Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Rabu, 30 Desember 2009

Yang Belum Kebaca

Akhirnya buku ini mulai saya baca juga, di antara tumpukan antrian buku yang mesti dibaca. Di antaranya kebanyakan audiobook dan satu buku yang dipinjamkan Pak Ronald. Bukannya saya nggak baca buku sama sekali sejak menamatkan Predictably Irrational, yang menginspirasi saya menulis beberapa artikel, semisal Expensive yet Effective Placebo. Saya menamatkan beberapa buku terkait manajemen dan sistem keuangan. Salah satunya buku George Soros yang cukup filosofis, The New Paradigm for Financial Markets (baca artikel terkait). Nah, istimewanya buku yang mulai saya baca ini juga filosofis dan – ini yg lebih menarik – berupa buku pinjaman. Dari pengarang yang sama, saya pernah mencoba mengikuti gaya bertuturnya di Fooled by Randomness versi audiobook. Rasanya mual dan pusing. Begitu juga ketika mulai membaca buku yang ini, The Black Swan.

Memang Nassim Nicholas Taleb lebih pantas dikategorikan sebagai novelis sastra. Mungkin ia terinspirasi oleh novelis di bab kedua bukunya, Yevgenia, yang digambarkan sebagai novelis yang “setia, tekun, tahan uji, dan sangat mandiri” padahal sebelumnya dianggap kebanyakan penerbit sebagai “egomaniak tanpa sisi baik sedikit pun, keras kepala, dan sulit diajak berunding.” Hehehe, tentu Pak Taleb tak akan setuju dengan pendapat saya ini, minimal mungkin karena satu hal. Seperti kebanyakan orang, saya ahli dalam mencocok-cocokkan setelah semua fakta tersedia, padahal kenyataan empirik sesungguhnya berbeda. Hal ini yang disebutnya sebagai distorsi retrospektif. Sederhananya, ini seperti seorang yang merasa sudah dipersiapkan oleh ibundanya beberapa tahun lalu sebelum beliau meninggal untuk mengurus perjodohan ayahandanya dengan wanita lain. Tanda-tanda dan pesan-pesan dari ibundanya seolah semuanya cocok setelah pernikahan terjadi, dengan segala lika-likunya.

Distorsi retrospektif yang saya singgung di atas hanyalah satu dari tiga hal yang membuat sejarah – yaitu ingatan dan penjelasan mengenai kejadian-kejadian di masa lalu – menjadi serba kabur. Kabur? Iya, maksudnya sejarah itu justru tidak menjelaskan kenyataan yang sesungguhnya, tapi terasa sangat masuk akal, bahkan cerdas sekali. Satu penyebab lainnya adalah ilusi pemahaman. Bisa jadi, ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari distorsi retrospektif, cuma yang satu ini lebih menekankan kepada rasa PD yang terlalu berlebihan bahwa saya atau kita paham mengenai apa yang sedang terjadi. Padahal pemahaman itu sekedar sebuah ilusi. Lho? Ya iyalah, kenyataan yang sedang terjadi sungguh betul-betul rumit untuk dijejalkan ke dalam pola pikir “sederhana” yang telah terbentuk mengikuti pengelompokan-pengelompokan tertentu. Jadi, menurut Dr Taleb, persepsi yang bercokol di pikiran saya dan kita tidaklah mewakili kenyataan yang sesungguhnya. Ilusi terjadi ketika kita terlalu PD untuk tidak menyadari kelemahan cara kerja pikiran kita, yang oleh Edward de Bono dijelaskan sebagai self-organizing, bisa mengatur dirinya sendiri, berdasarkan pola yang telah terbentuk sebelumnya.

Cobalah cermati dua cerita berikut ini.

Cerita A: Seorang pria baru pulang kerja. Ia segera mandi. Pakaiannya biasa diperiksa oleh istrinya untuk keperluan pencucian keesokan harinya. Selagi ia mandi, istrinya menemukan beberapa hal ganjil. Pertama, ada bekas lipstick di kerah baju. Selanjutnya, di kantong celana sebelah kiri, ditemukan sapu tangan wanita, padahal biasanya sang suami meletakkan sapu tangan di kantong kanan. Sang istri mulai naik pitam. Terakhir ia menemukan sepucuk surat yang dimulai dengan kata-kata mesra. Kontan saja, begitu sang suami keluar dari kamar mandi, terjadi perang bintang di ruangan yang tidak lebih luas dari sebuah garasi.

Cerita B: Seorang pria baru pulang kerja. Ia mengeluarkan sepucuk surat dan memperlihatkan kepada istrinya. Surat dimulai dengan kata-kata mesra, membuat istrinya berbunga-bunga, bahkan tanpa menyelesaikannya sekalipun. ”Ntar, untuk nanti,” kata sang istri. Kemudian, sang suami menyerahkan sepucuk sapu tangan yang langsung dikenali sang istri sebagai miliknya sendiri. Mungkin tadi pagi sang suami nggak sengaja mengambil sapu tangan sang istri gara-gara buru-buru takut ketinggalan kereta. Ah, bekas lipstick itu jadi nggak relevan lagi diceritakan. Sang istri kemudian mengingatkan suaminya agar bangun lebih pagi dan nggak kelamaan mandi, supaya nggak ketinggalan kereta.

Yah, dua cerita di atas belum saya pikirkan seserius-seriusnya, jadinya kurang dramatis deh, tapi mudah-mudahan yang ingin saya sampaikan bisa keterima. Ternyata fakta-fakta yang sama bisa dipahami berbeda, meskipun hanya dengan mengubah urutan datangnya fakta. OK-lah, cerita di atas mungkin bukan cerita yang paling bagus untuk mengilustrasikan betapa kita sering tertipu oleh pemahaman. Namun demikian, saya yakin Anda bisa mengambil contoh dari pengalaman sendiri yang bikin Anda malu karena tertipu oleh ”fakta-fakta” yang Anda dapati. Dan contohnya nggak harus terkait dengan hubungan suami-istri lho, bisa aja istri-suami... eh ngawur, itu sih sama aja. Kalau nggak dapet juga, mungkin Anda perlu membaca buku The Seven Habits of Highly Effective People yang membahas mengenai wanita muda cantik atau nenek sihir yang buruk rupa.

Nah, begitulah dua penyebab kaburnya sejarah. Emang cuma itu? Tidak lah yaw, yang ketiga adalah kecenderungan kita menilai informasi faktual dan para intelektual terlalu berlebihan. Kalau pikiran kita sebelumnya membentuk pola dan menentukan cara berpikir kita selanjutnya, maka para intelektual menciptakan pola-pola yang ”membatasi” cara berpikir masyarakat. Padahal pola-pola yang diciptakan para intelektual melalui pengelompokan masalah ke dalam kategori-kategori tertentu langsung mereduksi kenyataan yang sebenarnya. Apalagi kalau kategorinya nggak bagus. Wah ini mah masalah taksonomi (pastinya kata teman-teman di kantor). Artinya bahwa pengetahuan yang sudah dikembangkan sejauh ini oleh para pemikir dan ilmuwan justru bisa merupakan kelemahan untuk mengetahui hakikat. Wah... emang sulit membaca buku ini! Secara emosional, saya pribadi agak bimbang dengan argumentasi Dr Taleb, tapi sifat skeptis sekaligus spiritual membuat saya menerima kemungkinan kebenaran beliau, dengan filosofinya yang njelimet.

Oya, menurut hemat saya, sebenarnya tiga hal penyebab ”kaburnya sejarah” yang disebutnya sebagai triplet of opacity ini tidak semata-mata negatif. Saya lebih senang menerima bahwa kekuatan pengetahuan manusia, baik yang ilmiah apalagi yang tidak, ada batasnya. Ini sesuai dengan filosofi George Soros, guru, dan kawan-kawannya dengan konsep open society. Manusia tidak pernah mengetahui secara absolut. Selalu terdapat ruang ketidaktahuan. Batas atau wilayah-wilayah yang tidak diketahui itu di dalam buku Dr Taleb disebut lipatan plato atau platonic fold. Di wilayah ini, segala sesuatu menjadi tidak normal padahal sering sekali diabaikan karena nggak sesuai dengan pengetahuan yang tersedia sebelumnya. Di wilayah ini pula, ketidakpastian menjadi begitu tinggi. Manusia yang takut akan ketidakpastian dan takut akan hal yang tidak diketahui, alih-alih mendekati wilayah ini dengan rasa ingin tahu, langsung saja mengabaikannya karena bikin nggak nyaman dan lebih parah lagi tidak mempersiapkan diri sama sekali untuk menghadapinya jikalau suatu saat ia harus berhadapan dengannya. Wilayah itu di luar comfort zone pengetahuan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas!

Walaupun kedengaran angkuh, Dr Taleb hanya ingin membuat kita sadar bahwa pengetahuan memiliki sisi negatif. Pengetahuan tentu sudah begitu banyak berjasa membawa peradaban manusia ke keadaan mutakhir saat ini. Dia hanya ingin kita semua sadar bahwa wallahu a’lam, sebagaimana perkataan Mikhail supir pribadi kakeknya di akhir jawabannya tiap kali ditanya mengenai suatu persoalan. Kesadaran itu memungkinkan kita siap sedia menghadapi lompatan sejarah. Suatu kejadian aneh yang tiba-tiba mengubah segalanya yang terasa begitu normal menjadi berbeda sama sekali. Seperti kondisi negeri yang disebut Lebanon yang pada masa kanak-kanak Dr Taleb begitu saja dilanda perang setelah berabad-abad warganya yang sangat heterogen hidup damai dan tenteram. Seperti kondisi ketika jazirah arab tiba-tiba memimpin dunia dalam tempo singkat sekali setelah Muhammad bin Abdullah mengajak sahabat-sahabatnya beriman bahwasanya tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusannya. Seperti kondisi yang dialami novelis Yevgenia setelah meng-upload karya-karya anehnya ke internet dan tiba-tiba ia berubah menjadi ikon novelis baru. SEPERTI KONDISI HADIRNYA ANGSA HITAM, BLACK SWAN.

Siapkah kita menghadapi fenomena black swan? Peristiwa yang lain dari yang lain, tetapi memiliki dampak yang sangat besar dan seolah-olah wajar saja setelah kejadian. Dengan kesadaran dan kerendahan hati bahwa pengetahuan kita bukan segalanya, boleh jadi kita siap. Dengan memperhatikan wilayah-wilayah yang tidak diketahui dan tidak dapat diprediksi, kemungkinan besar kita siap menghadapi risikonya yang teramat besar. Seperti seorang software engineer yang memerintahkan stafnya untuk menguji software di ”pojok-pojok ruangan” tempat bersemayam para kotoran atau bugs. Dengan mementingkan buku-buku yang belum kebaca, kita insya Allah siap menghindar dari triplet of opacity, terutama ilusi pengetahuan. Dengan kalimat Allah Mahatahu, besar kesempatan kita untuk dapat bersiap-siap memasuki wilayah extremistan, kecuali kita menjadi angkuh setelah rendah hati karena tidak tahan dengan keangkuhan filsafat seorang Nassim Nicholas Taleb.

* Setelah membaca artikel ini, ada baiknya jika berkenan, Anda baca sendiri buku The Black Swan agar Anda tidak kehilangan rincian kisah hidup seorang Nassim Nicholas Taleb di bab-bab awalnya yang menurut saya sangat berkesan. Satu lagi alasan Anda harus baca sendiri bukunya... agar Anda dapat mengidentifikasi konsep asli Dr Taleb dari kata-kata yang saya tambahkan sendiri dan dari kata-kata yang saya tidak suka masukkan di sini.

Diadaptasi dari The Black Swan: Prolog, Bab 1: Magang bagi Orang Skeptik yang Empirik (The Apprenticeship of Empirical Sceptic), Bab 2: Black Swan bagi Yevgenia (Yevgenia’s Black Swan), Bab 3: Spekulator dan Pelacur (The Speculator and The Prostitute)


Baca artikel terkait berikutnya: Hebatnya Pikiran

Selengkapnya.....

Senin, 21 Desember 2009

Lupa

Lupa artinya tidak ingat. Tidak ingat apa? Bisa saja tidak ingat masa lalu. Ya iyalah, masa tidak ingat masa depan? Masa depan kan belum terjadi? Betul, tapi ada sesuatu tentang masa depan yang bisa kita ingat-ingat atau lupakan, misalnya rencana dan ramalan. Baik rencana maupun ramalan sama-sama berorientasi ke masa depan. Bagaimanapun orientasinya, tetap saja rencana dan ramalan terjadi di masa lalu. Waduh, koq mbulet gini?

Misalnya gambaran mengenai kiamat. Kiamat terjadi di masa depan, tapi gambarannya sudah disampaikan di masa lalu, lewat berita dari para nabi. Atau bisa juga diramalkan oleh teori 'ilmiah' yang artinya jauh dari akurasi kepastian. Ilmu fisika, misalnya, menerangkan dunia ini terus menerus mengembang, seperti balon yang ditiup. Ilmu fisika juga menerangkan bahwa dari sebelah atas kita senantiasa diserang oleh benda-benda angkasa yang menabrak bumi, sementara dari sebelah bawah kita diancam pergerakan lempeng bumi dan dahsyatnya magma.

Berita atau teori mengenai masa depan itu bisa saja tidak kita yakini. Bisa juga kita yakini. Bisa juga kita yakini sebagiannya. Bisa juga ragu-ragu. Kalau lagi nggak ada masalah, seolah ancaman kiamat tidak kita anggap sama sekali. Sebaliknya, kalau disingkapkan sedikit bencana ke depan muka kita, hati tiba-tiba berteriak... jangan-jangan... Ya begitulah manusia tempatnya lupa. Kalau seseorang nggak ada lupanya mungkin dia bukan jenis manusia, tapi sejenis mesin pencatat atau entahlah.

Wah, emangnya lupa melulu bersifat jahat? Coba bayangkan kalau kita tidak bisa melupakan mimpi buruk atau suatu pengalaman buruk. Untung, untung, untung kita bisa melupakan banyak hal, karena kalau tidak demikian, perasaan kita jadi selalu campur aduk berbentuk spektrum, mulai dari sedih banget, marah banget, bete, sampai rasa gembira luar biasa dan berani menjurus nekad. Semuanya campur aduk dalam satu saat. Alhamdulillah, perasaan kita tidak seperti itu, pastinya karena banyak lupa, sehingga pengendalian diri tidak luar biasa sulit.

Nah, di titik ini kita menyadari manfaat lupa. Kita bahkan ternyata dapat mengendalikan sampai tingkat tertentu (pasti ga semuanya) mana yang mau kita ingat dan mana yang kita mau lupakan. Proses belajar, merenung, mendengar, membaca, menulis, menerangkan, dan melakukan adalah sarana-sarana untuk menguatkan ingatan dalam memori kita. Sementara proses mengabaikan dengan berbagai variasinya adalah sarana untuk melupakan.

Dengan kenyataan bahwa kita punya ruang untuk melupakan dan tidak melupakan sesuatu, masalah sebenarnya adalah apa sih yang mesti diingat terus dan apa yang wajib dilupakan. Tanpa kesadaran ini, kita akan melupakan apa yang pihak lain ingin kita melupakannya, dan kita akan mengingat hal-hal yang disodori pihak lain. Lha, kalau banyak pihak ingin merencanakan atau mengagendakan sesuatu untuk kita, mana yang akan kita ikuti. Secara tak sadar, kita akan mengikuti pihak yang paling lihay memasarkan sesuatu.

Celakalah kita! Pihak yang paling lihay merencanakan hidup kita belum tentu di pihak yang benar. Untuk menghadapinya, kita harus tahu: mana yang diingat-ingat dan mana yang dilupakan aja. Untuk menghemat kata-kata, saya langsung ke kalimat suci syahadah, sesuai keyakinan saya: tiada tuhan selain Allah. Bagi saya, inilah puncaknya. Yang mesti diingat pertama kali adalah Dia. Selanjutnya, yang harus diingat adalah apa-apa yang Allah ingin kita mengingat-ingatnya. Sebaliknya, kita wajib melupakan apa yang Allah ingin kita melupakannya. Ajakan setan adalah contohnya, betapapun menarik dia.

Untuk ilustrasi sederhana, dalam kehidupan sehari-hari, lupa anak, istri, dan orangtua terkadang menjadi suatu yang utama. Lho koq bisa? Ya bisa aja jikalau anak dan istri atau orangtua justru menghalangi kita dari Allah. Masih ingat kisah hidup Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim kan? Cuma, normalnya lupa anak dan istri apalagi orangtua adalah suatu yang dibenci Allah. Dalam Islam dan kayaknya budaya manapun, anak dan istri serta orangtua juga saudara kandung adalah pihak terdekat kita.

Untuk panduan secara umum, lihatlah contoh-contoh akhlak yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Secara khusus, lihatlah hukum waris. Lihat juga hukum perwalian dalam nikah. Nah, jika demikian, masihkah kita bingung menentukan untuk melupakan sesuatu atau mengingat-ingat suatu yang lain? Mudah-mudahan nggak, sehingga kita bisa menyikapi hal-hal berikut ini dengan benar.

Lupa diri (nggak nyadar)
Lupa ingatan (amnesia)
Lupa-lupa ingat (kayak lagu aja)
Lupa daratan (mabok laut)
Lupa anak-istri (madu tiga)
Lupa janji (awas!)
Lupa kalau lupa (gawat)
Lupa Allah (naudzubilLah)

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed