Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Kamis, 21 Agustus 2008

The Four Disciplines of Execution 1

Kegagalan organisasi, baik yang berorientasi profit ataupun tidak, tidak disebabkan ketidakmampuan menyusun strategi yang bagus. Kalau menurut Stephen R Covey, penyebabnya lebih pada ketidakmampuan mengeksekusi. Survey-survey yang dilakukan Konsultan Franklin-Covey menunjukkan dengan jelas fenomena ini. Lebih lanjut lagi ketidakmampuan mengeksekusi disebabkan kurangnya disiplin - disiplin dalam mengeksekusi.

Tidak disiplin memang penyakit umum. Ia menjangkiti hampir semua orang, apalagi di komunitas yang tidak menyuburkan budaya disiplin. Kalau menurut Jim Collins dalam buku Good to Great (lihat ringkasannya), disiplin melakukan sesuatu yang sesuai dengan konsep bisnis / organisasi dan tidak melakukan sesuatu yang tidak sesuai konsep merupakan faktor penentu yang menyebabkan perusahaan biasa-biasa saja dapat menjelma menjadi perusahaan hebat. Faktor disiplin ini hanya di bawah faktor pemimpin (level 5), orang (sebelum sistem), dan konsep landak (konsep sederhana dan fokus, menjadi yang terbaik di dunia).

Four Disciplines, yang dimaksud Stephen R Covey, adalah (1) fokus pada tujuan yang sangat penting (focus on the wildly important goals); (2) ciptakan papan skor yang menarik (create a compelling scorecard); (3) terjemahkan gol ke dalam tindakan nyata (translate lofty goals into specific actions); (4) pastikan setiap pihak akuntabel setiap waktu (hold each other accountable all of the time). Demikianlah menurut Covey. Pada artikel ini, kita bahas displin pertama dulu.

Tujuan yang sangat penting (wildly important goals / WIGs) adalah tujuan yang jika tidak tercapai, maka hal lain dan pencapaian tujuan lain menjadi basi - nggak relevan. Analoginya adalah seperti tujuan menara pengendali lalu lintas lepas landas dan mendaratnya pesawat. Misinya tentu saja menghindari crash, atau lebih spesifik lagi adalah setiap pesawat yang mau mendarat dan yang mau lepas landas dapat melalui periode kritis tersebut dengan baik. Jadi, di setiap waktu, pengendali di menara pengawas fokus membantu pesawat terutama yang mendarat agar mendarat dengan sempurna, excellent.

Analogi mendaratkan pesawat dengan sempurna mengandung makna apabila terjadi crash maka hal lainnya nggak berarti lagi. Mau nggak mau, pengawas harus fokus pada tujuan mendaratkan pesawat dengan sempurna pada momen yang penting ini. Pesawat yang lainnya yang lagi ngantri gimana? Ya... walaupun tetap terpantau di radar, pesawat lainnya seolah diabaikan dulu. Nggak ding, yang pasti satu demi satu pesawat harus selamat. Itulah WIG-nya. Di situlah fokusnya.

Ada makna yang lain dari analogi di atas, yaitu pada satu saat idealnya hanya ada satu WIG. Memang ini nggak realistis. Mungkin dua atau tiga WIGs lah. Lebih dari tiga, apalagi kalau semua hal dianggap penting, penyelesaian tugas jauh menurun tingkat kesempurnaannya. Kalau hanya satu WIG, tingkat kesempurnaannya dapat mencapai 80%. Kalau dua, 64%. Demikian seterusnya, makin banyak WIGs, makin cepet turun kualitas pencapaian tujuan.

Menurut penelitian memang kemampuan fokus otak manusia sangat terbatas. Kalau orang diminta menggunakan kacamata dengan dua lensa yang berbeda, misalnya kiri merah sedangkan kanan hijau, maka yang bersangkutan pada satu waktu hanya dapat melihat satu warna saja. Merah atau hijau saja silih berganti. Dia tidak mampu melihat kombinasi keduanya. Keterbatasan seperti ini juga diungkap dalam buku The Tipping Point (lihat ringkasannya) karya Malcolm Gladwell. Penelitian yang dirujuk oleh Gladwell menghasilkan the magic number seven.

Covey sedikit ekstrem dengan mengungkapkan dalam hal pencapaian WIGs, jumlah 6, 8, atau 10 WIGs, atau bahkan lebih sangat tidak optimal. Cukup dua atau tiga saja. OK lah, argumen-argumen yang berbeda ini nggak usah kita pertentangkan. Saya pribadi sih dalam hal wildly important goals (bukan hanya important goals) cenderung setuju dengan Covey. Jangan banyak-banyak. Ntar nggak kepegang. Ini mirip kayaknya dengan the hedgehog concept dari Jim Collins.

Nah, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara mencari dan menentukan WIGs. Covey membuat tool untuk memfasilitasi proses ini. Intinya adalah kolaborasi atau brainstorming saja sebetulnya, tapi harus lebih terarah dan sistematis. Umpamanya masing-masing anggota kelompok diminta menyumbang tiga WIGs menurut perspektif masing-masing, sudah dapat terkumpul tiga kali sejumlah anggota tim. Dari katakanlah sepuluh sampai lima belas kandidat, persempit lagi menjadi tiga yang benar-benar WIGs. Gunakan prinsip Pareto (80-20). Cari 20% WIGs yang memiliki dampak 80% terhadap organisasi.

Dengan proses di atas, organisasi - apapun levelnya – dapat memiliki fokus. Tujuannya nggak kebanyakan. Sebaliknya, kondisinya tidak juga tanpa tujuan yang jelas. Sementara, dampaknya signifikan. Kunci lainnya dalam proses ini adalah proses penyelarasan dan klarifikasi. Hanya tujuan yang jelas atau clear (dan tentunya fokus / sedikit / sempit) yang dapat dipahami oleh seluruh pelaksana pekerjaan. Memang kemudian diperlukan komunikasi dua arah yang efektif. Jangan sampai hanya pimpinan saja yang merasa jelas dengan tujuan-tujuannya. Para ujung tombak pelaksana pekerjaan harus clear juga. Kata Covey justru: the front line produces the bottom line.

Tidak ada komentar:

addthis

Live Traffic Feed