Sejak pilkada langsung diberlakukan, hampir tiap hari kita dapati semaraknya. Contoh terakhir Pilkada Kaltim. Walaupun penghitungan resmi belum final, quick count yang dilakukan beberapa lembaga survey independen mengindikasikan pemenangnya tidak memperoleh suara signifikan dibandingkan saingan terdekat. Mudah-mudahan apa yang terjadi di Malut tidak terjadi di Kaltim dan di daerah lain. Suasana semarak pilkada juga saya dapati waktu pulang kampung akhir pekan lalu.
Jalan-jalan Kota Palembang dimeriahkan poster-poster para tokoh. Ada yang mencalonkan jadi Gubernur Sumsel. Ada juga untuk Walikota Palembang. Yang terakhir ini bahkan pencoblosannya akan dilakukan dalam waktu dekat, awal Juni 2008. Salah satu calon, pernah saya kenal kurang lebih lima tahun lalu, yaitu Ustadz Iqbal Romzi. Beliau memimpin sebuah pesantren di Inderalaya. Kenalnya dulu lewat MLM. Kami sama-sama distributor Propolis Gold, sebuah makanan suplemen produk lebah.
Perjalanan tidak berhenti di Palembang saja. Saya juga pulang ke Dusun Pangkalan Lampam, OKI, untuk menghadiri kawinan seorang sepupu. Jarak tempuh dari Palembang tidak sampai 100 km, tapi waktu tempuhnya 1,5 sampai 2 jam. Jalannya tidak terlalu jelek. Lebar jalan yang pas-pasan menghalangi saya memacu mobil. Poster-poster bertebaran di sepanjang jalan. Wajah Gubernur Sjahrial Oesman bertebaran. Dukungan PKS kepada beliau yang diusung PDI-P kelihatannya memungkinkan pemasangan poster di pelosok-pelosok. Saingan beratnya adalah Bupati MUBA, Alex Noerdin, yang diusung PG. Tapi posternya di sepanjang jalan menuju dusun nggak sebanyak Sjahrial Oesman. Selain semarak pilkada level provinsi, kawasan juga dihangatkan persaingan di level Kabupaten. Ini yang menarik diceritakan lebih jauh.
Salah seorang calon Bupati OKI adalah adik salah seorang menteri Kabinet SBY yang punya model (kalau boleh dikatakan demikian) rambut yang khas. Saat ini sebenarnya beliau menjabat posisi Wakil Bupati Ogan Ilir. Mungkin karena alasan Ogan Komering Ilir (OKI) lebih dekat secara asal usul, beliau memutuskan untuk maju dalam Pilkada OKI. Kurang lebih demikianlah yang disampaikan sendiri di hadapan tamu undangan kawinan sepupu saya. Lho? Itulah, memang keluarga besar kami masih ada hubungan kerabat. Jadi sebagai undangan dan juga sebagai tokoh, beliau diminta memberikan sambutan mewakili tamu. Mengambil kesempatan emas tersebut beliau langsung kampanye. Terlepas etis atau tidaknya kampanye di acara kawinan, orasi kader PAN tersebut cukup menarik. Hanya saja menurut pendapat saya pribadi agak kepanjangan. Apalagi ini di acara resepsi kawinan.
Pelajaran apa sih yang bisa dipetik? Ada yang berpendapat nggak ada gunanya. Tingkat golput, seperti yang terjadi barusan di Kaltim yang melebihi perolehan suara pasangan teratas, dijadikan indikator. Hal yang sama, tapi nggak separah di Kaltim, juga banyak terjadi sebelumnya. Misalnya, di Bekasi dan Jawa Barat yang pilkadanya baru saja berlalu. Sebaliknya, ada yang berpendapat pilkada banyak manfaatnya. Minimal, gerak ekonomi menjadi lebih dinamis. Para calon butuh poster-poster, baliho, kaos, dan perangkat lainnya. Selain itu, acara-acara kampanye sering digunakan kesempatan untuk jualan jajanan dan jualan lainnya. Yang negatif tentu saja jualan suara. Mungkin ini lebih besar porsinya secara ekonomi.
Saya pribadi termasuk yang berpendapat pilkada banyak manfaatnya, terlepas dari efek samping negatif yang mungkin terjadi. Pertama, proses rekrutmen politik menjadi lebih transparan. Dalam jangka panjang, koreksi yang dilakukan masyarakat sendiri akan membuat proses ini lebih efektif dan efisien. Kedua, ketika melakukan kampanye, para calon pemimpin sengaja atau tidak memberikan edukasi kepada masyarakat. Janji sekolah dan berobat gratis yang banyak diusung boleh jadi nggak terpenuhi, akan tetapi janji itu sendiri meningkatkan ekspektasi masyarakat. Masyarakat melihat sendiri buktinya bahwa itu dapat direalisasikan. Di MUBA misalnya. Ketiga, kompetisi menuntut upaya peningkatan diri. Insya Allah, para calon pemimpin tidak lagi asal terjun ke dunia politik
Pertanyaannya mungkin berapa lama lagi hasil nyata dapat keliatan. Hm... Mental pejuang kayaknya tidak kesusu begitu. Kalaupun besok mau kiamat, kita tetap dianjurkan untuk menanam. Kalaupun harus gugur dan tidak dapat menikmati hasil, seorang pejuang sejati tetap melakukan pengorbanan. Jadi...? Be positive! Kalau bukan kita, tentunya anak cucu kita, generasi berikutnya, yang akan menikmati hasil. Justru kalau mau melakukan perubahan, jadilah agennya, seperti kenalan saya dosen ITB, AA' Arman, yang mencalonkan diri sebagai Wakil Walikota Bandung, melalui jalur independen. Lihat blognya di http://kupalima.wordpress.com. Kalau nggak berani mengajukan diri, minimal koreksilah para pemimpin dengan tidak memilih yang curang dan memilih yang jujur, bersih, dan profesional.
Kamis, 29 Mei 2008
Demokratisasi di Daerah
Label:
demokrasi-politik,
nilai-nilai
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
addthis
Kategori
- bahasa-matematika (23)
- demokrasi-politik (51)
- ekonomi-bisnis (71)
- lebih personal (42)
- manajemen (111)
- nilai-nilai (137)
- review buku (68)
- sistem informasi (37)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar