Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Jumat, 30 Januari 2009

Pesimis? Nggak Lah!

Memang kehidupan nggak mudah. Krisis finansial global yang sedang menimpa kita sungguh menyesakkan dada. Belum lagi perang dan pembantaian yang tidak berperikemanusiaan. Kriminalitas? Nggak usah ditanyakan lagi. Kalau Anda tinggal di Jabotabek, tentu Anda tahu Bekasi mendapat satu gelar lagi sebagai tempat pembuangan m***t yang terpotong-potong. Jauh di kedalaman hingar bingar itu, setiap pribadi memendam masalah sendiri-sendiri. Ada yang punya masalah cinta, utang, pekerjaan, bos, anak buah, sekolah, guru, rumah, banjir, keluarga, anak, orang tua, pakde, om, tante, apalagi coba. Atau bahkan kesehatan. Kesehatan jiwa lagi! Jadi siapa yang nggak setuju kalau hidup memang susah?

Deretan masalah di atas mudah-mudahan tidak membuat kita semakin tertekan. Daftar itu cuma diniatkan sebagai empati. Siapa tahu Anda punya masalah seperti itu. Daftarnya bisa makin panjang, kalau saja kita mau meratapi setiap kemalangan yang mengoyak dan merobek hati kita masing-masing. Jujur saja, saya pun merasa kasihan dengan diri sendiri. Tapi cobalah lihat dari sudut pandang lain. Mungkin kesulitan yang kita alami adalah batu ujian untuk menguatkan diri. Lagipula coba buka lagi mata kita. Barangkali masalah kita terlalu kecil banget sekali dibandingkan yang dialami saudara kita di Gaza. Mungkin masalah kita nggak sebanding dengan tantangan yang dihadapi presiden terpilih AS, Barack Obama, yang mewarisi sekian banyak problema global ciptaan pendahulunya.

OK lah, kalau masih muram, coba hayati keberhasilan Indonesia mencapai kembali swasembada beras tahun 2008 yang lalu. Dan untuk tahun 2009, Menteri Pertanian memprediksi produksi beras nasional akan meningkat lagi secara signifikan. Hey, ini suatu yang baik. Menyegarkan! Kalau kita swasembada, berarti beras untuk kebutuhan kita cukup. Itu berarti juga kita nggak perlu impor beras. Artinya kita bisa menghemat devisa. Ah, jadi teknis. Begini saja. Keberhasilan ini, seperti keberhasilan apa pun, menunjukkan kita mampu mengatasi masalah dan melakukan sesuatu yang berguna. Kita tahu bahwa kita bisa diandalkan. Kredibilitas kita naik. Mungkin kita perlu mereplikasi keberhasilan swasembada ini ke bidang-bidang yang lain. Bahkan mungkin ke ruang pribadi kita yang paling dalam. Apa sih kiat Menteri Pertanian?

Dalam wawancaranya dengan Republika, Menteri Anton mengatakan, pertama, harus ada keyakinan yang didasari niat positif. Kedua, bibit unggul digunakan sebagai input penting. Ketiga, partisipasi dan keterlibatan aktif tiap pihak terkait harus digalakkan. Keempat, harus ada sarana untuk coba-coba untuk mendorong inovasi dan perubahan. Kelihatannya contoh hasil dari coba-coba merupakan pembelajaran yang efektif. Kelima, diperlukan regulasi yang kondusif, misalnya mengenai lahan pertanian, pupuk, dan harga. Keenam, yang terakhir, Menteri Anton banyak berinteraksi langsung dengan petani untuk merasakan betul kesulitan dan harapan petani.

Lalu apakah himpitan ekonomi akan berakhir? Bisa! Yakin! Niat positif! Lihat alternatif dan inovasi! Dst...

Lalu apakah persoalan pribadi dengan kerabat bisa selesai? Bisa! Yakin! Niat positif! Partisipasi dan interaksi! Masukan obyektif! Dst...

Nggak ada tempat deh untuk pesimis.

Selengkapnya.....

Jumat, 23 Januari 2009

Kucing Kami

Sudah lama saya ingin nulis tentang kucing kami, nggak juga tergerak sampai hari ini ada temen yang menggunakan kucing sebagai kiasan dalam hubungan pertemanan kami. Lalu saya ceritakan kisah kucing kami ke dia. Kayaknya banyak pelajaran yang bisa diambil. Saya pikir perlu ditulis di blog juga. Menurut saya, kucing adalah hewan yang enak buat disayangi. Waktu masih kecil, kami adik beradik sering memelihara kucing. Keluarga istri saya juga. Setelah nikah, entah kenapa seolah kucing nggak enak dikeloni kayak dulu. Kejadian Ramadhan lalu akhirnya bikin kami rujuk dengan kucing. Begini kisahnya.

Suatu sore pulang dari kerja, saya disamperin anak-anak dengan antusias. "Ayah, lihat di depan rumah kita ada kucing."

Ternyata ada seekor induk anak kucing bersama dua anaknya yang masih kecil. Umur mereka mungkin baru beberapa hari. Yang satu warnanya hitam-putih, sedangkan satunya lagi kuning-putih. Keduanya lucu-lucu. Nggak heran kalau anak-anak demen ngelihatinnya. Walaupun di belakang rumah kami punya hamster dalam kandang, kayaknya pesona kucing langsung bikin anak-anak jatuh cinta. Turunan kali.

Nah, beberapa hari setelah itu, anak-anak yang lagi libur punya banyak waktu memperhatikan kucing-kucing itu. Karena kasihan, mereka mulai ngasih makan. Karena itu, keluarga kucing itu nggak mau jauh-jauh dari rumah. Sampai suatu hari... Induk kucing pergi entah kemana. Jadilah kedua anaknya yatim piatu. Anak-anak makin kasihan. Soalnya masih kecil banget. Timbullah ide memelihara mereka. "Boleh kan Yah, kita miara kucing," begitu rengekannya.

Awalnya saya nggak setuju. Tapi namanya juga kucing. Nggak ngerti. Malahan keduanya berani bolak balik masuk halaman kami lewat celah pagar. Suatu kali, karena masuk ke halaman, kucing-kucing kecil itu dipindahkan lagi oleh ibu mertua ke tempat sampah, di luar pagar. Kontan anak-anak kami - bukan anak kucing itu - ngadu. "Ayah, kucingnya dibuang sama nenek."

Lalu tibalah saat itu. Pagi-pagi, hari Sabtu, anak-anak lapor bahwa kucingnya mati di tempat sampah. Hati saya langsung berdesir, teringat perkataan RasululLah mengenai seorang wanita nakal masuk surga lantaran memberi minum anjing yang kehausan. Saya teringat juga perkataan RasululLah mengenai seorang wanita yang berdosa hanya karena mengurung kucing tanpa memberinya makan hingga mati kelaparan. Saat itu bulan Ramadhan lagi. Pahala dilipatgandakan. Dosa juga. Masya Allah. AstaghfirulLah. Saya langsung menghambur ke tempat sampah.

Sedih sekali. Seekor sudah kaku dan dikerumuni semut. Yang seekor lagi, si kuning-putih, kelihatan seperti mati. Ternyata nggak. Nyaris. Langsung saya ambil dia dan bawa ke belakang. Tanpa berkata-kata sedikitpun ke anak-anak, saya mandikan kucing itu dengan sabun. Setelah itu saya suruh anak-anak mengeringkannya. Dengan kasih sayang, anak-anak menghanduki kucing mungil itu. Matanya jelas terlihat luka. Cakarnya juga. Mungkin dia diserang kucing besar, atau bisa juga berkelahi dengan saudaranya sendiri. Sementara anak-anak sibuk dengan si kuning-putih, saya mulai menguburkan saudaranya. Setelah semuanya beres, baru saya jelaskan keutamaan membantu hewan. Saya juga menyatakan menyesal ke anak-anak karena yang seekor lagi sampai mati, nggak ketolong.

Cingi! Itulah panggilannya dari Rita. Anak-anak senang bukan kepalang mendapatkan peliharaan baru. Sekarang kucing itu sudah besar. Remaja mungkin kalau diukur dengan skala umur kucing. Tahu sendiri kan? Bandel. Suka nyakar. Suka tiba-tiba menerkam kaki. Mencakari mebel dan kursi. Bandel dan playful. Kalau pintu depan terbuka dikit, langsung aja dia meloncat keluar, berlarian ke sana ke sini, terus keluyuran. Begitulah sifat kucing, tapi kami tetap menyayanginya. Anak-anak suka membelainya, dan siap... dicakar waktu membelai. Aisyah malah suka ngeloninya. Saya bilangin supaya jangan keseringan, takut kena penyakit.

Cingi! Di mana kamu buang air? Istri saya yang dengan sebel membersihkannya. Hebatnya, si Cingi akhirnya tahu sendiri di mana harus buang air. Deket got belakang. Kami tinggal siram aja itu t**i kucing. Satu lagi nilai sangat positif yang dimiliki Cingi. Dia bisa menghangatkan suasana. Pagi-pagi kalau pintu belakang sudah dibuka, dia buru-buru masuk dan seringnya masuk ke kamar Aisyah dan Rita. Kalau sudah gitu, terus dia naik ke tempat tidur dan kelonan sama Aisyah. Kami seolah-olah punya bayi baru. Sampai-sampai ibu mertua yang sekarang sudah balik ke Palembang pernah 'diancam' anak-anak: 'awas' nenek kalau ngebuang Cingi.

Cingi! Kamu memang bikin gemes. Kalau lagi sehat, malah jadi sering nyebelin juga. Anehnya, kami tetap aja sayang, walaupun dia nggak nurut sama saya yang pernah 'menyelamatkan' nyawanya. Dasar kucing! Namun suatu kali karena bandel, si Cingi jatuh dari lantai atas ke teras belakang. Tadinya kami nggak tahu. Kami cuma heran koq Cingi beda dari biasanya. Jadi tenang dan pendiam! Kalau disentuh badannya, kelihatan dia kesakitan. Wati, yang bantu di rumah, ngasih tahu kalau dia jatuh waktu nguber truk mainan Ahmad. Kami elus-elus dia, dan nggak ada nafsu dia buat nyakar dan becanda. Untung besoknya dia sudah pulih.

Cingi! Kenapa kamu? Baru-baru ini, dia sakit parah. Kalau menurut dugaan saya, dia kena tabrak atau sengaja dibanting keras entah oleh siapa. Atau bisa juga jatuh lagi gara-gara manjat pohon. Berhari-hari dia lesu dan nggak mau makan. Susu juga nggak mau. Bola matanya membesar dan membiru. Kalau jalan, miring-miring. Kasihan sekali! Gimana kalau si Cingi mati. Kami semua jadi sedih. Cingi sudah seperti anggota keluarga kami. Selama sakit, si Cingi kami elus dan belai. Gimana lagi? Makan aja dia nggak mau. Terbersit juga niat untuk membawanya ke dokter hewan. Tapi tunggulah. Mungkin besok dia membaik. Akhirnya dia betul-betul membaik dan sehat lagi dan...

Bandel lagi. Cingiiii!

Selengkapnya.....

Rabu, 21 Januari 2009

Stasiun Senen


Sudah beberapa kali kepingin pulang kantor naik KRL Ekonomi AC dari Senen jam delapan malam. Selalu aja nggak jadi. Pernah naik taksi dari kantor dan sudah deket Stasiun Senen, saya batalkan karena kuatir ketinggalan kereta. Soalnya sudah jam delapan lewat. Terpaksa merogoh kocek lebih dalam naik taksi sampai rumah. Lain waktu kejadiannya mirip. Karena merasa bakal ketinggalan kereta, akhirnya saya putuskan numpang Pak Agustian sampai Pancoran, terus lanjut dengan taksi. Malam ini dibonceng Ipul ngebut naik motor, akhirnya jadi juga. Ternyata waktu berangkatnya jam 20.20. Walah.

