Kemungkinan besar Anda belum pernah mendengar sebuah dusun bernama Pangkalan Lampam. Letaknya tidak terlalu jauh dari Palembang, sekitar dua sampai tiga jam berkendara mobil. Sebetulnya kalau ada jalan tol seperti di Jabodetabekadung, mungkin sejam juga bisa. Jalan yang tidak mulus dan sempit membuat waktu tempuh lebih lama dari seharusnya. Dusun ini berada di Kabupaten OKI (Ogan Komering Ilir). Kalau dicari di peta, nggak mudah ditemukan. Di GoogleEarth masih area blur.
Penduduk dusun ini dulunya berbudaya perairan karena rawa, lebak, dan sungai (DAS) yang mengelilinginya. Rumah Yai (panggilan untuk kakek) berada pada posisi dengan pemandangan yang bagus. Kalau duduk-duduk di bagian belakang rumah panggung itu, kami dapat memandang ke Lebak Deling yang kalau sedang musim hujan kelihatan seperti danau. Di kejauhan terlihat 'pulau' tempat kerbau-kerbau rawa dikandangkan. Kalau musim kering, lebak juga kering, bahkan bisa dilalui kendaraan.
Memang pemandangan di musim hujan lebih indah, apalagi ketika melihat air lebak tersibak oleh lajunya speedboat dari atau ke Palembang. Di jalur itu, dahulu lalu lalang kapal-kapal cukup besar berisi dagangan. Kadang di kejauhan kawanan kerbau rawa terlihat berenang. Kalau pandangan dialihkan ke arah hulu di mana pemukiman lebih padat, lalu lintas sampan lebih rame. Di bagian hulu ada kalangan (pasar) juga sih. Dapat disaksikan juga para penangkap ikan menunjukkan atraksi khas dengan tangkul. Tangkul adalah sejenis jala ikan berbentuk persegi yang dioperasikan menggunakan sebilah stik panjang yang lentur. Begitu tangkul dirasa sudah berisi ikan, ia kemudian diangkat seperti proses mengangkat pancing. Bedanya ukuran dan bobot yang lebih besar dan berat. Ikan kemuringan yang ukurannya kecil-kecil enak banget buat lauk santapan. Tapi yang membuat terkenal dusun ini adalah ikan lampam yang dahulu konon banyak beranak pinak di Lebak Deling.
Lain dulu, lain sekarang. Dengan jalan yang makin baik dan karena kendaraan motor dan mobil lebih terjangkau, daerah aliran sungai makin jarang digunakan sebagai infrastruktur transportasi. Jalur speedboat bahkan hilang karena penuh tumbuhan air. Nggak usah bayangkan lagi kapal-kapal pengangkut barang dagangan lalu lalang di situ. Budaya masyarakat kemudian bergeser menjadi lebih darat. Namun demikian, ini tidak berarti keindahan pemandangan dari jendela di belakang rumah Yai hilang juga. Nggak. Penduduk juga masih mengandalkan sungai dan lebak sebagai tempat mencari rezki. Sementara di darat, masih nggak berubah, tanahnya cocok untuk kebon dan ladang. Karet sudah lama menjadi ladang rezki. Saat ini, kelapa sawit sudah mulai ditanam, tapi oleh perusahaan besar, bukan oleh rakyat.
Waktu saya ke sana tahun lalu setelah sekian lama nggak pulang, Lebak Deling dalam keadaan kering. Musim kering sudah tiba. Untung masih ada air sedikit di aliran sungainya, sehingga Hanif masih bisa bersampan dengan pamannya yang dipanggil Om Hafiz - sepupuku. Tahu kan paras riang anak kecil yang menikmati pengalaman baru? Ada senyum di bibirnya dan binar di matanya menyiratkan kegugupan sekaligus rasa senang. Pipinya yang putih memerah diterpa sinar matahari. Peluh mengalir kelihatan di mukanya. Saya hanya melihatnya dari jauh tapi bisa merasakan kegugupannya bergoyang-goyang di sampan. Mungkin perasaan ladas atau euforia kecil yang dirasakannya sama seperti yang saya rasakan dulu waktu kecil sering mudik ke dusun.
Sabtu, 15 Maret 2008
Dusun
Label:
lebih personal
addthis
Kategori
- bahasa-matematika (23)
- demokrasi-politik (51)
- ekonomi-bisnis (71)
- lebih personal (42)
- manajemen (111)
- nilai-nilai (137)
- review buku (68)
- sistem informasi (37)