Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Senin, 06 April 2009

Detik Menuju Pemilu

Pemilu, termasuk pilkada dan pilpres, buat saya selalu menarik. Walaupun banyak kekurangannya, terus terang saya masih belum melihat alternatif lain yang lebih efektif dan efisien. Mungkin ada sih. Cuman perlu waktu baginya untuk muncul sebagai wacana, kemudian diuji bersama oleh masyarakat ini, dan akhirnya menjadi mekanisme praktis yang dapat diterapkan. Sebelum inovasi itu muncul, mau nggak mau kita - ah mungkin saya aja, tanpa ngajak-ngajak Anda yang mungkin nggak setuju - terima pemilu sebagai salah satu perangkat sosial de facto yang penting.

Anda bisa dong menduga kalau saya termasuk yang menyarankan siapapun untuk tidak golput. Pendapat saya, justru kalau ingin mengubah sistem mesti lewat sistem itu sendiri. Revolusi sih mungkin saja, tapi belum tentu efektif juga. Alih-alih memperbaiki kelemahan sistem, revolusi bisa membawa kita mundur beberapa dekade ke belakang. Ah, saya nggak perlu berpanjang-panjang dengan pendapat ini. Lebih menarik lho kalau kita catat aja prestasi yang telah diraih oleh sistem pemilu ini.

Pertama, saya melihat radikalisme massa jauh berkurang agaknya karena kedewasaan masyarakat seiring meningkat.

Kedua, mungkin masih terkait dengan yang pertama, insiden selama kampanye bisa dibilang nggak signifikan.

Ketiga, rekrutmen politik sudah lebih transparan.

Keempat, komunikasi politik antara elite dengan konstituen lebih intensif.

Kelima, terbangun atmosfir kompetitif yang bikin penguasa nggak bisa tidur seenaknya.

Keenam, walaupun nggak selamanya disetujui, setiap partai dan caleg menawarkan harapan baru. Perlu diingat adanya harapan adalah pembeda mutlak antara manusia hidup dan mayit. Artinya, buat saya, menjual harapan adalah fitrah dan niscaya.

Ketujuh, terdapat kesadaran baru dari pihak-pihak tertentu untuk berpartisipasi mengubah keadaan sesuai dengan aspirasi masing-masing. Munculnya selebritis sebagai caleg adalah contohnya. Cukup sulit membayangkan selebritis yang sudah tenggelam dalam kemewahan memiliki motivasi memperkaya diri dari politik.

Kedelapan, silaturahmi antar warga tetap atau bahkan makin erat, walaupun partainya beda-beda.

Ok, saya akui catatan saya di atas bukanlah hasil pengamatan yang terukur. Ini hanya pendapat pribadi sambil lalu yang terbentuk dari pengalaman pribadi saja. Anda mungkin sekali punya pengalaman yang justru tidak mendukung catatan positif di atas. Yah... dalam masyarakat demokratis, boleh aja dong setiap orang berpendapat. Orang lain boleh menilai apakah saya cukup obyektif. Oya, sebelum Anda salah paham, perlu saya sampaikan juga beberapa hal yang bikin saya kuatir, terutama dalam menyongsong pemilu 9 April. Apakah itu?

Pertama, tingkat golput cukup tinggi. Kalau mengacu ke pilkada-pilkada, golput bisa mencapai 40%. Ini berarti ada sebagian masyarakat yang tidak terwakili sama sekali aspirasinya. Untuk masyarakat ini, saya ingin menganjurkan agar mereka membuat partai-partai sendiri. Kendalanya mungkin saja aspirasi mereka terlarang di negeri ini, misalnya komunisme.

Kedua, biaya politik menjadi semakin tinggi. Walaupun ada untungnya karena dapat berfungsi seperti stimulus yang menghasilkan lapangan kerja, biaya yang kelewat tinggi jelas tetap pemborosan. Mending anggarannya buat bikin sekolah. Penghematan bisa dilakukan misalnya dengan menyederhanakan sistem pemilu dan jumlah partai.

Ketiga, pemilu hingga saat ini belum betul-betul melahirkan para anggota legislatif yang bersih, peduli, dan profesional (meminjam iklan politik salah satu partai). Banyak aleg yang sebelumnya adalah sosok idealis berubah menjadi petualang pragmatis yang tidak memberi manfaat bagi konstituennya. Namun demikian, kita patut berharap sosok hipokrit seperti itu dihukum oleh konstituennya sendiri.

Keempat, kerancuan mekanisme pencentangan atau pencontrengan atau pemberian tanda pilihan berpotensi meningkatkan suara tidak sah. Yang lebih rawan adalah potensi keributan di TPS antara panitia dan saksi dalam menentukan sahnya suara. Terus terang ini sangat mengkuatirkan. Kalau boleh menyalahkan, saya ingin menyalahkan KPU yang menciptakan kerancuan ini, mulai dari peraturannya hingga iklan dan sosialisasi yang dilakukan. Mudah-mudahan, saya sungguh berharap, tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan selama masa pemberian dan penghitungan suara, khususnya di TPS-TPS.

Perkiraan Hasil Pemilu



Saya iseng-iseng bikin polling mengenai pemilu ini. Memang hasilnya tidak bisa dijadikan rujukan sama sekali (lihat disclaimer). Di hasil ini, seperti dapat diduga, PKS mendapat suara terbanyak. Ini bisa dimengerti karena, berbeda dengan pemilih lainnya, para pemilih PKS tidak sungkan-sungkan memberikan suara di polling. Namun, saya belum yakin partai ini mendapatkan perolehan suara terbanyak di pemilu 2009.

Walaupun perolehan PDIP dan PG dalam polling ini masing-masing hanya enam persen, nampaknya perolehan suara keduanya akan tetap signifikan. Selanjutnya PD, walaupun di sini dapet nol persen, saya perkirakan partai ini akan mengalami lonjakan suara yang berarti. Lagipula, ketika polling ini belum ditutup, saya pernah lihat sendiri ada yang memilih PD (tapi mungkin pemilihnya mencabut suaranya sendiri... entahlah karena bisa juga ada yang nakal mencabut suara orang lain melalui trik tertentu model hacker).

Akhirnya, perkiraan saya, berdasarkan berbagai sumber dan hasil polling yang saya lakukan di blog ini, lima besar perolehan suara adalah (urutan tidak berlaku) PDIP, PG, PKS, PD, PAN. Sekali lagi urutan tidak berlaku. Jadi supaya aman, lima besar perolehan suara adalah PAN, PKS, PDIP, PD, PG atau urutan apapun yang bisa dibayangkan. Yang juga perlu dicatat, ada partai baru - Gerindra atau Hanura - yang mungkin akan melampaui perolehan partai-partai lama.

Yuk bersiap ke TPS...

Tidak ada komentar:

addthis

Live Traffic Feed