Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Selasa, 06 Mei 2008

Keniscayaan Perbedaan

Bagaimana pendapat Anda tentang dua pilihan ini: perbedaan yang terpuji dan perpecahan yang tercela? Menurut saya, perbedaan tidak mungkin dihindari. Kata seorang guru, menyatukan semua orang dalam pendapat tunggal adalah upaya sia-sia, karena perbedaan merupakan hukum alam. Ada siang, ada malam. Ada kaya, ada miskin. Ada susah, ada senang. Setiap orang mempunyai kebebasan untuk memiliki pendapat sendiri-sendiri. Memang seperti itulah tabiat manusia.

Namun demikian, perpecahan masyarakat bukanlah suatu yang lazim. Dengan kata lain, perpecahan masyarakat tidak akan terus menerus terjadi. Ini juga hukum alam. Ada masanya sekelompok manusia, katakanlah suatu masyarakat, dapat sepakat untuk hal tertentu. Sejarah diri kita pribadi, keluarga, daerah, negara Indonesia, bahkan dunia telah membuktikan kenyataan tersebut. Ketundukan terhadap aturan yang disepakati dapat saja karena terpaksa, walaupun nggak selalu. Bagaimanapun, hakikatnya adalah bahwa persatuan dapat dan memang telah terjadi serta dapat pula diupayakan melalui berbagai instrumen. Bisa jahat, bisa baik. Jadi, ramalan bahwa suatu masyarakat tertentu akan pecah mengikuti takdirnya harus diterima secara kritis, bahkan mungkin harus ditolak karena justru memberikan dampak sosial yang negatif.

OK, kalau kita fokus pada topik persatuan, bukan perpecahan, tetap perlu kita diskusikan faktornya. Sebagaimana sering dikemukakan para ilmuwan sospol, masyarakat (khususnya masyarakat negara) terbentuk melalui adanya kontrak sosial. Tanpanya masyarakat akan hancur pecah belah. Bahasa sederhana saya adalah terms and conditions, atau platform-lah. Lihat artikel saya sebelumnya berjudul Boleh Gabung Nggak? Memang ketika kita bicara mengenai kelompok masyarakat yang sangat besar semisal negara, platform tadi harusnya menjadi sangat kompleks. Wajar dong. Kalau menurut Malcolm Gladwell, kelompok dapat hidup harmonis tanpa protokol kehidupan atau birokrasi jika tidak lebih dari 150 orang (lihat ringkasan buku The Tipping Point, khususnya mengenai The Magic Number of 150 yang pernah saya buat di blog ini). Negara, sebaliknya, membutuhkan banyak aturan, yang tertulis dan tidak. Kantor saya aja banyak banget aturannya. Kantor Anda juga kan?

Nah, karena perbedaan adalah kepastian, diperlukan mekanisme tertentu dalam masyarakat untuk menyelesaikannya secara bermartabat. Tidak semua hal harus diatur. Nggak mungkin bagi kita mengatur segala hal. Dari yang diatur pun dapat kita keluarkan dua kategori besar: hal pokok dan hal tidak pokok atau hanya cabang. Keluar dari hal pokok berarti keluar dari kelompok masyarakat yang tadinya bersatu. Pecah! Pisah... Cerai. Timor Leste contohnya. Maia dan Ahmad Dhani juga. Di wilayah tanpa platform yang disepakati, Anda dapat melakukan apa saja sekehendak hati. Biasanya ini sangat privat. Di wilayah bersama, nggak bisa begitu. Anda nggak bisa asal beda memperturutkan hawa nafsu sendiri. Itu artinya Anda keluar dari kelompok atau dikeluarkan atau diusir. Minimal diasingkan, dalam penjara misalnya.

Supaya nggak kacau, setiap orang merasa berhak menghukum orang lain, dalam masyarakat harus ada penyelenggara aturan bersama, para birokrat atau pelayan publik. Platformnya sendiri terus berubah. Meluas. Menyusut. Naik. Turun. Tantangan selanjutnyanya adalah bagaimana perubahan itu bisa dikelola dengan baik. Dalam kelompok kecil, kita bisa duduk bersama untuk membahas dan menyepakati perubahan. Dalam kelompok besar, tidak praktis mengumpulkan semua orang untuk duduk bersama mendiskusikan perbedaan. Makanya ada perwakilan. Wakil-wakil inilah yang menyesuaikan aturan, sesuai tuntutan zaman. Persoalan selanjutnya adalah memilih wakil itu sendiri. Tanpa membuang tempo lagi, saya kemukakan pendapat saya mengenai ini: musyawarah adalah cara terbaik dan demokrasi adalah bagian atau salah satu cara yang praktis untuk bermusyawarah.

Mungkin Anda akan mendebat apakah semua perbedaan bisa diselesaikan dengan musyawarah, khususnya demokrasi. Bukankah dalam demokrasi suara seorang maling dinilai sama dengan suara seorang guru mulia!? Bagaimana jika justru ada wacana menghapuskan suatu yang sudah benar dan baik? Bagaimana jika justru kerusakan yang ingin dikedepankan oleh pihak tertentu? Seperti itulah mungkin argumen Anda yang tidak setuju dengan pendapat saya. Hm... ini memang salah satu kelemahan demokrasi, tapi saya masih belum menemukan alternatif lain yang lebih baik dan sekaligus praktis, dapat dilaksanakan dengan efisien. Di satu pihak, orang-orang yang positif tentu tidak akan tinggal diam. Mereka akan terus kampanye. Mereka terus meluaskan dukungan. Terus mendidik dan mengajak. Semuanya untuk kemaslahatan yang diyakininya. Di pihak lain, ada orang yang menilai mayoritas orang lain salah, dan dia yakin dengan kebenarannya. Untuk orang ini justru saya sarankan untuk mulai bekerja. Menjual kebenarannya. Kalau masih belum laku, harus usaha lagi. Jangan cuma mengeluh. Jangan anarkis juga. Inilah jalan yang bermartabat.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

terimakasih, artikel anda bagus dan menarik, artikel anda:
http://www.infogue.com/
http://politik.infogue.com/keniscayaan_perbedaan

anda bisa terus promosikan artikel anda di infoGue.com yang akan berguna untuk semua pembaca. Telah tersedia plugin/ widget vote & kirim berita yang ter-integrasi dengan sekali instalasi mudah bagi pengguna. Salam!

addthis

Live Traffic Feed