Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Rabu, 03 September 2008

Ongkos Uang yang Tersembunyi

Beberapa hari lalu saya membaca tulisan Professor Peter Singer yang diterjemahkan di Koran Tempo, Senin, 1 September 2008. MENGESANKAN SEKALI. Poin utamanya adalah uang bukanlah suatu yang betul-betul netral (atau waktu dulu mulai belajar di Bandung, istilah kerennya: tidak bebas nilai). Lho, kenapa? Bukannya hanya agama dan keyakinan saja yang selama ini memuat pesan agar berhati-hati dengan uang? Teori "ilmiah" yang paling menonjol terkait isu ini tentunya berasal dari Marx, tetapi tulisan Prof Singer ini menurut hemat saya cukup obyektif dan moderat saja, tanpa kecenderungan memihak kubu sosialisme maupun kapitalisme.

Dengan mengutip penelitian yang dilakukan Kathleen Vohs dkk, Prof Singer dengan gamblang menyatakan kita harus berhati-hati dengan kekuatan uang untuk mengasingkan seseorang dari orang-orang lain. Nggak tahu ya apakah temuan ini terkait dengan fenomena yang diangkat Paul Krugman dalam buku The Conscience of a Liberal yang pernah saya singgung dalam beberapa artikel yang lalu (lihat Managing in the Next Society 6, Krisis Ekonomi AS dan Global, Analisa Greenspan atas Dunia, dan Greenspan dan Bush Yunior)?

Dalam hal ini, hasil penelitian ilmiah kembali menguatkan nilai-nilai agama. Tentunya orang yang positif, apalagi orang yang berpuasa, akan mencoba memikirkan tindakan-tindakannya. Apa sih yang bisa bikin beda? Mungkin bagi kita yang puasa, praktisnya adalah perbanyak sedekah. Lain kata artinya kurangi ketergantungan terhadap uang atau harta. Intinya uang jangan sampai mendominasi kehidupan kita. Bahaya! Itu tindakan sederhananya. Kalau orang yang serius, misalnya yang punya otoritas, mestinya dia berpikir lebih keras. Apa sih yang bisa bikin beda untuk kebaikan masyarakat? Mungkin dia harus tinjau kebijakannya selama ini yang condong banget kepada kapital. Mungkin dia harus geser sedikit agar lebih moderat, yang berarti juga tidak ekstrem seperti bandul, jadi condong banget kepada regulasi total.

Jalan tengah lebih baik...

Berikut saya kutip terjemahan dari Koran Tempo itu, plus link ke sumber aslinya di Project Syndicate.

Ongkos Uang yang Tersembunyi
Oleh: Peter Singer, guru besar bioetik pada Princeton University, dan sedang menyelesaikan buku mengenai filantrofi dan kemiskinan di dunia

Terjemahan di KoranTempo: Opini: Ongkos Uang yang Tersembunyi
Sumber Asli: Project Syndicate: The Hidden Cost of Money

Ketika orang mengatakan "uang adalah akar dari segala keburukan", mereka biasanya tidak mengartikannya bahwa uang itu sendiri adalah akar dari segala keburukan. Seperti Santo Paulus, yang membuat ungkapan itu, yang mereka maksudkan adalah cinta yang berlebihan akan uang. Dapatkah uang itu sendiri, baik kita serakah uang atau tidak, menjadi masalah?

Karl Marx berpikir begitu. Dalam Economic and Philosophical Manuscripts yang ditulisnya pada 1844--sebuah karya yang tidak diterbitkan dan tidak dikenal sampai pertengahan abad kedua puluh--Marx melukiskan uang sebagai universal agent of separation, sesuatu yang mengubah sifat manusia. Seseorang bisa buruk rupa, tapi jika punya uang, ia bisa membeli dan memiliki "wanita yang cantik". Tanpa uang diperlukan beberapa sifat yang positif lainnya dari seseorang untuk memikat seorang wanita. Menurut Marx, uang mengasingkan seseorang dari sifatnya yang sebenarnya sebagai manusia dan dari sesama manusia.

Reputasi Marx jatuh ketika terbukti bahwa ia salah meramalkan akan terjadinya revolusi kaum pekerja yang melahirkan era baru dengan kehidupan yang lebih baik bagi semua. Karena itu, jika kita cuma berpegang pada ucapannya mengenai pengaruh uang yang mengasingkan seseorang, maka kita mungkin akan menganggapnya sebagai bagian dari ideologi yang menyesatkan. Namun, penelitian yang dilakukan Kathleen Vohs, Nicole Mead, dan Miranda Goode, seperti dilaporkan dalam majalah Science pada 2006, menunjukkan bahwa Marx dalam hal ini, setidak-tidaknya, telah menyingkapkan sesuatu.

Dalam serangkaian eksperimen yang mereka lakukan, Vohs dan rekan-rekannya menemukan cara membuat orang memikirkan uang tanpa secara eksplisit menyuruh mereka berbuat demikian. Vohs dan rekan-rekannya memberikan tugas kepada beberapa orang untuk menguraikan ungkapan-ungkapan yang menyangkut uang. Kepada beberapa orang lainnya, Vohs dan rekan-rekannya memberikan tumpukan uang-uangan dalam permainan Monopoli. Sekelompok lainnya diperlihatkan screensaver dengan berbagai lembaran uang. Sekelompok lainnya lagi, yang dipilih secara acak, diminta menguraikan ungkapan yang bukan menyangkut uang serta tidak diperlihatkan uang-uangan Monopoli, dan diperlihatkan screensaver yang berbeda. Dalam setiap eksperimen, mereka yang dibuat selalu berpikir mengenai uang--kita namakan saja "kelompok uang"--menunjukkan perilaku yang berbeda dari mereka yang tidak berpikir mengenai uang.

Ketika diberi tugas yang sulit dan diberi tahu bahwa ada bantuan yang tersedia bagi mereka, maka mereka yang berada dalam kelompok uang tidak segera meminta bantuan. Ketika diminta membantu, mereka yang berada dalam kelompok uang tidak banyak meluangkan waktu untuk membantu. Ketika diminta menggeser kursinya agar lebih dekat dengan lawan bicaranya, mereka yang berada dalam kelompok uang tidak beranjak jauh.

Ketika diminta memilih kegiatan bersenang-senang, mereka yang berada dalam kelompok uang kemungkinan besar memilih kegiatan yang dapat dinikmati sendiri, bukan yang melibatkan orang lain. Akhirnya, ketika mereka yang berada dalam kelompok uang diminta menyumbang dari uang yang telah mereka peroleh karena ikut serta dalam eksperimen, mereka memberikan sumbangan yang sedikit dibandingkan dengan mereka yang tidak berpikir mengenai uang.

Peringatan yang sepele mengenai uang membawa perbedaan yang cukup mengejutkan, misalnya ketika control group atau kelompok pembanding bersedia meluangkan waktu rata-rata 42 menit untuk membantu seseorang menyelesaikan tugasnya, mereka yang berada dalam kelompok uang hanya bersedia meluangkan waktu 25 menit. Begitu pula jika seseorang yang berpura-pura berlaku sebagai seorang peserta dalam eksperimen ini meminta bantuan, maka mereka yang berada dalam kelompok uang hanya bersedia meluangkan waktu separuhnya untuk membantu. Ketika diminta menyumbang dari uang yang mereka peroleh, mereka yang berada dalam kelompok uang cuma memberikan separuh lebih sedikit dari yang disumbangkan control group.

Mengapa uang membuat kita kurang bersedia mencari atau memberi bantuan, atau bahkan duduk dekat orang-orang lain? Menurut Vohs dan rekan-rekannya, ketika masyarakat mulai menggunakan uang, maka ketergantungan kepada keluarga dan teman mulai berkurang, sementara orang semakin mandiri. "Dengan demikian," begitu disimpulkan Vohs dan rekan-rekannya, "uang meningkatkan individualisme dan mengurangi motivasi saling membantu, yang efeknya masih tampak dalam respons masyarakat saat ini."

Bagaimanapun, ini bukan penjelasan yang memadai mengapa orang yang diingatkan akan uang berperilaku begitu berbeda, mengingat bahwa kita semua menggunakan uang setiap hari. Dalam hal ini tampaknya ada sesuatu yang belum kita pahami sepenuhnya.

Saya tidak mengatakan kita harus kembali ke zaman barter atau zaman mandiri yang lebih sederhana seperti di masa lalu. Uang memungkinkan kita bertransaksi, dan dengan demikian menarik manfaat satu sama lain dari keterampilan khusus yang dimiliki masing-masing individu. Tanpa uang, kita akan jatuh miskin, dan bukan cuma dalam arti finansial.

Karena sekarang kita sadar akan daya pengasingan yang dimiliki uang, maka kita tidak lagi bisa mengatakan uang sebagai sesuatu yang memainkan peran yang sama sekali netral. Jika, misalnya, sekelompok orang tua murid berniat membangun taman bermain anak-anak, maka apakah ia harus meminta para anggota bergotong-royong membangunnya atau apakah ia harus melakukan pengumpulan dana untuk membiayai kontraktor yang akan melakukannya.

Saran yang diajukan ekonom Harvard University, Roland Fryer, agar siswa berprestasi dari keluarga miskin dibantu biaya pendidikannya, merupakan ranah lain di mana penggunaan uang patut dipertanyakan. Jika uang netral, maka persoalannya cuma apakah manfaat penggunaan uang itu lebih besar daripada biaya finansialnya. Sering kali memang demikian, misalnya bila para orang tua tadi tidak memiliki keterampilan membangun taman bermain yang baik. Tapi salah jika kita berasumsi bahwa membiarkan uang mendominasi setiap bidang kehidupan datang tanpa ongkos lain yang sulit dinyatakan dalam bahasa finansial. *

Hak cipta: Project Syndicate, 2008

Tidak ada komentar:

addthis

Live Traffic Feed