Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Senin, 01 Desember 2008

Filsafat Kebijakan Baru

Hari-hari ini, ketika mencari artikel terkait perkembangan terkini krisis global, saya mendapati beberapa artikel bagus dari Paul Krugman, Sri Mulyani, dan Adiwarman Karim. Tentu kita tahu tokoh-tokoh ini kan? Yang jelas inti dari pendapat mereka adalah diperlukan reformasi sistem keuangan dunia yang saat ini sedang oleng sehingga sistem keuangan akan mencapai suatu titik keseimbangan baru atau dengan kata lain, walaupun mungkin terdengar radikal, suatu tatanan baru. Keseimbangan baru itu tentunya melibatkan filsafat yang berbeda. Jika filsafat yang menyebabkan krisis global saat ini adalah mekanisme pasar bebas yang meminimalkan peran kendali pemerintah, maka dasar filsafat tatanan baru itu adalah pemerintah (mudah-mudahan pemerintah yang reasonable) harus punya peran kendali tertentu agar pasar tidak semau-maunya bergerak sehingga rentan krisis.

Dari dalam negeri, Menteri Keuangan RI yang lulusan FE UI dan UIUC menekankan bahwa sebagai pemegang otoritas beliau akan memburu pihak-pihak yang memaksimalkan keuntungan sendiri (self interest) di atas penderitaan publik. Wah, ternyata memang benar beliau tidak sepakat dengan gerombolan Margareth Thatcher dan Ronald Reagan yang mengatakan publik sebenarnya nggak ada dan yang ada hanyalah individu-individu saja. Makin nggak valid tuh cap yang pernah diberikan pada beliau sebagai kaki tangan IMF. Berikut ini cuplikan sebagian pernyataan Sri Mulyani yang menarik terkait dengan krisis global.

Secara lugas dan detil, Menkeu memberikan gambaran betapa krisis finansial yang terjadi saat ini sebagai krisis yang sangat berat. Krisis ini tidak hanya menjadi masalah satu negara tetapi merupakan masalah dunia internasional, sehingga solusi yang diambil juga harus merupakan solusi dunia. Saling kerjasama, saling menopang antara satu negara dengan negara lainnya. "Saya harus terus-menerus berkomunikasi dengan menteri-menteri keuangan negara lain. Tidak ada satupun menteri keuangan dan gubernur bank sentral yang berani melakukan kebijakan sendiri-sendiri. Tidak ada negara yang meminta negara lain melakukan kebijakan ini atau itu. Yang ada adalah setiap kebijakan yang dilakukan satu negara akan disampaikan ke negara lain. Ini merupakan bentuk tanggung jawab bersama," katanya.

"Amerika yang katanya kapitalis, sekarang menjadi negara sosialis terbesar di dunia," tukas Menkeu.

Menkeu meminta agar masyarakat, investor dan juga perusahaan untuk tidak memperkeruh keadaan. Misalnya memborong dolar AS untuk kebutuhan yang tidak jelas. Sikap seperti ini jelas akan merusak seluruh upaya yang dilakukan dengan susah payah. "Karena itu jika Anda ketahuan melakukan sesuatu yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya dan melukai kepentingan publik, maka saya tidak akan segan-segan mengejar Anda ke manapun Anda pergi. Sebab, dalam situasi sulit seperti ini jika Anda melakukan sesuatu hanya untuk kepentingan sendiri, menurut saya itu tindakan yang sangat tidak pantas," tegasnya.


Selengkapnya, silakan klik ke artikel Republika hari ini: Saat Krisis, Harus Tetap Punya Mimpi.

Selain Sri Mulyani, tokoh lain yang menginspirasi saya adalah Adiwarman Karim. Boleh dibilang saya banyak belajar juga dari beliau, lewat tulisan-tulisan dan khotbah-khotbah beliau. Tidak heran kalau hari ini saya sowan ke beliau lewat salah satu tulisannya di Republika: Nothing Right on the Left, Nothing Left on the Right. Berikutnya cuplikannya.

Bila suatu bank telah terjangkit penyakit "Nothing Right on the Left, Nothing Left on the Right", langkah standarnya adalah dengan menambah modal agar tidak lagi mengalami "Nothing Left on the Right". Dengan adanya tambahan modal, bank akan kembali beroperasi normal karena there is something on the right.

Tantangannya justru terletak pada langkah keduanya, yaitu bagaimana memperbaiki "Nothing Right on the Left", memperbaiki sisi aset yang berisi instrumen investasi bermasalah, dan memperbaiki kinerja bank di masa depan.

Ibarat kita berbuat dosa, langkah standarnya adalah bertobat agar dosa-dosa kita diampuni. Namun, tantangannya justru terletak pada langkah keduanya, yaitu bagaimana memperbaiki dampak buruk dosa itu dan memperbaiki masa depan. Hati orang lain yang tersakiti, hak orang yang terampas, dan hilangnya kepercayaan akibat kebohongan merupakan sedikit contoh dampak buruk dosa yang tidak mudah diperbaiki dengan cepat.

Mari, kita doakan agar dibukakan mata dan hati dunia untuk dapat berbesar hati menerima pelajaran dari mana pun, termasuk dari ilmu keuangan syariah menuju suatu tatanan ekonomi keuangan dunia yang lebih baik.


Nah, tentunya yang punya legitimasi keilmuan yang paling kuat adalah sang nobelis, Paul Krugman. Berikut cuplikan pendapat beliau yang saya ambil dari artikel Lest We Forget dari NYTimes.

And because we’re all so worried about the current crisis, it’s hard to focus on the longer-term issues — on reining in our out-of-control financial system, so as to prevent or at least limit the next crisis. Yet the experience of the last decade suggests that we should be worrying about financial reform, above all regulating the “shadow banking system” at the heart of the current mess, sooner rather than later.

For once the economy is on the road to recovery, the wheeler-dealers will be making easy money again — and will lobby hard against anyone who tries to limit their bottom lines. Moreover, the success of recovery efforts will come to seem preordained, even though it wasn’t, and the urgency of action will be lost.

So here’s my plea: even though the incoming administration’s agenda is already very full, it should not put off financial reform. The time to start preventing the next crisis is now.


Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut.

Karena kita semua kuatir di tengah krisis yang sedang berlangsung, akan sulit untuk fokus pada isu-isu jangka panjang – untuk membenahi sistem keuangan kita yang lepas kendali, untuk mencegah atau paling tidak mengurangi krisis berikutnya. Namun demikian, pengalaman satu dekade terakhir ini menyarankan agar kita mulai memikirkan reformasi sektor finansial, di atas segalanya meregulasi sistem perbankan bayangan (maksudnya sistem “perbankan” yang diciptakan dan dipraktikkan oleh lembaga keuangan non bank, terutama dalam bentuk instrumen keuangan derivatif – Y Pan) di jantung seluruh kacau balau situasi saat ini. Makin cepat makin baik.

Ketika ekonomi berada pada jalur pemulihan, para dealer penjudi akan mendapat uang dengan mudah lagi – dan akan melobi sekeras-kerasnya terhadap upaya membatasi peluang keuntungan mereka. Lebih jauh lagi, kesuksesan upaya pemulihan akan kelihatan niscaya, walaupun sebenarnya nggak, dan urgensi untuk bertindak segera lenyap.

Maka inilah permohonan saya (Krugman maksudnya – Y Pan): walaupun agenda pemerintahan mendatang telah penuh, reformasi sektor keuangan nggak boleh dilupakan. Waktu untuk mencegah krisis berikutnya adalah saat ini juga.


Artikel terkait:
Kebijakan Berbalik Arah
Kebijakan Memang Berbalik
Menggungat Warisan Greenspan
Filsafat Ekonomi Greenspan

Tidak ada komentar:

addthis

Live Traffic Feed