Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Senin, 22 Juni 2009

Musim Libur Tiba

Libur tlah tiba. Libur tlah tiba. Hore, hore, hore... Kayaknya anak sekolah pada jalan semua. Dari TK sampe SMA sampe Perguruan Tinggi. Bahkan bimbingan belajar dan kursus Bahasa Inggris ngadain rekreasi atau rihlah bareng.

Yang duit atau waktunya pas-pasan, perginya deket-deket aja, misalnya ke Taman Mini atau Ancol atau Ragunan. Yang punya waktu dan duit agak lebih, perginya jauhan dikit, misalnya ke Puncak atau Anyer. Yang duit dan waktunya banyak, perginya ke Singapura atau Malaysia atau Umroh sekalian.

Nah, Puncak rupanya masih merupakan tujuan wisata utama. Buktinya hari ini, kami berangkat dari Bekasi jam 8.15 dan tiba di Mulya Sari di Jalan Raya Cipayung menuju Puncak jam 11.15, padahal normalnya mungkin sejam lebih dikit. Mulai dari keluar tol di Gadog, macet udah terasa. Makin ke atas makin macet dan berhentinya makin lama. Kaki ini rasanya mau copot dan nagih minta dipijet. Sayangnya yang biasa disuruh mijet sibuk juga dengan kegiatan masing-masing.

Anak-anak main sampe puas. Ibunya sibuk kumpul dengan ibu-ibu panitia lainnya ngebantu guru ngurusin acara. Di Curug Cilember, Rita dan kawan-kawannya kelas 6 SDIT Thoriq bin Ziyad main air sampe puas. Kami sekeluarga yang ikutan rombongan rihlah juga kecipak kecipuk. Aisyah malah bener-bener nyebur. Ini dia, belum sempet kaki ngasoh setelah nginjek-nginjek pedal kopling, rem, dan gas, pegelnya ditambah lagi naik turun medan Curug 7 Cilember. Biar capek, seneng rasanya lihat anak-anak puas bermain.

Nah, malem ini Rita dan kawan-kawan akan mendapatkan surat cinta dari sekolah. Lulus? Mudah-mudahan seratus persen. Dan mudah-mudahan program mabit (bermalam - Y Pan) terakhir buat anak-anak kelas 6 dengan guru-guru dan staf SDIT Thariq bin Ziyad ini penuh kesan dan hikmah buat semua. Hm... memang berpisah selalu diiringi kesedihan. Sedih berpisah dari teman-teman yang baik!

Selengkapnya.....

Jumat, 19 Juni 2009

Granada Square


Lokasinya di Kencana Loka, Sektor XII, BSD. Susunan tokonya tidak seperti susunan toko lainnya di BSD. Pertama, ukurannya lebih kecil, cenderung seperti ukuran kios. Kedua, tidak semua kios atau toko menghadap langsung ke jalan. Ada yang cuma menghadap pelataran. Ketiga, pelatarannya dibuat agak luas, sehingga bisa digunakan buat jualan kaki lima. Yang jualan di pelataran macem-macem. Ada lontong sayur, zuppa soup, roti jala, aneka jus, pakaian, keperluan sekolah, dan lain-lain.

Saya dan keluarga sering melewatinya karena di dekat situ tinggallah ayahanda tercinta dan keluarga-keluarga kakak saya. Nah, kalau sedang melewatinya, saya merasakan atmosfir mediterania karena namanya. Tampak depan bangunannya gimana ya? Berbau latin sedikit (maksa mode ON). Wajar toh karena Granada aslinya nama ibukota bangsa Moor di Andalusia-Spanyol di era keemasan. Untuk tulisan ini, yang penting standard BSD City di kawasan ini sama dengan kawasan lainnya.



Drainase bagus. Bahkan orang dewasa normal bisa aja menelusuri jaringannya. Parkir memadai. Penerangan OK banget. Toilet umum ada. Pohon dan tanaman OK juga. Ya pokoknya, infrastrukturnya bagus dan memadai untuk pasar kecil di tepian Laut Tengah yang seolah bikin nyaman buat menikmati pemandangan indah di sekitarnya hingga ke Negeri Maghribi di Afrika Utara jika saja mata bisa menembus berpuluh-puluh mil pekatnya udara laut. Bedanya, Granada Square hanya mengenal dua musim, bukan empat musim seperti di Andalusia.

Tahun 2001, kami beli kavling dekat Granada Square. Itu karena desakan Mbak Ika. Bertahun-tahun digunakan buat anak-anak tetangga main bola, baru tahun lalu kavling mulai dibangun karena saya dapet utangan yang lumayan. Cukup? Ya, tepatnya mepet! Nah, empat pekan lalu, kami memulai proses pindahan. Mulai dua pekan lalu, kami mencoba nginep Sabtu malam. Paginya, kami coba menyusuri jalan-jalan sekitar, termasuk jajan di Granada Square itu. Roti jala kare kambing... muantap banget. Anak-anak lebih suka Zuppa soup, kecuali Hanif. Dia memang dari dulu suka kambing, bahkan sejak dalam kandungan, hehehe...

Keasyikan ini memang patut disyukuri. Tinggal berdekatan dengan keluarga besar, itu alasan pertama. Kemudian, lingkungannya asri. Terus alternatif transportasi banyak, khususnya KRL yang paling asyik. Stasiun Rawabuntu nggak jauh, kayaknya bisa ditempuh nggak sampe setengah jam jalan kaki dari rumah. Masjid Al-Hakim juga deket, bisa ditempuh paling sepuluh menit jalan kaki. Semuanya indah. Ya, semuanya... Sungguh? Ah, nggak juga.

Kembali ke Granada Square, tempat ini beberapa waktu lalu sangat rame tiap akhir pekan karena dijadikan Flohmarkt Market, pasar kecil akhir pekan, meniru Flohmarkt di daratan Eropa, khususnya sekitar Jerman. Sekarang, obyek wisata Flohmarkt di Granada Square ditutup. Khabarnya ada warga sekitar yang keberatan, karena pasar kalangan itu bikin kotor. Bahkan aroma kotoran kuda biasa merebak. Bukan cuma itu, risiko keamanan khabarnya meningkat. Ini dia, ternyata di BSD City sekalipun budaya bersih belum sepenuhnya bisa dikondisikan lewat lingkungan yang asri. Kenapa ya?




Kalau area Taman Monas kotor, terutama hari Senin setelah warga berekreasi di situ Sabtu dan Ahad, saya rasa masih bisa dimaklumi. Areanya sangat luas. Pengunjungnya padet dari berbagai lapisan masyarakat. Sementara itu, Pemerintah DKI tahu sendiri kan sudah menghadapi bejibun masalah, walaupun ini sebenernya nggak boleh dijadikan alasan (lihat artikel saya sebelumnya Kebersihan di Area Publik - Y Pan). Granada Square yang jauh lebih kecil harusnya bisa dikelola dengan baik, terutama aspek kebersihan dan keamanannya. Memang kebersihan dan keamanan berjalan seiring.

Di NYC, dulu sistem KRL-nya menyeramkan. Kotor dan nggak aman, sampai terjadi insiden Bernie Goetz. Lalu penanggung jawab keamanan stasiun dan kereta mulai kampanye kebersihan. Setiap kereta yang 'dirusak' dengan grafiti selalu dicat ulang, walaupun baru kemarin dicat. Bersih dan rapi membantu meningkatkan keamanan. Lihat deh artikel saya sebelumnya berupa ringkasan dari Bab 4 The Tipping Point karya Malcolm Gladwell. Menurut hemat saya, pengelola Granada Square mesti kayak gitu juga, tapi... oh jangan-jangan nggak ada pengelola yang bertanggung jawab. Gimana nih BSD?


Selengkapnya.....

Kamis, 11 Juni 2009

Apakah Pak Boed Neolib?

Akhir-akhir ini, banyak pengunjung blog saya masuk lantaran kata kunci Boediono atau Budiono. Terakhir saya menulis mengenai beliau ketika posisi Gubernur BI lowong ditinggal Pak Burhan. Waktu itu, saya buat polling kecil-kecilan siapa yang paling pantas menjadi Gubernur BI. Jawaban di polling waktu itu yang jauh dari ilmiah adalah Pak Boediono. Kebetulan bersamaan jumlah voternya dengan Pak Muliaman Hadad. Saya berspekulasi Pak Boed yang terpilih dan kebetulan beliau terpilih menjadi orang nomor satu BI.

Seakan menegaskan ketokohannya, Pak Boediono kembali menjadi sorotan publik setelah dipilih PD untuk mendampingi Pak SBY mengikuti pilpres 2009. Saya menduga-duga dalam hati bahwa yang paling dicari orang adalah informasi mengenai ideologi ekonomi beliau. Apakah beliau bener-bener pendukung neoliberalisme? Tentu saja di antara informasi lain terkait dengan pribadi dan keluarganya.

Di suatu acara TV, hadirlah Pak Fuad Bawazir, anggota tim sukses JK-Win, yang sekaligus menjadi pengkritik SBY Berbudi nomor wahid. Karena mantan Menkeu, Pak Fuad tentunya memiliki latar belakang yang cukup untuk berdebat mengenai ideologi ekonomi. Singkatnya, beliau menuding Pak Boediono sebagai seorang neolib. Serta merta pembawa acara memberi giliran ke pengurus teras PD yang mengikuti acara itu. Tentu pengurus teras PD ini menyanggahnya.

Bagaimana cara sanggahan disampaikan? Dengan tenang dan mantap tokoh satu ini mengatakan Pak Boediono bukan neolib, tapi seorang monetaris. Beliau merujuk ke suatu buku yang menulis mengenai Pak Boed. Nah, sebagaimana banyak orang berdebat mengenai neoliberalisme tanpa tahu maknanya, adalah ironi besar bahwa sanggahan diberikan nyata-nyata tanpa pengetahuan yang cukup. Jadi, baik pendemo di jalanan maupun pengurus teras partai sebenernya nggak ngerti persis bahan perdebatan.

Ya, yang nggak peduli langsung ganti saluran. Yang menelan perdebatan mungkin banyak yang bingung mana yang bener. Singkatnya begini, ideologi ekonomi bisa dijajarkan berbaris. Paling kiri berdiri ideologi sosialisme yang ekstremnya percaya segala hal harus diatur oleh negara, bahkan kawin sama siapa dan beranak sekalipun. Di sebelah paling kanan berdiri ideologi liberalisme yang ekstremnya setiap individu bebas melakukan apa saja. Kebebasan individu mengejar kepentingannya masing-masing diyakini menghasilkan kebaikan untuk masyarakat secara keseluruhan.

Dalam praktik, hampir nggak pernah kita jumpai yang totalitas ekstrem. Artinya, yang bisa dikatakan sebenarnya adalah ideologi A lebih kiri dari ideologi B. Artinya juga kalau ke kiri lagi, masuk jurang. Nah, istilah neoliberalisme dan monetarisme tentu perlu kita pahami posisinya dalam barisan ideologi-ideologi tadi. Di kanan? Di kiri? Atau di tengah? Menurut teori, neoliberalisme adalah penjelmaan baru dari liberalisme ala Adam Smith. Di kanan dia pro kebebasan individu atau bisa dikatakan pro pasar!

Monetarisme? Ini adalah aliran ekonomi Milton Friedman yang mengatakan ekonomi dapat dikendalikan dengan baik semata-mata dengan mengendalikan suplai uang atau uang beredar. Pengendalian lain nggak perlu, begitulah aslinya ideologi Milton Friedman, yang didukung penuh pemerintahan Reagan dan Thatcher. Artinya seorang monetaris aslinya adalah seorang liberal (kalau di Amerika disebut konservatif, diwakili Partai Republik; malah di Amerika seorang liberal agak ke kiri; istilah memang sering bikin bingung - Y Pan).

Nah menurut teori, klaim pejabat teras PD di atas ketika berdebat dengan Pak Fuad Bawazir bisa menjadi bahan tertawaan.

Lalu apakah bener Pak Boediono seorang neolib? Tentu saingan politik SBY Berbudi mati-matian mengatakannya. Wajar dalam kompetisi politik. Sebaliknya, kubu Pak Boed tentu ingin mendudukkan persoalan lebih proporsional. Sederhananya jangan sampai kesan bahwa Pak Boed hanya pro pasar atau lebih pro ke pasar daripada pro ke rakyat bener-bener jadi opini publik.

Kubu Pak Boed pastinya ingin mengatakan tuduhan para pengkritiknya terlalu berlebihan, walaupun sebagian pendukung beliau - para ekonom arus utama di kampus-kampus dan lembaga lain - merasa nggak ada yang salah dengan neoliberalisme. Kearifan Pak Boediono sebagai ekonom senior sangat terasa, terutama ketika kita bandingkan dengan fundamentalisme para ekonom arus utama yang sensi banget melihat fenomena berbaliknya arah kebijakan. Pernyataan beliau bahwa ekonomi syariah opsi serius (Republika 9 Juni 2009) kembali menegaskannya!

Jadi, apakah Pak Boed seorang neolib? Kalau dari klaim di buku bahwa beliau seorang monetaris, jawabnya YA. Sebaliknya, saya lebih senang mengamati kiprah beliau di berbagai posisi, antara lain Menkeu, Menko Perekonomian, Ketua Bappenas yang menghasilkan kebijakan yang tidak semata-mata pro pasar. Juga kiprah beliau di BI yang ramah kepada ekonomi dan perbankan syariah. Anda? Terserah deh.

Baca kisah lainnya:
Timbal Balik Kebaikan dan Kejahatan
Emas Putih dan Hitam
Kelemahan Uang
Irrationality and Improvement
Mencegah Krisis
Kebijakan Berbalik Arah

Selengkapnya.....

Kamis, 04 Juni 2009

Timbal Balik Kebaikan dan Kejahatan

Kita pasti pernah musuhan sama seseorang, terutama ketika kecil atau remaja. Tindakan kita sering ditentukan oleh persepsi kita mengenai musuh kita itu, dan selanjutnya tindakan kita dipersepsi oleh musuh kita yang kemudian menentukan tindakan dia berikutnya. Begitu seterusnya. Main catur sama juga. Langkah kita sebagian ditentukan oleh langkah lawan kita sebelumnya, dan selanjutnya langkah kita menentukan langkah dia berikutnya. Mbulet ya? Iya lah, namanya juga hubungan timbal balik.

Hampir semua fenomena kehidupan terkena kutukan timbal balik ini. Ketika kita mencari penyebab sesuatu, kita tidak pernah sampai pada kesimpulan final. Selalu tentatif. Coba deh kasus ini. Apa yang bikin perusahaan sukses? Apakah uang dan emas yang dimilikinya atau pengetahuan dan kompetensi orang-orangnya atau nilai-nilai yang diyakini?

Ada yang menjawab nilai-nilai. Kemudian jawaban itu ditimpali dengan kenyataan nilai-nilai lahir dan terinternalisasi lewat pengetahuan. Ada lagi jawaban lain. Untuk perusahaan yang masih baru, uang dan emas sangat menentukan, sementara untuk perusahaan mapan, justru pengetahuan dan kemampuan yang menentukan kesuksesan selanjutnya. Pertanyaan berikutnya yang mengusik dari fenomena ayam-telor seperti ini adalah dari ketiganya mana yang jadi faktor terpenting.

Saya sering berdebat dengan teman mengenai sifat pasar keuangan. Apakah ia deterministik yang ditentukan persamaan-persamaan matematis yang diusung para financial engineers? Ataukah ia tidak deterministik? Saya berada di kubu non deterministik, seraya mengutip pernyataan besar tokoh Alan Grant dalam film Jurassic Park: kehidupan akan mencari jalannya. Dalam film itu, pernyataan tersebut terbukti dengan meyakinkan. Kehidupan dinosaurus yang dikendalikan oleh sistem yang canggih akhirnya lepas kendali!

Film Jurassic Park tidak bicara eksplisit mengenai hubungan timbal balik. Ia semata-mata mencoba mendemonstrasikan bahwa keinginan makhluk hidup bernama dinosaurus (apalagi manusia) bikin sejarah tidak dapat ditentukan jalannya. Analogi Jurassic Park ini cukup membuat saya bebal dalam diskusi dengan meyakini pasar keuangan tidak akan pernah mencapai titik keseimbangan sesuai teori yang diusung ekonom arus utama. Teori ini berlaku menurut hemat saya hanya di tataran konsep yang jauh dari realita yang sebenarnya.

Buku Predictably Irrational (baca artikel saya sebelumnya mengenai buku ini) terlebih menguatkan keyakinan saya bahwa kekurangan manusia membuat teori ekonomi arus utama tidak berlaku sepenuhnya dalam kehidupan nyata. Kemudian saya membaca pemikiran Karl Popper yang senada bahwasanya manusia tidak pernah menguasai pengetahuan yang sempurna (perfect knowledge atau perfect information). Positifnya adalah baik Dan Ariely maupun Karl Popper mengatakan kelemahan manusia itu justru membuka peluang perbaikan terus menerus.

Jadi, keterbatasan manusia adalah ladang amal buat masing-masing kita. Begitulah bahasa da'wahnya. Terkait dengan keterbatasan manusia dan peluang perbaikan, Popper mengajukan konsep open society di mana pengetahuan manusia saat ini yang terbatas dalam mewakili realita akan diperbaiki dari waktu ke waktu, dengan asumsi anggota open society memang bener-bener berniat mencari kebenaran. Dalam hal ini, Popper cukup rendah hati mengakui keterbatasan manusia dan sekaligus optimistis terhadap upaya pencarian kebenaran. Perbaikan pengetahuan!

Kenyataannya? Kerendahan hati Popper belum cukup jauh (atau dekat) mewakili kenyataan. Dasarnya adalah fenomena sosial timbal balik antara upaya memahami (kognitif) dengan fungsi mempengaruhi (manipulatif). Fungsi kognitif menghasilkan teori atau pengetahuan, walaupun tidak sempurna. Teori yang terbentuk mengubah perilaku manusia, dan sengaja atau tidak sengaja ia mengubah realita sehingga teori semula justru makin nggak akurat. Inilah yang disebut George Soros di dalam bukunya The Alchemy of Finance dan The New Paradigm for Financial Markets sebagai reflexivity.

Sesungguhnya, fenomena timbal balik antara fungsi kognitif dan fungsi manipulatif manusia masih cukup kondusif dalam open society mencari kebenaran, seandainya anggota masyarakat semuanya berniat mencari kebenaran. Fungsi kognitif merupakan jalan untuk mengkoreksi teori dari waktu ke waktu. Namun, ada sifat setan dalam diri manusia, sehingga manusia dapat sengaja memanipulasi realita melalui teori-teori yang palsu. Belum sempat teori itu terbukti kebenarannya, oknum setan dalam diri manusia memanipulasi realita melalui teori-teori palsu lainnya.

Contoh sederhana dari penggunaan sengaja fenomena timbal balik fungsi kognitif dan fungsi manipulatif mudah dilihat ketika sebuah lembaga survey mengeluarkan prediksi perolehan suara tiap-tiap kandidat dalam pemilu. Apalagi ketika lembaga survey dimaksud terkait dengan salah satu kandidat. Contoh lain adalah fitnah yang dikemas sebagai teori ilmiah ataupun laporan intelijen. Figur atau sesuatu yang difitnah akan dipersepsi tidak sesuai dengan kenyataannya. Persepsi yang salah kemudian mempengaruhi perilaku massa terhadap figur tersebut. Realita berubah dan bisa menguatkan persepsi yang salah. Demikian seterusnya.

Nah, apakah kesengajaan memanipulasi realita dengan teori palsu selalu jahat dan selalu bersumber dari sifat setan? Entahlah. Mungkin ada yang memiliki tujuan halal menempuh jalan haram. Mungkin juga ada yang memiliki tujuan halal tapi nggak sadar kalau jalan yang diambil haram. Mungkin ada juga yang nggak tahu apakah tujuannya halal atau tidak. Mungkin juga, nah ini paling parah, memang niatnya nggak bener dari awal.

Terakhir nih, reflexivity pastinya dapat terjadi pada kebaikan maupun kejahatan. Ketika kebaikan dan kejahatan disandingkan, faktor apa yang membedakan keduanya? Uang dan emas? Pengetahuan? Atau nilai-nilai dan keyakinan? Biarlah kita jawab di dalam hati masing-masing.

Fabiayyi hadiitsin ba'dahuu yu'minuun!

Kisah lain:
Emas Putih dan Hitam
Kelemahan Uang
Kekuatan Uang

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed