Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Minggu, 07 Desember 2008

Jalan Bekasi Bebas Korupsi

Kami tinggal di Bekasi sejak tahun 2000. Ayahanda yang memiliki rumah di Bekasi menawarkan agar kami tinggal saja di rumah beliau. Mungkin pertimbangannya agar saya bisa lebih leluasa merencanakan rumah masa depan kami. Pertimbangan lain mungkin agar rumah itu nggak kosong. Ada yang ngurus. Hingga tahun 2008 ini, berarti sudah delapan tahun bahkan lebih, kami menambah tiga anggota: Aisyah, Hanif, dan Ahmad. Jadilah sehari-hari istri saya menjelajahi jalan Kota Bekasi untuk mengantar-jemput kelima anak kami ke mana-mana, selain untuk kegiatan rumah tangga lainnya dan kegiatan sosial yang cukup padat. Kalau saya? Yah, lebih banyak di Jakarta, kecuali Sabtu dan Ahad.

Tentu nggak perlu dibesar-besarkan di sini problem yang kami temui setiap hari di jalanan. Jalan becek dan berlubang tidak asing, terutama pas musim hujan kayak hari-hari ini. Jadwal sepekan sekali buat saya ngaji, menempuh tiga puluhan kilometer pulang pergi, jadi nggak nyaman. Bilamana giliran tempat ngaji di rumah, saya bisa sedikit lega, tapi teman-teman yang kebanyakan datang dari seputar Pondok Gede sulit dibilang happy. Lewat Jati Asih-Pekayon jalan jelek (sekarang sudah mending sih). Sampai sekarang rute Kali Malang-Caman terus bikin stres.

Stres! Ya itulah biaya yang harus ditanggung pengguna jalan, di samping biaya-biaya materiil. Bahan bakar jadi boros. Kendaraan cenderung cepat rusak. Belum lagi kalau terjadi kecelakaan. Oya, waktu yang nilainya lebih mahal dari uang juga banyak terbuang boros percuma. Untuk ngaji, kalau nggak lewat tol, saya butuh sejam, bahkan bisa lebih. Pulangnya sama, mungkin lebih cepat dikit. Sampai rumah sudah larut. Perasaan stres bikin capek lebih capek. Nah, kalau semuanya diuangkan, berapa ya? Anda tahu berapa? Itu baru saya sendiri, belum dijumlahkan dengan total biaya jalanan istri dan anak-anak saya serta semua warga Bekasi. Tentu yang tak ternilai adalah ketika seseorang harus kehilangan nyawa gara-gara jalan.

Tahun depan insya Allah kami pindah ke BSD. Infrastruktur jalan di sana lebih baik. Jujur saja begitu. Memang kalau keluar kawasan BSD yang demikian luas itu - artinya masuk ke wilayah-wilayah kampung atau wilayah yang diurus Pemda - kondisinya nggak terlalu beda dengan Bekasi. Terus terang berkendara di sana lebih nyaman. Tentu Anda mungkin berkomentar bahwa belum tentu berkah. Eh... Mungkin ini agak menyakitkan, tapi belum tentu jalan-jalan rusak Kota Bekasi lebih berkah. Apa tandanya nggak berkah?

Menurut pendapat saya, salah satu indikator ketidakberkahan adalah perilaku negatif para pengendara. Tiba-tiba orang baik-baik bisa seketika berubah agresif karena mempertahankan 'hak' di jalan. Hak apa? Hak mendapat bagian jalan yang lebih mulus! Terus terang kemarin menjadi cobaan tersendiri bagi saya. Seolah Sabtu itu semua pengendara motor tiba-tiba punya nyawa rangkap. Tiba-tiba nyalib di depan saya hanyalah satu contoh. Yang lainnya hampir tabrakan dengan motor lain. Yang lainnya lagi tiba-tiba pindah lajur tanpa melihat kiri-kanan. Belum lagi angkot yang bisa berhenti dan ngetem seenaknya. Yang justru paling parah, ngetemnya di perempatan. Bus kota sama aja. Juga mobil pribadi dan kendaraan niaga lainnya. Ya Allah. Ya Robbi.

Selanjutnya, apakah orang baik-baik yang menjadi agresif di jalanan dan terus mengakumulasi kebiasaan buruk di jalan akan tetap jadi orang baik di rumah? Di pasar? Di pabrik? Di kantor? Di pelabuhan? Kalau teringat buku The Tipping Point, saya jadi ngeri juga. Kebiasaan buruk dapat menular. Dari jalan ke rumah dan tempat-tempat lainnya. Epidemi sosial! Apakah kita cukup diam saja? Emangnya bener-bener nggak ada yang bisa dilakukan untuk perbaikan? Jawabannya ada di buku itu juga. Mulailah epidemi sosial yang positif.

Caranya? Mendidik orang pasti pekerjaan berat. Butuh waktu lama. Seorang nabi saja butuh waktu seumur hidupnya untuk berda'wah. Ada juga yang gagal, seperti Nabi Nuh AS. Hanya segelintir orang saja yang berhasil dibina. Apakah pendidikan menjadi tidak penting? Nggak! Ia tetap penting. Namun demikian, memperbaiki lingkungan mungkin bisa jadi pendorong, seperti yang dilakukan oleh otoritas kereta Kota New York yang akhirnya berhasil mengurangi tingkat kriminalitas di kota tersebut. Ini yang disebut Malcolm Gladwell sebagai the power of context. Lalu apa gerangan hubungannya dengan jalanan Kota Bekasi? Ya, sebagaimana jalanan bisa membuat orang agresif, jalanan bisa jadi merupakan salah satu faktor pembentuk perilaku yang positif.

Artinya? Pemkot Bekasi harus berlomba dengan waktu untuk menyediakan jalanan yang mulus dan memadai lebar dan panjangnya di seluruh area Kota. Pemkab juga lho. Mulailah dari niat yang kuat untuk membahagiakan warga melalui jalanan yang bebas korupsi. Proyek pembuatannya harus bebas korupsi. Perawatannya juga harus bebas korupsi. Nggak ada salahnya belajar ke BSD, walaupun ini bukan berarti nggak ada korupsi sama sekali di sana. Ayo, Ustadz Sa'duddin dan Pak Mochtar, berjihadlah dengan kekuasaan yang ada di tangan Anda.

Artikel terkait:
The Tipping Point
The Tipping Point: The Power of Context
Korban Jalan Raya
Ayat-ayat Cinta Walikota Bekasi

Tidak ada komentar:

addthis

Live Traffic Feed