Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Rabu, 31 Desember 2008

Dunia Perlu Di-Restart

Kalau komputer di-restart, Anda tentu tahu bahwa sebetulnya ia dimatiin dulu terus dinyalain lagi. Kenapa harus di-restart? Mungkin ada kebocoran memori yang terus menggelembung dan tidak dapat dikelola lagi oleh OS (setahu saya di Unix dan Mac sangat jarang - Y Pan). Mungkin ada proses liar yang ngaco dan nggak bisa lagi dikendalikan; dimatiin juga nggak mau. Sebagai pengguna komputer sehari-hari, terutama PC, kita sih enteng-enteng aja melakukan ritual restart ini. Bahkan beberapa administrator sistem (server) juga cukup sering mempraktikkannya. Makanya mereka sering disemati gelar MCSE (Micro**** Certified System Engineer) sekaligus MCRE (Micro**** Certified Restart Engineer), hehehe. Bagaimana dengan dunia? Kalau di-restart model PC, bisa kacau balau. Jadi yang dimaksud lain, bukan gitu.

Terus terang artikel ini diinspirasi opini Thomas Friedman di NY Times berjudul Time to Reboot America. Intinya begini. Amerika dalam masalah besar. Bailout aja nggak cukup. Harus reboot! Alasannya? Salah satunya adalah Amerika sudah terlalu manja, misalnya karena pajak yang rendah. Lainnya adalah kebijakan imigrasi yang menghambat, bukannya mengundang talenta terbaik dari luar. Lainnya lagi - nah ini mungkin yang paling menarik - adalah kemampuan intelektual kolektif Amerika lebih terkonsentrasi pada financial engineering daripada real engineering. Akibatnya, orang-orang cerdas lebih banyak berkecimpung di sektor keuangan untuk menghasilkan uang dari uang (ribawi? - Y Pan) daripada di sektor riil untuk memproduksi mobil, telepon, komputer, dll, untuk kemudian menghasilkan uang.

Ini dia kata-kata Friedman sendiri:
To top it off, we’ve fallen into a trend of diverting and rewarding the best of our collective I.Q. to people doing financial engineering rather than real engineering. These rocket scientists and engineers were designing complex financial instruments to make money out of money — rather than designing cars, phones, computers, teaching tools, Internet programs and medical equipment that could improve the lives and productivity of millions.

Wah, ini opini luar biasa dari Friedman. Penulis The World is Flat ini mungkin secara tidak sadar menyinggung isu riba. Menurut pendapat saya, making money out of money tidak lebih dan tidak kurang adalah praktik riba. Nah, ketika proses atau praktik ribawi ini telah menggurita dan menggelembung sedemikian rupa, ternyata para pelakunya dan juga regulatornya merasa sayang atau takut untuk membiarkan gelembung meletus begitu saja. Alasannya klasik. Too big too fail. Makanya ketika Ginanjar, temen kantor, bercerita kegundahan Dan Linstedt (instruktur Ginanjar dan Laksmi waktu belajar Data Vault data modeling di Denver - Y Pan) mengenai pemerintah AS yang lewat bailout melindungi sektor keuangan yang ternyata rapuh, saya langsung berspekulasi bukan cuma kolumnis kayak Friedman yang secara tidak sadar "benci" dengan praktik riba, tetapi banyak... termasuk kita-kita ini yang masih sulit melepaskan diri dari sistem keuangan konvensional ini.

Lho, cerita dari Friedman di atas semuanya cuma tentang Amerika koq. Apa hubungannya dengan dunia? Ini dia. Saya termasuk yang yakin pada era ini Amerika adalah pemimpin dunia. Suka atau tidak. Banyak negara lain yang mengekor. Termasuk dalam hal sistem keuangan. Sistem keuangan Amerika sudah menjadi sistem keuangan global. Dengan segala aturannya. Konsekuensi kepemimpinan tersebut, kalau Amerika perlu di-reboot, artinya dunia juga! Buktinya... krisis finansial global sekarang ini yang bermula dari Amerika. Mungkin kita perlu mencermati peringatan Peter Drucker dalam bukunya Managing in the Next Society mengenai likuiditas dunia yang ditransaksikan setiap malam dalam jumlah luar biasa besar tapi tidak memiliki manfaat ekonomi sama sekali. Juga artikel harian Kompas berikut ini.

516 Triliun Dollar AS Kekuatan Perusak

Jumat, 29 Februari 2008 00:48 WIB
Paul B Farrel, analis pasar AS, di situs MarketWatch edisi 25 Februari memberi peringatan. Ada sekitar 516 triliun dollar AS dana-dana investasi, yang menjadi kekuatan perusak ekonomi. Persisnya ia menyebutnya sebagai toxic derivatives, transaksi di sektor keuangan yang menjadi fasilitas investasi untuk mengembangbiakkan dana-dana orang berpunya.

Dana-dana ini begitu besar, dibandingkan dengan total produk domestik bruto (PDB) dunia yang hanya 48 triliun dollar AS. Dana-dana ini tidak lagi semata-mata dikelola dalam jenis investasi berjangka panjang. Juga tak lagi dana-dana itu dikelola dengan mengindahkan kaidah-kaidah risiko investasi. Dana-dana ini memasuki pasar, yang memberi fasilitas investasi mirip perjudian. Misalnya, banyak bursa saham di dunia yang memasang taruhan soal naik turunnya indeks saham alias bukan lagi terbatas pada naik turunnya saham sebuah perusahaan.

Mereka terkadang bermain di composite index, indeks harga saham gabungan. Jangka waktu permainan bisa dalam hitungan detik, tak lagi menit.

Dana-dana yang dikelola para manajer dana investasi ini memasuki pasar yang dianggap bisa ”dimainkan” untuk meraup untung besar dalam waktu cepat, lalu keluar dari pasar setelah untung. Investor-investor yang naif akan menjadi sasaran empuk.

Selama ini dana-dana tersebut bermain di kisaran saham, obligasi, dan valuta asing, seperti dollar AS dan mata uang kuat dunia lainnya.

Mengapa dana-dana ini oleh Farrel disebut sebagai toxic derivatives? Berbagai kantor berita terkadang memberi julukan pada investor itu sebagai bloodied investors. Alasannya, mereka bisa menaikkan atau menurunkan saham, yang menyebabkan kerugian besar bagi pihak lain, yang bahkan disebut sebagai kerugian berdarah-darah karena magnitude-nya begitu luar biasa.

Bahkan, investor itu yang disebut bloodied itu juga bisa mandi darah. Artinya, ia bisa rugi besar dan bangkrut, seperti dekade 1990-an, yang dialami Long Term Capital Management (AS). Jika masih bisa bergerak, bloodied investor ini makin mengamuk dan menggasak seperti banteng menyeruduk (raging bull), istilah yang dipakai Phil Flynn, analis dari perusahaan Alaron Trading (Chicago, AS), di situs Forbes.

Buktinya sudah banyak. Bank sekaliber UBS (Swiss) pun sudah berdarah-darah dengan kerugian sekitar 12 miliar dollar AS. Setidaknya sudah ada kerugian 100 miliar dollar AS yang dialami lembaga keuangan internasional.

Konsumen dikorbankan

Permainan belum berakhir dan gejolak belum akan berhenti. Kini taruhannya bukan lagi semata-mata para investor termakan investor. Atau istilahnya, fenomena yang akan terjadi ke depan bukan lagi para investor saling memakan.

Hideki Amikura, manajer valuta asing dari Nomura Trust and Banking, Tokyo, mengatakan, kini investor sedang jengkel dengan dollar AS, obligasi, dan harga-harga saham, yang menjadi mainan mereka.

Para investor kini memasuki komoditas, yang permainannya sudah disediakan pula di bursa, seperti bursa logam London (London), bursa komoditas Chicago, dan di belahan dunia lainnya.

Bukti sudah ada. Harga minyak dan gas terus meroket. Harga gandum sudah mencapai rekor, demikian pula kedelai atau tanaman biji-bijian. Demikian pula emas telah mencapai rekor baru.

”Komoditas juga kini jadi safe haven,” kata Farrel. Investor ingin mengamankan investasinya dari kemerosotan dollar AS, kemerosotan harga saham dan obligasi dengan memburu komoditas.

Taruhannya adalah konsumen. ”Harga gas yang naik telah merogoh kantong konsumen,” demikian dikatakan harian New York Times edisi Kamis (28/2).

Konsumen di Indonesia pun sudah menjadi korban berupa kenaikan harga-harga pangan, termasuk harga tempe, yang terbuat dari kedelai.

Bagaimana menghentikan ini semua? Guru investor obligasi dunia asal AS, Bill Gross, mengatakan, ini semua akibat leluasanya para manajer dana investasi melakukan aktivitasnya. Regulasi pasar tak ada sehingga tak membatasi aksi-aksi mereka, yang terbukti sudah melahirkan gejolak besar.

Inilah juga yang disuarakan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) di pengujung tahun 2007. Peringatan serupa juga sudah disampaikan The Bank for International Settlements (BIS) dan juga sudah diingatkan delegasi Jerman pada pertemuan G-7 di Tokyo awal tahun ini.

Namun, Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke dan Menkeu AS Henry Paulson menganggap sepi semua itu. ”Mereka pembohong,” kata Farrel.

Bagaimana Indonesia? Jika tak menjaga ketahanan pangan, konsumen akan membayar harga mahal sebagaimana rakyat sudah terbebani dengan kenaikan harga BBM dan listrik yang byar pet. (MON)


Artikel terkait:
Regulasi Sektor Keuangan
Mencegah Krisis
Filsafat Kebijakan Baru
Krisis Ekonomi AS dan Global

Selengkapnya.....

Selasa, 30 Desember 2008

Gloomy Days

Time flies
Year turns another year
The faces of the earth change?
Not at all

Time flies
Word turns another word
The brutal forces of the earth change?
Not at all

Time flies
Tear turns another drop of tear
The deadly bombs of the earth change?
Not at all

O Lord
Give us patience
Shower us with peace

O Lord
Give us strength
Show us truth


Selengkapnya.....

Sabtu, 27 Desember 2008

Belajar di Jalur Selatan Akhir 2008

Tulisan ini saya buat di Solo. Koneksi 3G XL cukup asyik deh. Tapi jangan besar kepala dulu ya XL, soalnya beberapa waktu yang lalu ayahanda saya ganti ke yang lain gara-gara waktu itu banyak masalah koneksi. Oya, kami sekeluarga ke Solo ini untuk menjenguk anak kami yang mondok di Assalaam. Kata ibunya, saya yang kangen, hehehe. Nggak apalah, yang penting kami sekeluarga bisa kumpul, walaupun cuma sebentar dalam canda, obrolan, dan makan bareng. Becanda sih boleh. Ngobrol apa lagi, boleh banget, tapi dua anak kami yang masih balita seperti biasa butuh pengendalian yang luar biasa. Keluar deh jurus-jurus guru TK, termasuk kisah-kisah dan ungkapan mulia, yang saya pelajari otodidak. Nah, kami berangkat dari Bekasi hari Kamis, jam 6 pagi. Tiba di Solo tepat jam 10 malam. Lho koq lama sekali? Ini dia sebabnya.

Jalur selatan adalah jalur favorit saya. Pertama karena lewat Bandung, yang bisa ditempuh full lewat tol. Kedua karena memang lalu lintasnya nggak terlalu ramai. Berharap sudah tiba di Solo kira-kira jam 7 malam, saya kecele juga. Liburan cukup panjang membuat banyak orang bepergian. Macet. Ngantri. Tidak di sepanjang jalan sih. Menuju Karawang-Cikampek dari Bekasi, tanggal 25 Desember pagi itu, ramai lancar, jadinya nggak bisa ngebut. Dari km 57 ke Bandung-Cilenyi asyik-asyik aja. Bisa di atas 100 km/jam. Lepas dari Bandung, Nagrek kembali jadi leher botol. Penyempitan jalan. Masih OK sih, soalnya jalannya cukup mulus. Terus sampai ujung Jawa Barat kondisinya relatif normal.