Sebetulnya saya pernah sih ke kantor naik KRL Ekonomi AC dari Bekasi jam 7.10 pagi lewat Senen. Waktu itu was was banget karena koq banyak banget berhenti. Nyaris aja telat masuk kantor. Pagi ini kejadiannya hampir aja berulang. KRL sudah siap dari sekitar jam 7.10, tapi nunggu, nunggu, dan nunggu, sampai Argo Gede dari Bandung lewat dulu. Jam sudah 7.25, sementara KRL Ekspres lewat Gambir jadwal berangkat jam 7.25 masih belum nongol juga. Kemudian ada pengumuman KRL Ekspres itu sudah di Cakung. Sedikit 'trauma' dengan pengalaman berangkat kantor naik KRL Ekonomi AC, akhirnya saya putuskan balik ke kebiasaan naik Ekspres tujuan Kota lewat Manggarai-Gambir. Was-was juga sih. Terpaut sepuluh menit saja nyaris dihitung telat ngantor. Batasnya jam 8.30.

Kalau buru-buru, apalagi berangkat kerja, seringkali kita tidak memperhatikan sekitar. Jadi waktu sekali dulu berangkat kerja lewat Senen, saya tidak betul-betul memperhatikan suasana stasiun. Kesan saya, pas lewat lorong-lorongnya untuk keluar cari ojek, stasiun ini dirancang dengan baik pada zamannya. Bahkan sampai milenium baru ini, ia masih terasa keren. Nah, karena malam ini saya tiba di Stasiun Senen jam 20.00, sementara jadwal berangkatnya jam 20.20, saya jadi punya waktu untuk mengamati. Kesan saya menjadi lebih mendalam. Stasiun Senen untuk beberapa hal lebih keren dari Gambir.

Kebersihannya terlihat lumayan. Keamanannya juga. Penerangan cukup. Toilet kelihatan diusahakan kering. Tempat sholat disediakan cukup luas. Orang keluar-masuk terkendali lewat jalannya. Rel-rel yang terhubung dengan lingkungan luar stasiun ditutup pagar. Pagarnya hanya dibuka kalau kereta mau lewat. Memang sih, pas pagar rel dibuka, terjadi arus keluar-masuk ilegal. Mungkin kalau siang lebih parah. Entahlah, mungkin juga lebih tertib karena dijaga lebih banyak petugas. Saya perhatikan dua orang berpenampilan seperti mahasiswa masuk stasiun secara ilegal lewat pagar rel yang dibuka. Kemudian keduanya menaiki Kereta Senja Utama tujuan Solo Balapan yang pas mau berangkat. Kelihatannya mereka sudah biasa begitu. Tujuan mereka mungkin Bekasi juga. Saya dapet ide untuk meniru, tapi nggak ah... nggak baik. Sama nggak baiknya seperti tadi pagi ketika penumpang KRL Ekonomi AC yang kebelet berangkat akhirnya numpang Argo Gede yang berhenti di Bekasi.

Kita lupakan dulu deh kecurangan-kecurangan kecil itu, walaupun tetap harus dipikirkan untuk diatasi yang berwenang; soalnya dari kecil bisa membesar masalahnya. Sementara, nikmati dulu suasana Stasiun Senen yang kuno tapi keren. Nah, ini foto-fotonya yang sempat saya ambil.


Stasiun Senen


Peron Jalur 1


Peron Jalur 3 dan 4


Model Kios-kios Kuno


Kereta Senja Utama Tujuan Solo Balapan di Jalur 3


Pagar Rel yang Masih Tertutup













Nulis sepanjang jalan nggak terasa. Tiba-tiba sudah tiba di Stasiun Bekasi, tepat jam 9.00. AlhamdulilLah.

Selengkapnya.....

Kamis, 15 Januari 2009

Do You Believe in Market?

Adapted from Dan Ariely's Predictably Irrational
Chapter 4: The Cost of Social Norms: Why We Are Happy to Do Things, but Not When We Are Paid to Do Them


One of my longtime friends, an investor in the global financial market, argues that the market has its own wisdom and intelligence. He usually refers to the Challenger Explosion back in the year 1986. Without any disclosure from the authority, the market seemed to know who to blame. The stock price of the suspect eroded very fast. Eventually, it was disclosed that the poor performance of the suplier led to the blast along with the astronauts. When he first shot me with this fact, I was speechless. Probably, the performance of the financial market at that time blinded my sight. It is not the case anymore!

