Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Jumat, 17 September 2010

Seputar Ramadhan

Seorang teman berjalan di koridor kantor menuju masjid. Saya baru kembali dari masjid menuju kantor. Sedikit menggoda, saya bilang, "Wah ketinggalan nih." Setelah kasih alasan, dia balik menggoda, "Lho, koq nggak dengerin ceramah dzuhur?"

Sekenanya saya jawab kurang lebih, "Ibadah ramadhan bukan hanya denger ceramah."

"Kalau gitu, apa artinya Ramadhan syahrut tarbiyah (bulan pendidikan)?"

Masih agak bercanda, saya jawab, "Artinya bulan latihan. Bukan hanya sekedar mengumpulkan materi. Ntar jadi materialistis."

"Oh..."

Hehehe, dialog di atas memang terkesan nggak serius, tapi sebenarnya materinya cukup berat dan cukup berdasar juga. Beberapa hari sebelumnya, saya mendapat email perihal ceramah tarawih. Menurut seorang ulama dari Saudi, ceramah tarawih memiliki sisi negatif. Pertama, bisa terkena hukum bid'ah, jika pengurus masjid merasa kurang afdhol tanpa ceramah tarawih. Kedua, ceramah tsb membuat sebagian jamaah pulang lebih awal, tanpa ikut shalat witir, karena alasan ceramahnya bikin lama. Hal ini membuat sebagian orang tersebut tidak mendapat ganjaran penuh dari Allah, sebagaimana seorang yang shalat semalam suntuk.

Ah, isi email itu punya poin juga, tapi saya ngerti banget sikap para pengurus masjid dan mubaligh. Ramadhan dijadikan momentum super sebagai upaya menyebar pencerahan bagi jamaah. Yah, selama niatnya bener, mudah-mudahan Allah memaafkan dan mengampuni kita semua dengan segala sisi ketidaksempurnaan.

Nada yang kurang lebih sama saya dapati ketika mengikuti kuliah subuh dengan materi fikh i'tikaf. Menurut sang ustadz, kegiatan i'tikaf kita kebanyakan dilakukan secara kolektif. Itu kurang sesuai sebetulnya dengan makna i'tikaf itu sendiri, yaitu ketika kita mengkhususkan diri berduaan dengan Allah saja. Lagi-lagi saya paham mengapa pengurus masjid tetap menggelar shalat malam berjamaah pada malam-malam i'tikaf. Saya juga paham ketika ada peserta i'tikaf membaca Al-Qur'an dengan suara keras atau ada yang berdiskusi materi tertentu.

Saat-saat itu, antara jam satu hingga jam empat dini hari menurut saya duduk atau berdiri-ruku-sujud dalam sunyi lebih utama. Kalaupun ada bacaan dan doa yang kita lafadzkan, cukuplah telinga kita sendiri yang mendengar. Kenyataannya aktivitas di malam-malam i'tikaf itu sering tidak sesunyi yang saya rindukan. Nggak apalah.

Segala aktivitas kolektif itu bagian dari syiar dan pembiasaan. Bagaimanapun, alangkah indahnya ketika tiap muslim punya kapasitas yang memadai untuk melaksanakan latihan-latihan di bulan Ramadhan, termasuk i'tikaf, secara individual ketika memang seharusnya lebih tepat untuk dilakukan sendiri-sendiri. Sebagai suatu proses, lagi-lagi kita mesti berusaha saling memahami segala keterbatasan. Dan kepada Allah jua kita memohon ampun.

Nah, ngomong-ngomong mengenai realitas yang kurang ideal, saya jadi teringat ungkapan bahwa keindahan Islam tertutup oleh kaum muslimin itu sendiri, tentunya termasuk saya, yang bertanggung jawab membuat non-muslim sering salah paham terhadap Islam. Ah, ini cerita lain. Mungkin setelah kembali dari Solo, saya insya Allah akan menulis mengenainya.

Peace!

2 komentar:

Kiki mengatakan...

Terima kasih atas sharing-nya Pak.
Sebagian kita ada yang menjalankan agama via pemahaman, ada pula yang penting (toh) dijalankan. Mungkin yg disebut terakhir itu masih lebih baik daripada memahami tapi tidak menjalankan.

Karena Bapak tadi menulis dan saya penasaran kelanjutannya hingga lalu membaca tentang ceramah, maka tolong jangan salahkan kalo kami mendadak ingin numpang ngetop sedikit di blog Bapak.

Di kampung kami, tarawih dilakukan hampir tanpa ceramah. Baik untuk yang nantinya lebaran di masjid atau di lapangan. Sama saja. Ke area tengah sedikit, bisa pilih tarawih 23 rakaat yang lebih cepat selesai dari 11 rakaat. Macam SKJ, tentunya tidak disarankan bagi yang terbiasa langsung berbuka dgn makanan berat, tapi sangat dianjurkan untuk ibu beranak banyak (agar memberi ruang lebih besar untuk berkiprah di rumah spt menemani anak belajar atau memasak untuk sahur).

Di kampung kami, saat sahur dan buka, suara hanyalah milik kemrosok pengeras suara mushalla dan masjid memperebutkan telinga. Biasanya mushalla mulai duluan, tapi ia lalu dilibas di tikungan. Mesjid menang. Tapi pemenang utama tetap kami, karena mendapat kehormatan hanya untuk fokus pada makan dan minum semata. Jadi teringat tulisan Pidi Baiq “ya Allah janganlah engkau menyangka aku tidak tahu bahwa sesungguhnya Engkau adalah Tuhan Yang Maha Mendengar, di sebabkan oleh aku memuji-mujiMu dengan menggunakan pengeras suara (Al-Asbun, 13: 22).

Bahkan saat sahur kami dihibur dengan countdown yang semakin bertalu hingga menuju tiba waktu imsak. Sementara di kampung tengah, suasana lebih sepi, hening. Meski, kelamaan bercokol di kampung tengah menimbulkan kangen juga…kepada deg-degan countdown. Mungkin keluarga kami memang senang ada sedikit suspense di pagi hari.

Menuju Jakarta, sambil ngelangut memandangi beragam plat nomer di depan mata, kami tersadar bahwa menjalankan dan memahami agama saja rasanya sih belum cukup. Kesediaan memahami dan menerima perbedaan dalam agama itu sendiri menjadi syarat perlu. Bahkan memahami dan bertoleransi diluar agama sendiri (barangkali) menjadi syarat cukup.

Terlepas dari itu semua, tampaknya mewujudnya mimpi suatu saat tiba Ramadhan dan Lebaran yang tidak inflatoir agaknya akan kondusif menciptakan agama ini agama yang “ramah” lingkungan. Itung-itung bagian dari hakikat rahmatan lil alamin (apakah begitu, pak?). “Kejutan-kejutan begitu, kebiasaan orang kaya, orang macam kita ni? Saban hari terkejut. Datanglah ke pasar kalau Pak Cik tak percaya (Andrea Hirata, Padang Bulan).

Mohon maaf kalo ada ketikan yang kurang berkenan, usaha menulis kayaknya juga sebagian dari iman.
Salam hormat

Y Pan mengatakan...

terima kasih komentarnya Bu K. Khas sekali!

addthis

Live Traffic Feed