Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Sabtu, 04 April 2009

Cingi Nggak Pulang

Kucing kami, Cingi, emang sangat disayang. Sama anak-anak, sama istri, juga sama Mbak yang bantu di rumah. Selain enak dilihat, hangat, dia juga punya IQ tinggi. Setiap buang air, selalu dia mengambil tempat di dekat got belakang. Tapi dasar lagi puber, dia nakal banget. Terutama ke saya. Kayaknya dia sama sekali nggak inget pernah saya selamatkan dari mati kering di tempat sampah.

Suatu hari Cingi main di luar rumah. Pintu depan kebuka dikit aja, dia langsung balapan keluar, terus loncat-loncat di pinggir jalan. Entah apa perasaannya. Bahagia kali karena bisa having fun. Nah, hari itu dia nggak balik-balik. Rita mulai nangis. Dia teringat beberapa hari sebelumnya Cingi masuk ke rumah Bu Jayen, nggak keluar-keluar. Sampai Rita dan Aisyah bertanya ke dalam. Tapi di hari kelabu itu, kasusnya nggak begitu lagi. Rita tambah nangis. Oalah, kucing ini nggak tahu sudah bikin hati susah.

Ditunggu sampai malem, Cingi nggak muncul juga. Istri dan saya menghibur anak-anak. "Mudah-mudahan besok dia pulang." Tapi ternyata besoknya Cingi nggak muncul juga. Aisyah mulai ikutan nangis. Saya sama istri sebenarnya sedih juga. Soalnya Cingi sudah seperti anggota keluarga aja. Kami bahkan sudah merencanakan membawanya ke BSD pas nanti pindah. Rumah kami jadi dingin oleh cucuran air mata. Dingin oleh hati yang ditinggalkan sebagian isinya.

Akhirnya, di hari keempat, Ocha - temen Aisyah anak tetangga Drg Rahmat - memberi khabar Cingi sudah mati dan dikubur oleh Pak Saragih, tukang sayur deket pendopo. Betapa sedih Aisyah dan Rita. Dua putra kami yang masih di bawah enam tahun bingung kenapa dua kakak mereka sampai nangis gitu. Mereka sebenarnya sayang juga sama Cingi, tapi kelihatannya belum bisa mengapresiasi rasa kehilangan yang dirasa Rita dan Aisyah. Kalau Rani yang mondok di Solo ada di rumah, mungkin dia pun ikut sedih.

Hari-hari di rumah kami diwarnai duka. Saya sempat menemukan catatan kesedihan Aisyah, sekarang hampir 9 tahun. Dia memohon kepada Allah agar Cingi dikembalikan. Dia juga mengutuk orang yang bikin Cingi mati. Dan kalau benar mati, Cingi didoakannya agar bahagia di surga dengan dayang-dayang kucing. Saya nggak komentar. Istri juga nggak. Karena kasihan sama anak-anak, tiap hari istri melihat pinggiran jalan. Siapa tahu Cingi tiba-tiba muncul. Saya pun kalau nyetir, terus lihat ada kucing, tak perhatiin. Siapa tahu Cingi.

Istri pernah nanya ke Pak Saragih. Apa betul dia sudah nguburin Cingi? Nggak katanya. Jadi kami nggak tahu sebenarnya apa yang terjadi dengannya. Akhirnya istri menemukan dua kucing kecil di dekat pendopo. Dia membawanya pulang. Dimandiin dan dikasih makan. Anak-anak terhibur. Sedihnya mulai hilang. Mulailah dua anak kucing itu jadi bagian dari keluarga. Masalahnya, dua kucing ini tidak sepintar Cingi. Makannya banyak dan jorok. Buang airnya nggak bisa dikendalikan tempatnya. Wah, repot! Mana tahan!

Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Pekan lalu, karena sudah nggak tahan lagi, istri akhirnya memutuskan untuk membuang kedua kucing itu. Hanif protes. Nggak boleh Bu. Kasihan. Saya pikir nggak apa sih ngebuangnya. Yang nggak boleh kan mengurung atau mengikatnya terus nggak dikasih makan. Ah... Mungkin kata yang tepat adalah membebaskan keduanya hidup di luar. Rita dan Aisyah gimana? Sedih sih, tapi karena bukan Cingi nggak apalah... Begitu katanya.

Hehehe, bahkan kucing pun bisa punya daya tarik yang beda-beda. Yang lebih lucu lagi. Istri mengatakan dua kucing ini IQ-nya jongkok... Nggak kayak Cingi!

Baca kisah lain:
Kucing Kami
Mondok

Tidak ada komentar:

addthis

Live Traffic Feed