Di PringSewu berhenti kami buat makan siang. Wah, pengunjungnya bener-bener membludak. Sampai-sampai seorang calon pembeli membatalkan niatnya makan di situ karena harus ngantri. Dia dan rombongan berharap seperti biasa. Langsung duduk, lalu pesan makanan. Dalam kondisi ramai sekali, PringSewu menerapkan sistem fast-food. Pengunjung diminta antri, kemudian memilih makanan yang sudah siap saji. lalu bayar, dan baru duduk. Menunya sih menu yang biasa. Cuma manajemen PringSewu ingin meningkatkan turnover, mempercepat cycle pelayanan. Walaupun berisiko langganan tertentu kabur, pilihan sistem fast-food di hari raya adalah keputusan yang cerdas. Seolah-olah semua pelanggan yang datang ingin dilayani semua. Secepatnya. Lumayan meningkatkan revenue.

Total waktu berhenti di PringSewu sekitar satu setengah jam. Ngantrinya yang lama, tapi istri saya bilang nggak apa. Menurut temannya kalau lewat jalur utara waktu hari raya bisa lebih parah lagi. Setelah shalat dzuhur dan ashar yang kami jama'-qoshor, kami mulai lagi perjalanan. Mulai deh jalannya berlubang-lubang. Saya coba berkelit-kelit sambil memacu kendaraan. Hasilnya banyak yang protes. "Woi, di belakang sini ada penumpang, bukan cuma barang!" Ya, pilihan terbaik adalah jalan pelan-pelan aja. Setelah Majenang, baru jalan agak mending. Sebenarnya di sekitar Majenang, ada jalanan yang telah diperbaiki, tapi sepenggal-sepenggal. Masuk Kabupaten Banyumas, kembali kendaraan bisa dipacu. Sebenarnya jalannya nggak mulus-mulus amat.

Jalan yang mulus memang dambaan kita semua. Waktu tempuh jadi singkat. Kendaraan awet. Terlebih lagi tingkat stres kita nggak perlu terlalu tinggi. Lihat artikel saya sebelumnya, Jalan Bekasi Bebas Korupsi. Kita berharap pemprov dan pemkab dapat memberikan perhatian serius untuk membenahi jalur selatan ini. Lalu apakah jalan mulus sudah cukup? Nggak juga. Kalau macet, waktu tempuh jadi lebih lama, bahan bakar boros, dan stres meningkat lagi. Ini terjadi di Kebumen. Begitu mau masuk kota, kita diberi alternatif jalan bypass ke kanan. Ada beberapa lampu lalu lintas yang jadi biang kerok kemacetan di sini. Menurut saya, polisi seharusnya bisa mengatur durasi waktu lampu hijau dan lampu merah, agar antrian minimal. Nggak tahulah apakah sudah diteliti, tapi feeling saya lampu hijau yang terlalu singkat membuat kelembaman kendaraan, terutama yang gede-gede, memaksa antrian bergerak perlahan. Mungkin yang paling baik, sekali lampu hijau durasinya lima menit. Bagaimana dengan lalu lintas lokal? Ya, nunggu lima menit di jalan bypass kayaknya nggak terlalu masalah. Mungkin sepuluh menit juga nggak apa (maaf ya masyarakat Kebumen - Y Pan).

Perjalanan sisanya relatif lebih nyaman. Kewaspadaan aja yang perlu ditingkatkan, karena pasti sudah capek kan dan maghrib sudah lewat. Untuk menenangkan suasana gaduh di dalam mobil, saya mulai membacakan hafalan-hafalan saya. Anak-anak yang sudah hafal, boleh ikutan. Ajaib! Dua balita itu berhenti bertengkar. Mereka seolah ikut diliputi ketenangan yang luar biasa. Kalau mereka bertanya, "Ayah, masih lama ya?" Saya nasihati mereka, "Banyak-banyak berdo'a Nak, biar kita cepet sampe." Sampai di Yogya sekitar jam 9.30. Selanjutnya ke Solo... ya asyik-asyik saja. Banyak pelajaran yang bisa diambil! Kalau Anda nggak suka jalan-jalan, coba deh jalan-jalan dengan keluarga. Mudah-mudahan Anda bisa menikmati rekreasi sambil belajar. Belajar di jalan.

Selengkapnya.....

Rabu, 24 Desember 2008

Regulasi Sektor Keuangan

Saya pernah iseng bertanya ke konsultan taksonomi Patrick Lambe, ketika ia berkunjung ke kantor kami, bagaimana pendapatnya mengenai krisis keuangan global. Saya nggak tahu apakah dia memiliki latar belakang pengetahuan dan pengalaman di sektor keuangan selain latar belakang manajemen pengetahuan dan informasi. Pokoknya dia prihatin. Kemudian dia menyatakan, entah baca dari mana, bahwa perbankan Lebanon termasuk sistem perbankan paling kaya di dunia. Untuk negara dengan reputasi gejolak dan perang, kalau ini benar, Lebanon sungguh telah menorehkan prestasi yang luar biasa.

Di sebelah sana Mediterania, di seberang Atlantik, sebaliknya, kita kembali disuguhi drama skandal keuangan, termasuk yang terbesar sejak 1900, yang dilakukan oleh Bernie Madoff, mantan Direktur Nasdaq. Skema ponzi atau piramida uang atau sederhananya arisan uang yang dikelolanya telah memakan korban bank-bank terkemuka Eropa. Badan-badan amal yang menjadi kliennya juga tiba-tiba kehilangan sejumlah besar harta mereka. Kalau Anda belum memahami skema ponzi (diambil dari nama seorang penipu besar), bolehlah Anda cermati hasil pencarian Google dengan kata kunci skema ponzi ini.