Citing Margaret Clark, Dan Ariely writes in his Predictably Irrational that we live in two worlds simultaneously. One is governed by market norms, while the other by social norms. Using a dramatic illustration of a disastrous Thanksgiving dinner, Dan states that in some circumstances, when social exchanges occur, imposing market norms means a fierce violation, damaging social exchanges and relationships at once. The effort to remedy the damaged relationships needs substantially more time, if not useless at all.

Take the example of the disastrous Thanksgiving Dinner written by Dan Ariely. After enjoying the dinner served by your mother in law, you pull out your wallet and ask, "Mom, with all effort you put for this lovely dinner, how much do I owe you?" You continue, "Three hundreed dollars maybe, or four hundreed?" I am sure you immediately can imagine what happens next. OK, you got the point. Right? But please take another example. What will happen when a wife (husband) bills her (his) husband (wife) after a lovely bed activity?

So, last time I had an argument with my speculator (ups sorry) friend, I used Predictably Irrational's Chapter 4. Using the examples above and more, I said, "My friend, we cannot live solely in market environments." I continued, "Peter Drucker said the market is so short-sighted that we severely need two other parties, the government and the society." Readily, I used the plunge of the global financial market to bold my statement. "Before the crisis really got worse a few months before, how do markets value and predict the value of the US stocks and property?" He admitted that we cannot let market norms alone deciding our future.

Dan Arielly and his colleagues conducted various social experiments to learn the effect of market norms and social norms. In one experiment, he invited volunteers to his lab. He offered them $5 to participate. They have to drag as many circles as possible appeared in the left of a computer screen into a square in the right of the screen. In average, they put 159 circles into the square. The experiment was slightly changed. Dan offered the volunteers 50 cents to participate. Then they put their effort to drag circles into the square. In average, this group put 101 circles into the square. Wow, money talks! Payment of $5 really made a difference. Then again, the experiment was conducted to a third group. They were asked to accomplish the job for free. Unlike the previous two groups, they were supposed to be in a world of social norms. The result? They put 168 circles into the square. Wow, social exchanges may be cheaper and more effective than market exchanges!

Many every day life events attest the above statement. We are happy to help our friend moving her or his couch, but we do not want to be paid. We wholeheartedly take care our neighbor's child for a few hours when they are away. We are willing to give away our money for charity. We warmly open a door for somebody else and let them enter first before ourselves. We helpfully instruct directions to a passerby. We help our friends. We help our sisters. We help our brothers. Not to mention our own family. Even we help strangers. Contributors of Linux and Wikipedia are just a few herculean examples who help strangers. We provide all of that good to others without immediate payments. We are just happy to do good. We know that in the future when in need we will be helped by others.

Dan Ariely has other important points. For example, a small gift keeps us in the world of social norms. However, attaching the cost of the gift invites the market norms to rule in. When the market norms set in, the social norms go away. In this case, the warm and fuzzy relationship turns into a cold and fierce business relationship. You get what you pay. If you decide to treat your customers like family, you have to do it all the time at all circumstances. If you violate the social norms by treating them impersonally because it is more profitable, be prepared to lose them who then complain about your lousy company to their friends.

Of course, we need markets and money. Markets are very efficient. We do not have to bring our duck to find others who have lettuce that we need. We do not have to figure out what part of the duck is at par with the lettuce. What we argue here is that market alone is not enough. "It's the society, stupid," said Peter Drucker!

In Islam, probably in other religions too that I know nothing about, the same principle prevails. Moslems should be players in the market. Key players, if possible. Nevertheless, moslems should balance their life, for example by helping others and paying zakah, infaq, and shodaqoh. Here is a hearth-warming example. During a very difficult time, one companion of the prophet was offered a very high price by a group of speculators for his goods vital for the society. He rejected the offer and said that Allah would pay him far, far higher. Then he gave the goods away.

So, once again... do you believe in market? I do but I also believe we need more than just money and market. Manytimes, in many circumstances, we indeed need to forget and forgo money and market... And enjoy life.

Next: A Monster in Each of Us
Prev: Free, Good or Bad

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed