Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Rabu, 31 Desember 2008

Dunia Perlu Di-Restart

Kalau komputer di-restart, Anda tentu tahu bahwa sebetulnya ia dimatiin dulu terus dinyalain lagi. Kenapa harus di-restart? Mungkin ada kebocoran memori yang terus menggelembung dan tidak dapat dikelola lagi oleh OS (setahu saya di Unix dan Mac sangat jarang - Y Pan). Mungkin ada proses liar yang ngaco dan nggak bisa lagi dikendalikan; dimatiin juga nggak mau. Sebagai pengguna komputer sehari-hari, terutama PC, kita sih enteng-enteng aja melakukan ritual restart ini. Bahkan beberapa administrator sistem (server) juga cukup sering mempraktikkannya. Makanya mereka sering disemati gelar MCSE (Micro**** Certified System Engineer) sekaligus MCRE (Micro**** Certified Restart Engineer), hehehe. Bagaimana dengan dunia? Kalau di-restart model PC, bisa kacau balau. Jadi yang dimaksud lain, bukan gitu.

Terus terang artikel ini diinspirasi opini Thomas Friedman di NY Times berjudul Time to Reboot America. Intinya begini. Amerika dalam masalah besar. Bailout aja nggak cukup. Harus reboot! Alasannya? Salah satunya adalah Amerika sudah terlalu manja, misalnya karena pajak yang rendah. Lainnya adalah kebijakan imigrasi yang menghambat, bukannya mengundang talenta terbaik dari luar. Lainnya lagi - nah ini mungkin yang paling menarik - adalah kemampuan intelektual kolektif Amerika lebih terkonsentrasi pada financial engineering daripada real engineering. Akibatnya, orang-orang cerdas lebih banyak berkecimpung di sektor keuangan untuk menghasilkan uang dari uang (ribawi? - Y Pan) daripada di sektor riil untuk memproduksi mobil, telepon, komputer, dll, untuk kemudian menghasilkan uang.

Ini dia kata-kata Friedman sendiri:
To top it off, we’ve fallen into a trend of diverting and rewarding the best of our collective I.Q. to people doing financial engineering rather than real engineering. These rocket scientists and engineers were designing complex financial instruments to make money out of money — rather than designing cars, phones, computers, teaching tools, Internet programs and medical equipment that could improve the lives and productivity of millions.

Wah, ini opini luar biasa dari Friedman. Penulis The World is Flat ini mungkin secara tidak sadar menyinggung isu riba. Menurut pendapat saya, making money out of money tidak lebih dan tidak kurang adalah praktik riba. Nah, ketika proses atau praktik ribawi ini telah menggurita dan menggelembung sedemikian rupa, ternyata para pelakunya dan juga regulatornya merasa sayang atau takut untuk membiarkan gelembung meletus begitu saja. Alasannya klasik. Too big too fail. Makanya ketika Ginanjar, temen kantor, bercerita kegundahan Dan Linstedt (instruktur Ginanjar dan Laksmi waktu belajar Data Vault data modeling di Denver - Y Pan) mengenai pemerintah AS yang lewat bailout melindungi sektor keuangan yang ternyata rapuh, saya langsung berspekulasi bukan cuma kolumnis kayak Friedman yang secara tidak sadar "benci" dengan praktik riba, tetapi banyak... termasuk kita-kita ini yang masih sulit melepaskan diri dari sistem keuangan konvensional ini.

Lho, cerita dari Friedman di atas semuanya cuma tentang Amerika koq. Apa hubungannya dengan dunia? Ini dia. Saya termasuk yang yakin pada era ini Amerika adalah pemimpin dunia. Suka atau tidak. Banyak negara lain yang mengekor. Termasuk dalam hal sistem keuangan. Sistem keuangan Amerika sudah menjadi sistem keuangan global. Dengan segala aturannya. Konsekuensi kepemimpinan tersebut, kalau Amerika perlu di-reboot, artinya dunia juga! Buktinya... krisis finansial global sekarang ini yang bermula dari Amerika. Mungkin kita perlu mencermati peringatan Peter Drucker dalam bukunya Managing in the Next Society mengenai likuiditas dunia yang ditransaksikan setiap malam dalam jumlah luar biasa besar tapi tidak memiliki manfaat ekonomi sama sekali. Juga artikel harian Kompas berikut ini.

516 Triliun Dollar AS Kekuatan Perusak

Jumat, 29 Februari 2008 00:48 WIB
Paul B Farrel, analis pasar AS, di situs MarketWatch edisi 25 Februari memberi peringatan. Ada sekitar 516 triliun dollar AS dana-dana investasi, yang menjadi kekuatan perusak ekonomi. Persisnya ia menyebutnya sebagai toxic derivatives, transaksi di sektor keuangan yang menjadi fasilitas investasi untuk mengembangbiakkan dana-dana orang berpunya.

Dana-dana ini begitu besar, dibandingkan dengan total produk domestik bruto (PDB) dunia yang hanya 48 triliun dollar AS. Dana-dana ini tidak lagi semata-mata dikelola dalam jenis investasi berjangka panjang. Juga tak lagi dana-dana itu dikelola dengan mengindahkan kaidah-kaidah risiko investasi. Dana-dana ini memasuki pasar, yang memberi fasilitas investasi mirip perjudian. Misalnya, banyak bursa saham di dunia yang memasang taruhan soal naik turunnya indeks saham alias bukan lagi terbatas pada naik turunnya saham sebuah perusahaan.

Mereka terkadang bermain di composite index, indeks harga saham gabungan. Jangka waktu permainan bisa dalam hitungan detik, tak lagi menit.

Dana-dana yang dikelola para manajer dana investasi ini memasuki pasar yang dianggap bisa ”dimainkan” untuk meraup untung besar dalam waktu cepat, lalu keluar dari pasar setelah untung. Investor-investor yang naif akan menjadi sasaran empuk.

Selama ini dana-dana tersebut bermain di kisaran saham, obligasi, dan valuta asing, seperti dollar AS dan mata uang kuat dunia lainnya.

Mengapa dana-dana ini oleh Farrel disebut sebagai toxic derivatives? Berbagai kantor berita terkadang memberi julukan pada investor itu sebagai bloodied investors. Alasannya, mereka bisa menaikkan atau menurunkan saham, yang menyebabkan kerugian besar bagi pihak lain, yang bahkan disebut sebagai kerugian berdarah-darah karena magnitude-nya begitu luar biasa.

Bahkan, investor itu yang disebut bloodied itu juga bisa mandi darah. Artinya, ia bisa rugi besar dan bangkrut, seperti dekade 1990-an, yang dialami Long Term Capital Management (AS). Jika masih bisa bergerak, bloodied investor ini makin mengamuk dan menggasak seperti banteng menyeruduk (raging bull), istilah yang dipakai Phil Flynn, analis dari perusahaan Alaron Trading (Chicago, AS), di situs Forbes.

Buktinya sudah banyak. Bank sekaliber UBS (Swiss) pun sudah berdarah-darah dengan kerugian sekitar 12 miliar dollar AS. Setidaknya sudah ada kerugian 100 miliar dollar AS yang dialami lembaga keuangan internasional.

Konsumen dikorbankan

Permainan belum berakhir dan gejolak belum akan berhenti. Kini taruhannya bukan lagi semata-mata para investor termakan investor. Atau istilahnya, fenomena yang akan terjadi ke depan bukan lagi para investor saling memakan.

Hideki Amikura, manajer valuta asing dari Nomura Trust and Banking, Tokyo, mengatakan, kini investor sedang jengkel dengan dollar AS, obligasi, dan harga-harga saham, yang menjadi mainan mereka.

Para investor kini memasuki komoditas, yang permainannya sudah disediakan pula di bursa, seperti bursa logam London (London), bursa komoditas Chicago, dan di belahan dunia lainnya.

Bukti sudah ada. Harga minyak dan gas terus meroket. Harga gandum sudah mencapai rekor, demikian pula kedelai atau tanaman biji-bijian. Demikian pula emas telah mencapai rekor baru.

”Komoditas juga kini jadi safe haven,” kata Farrel. Investor ingin mengamankan investasinya dari kemerosotan dollar AS, kemerosotan harga saham dan obligasi dengan memburu komoditas.

Taruhannya adalah konsumen. ”Harga gas yang naik telah merogoh kantong konsumen,” demikian dikatakan harian New York Times edisi Kamis (28/2).

Konsumen di Indonesia pun sudah menjadi korban berupa kenaikan harga-harga pangan, termasuk harga tempe, yang terbuat dari kedelai.

Bagaimana menghentikan ini semua? Guru investor obligasi dunia asal AS, Bill Gross, mengatakan, ini semua akibat leluasanya para manajer dana investasi melakukan aktivitasnya. Regulasi pasar tak ada sehingga tak membatasi aksi-aksi mereka, yang terbukti sudah melahirkan gejolak besar.

Inilah juga yang disuarakan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) di pengujung tahun 2007. Peringatan serupa juga sudah disampaikan The Bank for International Settlements (BIS) dan juga sudah diingatkan delegasi Jerman pada pertemuan G-7 di Tokyo awal tahun ini.

Namun, Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke dan Menkeu AS Henry Paulson menganggap sepi semua itu. ”Mereka pembohong,” kata Farrel.

Bagaimana Indonesia? Jika tak menjaga ketahanan pangan, konsumen akan membayar harga mahal sebagaimana rakyat sudah terbebani dengan kenaikan harga BBM dan listrik yang byar pet. (MON)


Artikel terkait:
Regulasi Sektor Keuangan
Mencegah Krisis
Filsafat Kebijakan Baru
Krisis Ekonomi AS dan Global

4 komentar:

Fadhil Nugroho mengatakan...

Aku suka dengan idenya: Dunia harus di start. Itu artinya, kembali ke titik NOL, kembali ke khittah. Tetapi tentu saja kita tidak mungkin berangkat dari kekosongan dan ketiadaan. Titik NOL saat kita berada sekarang bukanlah titik yang kosong. Persoalannya, seperti kata Keynes (1935), yang susah itu bukan melahirkan ide baru, tetapi bagaimana meninggalkan ide lama.

Salam
Fadhil N

Y Pan mengatakan...

Gimana ya caranya meninggalkan yang lama? Mudah-mudahan nggak keburu KO baru mau berubah. Mungkin kita, termasuk Bang Fadhil, bisa jadi bagian para pionir, Anyway, terima kasih masukannya.

Bambang Anggoro mengatakan...

menarik sekali ide nyo tapi kenapa pemerintah kita tidak berani pake perekonomian Islam?hehehe aku raso yang lama jangan ditinggalkan seluruh nyo karno sebagi tapaan ke masa depan......baru cubo bae hehheh

Y Pan mengatakan...

Terimo kasih Kawan Lamo. Komentar awak, biarpun baru cubo-cubo, rasonyo perlu didenger oleh pemerintah, dak pake kecuali termasuk pemerintah AS.

addthis

Live Traffic Feed