Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Jumat, 04 September 2009

KD dan AA'

Kemarin kita menyaksikan fenomena alam yang cukup menegangkan. Ketika dua lempeng bumi beradu di kedalaman bumi, goncangannya beberapa saat terasa di permukaan. Kita yang mengalaminya, terutama yang sedang berada di struktur rentan gempa seperti gedung-gedung tinggi, berlarian bak anai-anai panik berusaha menyelamatkan diri. Memang ada kejadian alam yang lebih mengerikan, tapi gempa kemarin itu sudah cukup membuat kita pucat pasi. Sendirinya begitu, saya kemudian menelepon ke rumah di kawasan Serpong dan mendengarkan kecemasan yang sama saat-saat goncangan. Bisa sangat tragis, seperti gempa besar di San Francisco dan tsunami di Aceh, kejadian alam kemarin sepertinya masih jauh lebih kecil ukurannya dalam Skala Richter dibandingkan gempa sosial dalam keluarga KD dan Anang.

Lho, koq? Iya lah, dibandingkan liputan gempa yang berpusat di Tasik, liputan peristiwa tragis dalam keluarga KD dan Anang dijamin lebih banyak. Memang problem keluarga itu sebelumnya pernah terdengar di permukaan publik, namun dasar saya jarang mengikuti berita selibritis, saya nggak pernah serius mengikutinya. Sampai Selasa pagi yang lalu. Beberapa koran dan tabloid yang dijajakan di Stasiun Rawabuntu menebar headline kata CERAI dengan huruf-huruf besar dan warna merah mencolok. Layar TV dan ruang dengar kita pun dijejali beribu kata CERAI yang dikelilingi kata-kata bernuansa ketidaksetiaan di sana sini. Oh, memang kebanyakan (atau semua – mungkin lebih tepatnya) kita nggak pernah tahu kejadian yang sebenarnya. Untuk mendapatkan ”kebenaran” yang dapat diterima, kita masih perlu waktu. Kebenaran sejati hanya dapat diketahui di Hari Pembalasan tentunya.

Melayangkan ingatan ke paras mukanya yang hampir selalu senyum di layar kaca, saya terenyuh menghadapi kenyataan mengenai Aa’ Gym dan gempa sosial yang menimpa keluarganya, yang hingga sekarang masih terasa goncangannya di masyarakat luas. Terus terang saya termasuk penggemar beliau. Ketika ia berusaha keras menjelaskan what’s going on with his family, saya nggak terlalu ambil pusing juga. Mungkin banyak ibu-ibu penggemar beliau pernah terlanjur memendam persepsi kalau ia tidak akan melakukan poligami berdasarkan ceramah-ceramah sebelumnya. Bagi saya, selama yang dilakukannya tidak bertentangan dengan hukum agama dan negara, pendapat umum OK-lah dianggap sebagai feedback. Sayang, seribu kali! Ia mesti berhadapan langsung dengan hukuman sosial yang level dan intensitasnya mungkin kurang layak. Sampai-sampai seluruh stasiun TV melakukan boikot terhadapnya, dengan atau tanpa instruksi.

Nah, kalau kita bandingkan tiga peristiwa ini, apa sih pelajaran yang bisa kita petik. Pertama, kayaknya gempa sosial bisa lebih dahsyat efeknya dibandingkan gempa bumi. Korban gempa sosial, walaupun nggak langsung berdarah-darah, bisa lebih banyak. Pelan-pelan tapi serius. Dalam jangka panjang, mungkin bisa juga berdarah-darah. Untuk kasus tertentu sampai ke perang saudara. Kembali ke tiga kasus tadi, minimal para pedagang yang biasa mangkal di DT terpaksa beroperasi di tempat lain, dengan penjualan yang seret. Betapa banyak pegawai yang mencangkul di lingkaran DT terpaksa diistirahatkan? Memang... di setiap kesulitan ada kemudahan. Misalnya, ketika tsunami kecil terjadi di Situ Gintung, banyak pihak justru kegiatan ekonominya berputar lebih kenceng. Contoh lain, lengsernya Aa’ dari layar kaca memberi kesempatan kepada da’i-da’i baru untuk muncul. Lainnya, perang di Iraq dan Afghanistan memberikan demikian banyak lapangan kerja di negeri Paman Sam. Dst.

Terus apa lagi pelajarannya? Ini ni yang mungkin lebih menarik... Hukuman sosial tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat kesalahannnya. Kalau Aa’ Gym melakukan poligami, ”dihukum berat” oleh masyarakat, akankah kita mendapati KD ”dihukum lebih berat” oleh masyarakat karena adanya pria lain ketika Anang masih menjadi suaminya yang sah? Misalnya, akankah kita melihat boikot dilakukan oleh media masa, elektronik maupun cetak, terhadapnya? Akankah seseorang di atas sana mengistruksikan media untuk melakukan boikot? Akankah para EO menghindari KD? Akankah ...? Masih banyak lagi deh deretan pertanyaannya. Bisa-bisa kalau diteruskan, sampe kelupaan gempa Tasik sudah makan korban nyawa lima puluhan!

5 komentar:

Menatap Matahari Senja mengatakan...

Menurut "hukum pantulan", apa yang terjadi pada ke dua orang tersebut adalah realisasi dari apa yang mereka pendam dalam hati dengan sekuat tenaga. Toh akhirnya terjadi juga. Inallaha 'aliimun bizaati shshudur, dan mengabulkan.

Iin mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
iin mengatakan...

akankah? akan sepertinya pak, klo KD berprofesi sbg ustadzah :)

Anonim mengatakan...

sedih juga ya,jika melihat anak-anak yang harus berpisah/ dipisahkan baik ayh ataupun ibu kandungnya,kita juga tidak boleh memberikan komentar kalau kita sendiri tidak fahami bagaimana sih rasanya menjadi KD, menurut kaca mata awam saya memang sulit juga menjadi seorang ibu yang baik bagi anak-anak , sejak kita bersedia menjadi seorang istri itu ,seharusnya ya kita harus siap melepaskan segala tetek bengek yang sering menjadi kesenangan ketika masih hidup sendiri, yang pasti seorang ibu seharusnya rela berkorban,apapun yang terjadi setelah perkawinan kalau bisa kita harus perjuangkan keutuhannya,jangan sampailah anak-anak menjadi korban keegoisan kita sebagai orangta, kasihan tuh anak-anak mereka ,pasti kalau sudah dewasa mereka akan merasa trauma .Duh...bukannya mereka lahir ke dunia ini bukan kemauannya sendiri ,kalau hanya akan kecewa akibat perbuatan orang tua yang kurang kuat menjaga keharmonisan rumah tangga mereka,mudah-mudahan peristiwa seperti ini jangan dicontoh,kasihan anak-anak bangsa kita hidupnya menjadi ga menentu ,akibat perbuatan orang tua mereka yang mengejar kesenangan pribadi tanpa memperdulikan bagaimana perasaan anak-anak yang terkhianati seperti itu,keibu tidak ada figur ayah kandung,begitu juga sebaliknya,,,,,,dan saya berharap bagi kaum ibu ,supaya menjaga hatinya ga boleh tengok kanan kiri deh ,kalau sudah punya putra-putri kesempatan buat kita hanya mengejar kebikan sajalah ,karena hanya pada kaum perempuanlah Allah SWT pinjamkan Cinta,kasih sayang....yang maksudnya agar dapat menjaga dan melesttarikannya sampai kapan-kapan. Subhahanalloh.

Anonim mengatakan...

sedih juga ya,jika melihat anak-anak yang harus berpisah/ dipisahkan baik ayh ataupun ibu kandungnya,kita juga tidak boleh memberikan komentar kalau kita sendiri tidak fahami bagaimana sih rasanya menjadi KD, menurut kaca mata awam saya memang sulit juga menjadi seorang ibu yang baik bagi anak-anak , sejak kita bersedia menjadi seorang istri itu ,seharusnya ya kita harus siap melepaskan segala tetek bengek yang sering menjadi kesenangan ketika masih hidup sendiri, yang pasti seorang ibu seharusnya rela berkorban,apapun yang terjadi setelah perkawinan kalau bisa kita harus perjuangkan keutuhannya,jangan sampailah anak-anak menjadi korban keegoisan kita sebagai orangta, kasihan tuh anak-anak mereka ,pasti kalau sudah dewasa mereka akan merasa trauma .Duh...bukannya mereka lahir ke dunia ini bukan kemauannya sendiri ,kalau hanya akan kecewa akibat perbuatan orang tua yang kurang kuat menjaga keharmonisan rumah tangga mereka,mudah-mudahan peristiwa seperti ini jangan dicontoh,kasihan anak-anak bangsa kita hidupnya menjadi ga menentu ,akibat perbuatan orang tua mereka yang mengejar kesenangan pribadi tanpa memperdulikan bagaimana perasaan anak-anak yang terkhianati seperti itu,keibu tidak ada figur ayah kandung,begitu juga sebaliknya,,,,,,dan saya berharap bagi kaum ibu ,supaya menjaga hatinya ga boleh tengok kanan kiri deh ,kalau sudah punya putra-putri kesempatan buat kita hanya mengejar kebikan sajalah ,karena hanya pada kaum perempuanlah Allah SWT pinjamkan Cinta,kasih sayang....yang maksudnya agar dapat menjaga dan melesttarikannya sampai kapan-kapan. Subhahanalloh.

addthis

Live Traffic Feed