongan untuk menggabung semuanya, hehehe, walaupun kurang tepat, seperti yang ini: diatas, dibawah, disini. Yah, begitulah bahasa memang apa yang digunakan, sedangkan penggunaan apapun oleh makhluk yang bernama manusia selalu ada pengecualian yang keluar dari aturan asal.

Anyway, akhirnya, kita tidak perlu banyak mengeluarkan energi untuk debat yang sifatnya seperti kasus belakangan ini. Khilafiah! Kita serahkan ke yang (tentunya aneh kalau kita gabung jadi keyang) berwenang aja. Artinya... Lihat kamus dong. Sayangnya Kamus Besar Bahasa Indonesia terkesan masih sulit diakses. PR pemerintah dan Lembaga Bahasa Indonesia.
!

Selengkapnya.....

Jumat, 17 September 2010

Seputar Ramadhan

Seorang teman berjalan di koridor kantor menuju masjid. Saya baru kembali dari masjid menuju kantor. Sedikit menggoda, saya bilang, "Wah ketinggalan nih." Setelah kasih alasan, dia balik menggoda, "Lho, koq nggak dengerin ceramah dzuhur?"

Sekenanya saya jawab kurang lebih, "Ibadah ramadhan bukan hanya denger ceramah."

"Kalau gitu, apa artinya Ramadhan syahrut tarbiyah (bulan pendidikan)?"

Masih agak bercanda, saya jawab, "Artinya bulan latihan. Bukan hanya sekedar mengumpulkan materi. Ntar jadi materialistis."

"Oh..."

Hehehe, dialog di atas memang terkesan nggak serius, tapi sebenarnya materinya cukup berat dan cukup berdasar juga. Beberapa hari sebelumnya, saya mendapat email perihal ceramah tarawih. Menurut seorang ulama dari Saudi, ceramah tarawih memiliki sisi negatif. Pertama, bisa terkena hukum bid'ah, jika pengurus masjid merasa kurang afdhol tanpa ceramah tarawih. Kedua, ceramah tsb membuat sebagian jamaah pulang lebih awal, tanpa ikut shalat witir, karena alasan ceramahnya bikin lama. Hal ini membuat sebagian orang tersebut tidak mendapat ganjaran penuh dari Allah, sebagaimana seorang yang shalat semalam suntuk.

Ah, isi email itu punya poin juga, tapi saya ngerti banget sikap para pengurus masjid dan mubaligh. Ramadhan dijadikan momentum super sebagai upaya menyebar pencerahan bagi jamaah. Yah, selama niatnya bener, mudah-mudahan Allah memaafkan dan mengampuni kita semua dengan segala sisi ketidaksempurnaan.

Nada yang kurang lebih sama saya dapati ketika mengikuti kuliah subuh dengan materi fikh i'tikaf. Menurut sang ustadz, kegiatan i'tikaf kita kebanyakan dilakukan secara kolektif. Itu kurang sesuai sebetulnya dengan makna i'tikaf itu sendiri, yaitu ketika kita mengkhususkan diri berduaan dengan Allah saja. Lagi-lagi saya paham mengapa pengurus masjid tetap menggelar shalat malam berjamaah pada malam-malam i'tikaf. Saya juga paham ketika ada peserta i'tikaf membaca Al-Qur'an dengan suara keras atau ada yang berdiskusi materi tertentu.

Saat-saat itu, antara jam satu hingga jam empat dini hari menurut saya duduk atau berdiri-ruku-sujud dalam sunyi lebih utama. Kalaupun ada bacaan dan doa yang kita lafadzkan, cukuplah telinga kita sendiri yang mendengar. Kenyataannya aktivitas di malam-malam i'tikaf itu sering tidak sesunyi yang saya rindukan. Nggak apalah.

Segala aktivitas kolektif itu bagian dari syiar dan pembiasaan. Bagaimanapun, alangkah indahnya ketika tiap muslim punya kapasitas yang memadai untuk melaksanakan latihan-latihan di bulan Ramadhan, termasuk i'tikaf, secara individual ketika memang seharusnya lebih tepat untuk dilakukan sendiri-sendiri. Sebagai suatu proses, lagi-lagi kita mesti berusaha saling memahami segala keterbatasan. Dan kepada Allah jua kita memohon ampun.

Nah, ngomong-ngomong mengenai realitas yang kurang ideal, saya jadi teringat ungkapan bahwa keindahan Islam tertutup oleh kaum muslimin itu sendiri, tentunya termasuk saya, yang bertanggung jawab membuat non-muslim sering salah paham terhadap Islam. Ah, ini cerita lain. Mungkin setelah kembali dari Solo, saya insya Allah akan menulis mengenainya.

Peace!

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed