Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Minggu, 07 November 2010

Hebatnya Pikiran

Pernah nggak kita sekilas melihat teman kita di balik tikungan? Baru hidungnya yang kelihatan, kita udah tahu itu si fulan. Kemampuan ini sangat canggih, sampai-sampai komputer paling canggih yang memiliki kemampuan image processing paling canggih di dunia iri sekali.

Kemampuan mengenali pola katanya berada di bagian kiri otak kita. Saya sendiri tidak terlalu peduli dengan kategori otak kiri, otak kanan, bahkan belakangan ini otak tengah. Yang jelas manusia, alhamdulillah, diberi karunia yang luarbiasa. Kalau nggak seperti itu, mungkin pas kita berpapasan dengan anak atau istri kita, kita butuh beberapa menit atau malah satu jam lebih untuk mengenalinya. Hehehe, dengan kondisi seperti itu, umur kita yang rata-rata di sekitar 60 tahun nggak akan cukup untuk menambah nilai dan memberi manfaat bagi sesama karena sibuk mengenali penampakan.


Saking efisiennya cara kerja pikiran kita, bukan perkara yang sulit bagi kita untuk membedakan berbagai spesies binatang dan tumbuhan. Untuk kita orang awam, mungkin sudah cukup mengenali perbedaan kucing dan jaguar, ulat dan ular, kadal dan komodo, lalat dan lebah, dan seterusnya. Untuk para ahli, tingkatnya sampai membedakan hal yang sangat detil, misalnya perbedaan dalam bentuk taringnya atau cara bertelurnya atau bunyi khasnya, hehehe.

Kemampuan pengenalan pola tidak hanya terbatas pada perkara fisik saja, tapi juga kita gunakan untuk perkara-perkara yang lebih abstrak dan tidak fisik sifatnya. Misalnya waktu tes psikologi, kita disuruh menebak angka apa yang muncul berikutnya setelah kita diberikan sederet angka. Bukan cuma angka, malah ada juga tes pola gambar tertentu, misalnya setelah garis, segi tiga, dan segi empat, kita diminta menebak yang berikutnya. Ada juga pola kata-kata, apakah itu analogi, lawan kata, ataupun sinonim. Nah, kemampuan mengenali dan memahami ini kemudian dijadikan salah satu indikator tingkat kecerdasan seseorang.

Melanjutkan contoh-contoh di atas, tanggapan kita kepada fenomena alam juga sangat didukung oleh kemampuan kita dalam mengenali pola berdasarkan pengalaman. Kalau mendung di langit Jakarta sudah berat banget, ditambah angin yang bertiup tak henti-henti, pertanda banjir... eh salah... genangan air akan menyebabkan macet di mana-mana. Contoh lain? Status Merapi dari waspada, siaga, menjadi awas, dan kemudian diikuti perluasan area berbahaya juga sepenuhnya perkara pengenalan pola yang membuat antisipasi bencana menjadi lebih baik, walaupun ada sebagian kalangan yang mengikuti kategori bahaya dari juru kunci, bukan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana.


Jika kita terus menambah cakupan dan kompleksitas masalah, misalnya yang berhubungan dengan interaksi sosial, otak kita tetap saja bekerja dengan efisien. Sampai-sampai kita dapat segera mengenali aliran atau mazhab seseorang dari cara bicaranya, atau cara shalatnya, atau posting-posting yang dikirimnya ke milis, atau bahkan komentarnya terhadap posting tertentu. Di tim kami, kalau ada dokumen penting yang tidak berada di tempat yang seharusnya, perhatian langsung mengarah kepada sosok yang sudah dicap suka, lebih tepatnya pernah, meminjam arsip tanpa mengembalikan, padahal belum tentu beliau yang salah, hehehe (maaf Mas, cuma buat ilustrasi).

Satu ilustrasi lagi mari kita ambil dari tanah Paman Sam. Di Amerika, opini atau tulisan yang berpihak ke Republik dan yang ke Demokrat cukup mudah dibedakan. Yang agak sulit dibedakan mungkin sikap moderat yang ngambang di tengah. Porsi kelompok moderat yang bisa swing ke Demokrat maupun Republik menurut laporan justru lebih besar daripada porsi orang Amerika yang secara definitif mencap diri sendiri sebagai konservatif (cenderung ke Republik) maupun liberal (cenderung ke Demokrat), tapi publik hanya tahu dua partai saja (memang ada yang lain, tapi sungguh tidak signifikan – Y Pan).

Menurut pemahaman saya, liberal lebih ke kiri (lebih sosialis) dalam ideologi, sedangkan konservatif lebih ke kanan (sangat ekstrem pro pasar dalam kebijakan ekonomi yang kurang percaya pada redistribusi kekayaan melalui pajak). Saya mengira publik Amerika sudah muak dengan ideologi ultra liberal dalam ekonomi yang sangat menguntungkan orang-orang yang super kaya yang jumlahnya di bawah 1%, seperti ditunjukkan Bush dalam dua periode kepemimpinannya. Saya kaget ternyata hanya butuh dua tahun, di pemilu sela 2010, partai Presiden Obama mengalami kekalahan telak di DPR (House), walaupun masih mendominasi DPD (Senat). Rupanya ada yang keliru! Kenyataan terlalu rumit untuk dijelaskan dengan teori atau cerita sederhana.

Dari sedikit contoh di sini, kita sudah dapat melihat bahwa pengenalan pola yang kita lakukan bisa salah. Lebih parah lagi, dalam kasus tertentu, sikap yang kaku menambah faktor risiko. Akibatnya bisa fatal, seperti kesalahan dalam menanggapi bahaya Gunung Merapi. Akibat lain, misalnya, seseorang atau suatu kaum kita perlakukan tidak adil, karena kebencian yang sangat dan karena cap yang sudah kita berikan secara serampangan.

Menurut Nassim Nicholas Taleb, kesalahan seperti ini disebut kesalahan naratif (lihat juga artikel sebelumnya Yang Belum Kebaca). Saya sih lebih senang menamakannya kesalahan dalam berteori. Ini disebabkan kita kurang peka membedakan proses memahami dengan proses menjelaskan. Sekali kita berteori atau membangun cerita yang masuk akal, seketika itu pula pemahaman kita bias mengikuti kecenderungan kita dalam membuat penjelasan.

Baru-baru ini di koran saya menemukan satu contoh cara belajar induktif yang menggelikan dari Bang Foke. Beliau menyatakan fenomena curah hujan akhir-akhir ini tidak dapat diprediksi, karena tahun lalu rata-rata curah hujan bulan-bulan ini di Jakarta 0... ya NOL mm. Hihihi, sebelum mengambil kesimpulan itu, baiknya Bang Foke menambah dulu sampelnya, dengan data sepuluh tahun kek atau malah data curah hujan seabad ke belakang. Kalau perlu, beliau dapat menambahkan faktor atau dimensi lain, misalnya apakah ada badai tropis.

Memang prediksi tetap tidak dapat sepenuhnya akurat walau dengan variabel dan sampel yang lebih banyak, tapi penjelasan Bang Foke kesannya terlalu lugu. Kayaknya Dr Nassim Taleb harus datang sendiri ke Jakarta untuk meluruskan pola berpikir beliau. Kita berharap beliau suatu saat tidak lagi berkata bahwa tidak ada tuh angsa hitam karena tahun lalu sama sekali tidak ada.

Pertanyaannya adalah mengapa Bang Foke dan kita semua, termasuk saya, gampang sekali terjebak dalam kesalahan berpikir seperti ini. Seperti disinggung di atas, otak kita secara biologis membutuhkan pola untuk mengingat lebih banyak informasi. Artinya pikiran kita senang mendapatkan suatu yang terpola. Di sini jebakannya. Alih-alih mendapatkan pola dari kenyataan yang sebenarnya, pikiran kita sering tertipu oleh sesuatu yang seolah terpola, padahal tidak. Nah, cerita atau teori terhadap bias berpikir seperti bensin terhadap api.

Dalam salah satu bagian bukunya, Dr Taleb mengutip novelis E. M. Forster perihal kisah wafatnya Raja dan Ratu. Coba telaah dua narasi berikut. Pertama: Raja wafat dan Ratu pun wafat. Kedua: Raja wafat, dan belakangan Ratu meninggal karena berduka. Pikiran kita cenderung lebih tertarik dengan yang kedua, karena ia “lebih bercerita” dari yang pertama. Ia mengandung pola sebab akibat.

Masalah dengan narasi kedua adalah walaupun narasinya mengandung lebih banyak kata-kata (informasi), sesungguhnya narasi ini telah tereduksi. Seolah-olah Ratu memang wafat karena berduka, padahal bisa saja ada faktor atau dimensi lain. Sama seperti Bang Foke, seolah-olah curah hujan hanya ditentukan curah hujan tahun lalu di bulan-bulan yang sama. Malangnya, karena ceritanya lebih mudah dijejalkan ke otak kita, penjelasan yang bias seperti ini justru mudah dijual. Wartawan yang katanya sangat kritis pun ikut menjual alasan Bang Foke atas ketidaksiapannya mengantisipasi banjir.

Masak sih Bang Foke demikian lugunya? Begitu mungkin Anda membelanya. Kan dia itu doktor dan penyandang titel kesarjanaan lainnya? Ya begitulah. Bahkan profesor internasional yang ditemui Dr Taleb pada suatu konferensi estetika di Roma tahun 2004 dengan mudah terjebak oleh kesalahan naratif ini. Ketika itu, sang profesor memuji-muji wawasan Dr Taleb tentang ketidakpastian. Seketika kemudian sang profesor menunjukkan sebab mengapa Dr Taleb dapat berwawasan seperti itu: karena ia dibesarkan di Timur Tengah yang ortodoks dibandingkan komunitas Protestan yang mengajarkan sebab-akibat antara usaha dan ganjaran.

Hehehe, banyak contoh yang dituliskan Dr Taleb dalam bukunya The Black Swan mengenai kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh banyak orang terdidik, termasuk ahli statistik yang sama sekali melupakan prinsip-prinsip statistik ketika berhadapan dengan persoalan sehari-hari. Jadi Bang Foke nggak perlu malu.

Bukan cuma Bang Foke. Wartawan juga nggak perlu malu. Dr Taleb mengungkap Bloomberg News suatu hari di bulan Desember 2003 mengaitkan naiknya US Treasuries dengan sebab tertangkapnya Saddam Hussein. Suatu yang sensasional! Setengah jam kemudian Bloomberg News mengaitkan turunnya US Treasuries dengan musabab tertangkapnya Saddam. Koq bisa? Begitulah manusia, bahkan yang mengaku ahli. Kita bisa membuat kesalahan yang lebih parah.

Mengapa otak kita menyukai narasi walaupun bias? Ketika kita sudah menyusun teori atau narasi – dan itu secara biologis cenderung kita lakukan bahkan tanpa sadar – kita kemudian dapat mengingat lebih jelas fakta-fakta yang cocok dengan narasi itu sembari melupakan sama sekali fakta lain yang tidak cocok. Ini memberi kita keyakinan yang bikin nyaman! Sayangnya keyakinan itu kadang keliru. Untuk menghindari jebakan kesalahan naratif ini, dalam proses berpikir kognitif, kita wajib waspada terhadap intuisi yang sering tanpa sadar kita gunakan, terutama ketika masalahnya di wilayah Extremistan.

Intuisi memang sangat efisien, cepat, dan kadang sensasional (baca juga salah satu buku favorit saya, Blink oleh Malcolm Gladwell, dan saya suka menggunakan intuisi – Y Pan), seperti ketika melihat hidung si fulan di balik tikungan. Seperti juga ketika seorang polisi terlibat dalam situasi tembak menembak yang kritis dengan penjahat yang membuatnya hanya melihat obyek penjahat saja dan “buta” dari yang lainnya. Seperti ketika kita langsung ingat bahwa Ratu wafat karena berduka.

Nah, lain kali ketika hendak menyimpulkan sesuatu, jangan mudah terjebak dengan narasi. Ketika hendak mengatakan semua kekacauan ini disebabkan oleh Inggris, introspeksi dulu. Ketika hendak mencap seseorang sebagai penganut aliran tertentu dan kemudian hendak mencap aliran tertentu itu sangat berbahaya, coba ambil wudlu, duduk, dan berhenti mengambil kesimpulan!

* Setelah membaca artikel ini, ada baiknya jika berkenan, Anda baca sendiri buku The Black Swan agar Anda dapat mengidentifikasi konsep asli Dr Taleb dari kata-kata yang saya tambahkan sendiri dan dari kata-kata yang saya tidak suka masukkan di sini.

Diinspirasi oleh The Black Swan: Bab 4: Seribu Satu Hari, atau Bagaimana Supaya Tidak Mudah Tertipu (One Thousand and One Days, or How Not to Be a Sucker), Bab 5: Konfirmasi Informasi (Confirmation Shmonfirmation!), Bab 6: Kesalahan Naratif (The Narrative Fallacy)


Baca artikel terkait sebelumnya: Yang Belum Kebaca

Tidak ada komentar:

addthis

Live Traffic Feed