Dana investor yang datang belakangan, otomatis berada di bagian bawah piramid, digunakan untuk membayar "return" ke investor yang sudah duluan gabung dan berada di bagian lebih atas atau bahkan puncak piramid. Begitulah skema ponzi. Penipuan yang sederhana saja, model QSAR kalau di kita, tapi dengan dampak yang luar biasa. Sampai menggoncang Eropa. Jadi sebetulnya dana investor tidak diinvestasikan secara benar di pasar keuangan, apalagi di sektor riil yang betul-betul menciptakan manfaat. Bagaimana mungkin tipu-tipu seperti ini tidak terdeteksi sama sekali? Apakah Bapepam Amerika (SEC) tidak profesional dalam mengawasi lembaga-lembaga keuangan di bawah kewenangannya? Apakah investor dibutakan sama sekali dari kejahatan Madoff? Apakah pasar kehilangan kemampuan untuk mengkoreksi Madoff, hingga terlambat kayak gini?

Dua cerita di atas mengingatkan saya kepada tulisan Alan Greenspan di satu sisi dan Peter Drucker di sisi lain. Dalam The Age of Turbulence, Greenspan menyatakan bahwa pengawasan atau supervisi yang paling efektif terhadap sektor keuangan adalah yang disebutnya counterpart supervision. Artinya pelaku pasar adalah pihak yang paling tahu kondisi mitra transaksinya. Apakah mitranya itu berkinerja baik atau tidak? Greenspan bahkan berkata beliau sendiri sebagai bagian penting dari regulator pada waktu itu tidak pernah dapat mendeteksi masalah dari laporan-laporan yang disampaikan lembaga-lembaga keuangan kepada pihak berwenang, termasuk bank sentral.

Sebaliknya Peter Drucker mengatakan pasar tidak dapat diandalkan untuk melihat jauh ke depan. Pasar dikatakannya rabun jauh. Apa yang terbaik untuk masyarakat tidak dapat diserahkan bulat-bulat kepada pasar. Makanya Drucker menempatkan pemerintahan dan birokrasi sebagai elemen penting. Sejarah membuktikan sebagai regulator, pemerintahan dan birokrasi, bagaimanapun bobroknya, sangat ulet menghadapi gejolak. Selain itu, birokrasi juga terbukti mampu menjaga keutuhan masyarakat, kecuali beberapa kasus. Drucker mengatakan dalam Managing in the Next Society bahwa sangat sulit menggantikan peran birokrasi dalam menjaga keutuhan masyarakat dan demokrasi tentunya.

Ideologi konservatif di AS memang sangat yakin akan kebaikan small government. Bahkan ada yang sangat ekstrem. Intervensi sedikit saja oleh pemerintah ke pasar bisa dicap sosialis dan komunis. Seolah-olah hanya ada dua jalan tersedia: kapitalisme (versi konservatif) dan sosialisme (the rest of the world atau sisa dunia). Berbeda dengan kubu konservatif, kubu liberal di AS yakin dengan kapitalisme dan tetap merasa perlu pemerintah berperan cukup untuk mengkoreksi pasar. Nah, bagi kaum konservatif ultra kanan, posisi seperti itu sudah bisa dicap sebagai sosialisme. Kasus Madoff secara khusus dan krisis global secara umum mungkin merupakan bukti yang susah dibantah bahwa pemerintah yang tidak berperan boleh jadi justru berpotensi membesarkan (amplify) risiko di pasar. Ketika pasar sangat terlambat mengkoreksi diri, sistem secara keseluruhan bakal gagal melakukan stabilisasi dirinya sendiri.

Siapa ya yang benar? Nggak peduli salah atau benar, ideologi-ideologi ekonomi memiliki pengaruh lebih besar dari yang dibayangkan. Demikian kurang lebih pernyataan John Maynard Keynes. Nah, kalau Anda yakin sekali dengan filsafat ekonomi Anda, tentu tidak ada alasan untuk menyimpannya di laci. Perkenalkanlah kepada dunia, biarpun harus berhadapan dengan ideologi yang mungkin sedang berkuasa. George Soros adalah salah satu orang yang meyakini pasar sempurna tidak pernah ada, karena keputusan pelaku pasar tidak berasal dari pengetahuan yang sempurna. Karena mengetahui kelemahan sistem keuangan yang menurutnya tidak akan pernah mencapai titik keseimbangan, George Soros berhasil memperkaya dirinya sendiri. Bahkan pernah berhasil menekuk lutut bank sentral Inggris (jangan tanya bank sentral negara berkembang deh - Y Pan). Dengan pemahamannya yang berbeda itu! Beliau sedari dulu ingin membagi teorinya itu ke dunia, lewat tulisan-tulisannya. Yang terakhir adalah The New Paradigm for Financial Markets.

Apakah Anda ingin menyusul? Terutama Anda yang sekarang menjadi kekuatan keuangan baru (the new financial power brokers). Misalnya judul buku Anda itu begini: Jalan Tengah, Jalan Baru Menuju Kejayaan Keuangan atau Tatanan Baru (tapi Lama) Sistem Keuangan Dunia. Hehehe, bombastis amat, tapi nggak apa. Yang penting filsafat Anda itu bisa dikenal di belantara diskusi mengenai sistem keuangan dunia. Siapa tahu filsafat Anda itu dapat memimpin dan pada gilirannya membuat regulasi sistem keuangan lokal maupun internasional menjadi lebih efektif dan lebih bermanfaat bagi semua. Orang seperti Madoff tentu akan tetap ada. Krisis keuangan mungkin akan tetap terjadi. Namun demikian, dengan regulasi yang tepat, tidak berarti regulasi total, goncangan tidak perlu seperti roller coaster. Ekonomi tetap tumbuh. Kesenjangan berkurang. Secara umum kesejahteraan meningkat. Wah, hebat banget.

Artikel terkait:
Mencegah Krisis
Filsafat Kebijakan Baru
Kebijakan Memang Berbalik
Kebijakan Berbalik Arah
Menggungat Warisan Greenspan
The Age of Turbulence
Managing in the Next Society

Selengkapnya.....

Rabu, 10 Desember 2008

Mencegah Krisis

Krisis keuangan global saat ini yang dimulai dari pusat keuangan dunia, AS, diramalkan akan berlangsung cukup lama. Baru-baru ini presiden terpilih AS, Barack Obama menyampaikan pesan senada. Bahkan beliau memperkirakan kondisi akan makin memburuk untuk beberapa waktu untuk kemudian membaik. Untuk mengendalikan krisis ini, beliau bersama tim ekonominya telah menyusun program-program tertentu. Program itu termasuk 'pembiayaan' pemerintah terhadap perusahaan, termasuk lembaga keuangan, untuk menolong mereka melewati krisis. Tentu saja biaya yang akan ditanggung pemerintah akan sangat substansial.

Beberapa media serempak menyiarkan rencana Obama di atas. Mungkin Anda dapat membacanya di Republika kemarin, di link ini. Link Reuters dan YahooNews berikut ini mungkin perlu juga Anda cermati: artikel Reuters dan artikel Yahoo. Tentu saja program ekonomi Obama akan menuai pro dan kontra yang beragam. Kubu konservatif mungkin nggak akan pernah bosan mengingatkan peninggalan filsafat small government dari era Ronald Reagan. Sebaliknya kubu liberal, seperti sang nobelis Krugman yang baru-baru ini menyampaikan kuliah nobel di Swedia, justru mendukung kebijakan fiskal yang ekspansif. Memang banyak variasi dan nuansa yang berbeda, tapi pengelompokannya tidak dapat dilepaskan dari perbedaan karakter dasar kedua kubu di atas.

Nah, terkait dengan sektor keuangan, perlu juga dicermati rencana atau bahkan sumpah Obama untuk memperkuat sektor ini dengan regulasi untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas lembaga-lembaga keuangan. Tembakannya sebetulnya adalah untuk melindungi konsumen dari lembaga-lembaga keuangan itu. Saya pribadi menamakan fenomena peralihan kebijakan ekonomi era Bush yang mengarah ke deregulasi ke kebijakan ekonomi Obama sebagai fenomena kebijakan berbalik arah. Salah seorang teman, ketika membaca artikel saya yang lalu, Kebijakan Berbalik Arah, lewat email pribadi menyatakan ketidaksetujuannya. Saya memintanya untuk mempublikasikan komentarnya itu di blog saya untuk kemudian saya tanggapi. Sayang beliau kelihatannya tidak berkenan.

Ada yang mengatakan sektor finansial adalah sektor yang telah sarat dengan regulasi. It is already highly regulated. Mungkin pernyataan ini ada benarnya, tapi regulasi yang ada itu ternyata tidak efektif untuk mencegah krisis. Posisi Greenspan yang kukuh melindungi derivatif dari regulasi mungkin sejalan dengan asumsi bahwa sektor keuangan sudah sangat sarat regulasi. Regulasi tambahan tidak akan mendapat sambutan positif dari pasar. Bahkan yang akan didapat penolakan. Demikian kira-kira argumentasi Greenspan saat itu untuk mematahkan usulan agar derivatif diregulasi. Hari-hari ini justru warisan beliau itu digugat. Lihat artikel saya sebelumnya Menggugat Warisan Greenspan.

Well, bagaimanapun kubu konservatif AS mencoba agar kebijakan tidak berbalik alias agar status quo terjaga, kelihatannya Obama tetap akan menempuh rutenya yang berbau Keynesian atau Krugmanist. Lihat artikel Paul Krugman yang berargumen bahwa untuk mencegah krisis berikutnya diperlukan reformasi sektor keuangan. Dan itu harus dilakukan mulai saat ini. Jadi, walaupun Obama tetap yakin dengan kapitalisme beliau menggesernya ke kiri (atau ke tengah) sedikit agar lebih berkeadilan. Artinya jangan sampai manis kapitalisme hanya dinikmati segelintir orang saja, sementara kebanyakan orang Amerika justru tertekan oleh roda kapitalisme, dalam bentuk biaya pendidikan yang mahal, biaya perumahan yang mahal, biaya kesehatan yang mahal, dan lain-lain. Lihat wawancara Obama sekitar masa kampanye awal tahun.

Hmm, model regulasi sistem keuangan yang digarap Obama tentu akan ditiru banyak negara pengekor. Setidaknya ia akan dipelajari dan minimal sebagian diadop oleh negara-negara itu. Termasuk Indonesia? Sebenarnya nggak juga, justru kita sudah mendahului belok dan berbalik. Beberapa waktu lalu transaksi valas jumlah tertentu diregulasi dan dibatasi harus didasari kebutuhan yang jelas. Tentunya ini untuk mengurangi spekulasi. Penerapan regulasi ini tentu dengan pengingkaran bahwa Indonesia (tidak) meninggalkan regim devisa bebas. Jangan coba-coba lho masih mengambil kesempatan dalam kesempitan karena Anda akan diburu Menteri Keuangan kemana pun Anda kabur. Tidak layak Anda mengambil keuntungan sendiri atas penderitaan publik, penderitaan orang banyak. It does not sound like Adam Smith speaking.

Hari ini di koran-koran nasional, kita mendapatkan berita bahwa otoritas moneter dan pengawasan bank membatasi produk non bank di perbankan. Lihat artikel yang menyinggung isu ini di Republika hari ini: intinya sama saja. Bank harus meningkatkan perlindungan terhadap nasabahnya. Jangan sampai nasabah yang kurang informasi tergiur membeli produk-produk non bank spekulatif yang dijual bank. Langkah-langkah yang telah diambil pihak berwenang di atas mudah-mudahan dapat mengendalikan dampak negatif krisis global terhadap Indonesia. Apakah langkah-langkah ini cukup untuk mencegah krisis selanjutnya?

Memang pertanyaan terakhir itu yang paling menarik sekaligus paling susah dijawab. Tidak ada salahnya dong kalau program ekonomi Obama, termasuk program reformasi sektor keuangannya, dipelajari benar-benar. Mungkin saja ada yang nggak bisa dilakukan di sini, tapi masak sih semuanya nggak bisa?

Artikel terkait:
Filsafat Kebijakan Baru
Kebijakan Memang Berbalik
kebijakan Berbalik Arah
Menggugat Warisan Greenspan

Selengkapnya.....

Minggu, 07 Desember 2008

Jalan Bekasi Bebas Korupsi

Kami tinggal di Bekasi sejak tahun 2000. Ayahanda yang memiliki rumah di Bekasi menawarkan agar kami tinggal saja di rumah beliau. Mungkin pertimbangannya agar saya bisa lebih leluasa merencanakan rumah masa depan kami. Pertimbangan lain mungkin agar rumah itu nggak kosong. Ada yang ngurus. Hingga tahun 2008 ini, berarti sudah delapan tahun bahkan lebih, kami menambah tiga anggota: Aisyah, Hanif, dan Ahmad. Jadilah sehari-hari istri saya menjelajahi jalan Kota Bekasi untuk mengantar-jemput kelima anak kami ke mana-mana, selain untuk kegiatan rumah tangga lainnya dan kegiatan sosial yang cukup padat. Kalau saya? Yah, lebih banyak di Jakarta, kecuali Sabtu dan Ahad.

Tentu nggak perlu dibesar-besarkan di sini problem yang kami temui setiap hari di jalanan. Jalan becek dan berlubang tidak asing, terutama pas musim hujan kayak hari-hari ini. Jadwal sepekan sekali buat saya ngaji, menempuh tiga puluhan kilometer pulang pergi, jadi nggak nyaman. Bilamana giliran tempat ngaji di rumah, saya bisa sedikit lega, tapi teman-teman yang kebanyakan datang dari seputar Pondok Gede sulit dibilang happy. Lewat Jati Asih-Pekayon jalan jelek (sekarang sudah mending sih). Sampai sekarang rute Kali Malang-Caman terus bikin stres.

Stres! Ya itulah biaya yang harus ditanggung pengguna jalan, di samping biaya-biaya materiil. Bahan bakar jadi boros. Kendaraan cenderung cepat rusak. Belum lagi kalau terjadi kecelakaan. Oya, waktu yang nilainya lebih mahal dari uang juga banyak terbuang boros percuma. Untuk ngaji, kalau nggak lewat tol, saya butuh sejam, bahkan bisa lebih. Pulangnya sama, mungkin lebih cepat dikit. Sampai rumah sudah larut. Perasaan stres bikin capek lebih capek. Nah, kalau semuanya diuangkan, berapa ya? Anda tahu berapa? Itu baru saya sendiri, belum dijumlahkan dengan total biaya jalanan istri dan anak-anak saya serta semua warga Bekasi. Tentu yang tak ternilai adalah ketika seseorang harus kehilangan nyawa gara-gara jalan.

Tahun depan insya Allah kami pindah ke BSD. Infrastruktur jalan di sana lebih baik. Jujur saja begitu. Memang kalau keluar kawasan BSD yang demikian luas itu - artinya masuk ke wilayah-wilayah kampung atau wilayah yang diurus Pemda - kondisinya nggak terlalu beda dengan Bekasi. Terus terang berkendara di sana lebih nyaman. Tentu Anda mungkin berkomentar bahwa belum tentu berkah. Eh... Mungkin ini agak menyakitkan, tapi belum tentu jalan-jalan rusak Kota Bekasi lebih berkah. Apa tandanya nggak berkah?

Menurut pendapat saya, salah satu indikator ketidakberkahan adalah perilaku negatif para pengendara. Tiba-tiba orang baik-baik bisa seketika berubah agresif karena mempertahankan 'hak' di jalan. Hak apa? Hak mendapat bagian jalan yang lebih mulus! Terus terang kemarin menjadi cobaan tersendiri bagi saya. Seolah Sabtu itu semua pengendara motor tiba-tiba punya nyawa rangkap. Tiba-tiba nyalib di depan saya hanyalah satu contoh. Yang lainnya hampir tabrakan dengan motor lain. Yang lainnya lagi tiba-tiba pindah lajur tanpa melihat kiri-kanan. Belum lagi angkot yang bisa berhenti dan ngetem seenaknya. Yang justru paling parah, ngetemnya di perempatan. Bus kota sama aja. Juga mobil pribadi dan kendaraan niaga lainnya. Ya Allah. Ya Robbi.

Selanjutnya, apakah orang baik-baik yang menjadi agresif di jalanan dan terus mengakumulasi kebiasaan buruk di jalan akan tetap jadi orang baik di rumah? Di pasar? Di pabrik? Di kantor? Di pelabuhan? Kalau teringat buku The Tipping Point, saya jadi ngeri juga. Kebiasaan buruk dapat menular. Dari jalan ke rumah dan tempat-tempat lainnya. Epidemi sosial! Apakah kita cukup diam saja? Emangnya bener-bener nggak ada yang bisa dilakukan untuk perbaikan? Jawabannya ada di buku itu juga. Mulailah epidemi sosial yang positif.

Caranya? Mendidik orang pasti pekerjaan berat. Butuh waktu lama. Seorang nabi saja butuh waktu seumur hidupnya untuk berda'wah. Ada juga yang gagal, seperti Nabi Nuh AS. Hanya segelintir orang saja yang berhasil dibina. Apakah pendidikan menjadi tidak penting? Nggak! Ia tetap penting. Namun demikian, memperbaiki lingkungan mungkin bisa jadi pendorong, seperti yang dilakukan oleh otoritas kereta Kota New York yang akhirnya berhasil mengurangi tingkat kriminalitas di kota tersebut. Ini yang disebut Malcolm Gladwell sebagai the power of context. Lalu apa gerangan hubungannya dengan jalanan Kota Bekasi? Ya, sebagaimana jalanan bisa membuat orang agresif, jalanan bisa jadi merupakan salah satu faktor pembentuk perilaku yang positif.

Artinya? Pemkot Bekasi harus berlomba dengan waktu untuk menyediakan jalanan yang mulus dan memadai lebar dan panjangnya di seluruh area Kota. Pemkab juga lho. Mulailah dari niat yang kuat untuk membahagiakan warga melalui jalanan yang bebas korupsi. Proyek pembuatannya harus bebas korupsi. Perawatannya juga harus bebas korupsi. Nggak ada salahnya belajar ke BSD, walaupun ini bukan berarti nggak ada korupsi sama sekali di sana. Ayo, Ustadz Sa'duddin dan Pak Mochtar, berjihadlah dengan kekuasaan yang ada di tangan Anda.

Artikel terkait:
The Tipping Point
The Tipping Point: The Power of Context
Korban Jalan Raya
Ayat-ayat Cinta Walikota Bekasi

Selengkapnya.....

Kamis, 04 Desember 2008

Free, Good or Bad?

Adapted from Dan Ariely's Predictably Irrational
Chapter 3: The Cost of Zero Cost: Why We Often Pay Too Much When We Pay Nothing


We are always lured by free products. If a product is discounted 50%, you may or may not buy it. If it is discounted 75%, you may or may not buy it. Even if it is discounted 80% or 90%, you still may or may not buy it. If it is discounted 100%, however, you bet! Have you ever been in a long line just to get a free cone of ice cream? If yes, you are like most people. In certain communities, people are willing to jump, cheating the line, and cause a sort of chaotic crowds just to get a small amount of free cash. O... how sad!

Dan Ariely says that a free or zero price is not just another price. For us, humans, it is a hot button. When perfectly pressed, it can turn us into a different personality. Sure, some free products are good deals. Nevertheless, if preventing us from better alternative deals, free products are certainly not good deals. Dan's experiments in this topic provide hard evidence of the truth. Simple examples from our own lives may already intuitively prove it. How many free pencils from seminar did we collect just turning waste in our homes? How many free t-shirts from radio stations do we pile also just turning waste because we did not really like them? So be careful when encountering free!

There is an upside of all things, including a zero price. If we can devise a way to exploit its power, we probably can enhance many aspects of life. This is especially true if we are ones of public policy makers. At least, we can exploit the power of zero for satisfying our own interests. If hybrid cars or electric cars are the choice of a government, because of their better environmental value, the government can go even further by lifting the whole tax for the cars. If a salesperson wants to boost a new product's sales, s/he can lure the customers by packaging the new product with a free. In the downside, however, Dan Ariely himself bought a car he did not really want just because he was lured by free oil change for a year.

One experiment conducted by Dan Ariely and friends was when they offered two options of chocolates for people in a mall. The first was a small and cheap chocolate offered for 2 cents. The second was a larger and more delicious chocolate offered for 27 cents. Both prices were already good deals compared to market prices. Dan collected the stats of the buyers of both chocolates. Then they made a slight change. Prices offered were changed to 1 cent and 26 cents respectively. Dan again collected the stats of the buyers. The proportion of the first chocolate buyers and the second chocolate buyers basically did not change. Then they offered zero price for the first chocolate and 25 cents for the second. What happened? The proportion changed significantly. The buyers of the free chocolate jumped to the roof. Zero turned people into different personalities! Irrational! Zero prices prevent us from making better deals. See?

Dan conducted another experiment to kids coming to his door asking treat or trick during Halloween. A typical kid responded smartly when a zero price was not introduced. First, he gave the kid five 1-ounce hershey kiss chocolates and asked him to hold. Second, he offered the kid an exchange of two 1-ounce chocolates for a 10-ounce sneaker bar, OR an exchange of one 1-ounce hershey kiss for a 5-ounce sneaker bar. Smartly the kid made the best deal. The bigger Sneaker bar! Then Dan changed the offer. First, he gave a kid coming to his door five 1-ounce hershey kiss. Second, he offered the kid to exchange one hershey kiss for a 10-ounce sneaker bar, OR a smaller, 5-ounce sneaker bar for free. Wo-o-o. Free indeed changed the kid's behavior. He went for the small sneaker bar. Dan tried this experiment also for a number of bigger kids, even his MIT students. The result? They were all the same. We are too. Irrational!

Dan offers an explanation in his book. Free is perceived without downside at all. We cannot lose in any way. That is why free is so hot that we hardly avoid it. Compare free product with priced product even the price is only 1 cent. The price of 1 cent entails risks, even it is very small. Since we are afraid to lose, we are easily lured by no risk bargain. Here is the point where we should be careful. If there is no alternative deal, free is a reasonable choice. If there are alternatives, however, free is probably not a good guy. It prevents us from better deals. Watch out!

Apart from Dan's book, we certainly have to thank God for free air we breathe, for free sun warming us, for free life we live, etc. No risk at all since there is no better alternative. Or would you be better off if you are never born? Hmm...

Next: Do You Believe in Market?
Prev: The Law of Supply and Demand Sucks

Selengkapnya.....

Senin, 01 Desember 2008

Filsafat Kebijakan Baru

Hari-hari ini, ketika mencari artikel terkait perkembangan terkini krisis global, saya mendapati beberapa artikel bagus dari Paul Krugman, Sri Mulyani, dan Adiwarman Karim. Tentu kita tahu tokoh-tokoh ini kan? Yang jelas inti dari pendapat mereka adalah diperlukan reformasi sistem keuangan dunia yang saat ini sedang oleng sehingga sistem keuangan akan mencapai suatu titik keseimbangan baru atau dengan kata lain, walaupun mungkin terdengar radikal, suatu tatanan baru. Keseimbangan baru itu tentunya melibatkan filsafat yang berbeda. Jika filsafat yang menyebabkan krisis global saat ini adalah mekanisme pasar bebas yang meminimalkan peran kendali pemerintah, maka dasar filsafat tatanan baru itu adalah pemerintah (mudah-mudahan pemerintah yang reasonable) harus punya peran kendali tertentu agar pasar tidak semau-maunya bergerak sehingga rentan krisis.

Dari dalam negeri, Menteri Keuangan RI yang lulusan FE UI dan UIUC menekankan bahwa sebagai pemegang otoritas beliau akan memburu pihak-pihak yang memaksimalkan keuntungan sendiri (self interest) di atas penderitaan publik. Wah, ternyata memang benar beliau tidak sepakat dengan gerombolan Margareth Thatcher dan Ronald Reagan yang mengatakan publik sebenarnya nggak ada dan yang ada hanyalah individu-individu saja. Makin nggak valid tuh cap yang pernah diberikan pada beliau sebagai kaki tangan IMF. Berikut ini cuplikan sebagian pernyataan Sri Mulyani yang menarik terkait dengan krisis global.

Secara lugas dan detil, Menkeu memberikan gambaran betapa krisis finansial yang terjadi saat ini sebagai krisis yang sangat berat. Krisis ini tidak hanya menjadi masalah satu negara tetapi merupakan masalah dunia internasional, sehingga solusi yang diambil juga harus merupakan solusi dunia. Saling kerjasama, saling menopang antara satu negara dengan negara lainnya. "Saya harus terus-menerus berkomunikasi dengan menteri-menteri keuangan negara lain. Tidak ada satupun menteri keuangan dan gubernur bank sentral yang berani melakukan kebijakan sendiri-sendiri. Tidak ada negara yang meminta negara lain melakukan kebijakan ini atau itu. Yang ada adalah setiap kebijakan yang dilakukan satu negara akan disampaikan ke negara lain. Ini merupakan bentuk tanggung jawab bersama," katanya.

"Amerika yang katanya kapitalis, sekarang menjadi negara sosialis terbesar di dunia," tukas Menkeu.

Menkeu meminta agar masyarakat, investor dan juga perusahaan untuk tidak memperkeruh keadaan. Misalnya memborong dolar AS untuk kebutuhan yang tidak jelas. Sikap seperti ini jelas akan merusak seluruh upaya yang dilakukan dengan susah payah. "Karena itu jika Anda ketahuan melakukan sesuatu yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya dan melukai kepentingan publik, maka saya tidak akan segan-segan mengejar Anda ke manapun Anda pergi. Sebab, dalam situasi sulit seperti ini jika Anda melakukan sesuatu hanya untuk kepentingan sendiri, menurut saya itu tindakan yang sangat tidak pantas," tegasnya.


Selengkapnya, silakan klik ke artikel Republika hari ini: Saat Krisis, Harus Tetap Punya Mimpi.

Selain Sri Mulyani, tokoh lain yang menginspirasi saya adalah Adiwarman Karim. Boleh dibilang saya banyak belajar juga dari beliau, lewat tulisan-tulisan dan khotbah-khotbah beliau. Tidak heran kalau hari ini saya sowan ke beliau lewat salah satu tulisannya di Republika: Nothing Right on the Left, Nothing Left on the Right. Berikutnya cuplikannya.

Bila suatu bank telah terjangkit penyakit "Nothing Right on the Left, Nothing Left on the Right", langkah standarnya adalah dengan menambah modal agar tidak lagi mengalami "Nothing Left on the Right". Dengan adanya tambahan modal, bank akan kembali beroperasi normal karena there is something on the right.

Tantangannya justru terletak pada langkah keduanya, yaitu bagaimana memperbaiki "Nothing Right on the Left", memperbaiki sisi aset yang berisi instrumen investasi bermasalah, dan memperbaiki kinerja bank di masa depan.

Ibarat kita berbuat dosa, langkah standarnya adalah bertobat agar dosa-dosa kita diampuni. Namun, tantangannya justru terletak pada langkah keduanya, yaitu bagaimana memperbaiki dampak buruk dosa itu dan memperbaiki masa depan. Hati orang lain yang tersakiti, hak orang yang terampas, dan hilangnya kepercayaan akibat kebohongan merupakan sedikit contoh dampak buruk dosa yang tidak mudah diperbaiki dengan cepat.

Mari, kita doakan agar dibukakan mata dan hati dunia untuk dapat berbesar hati menerima pelajaran dari mana pun, termasuk dari ilmu keuangan syariah menuju suatu tatanan ekonomi keuangan dunia yang lebih baik.


Nah, tentunya yang punya legitimasi keilmuan yang paling kuat adalah sang nobelis, Paul Krugman. Berikut cuplikan pendapat beliau yang saya ambil dari artikel Lest We Forget dari NYTimes.

And because we’re all so worried about the current crisis, it’s hard to focus on the longer-term issues — on reining in our out-of-control financial system, so as to prevent or at least limit the next crisis. Yet the experience of the last decade suggests that we should be worrying about financial reform, above all regulating the “shadow banking system” at the heart of the current mess, sooner rather than later.

For once the economy is on the road to recovery, the wheeler-dealers will be making easy money again — and will lobby hard against anyone who tries to limit their bottom lines. Moreover, the success of recovery efforts will come to seem preordained, even though it wasn’t, and the urgency of action will be lost.

So here’s my plea: even though the incoming administration’s agenda is already very full, it should not put off financial reform. The time to start preventing the next crisis is now.


Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut.

Karena kita semua kuatir di tengah krisis yang sedang berlangsung, akan sulit untuk fokus pada isu-isu jangka panjang – untuk membenahi sistem keuangan kita yang lepas kendali, untuk mencegah atau paling tidak mengurangi krisis berikutnya. Namun demikian, pengalaman satu dekade terakhir ini menyarankan agar kita mulai memikirkan reformasi sektor finansial, di atas segalanya meregulasi sistem perbankan bayangan (maksudnya sistem “perbankan” yang diciptakan dan dipraktikkan oleh lembaga keuangan non bank, terutama dalam bentuk instrumen keuangan derivatif – Y Pan) di jantung seluruh kacau balau situasi saat ini. Makin cepat makin baik.

Ketika ekonomi berada pada jalur pemulihan, para dealer penjudi akan mendapat uang dengan mudah lagi – dan akan melobi sekeras-kerasnya terhadap upaya membatasi peluang keuntungan mereka. Lebih jauh lagi, kesuksesan upaya pemulihan akan kelihatan niscaya, walaupun sebenarnya nggak, dan urgensi untuk bertindak segera lenyap.

Maka inilah permohonan saya (Krugman maksudnya – Y Pan): walaupun agenda pemerintahan mendatang telah penuh, reformasi sektor keuangan nggak boleh dilupakan. Waktu untuk mencegah krisis berikutnya adalah saat ini juga.


Artikel terkait:
Kebijakan Berbalik Arah
Kebijakan Memang Berbalik
Menggungat Warisan Greenspan
Filsafat Ekonomi Greenspan

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed