Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Sabtu, 24 Mei 2008

Belajar Ikhlas dalam Bekerja

Telah sepuluh tahun reformasi digulirkan. Telah seratus tahun kebangkitan nasional diserukan, walaupun mantan ketua Muhammadiyah mengatakan terbentuknya Budi Utomo tidak layak dijadikan tonggak sejarah kebangkitan nasional. Telah lebih sepuluh tahun, bahkan hampir lima belas tahun, saya memasuki dunia kerja. Semua orang, termasuk saya, bekerja dan berkiprah di bidang masing-masing. Dalam bekerja selama periode tersebut, pasti kita menghadapi pasang surut. Adakalanya berhasil. Tidak jarang gagal. Minimal selalu ada kesulitan teknis dan non teknis menghampiri.

Dalam Islam, bekerja dapat dipandang sebagai ibadah. Dua syarat ibadah agar bernilai di mata Allah: ikhlas dan sesuai contoh Rasulullah. Sesuai teladan Rasulullah dengan kata lain berarti sesuai dengan syariat. Dalam hal bekerja, itu artinya tidak curang, tidak khianat, dan tidak-tidak lainnya, sebaliknya harus jujur dan amanah. Namun demikian, terdapat area mubah dalam bekerja yang kadang menjadi sumber konflik. Sering terjadi masing-masing pihak merasa berniat baik dalam mengajukan sesuatu. Sesuatu itu pun juga dapat dipandang sebagai suatu yang baik, misalnya perubahan dan reformasi. Ketika para pihak ketemu, muncul berbagai friksi. Masing-masing kita tentu pernah bahkan sering mengalami kasus begini. Sama-sama bermaksud baik, tapi nggak akur.

Perkara konflik dalam beramal atau bekerja semakin ruwet ketika mekanisme pengorganisasian tidak berjalan efektif. Terlebih lagi, sebagai manusia kita memiliki kepentingan-kepentingan manusiawi yang bersaing dengan maksud mulia. Kalau nggak begini, tentu dunia akan sepi dan mungkin tidak menyenangkan lagi. Dalam artikel Keniscayaan Perbedaan, saya pernah mengemukakan bahwa demokrasi dapat menjadi cara resolusi yang efektif dan efisien. Kenyataannya, tidak semua masalah layak, walaupun bisa, diselesaikan dengan cara itu. Contohnya dalam organisasi. Walaupun melibatkan semua pihak adalah suatu yang baik, keputusan sering harus diambil sendirian oleh sang pemimpin. Dalam sunyi. Kalau tidak demikian, mungkin organisasi dimaksud lebih tepat disebut kumpulan warga di RT atau RW, yang tidak dituntut geraknya sesuai misi dan visi organisasi.

Nah, ketika keputusan diambil, ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan. Biasa. Yang sering kita masalahkan adalah kalau kepentingan manusiawi kita yang dirugikan. Bahkan di pasar sekalipun, di mana penjual dan pembeli melakukan transaksi secara sukarela tanpa niat curang atau khianat, ada pihak yang mengambil untung dan ada yang menanggung kerugian. Ada risiko. Tidak sedikit yang akhirnya bangkrut. Kalau kita rugi atau bangkrut (naudzubillah), tentu sedih dong. Apalagi kalau kita merasa telah bekerja dengan baik dan mestinya layak mendapat untung di pasar atau promosi di perusahaan. Lebih sakit lagi kalau kita melihat orang yang tidak bekerja dan berbisnis dengan baik justru bertahan dan berkembang. Hik... Siapa bilang hidup ini adil?

Kalau kita bercerita mengenai pengalaman personal, tentunya halaman-halaman ini tidak memadai, saking banyaknya perasaan tidak beruntung terpendam dalam diri. Di sini, saya pribadi belajar untuk ikhlas. Ikhlas menerima ketetapan Allah, dalam bentuk takdir. Katup ikhlas ini membuat kita mampu bertahan, bagaimanapun kondisinya. Dan itu berpahala. Kita patut menagih pahala dari Allah atas kemalangan itu. Maksud menagih tentunya berdo'a dan Allah suka dengan hambanya yang mengharap pahala. Ustadz saya pernah mengilustrasikan seorang yang suci, zuhud, dan tahu hakikat yang berdo'a kepada Allah, menagih banyak hal, tapi senang tidak dikabulkan di dunia, menunggu bagian di akhirat.

Saya di sini tidak menganjurkan kita jadi apatis dan malas bekerja. Justru sikap mental yang lahir dari ikhlas harusnya positif, sangat positif. Ketika hasil kerja kita tidak diapresiasi, ketika gagasan jenius kita ditolak mentah-mentah, ketika orang lain yang tidak berkontribusi justru mendapat reward, ketika orang yang tidak punya program justru dipilih menjadi pemimpin, dengan sikap mental positif, kita justru makin getol berkarya, melahirkan gagasan baru yang brilian, dan merancang program-program perbaikan. Apa yang akhirnya terjadi, menang atau kalah, bukan soal. Banyak pahlawan yang gugur. Banyak pahlawan hebat yang kalah dalam pertempuran. Kekalahan itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap nilai kejuangan dan kepahlawanannya.

Mari kita lirik sedikit hasil penelitian Jim Collins dalam bukunya Good to Great. Para pahlawan perusahaan yang berhasil mentransformasi perusahaan menjadi hebat menjawab dengan bingung ketika ditanya Collins resep rahasianya. Memang Collins dkk menggali dan menyarikan faktor-faktor sukses para CEO tersebut. Lihat ringkasan buku ini yang pernah saya buat. Namun demikian, tetap saja para pahlawan tersebut mengatakan mereka hanya beruntung. Beruntung punya SDM yang berkualitas. Beruntung berada pada tempat dan waktu yang tepat. Apa sih artinya? Orang yang hebat sekalipun, atau lebih tepatnya justru orang yang hebat dapat dengan kalem mengakui keberhasilan yang diraih tidak dapat sepenuhnya lepas dari faktor kebetulan. Istilah lainnya takdir, kata yang digunakan Ferguson (terjemahan sih) setelah MU menjadi kampiun Eropa lewat drama adu penalti.

Untuk memantapkan keyakinan secara ilmiah tentang adanya faktor kebetulan, mungkin Anda perlu membaca buku Fooled by Randomness, yang terjemahan bebasnya Terkecoh oleh Faktor Kebetulan, karya praktisi pasar keuangan Amerika asal Yunani yang cukup kesohor, Nassim Nicholas Thaleb. Jadi... Kekecewaan sesaat rasanya dapat dimaklumi. Justru nggak manusiawi kalau kita tidak kecewa terhadap kegagalan. Selanjutnya, biarkan ikhlas yang kembali bekerja. Yuk, sama-sama belajar ikhlas, sehingga hidup terasa adil!

Tidak ada komentar:

addthis

Live Traffic Feed