Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Minggu, 16 Maret 2008

Pemimpi Pejuang dari Dusun

Perjuangan Ikal dan Arai keluar dari keterpencilan dan kemiskinan seperti diceritakan dalam tetralogi Laskar Pelangi sungguh menginspirasi jiwa-jiwa yang rindu pada kemajuan dan kemuliaan. Keletihan mereka menjadi kuli pelabuhan demi menabung dan selepas SMA digunakan untuk merantau ke Jakarta akhirnya terbayar sudah ketika akhirnya mereka menapakkan kaki mereka di almamater suci Sorbonne University. Motivasi yang diberikan guru sastra mereka semasa SMA benar-benar merasuk. Merasuk menjadi mimpi yang menggedor semangat. Belum lagi kata-kata Pak Balia, guru sastra itu, agar mereka keliling eropa sampai tembus ke afrika... sama seperti motivasi yang diberikan Bu Muslimah dan Pak Irfan kepala sekolah mereka semasa SD. Hebat.

Di dusunku, Pangkalan Lampam, sejak dulu (katakanlah sejak era perang kemerdekaan dan agresi Belanda), hidup gotong royong adalah bagian budaya tak terpisahkan. Ini tidak berarti semua orang selalu sama rasa. Kepentingan dan kepemilikan individu tetap ada dan terjaga. Terlepas dari penjajahan Belanda yang merampas hak-hak mereka, kepemilikan khususnya yang diwariskan dari orangtua ke anak dijaga betul dari para perampas hak. Rule of law untuk menjaga kepemilikan berfungsi dalam bentuk yang mungkin sangat primitif, menggunakan sebilah pedang atau golok.

Setelah merdeka, budaya gotong royong dan kekeluargaan menjadi andalan para siswa yang memiliki cita-cita tinggi. Agar dapat melanjutkan ke SMP, mereka harus numpang di rumah kerabat di Palembang. Coba kalau individualisme ala Amerika yang jadi budaya, tentu mereka akan kesulitan mewujudkan mimpi mereka. Mungkin malah mimpi pun nggak berani. Coba bayangkan kalau bapaknya si Ikal membabi buta mengikuti Adam Smith, mungkin Arai kecil yang sebatang kara sehingga disebut simpai keramat tidak akan pernah ke Prancis melanjutkan pendidikan. Tamat SD juga sulit. Lihat aja si jenius Lintang yang terpaksa menjadi kuli dan bukannya menjadi seorang peraih nobel matematika, fisika, atau sejarah.

Jadi berangkatlah siswa tamatan SR keluar dari dusunnya ke Palembang untuk melanjutkan sekolah di SMP Taman Siswa. Dengan menumpang di rumah kerabat, sekolah di Palembang menjadi suatu kemungkinan. Bukan hanya satu siswa, tapi sekawanan. Kalau mau pergi pulang sekolah, mereka jalan kaki menempuh jarak yang jauh. Kalau mau pulang pergi dusun - Palembang, mereka mengendarai sepeda. Kenangan perjuangan seperti itu mungkin terasa hidup ketika para pemimpi itu kini membaca kisah Ikal dan kawan-kawan dalam Laskar Pelangi, Pemimpi, Edensor, dan (yang sedang digarap) Maryamah Karpov.

Mengikuti kisah Lintang yang tiap hari bersepeda dari pesisir timur Belitong ke SD Muhamadiyah tanpa pernah terlambat kecuali ketika dihadang buaya di tengah jalan pasti membuat para pemimpi dusun Pangkalan Lampam bangkit gairahnya melalui nostalgia perjuangan. Demikian juga kisah perantauan Ikal dan Arai ke Jakarta melalui Pelabuhan Tanjung Priok dan malah terdampar di Bogor mungkin mirip dengan kisah perantauan mereka ke Yogya. Tanpa antisipasi yang berarti. Modalnya semangat tinggi, keberanian, dan kepasrahan. Nampaknya do'a orangtua-orangtua merekalah yang membuat Tuhan selalu menjaga mereka dalam kasih sayang-Nya.

Walau bagaimanapun, keberhasilan Ikal dan Arai juga para pemimpi pejuang dari dusun tertinggal sangat sedikit jumlahnya dibandingkan kasus-kasus kegagalan. Berapa banyak calon pemenang olimpiade fisika yang mati muda? Berapa banyak calon pemenang nobel tidak dapat melanjutkan pendidikan dan terpaksa menyerah kepada nasib? Berapa banyak para pemimpi yang tiba-tiba sadar bahwa mimpinya telah menjelma menjadi mimpi buruk? Berapa banyak calon pemimpin level 5 yang tidak pernah muncul ke permukaan bahkan di level terendah? Berapa banyak calon connectors, salesmen, dan mavens yang justru mendambakan epidemi perbaikan nasib mereka melalui suatu tipping point? Berapa banyak calon-calon walikota, bupati, gubernur, dan presiden yang tewas di tangan ibu mereka yang stres didera kesempitan hidup? Tapi kenyataan ini tidak seharusnya menghentikan usaha perbaikan yang dilakukan para pemimpi pejuang yang merindukan kemajuan dan kemuliaan!

Tidak ada komentar:

addthis

Live Traffic Feed