Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Minggu, 31 Agustus 2008

The Four Disciplines of Execution 4

Eksekusi yang efektif membutuhkan disiplin keempat, yaitu: upayakan semua anggota tim akuntabel setiap waktu. Karena orang cenderung gampang terganggu fokusnya, diperlukan interaksi yang sering untuk mengingatkan tujuan dan menjaga komitmen bersama. Pertemuan mingguan tim bisa dijadikan sarana yang efektif. Covey menyebut pertemuan seperti itu lebih dari sekedar meeting yang konotasinya membosankan dan buang-buang waktu. Pertemuan itu disebut sesi WIGs.

Sesi WIGs memiliki beberapa ciri. Pertama, diskusi harus seputar wildly importat goals (WIGs). Kedua, pertemuannya harus reguler dan sering (mingguan). Ketiga, harus ada tindak lanjut dan akuntabilitas yang jelas serta harus ada follow through dari sang pemimpin. Keempat, sukses harus dirayakan. Kelima, masalah dan kesulitan dilaporkan secara terbuka. Keenam, harus ada brain storming dan pemecahan masalah yang kuat. Ketujuh, anggota tim harus komit untuk saling membantu. Kedelapan, setelah sesi berakhir semuanya harus tambah semangat.

Ada beberapa karakteristik lain dari sesi WIGs. Setiap orang berkontribusi dalam meeting. Pertemuan itu bukan hanya untuk manajer, tapi untuk semua. Itu juga berarti kebijaksanaan kolektif lebih diutamakan daripada kejeniusan individu, apalagi pendapat manajer semata. Yang penting juga dijaga dalam pertemuan WIGs adalah diskusi diarahkan dan dijaga berkisar seputar pekerjaan riil (canda dan tawa tentu boleh-boleh saja asalkan agenda utamanya tetap dinomorsatukan - Y Pan).

Kiat-kiat memfasilitasi sesi WIGs antara lain sebagai berikut. Pertama, gunakan bahasa yang sesuai. Ada istilah triage reporting yang berarti prioritas diskusi tidak didasarkan pada siapa yang datang duluan tapi didasarkan pada tingkat keseriusan masalah. Ini kayak di IGD gitu. Selanjutnya, ada istilah quick reporting yang berarti dalam memberi laporan jangan bertele-tele. Kalau nggak ada yang harus dilaporkan, jangan bikin-bikin. Kemudian, lakukan review terhadap papan skor. Di mana sih kita sekarang? Terus, jangan lupa merumuskan tindak lanjut.

Terkait dengan pemecahan masalah, diskusi dalam sesi WIGs dilakukan dalam rangka mencari alternatif-alternatif solusi. Untuk itu, diperlukan kreativitas. Terutama bagi manajer, pemecahan masalah dapat difasilitasi dengan membersihkan jalan. Siapa yang harus ditemui? Ditelepon? Diajak makan di luar? Semangatnya adalah bukan hanya mendapat nilai A, tapi nilai A+ dengan cara membantu orang lain mendapatkan nilai A. Itu semua tentu saja membutuhkan kepercayaan (lihat ringkasan The Speed of Trust).

Singkat kata, sesi WIGs berfungsi untuk:
- To report
- To reengage
- To recommit

Selengkapnya.....

Jumat, 29 Agustus 2008

Hambatan Organisasi

Beberapa waktu lalu saya mendapat materi ini saat ngaji. Pertanyaan besarnya apa faktor-faktor yang dapat menghambat jamaah - komunitas - sehingga menjauhkannya dari keberhasilan. Jamaah dalam kaitan ini dapat berupa organisasi apapun. Bisa negara, perusahaan, tim, bagian, seksi, kantor, jamaah da'wah, ormas, orpol, atau RT/RW, bahkan keluarga kita masing-masing. Sumber hambatan yang paling utama adalah diri, yakni masing-masing individu, karena komponen utama jamaah adalah individu-individu.

Hambatan dari dalam diri yang pertama adalah keinginan untuk menonjol. Kedua keinginan punya kekuasaan. Ketiga adalah sifat tergesa-gesa. Dan yang terakhir adalah kurang PD. Wah... Sulit juga ya. Di satu sisi, diri harus PD yang artinya punya kredibelitas dan kapabilitas, tapi di sisi lain harus seperti malaikat. Ikhlas seratus persen. Sangat sulit pasti menemukan orang yang sama sekali terhindar dari penyakit-penyakit ini. Itulah, namanya juga hidup. Kalau nggak sulit, nggak indah.

Kenapa sih nafsu besar untuk menonjol dan berkuasa harus dihindari? Ternyata hikmahnya adalah nafsu besar itu sering membuat orang lupa diri. Sebenarnya ia bukanlah yang terbaik, tapi karena nafsu besar itu, ia mencegah komunitas mendapatkan pemimpin yang benar-benar berkualitas. Terlebih lagi kalau dibarengi ketergesaan. Ibarat anak kecil ngotot mau memimpin ke depan. Dan ternyata menurut penelitian Jim Collins (lihat ringkasan Good to Great), orang yang hebat bukan hanya punya kemampuan profesional yang luar biasa, tapi juga punya tingkat keikhlasan yang tinggi.

Hambatan dari luar diri menambah rumit soal. Faktor eksternal ini tidak berdiri sendiri karena akarnya terkait dengan kelemahan diri. Populernya, hambatan eksternal ini disebut TIGA TA: HARTA, WANITA, TAHTA. Mau diapakan juga, tiga ta ini nggak akan pernah hilang, kecuali kalau kita menyendiri jauh bertapa di gua. Kan sedikit sekali di antara kita yang mengasingkan diri begitu. Yang penting adalah kita sadar akan bahaya harta, wanita, dan tahta. Kemudian waspada. Artinya juga bukan nggak boleh menyenanginya. Kita cuma perlu menahan diri, kayak puasa.

Selain hambatan dari dalam diri dan hambatan TIGA TA, ada lagi satu hambatan yang perlu diwaspadai, yaitu kelemahan dalam sistem organisasi itu sendiri. Semua komunitas pasti berpotensi memiliki orang-orang yang tidak berkinerja baik. Mungkin tadinya baik, kemudian merosot. Kalau organisasi tidak punya mekanisme yang efektif, bisa bahaya. Selanjutnya, organisasi berpotensi juga memiliki kelompok-kelompok atau aliran yang tidak padu. Alamiah. Lagi-lagi, jika organisasi tidak punya mekanisme yang efektif untuk meminimalisir kecenderungan pengelompokan seperti itu, bahaya mengancam. Terkait juga dengan pengelompokan adalah potensi adanya fanatisme yang salah, misalnya ke figur.

Apa solusinya?

Pertama, kokohkan hubungan hati. Manusia bukanlah robot. Dia makhluk sosial yang memiliki ruh.

Kedua, upayakan keseimbangan komunikasi. Manusia ribet dalam berkomunikasi, makanya perlu seimbang.

Ketiga, hidupkan jiwa syuro atau musyawarah. Artinya kebijaksanaan kelompok adalah lebih baik daripada kejeniusan individual.

Keempat, hidupkan dialog anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang menjadi dasar organisasi. Kalau bicara mengenai jamaah da'wah, artinya dialog tentang fiqh da'wah.

Kelima, jangan mengisolir pemikiran dari figur tertentu. Belum tentu figur yang mau diisolir itu, pemikirannya jelek atau selalu jelek.

Keenam, hidupkan otokritik. Dengan menganggap diri tidak selalu benar,perbaikan dapat lebih mudah dilakukan.

Ketujuh, jangan cederai organisasi / jamaah. Organisasi memiliki mekanisme tertentu. Kalau mekanisme perlu diubah, ubah saja. Jangan jelekkan organisasi. Oknum yang bermasalah, itulah sebab musababnya.

Kedelapan, tingkatkan perhatian terhadap organisasi serta hidupkan vitalitas gerakannya. Dengan ini, perbaikan secara terus menerus dapat diupayakan.

Selengkapnya.....

Rabu, 27 Agustus 2008

The Four Disciplines of Execution 3

Pada dua disiplin sebelumnya, kita sudah membahas penentuan fokus melalui WIGs dan pembuatan papan skor. Sekarang kita masuk ke disiplin ketiga, yaitu menerjemahkan strategi yang telah ditentukan melalui WIGs itu menjadi aktivitas yang spesifik, mingguan maupun harian, untuk maju ke depan untuk mencapai tujuan. Ini juga berarti kita harus menyelaraskan kegiatan sehari-hari dengan strategi. Jangan sampai yang kita lakukan tidak ada kaitannya dengan tujuan. Kalau sampai kita membiarkan diri melakukan hal-hal di luar pencapaian tujuan - artinya yang tidak penting - kita dan tim kita berada dalam masalah besar.

Dalam menentukan aktivitas spesifik bagi tim dan kita sendiri, ada tiga hal yang harus diperhatikan. Yang pertama adalah kita harus memikirkan dan mencari cara baru yang lebih baik. Bila kita melakukan hal yang sama terus menerus tanpa perubahan, kita sedikit demi sedikit kehilangan daya saing. Apalagi kalau aktivitas yang kita ulang-ulang itu terbukti nggak berhasil. Kuncinya adalah untuk mencapai tujuan yang belum pernah kita capai sebelumnya, kita harus selalu melakukan perbaikan terus menerus, melakukan hal baru. Contoh, ketika walikota NYC Giullani pertama kali menjabat, terdapat 2200 pembunuhan setahun. Ketika meletakkan jabatan, setahun pembunuhan hanya 600. Suatu prestasi yang luar biasa. Apa yang dilakukannya? Pastinya hal baru yang lebih baik (lihat ringkasan buku The Tipping Point - Y Pan).

Banyak contoh-contoh lain mengenai melakukan sesuatu yang baru dan lebih baik. Spiritnya adalah perbaikan terus menerus. Pertanyaannya adalah bagaimana mendapatkan ide mengenai cara baru yang lebih baik. Mungkin kita bisa lihat orang lain yang lebih baik dan mencontohnya. Artinya kita melakukan semacam studi banding (nggak harus mahal dan ke luar negeri lho, bahkan kadang bisa ditemukan di sekitar tetangga terdekat kita - Y Pan). Lainnya, mungkin kita dapat berkolaborasi dengan tim kita dan mengandalkan daya imajinasi dan kreativitas. Yang lainnya lagi mungkin berasal dari pengalaman masa lalu. Namun demikian perlu diingat bahwa hal baru yang ingin kita terapkan harus benar-benar dapat diterapkan.

Hal kedua yang perlu menjadi perhatian dalam menerjemahkan strategi ke aktivitas spesifik adalah melakukan perencanaan mingguan - perencanaan mingguan bersama tim. Di sini kolaborasi dalam tim menjadi hal yang sangat penting. Kekuatan brainstorming lagi-lagi unjuk gigi. Masing-masing anggota memikirkan tiga hal yang dapat dilakukan minggu ini untuk maju mencapai WIGs. Pikirkan betul yang sangat relevan dan penting (the big rocks). Lalu dari kandidat tujuan tim mingguan, pilih tiga hal yang paling penting. Ingat harus dengan spirit baru dan lebih baik. Dari tiga tujuan mingguan tim, masing-masing individu merencanakan aktivitas individualnya masing-masing, tentunya dengan konsensus yang diterima tim secara keseluruhan.

Aktivitas individual yang dilakukan harian seperti dijelaskan di atas diturunkan dari tujuan mingguan tim yang sebenarnya diturunkan dari wildly important goals. Perlu ditekankan di sini bahwa WIGs dapat memiliki kerangka waktu yang panjang, antara sebulan hingga setahun. Oleh karena itu, penting bagi tim untuk menentukan tujuan mingguan yang dapat dicapai dalam satu minggu itu. Sebuah WIG (apalagi tiga WIGs) mungkin dapat diibaratkan keseluruhan kue yang sulit dimakan sekaligus, sementara tujuan mingguan adalah potongan kue yang dapat dikunyah dan ditelan.

Hal terakhir yang sering dilupakan dalam disiplin ketiga ini adalah memasukkan aktivitas individual ke dalam sistem perencanaan. Dengan sistem perencanaan ini, disiplin yang diharapkan di sini benar-benar dapat terwujud. Covey membuat model sistem perencanaan yang dapat digunakan, tapi kuncinya adalah disiplin itu sendiri - disiplin masing-masing anggota tim untuk melakukan tugas yang direncanakan. Apakah kita bener-bener disiplin? Atau kita senang melakukan sesuatu suka-suka? Melakukan yang mudah saja? Bersenang-senang atas biaya orang lain? Jangan-jangan kita curang (lihat artikel Kecurangan Organisasi dan Kecurangan Pengelolaan Informasi).

Selengkapnya.....

Senin, 25 Agustus 2008

The Four Disciplines of Execution 2

Displin kedua menurut Covey adalah adanya papan skor. Lengkapnya begini: create a compelling score board. Ini tentunya setelah disiplin pertama dilakukan dengan konsisten, yaitu fokus pada tujuan yang sangat-sangat penting (lihat artikelnya). Mengapa sih harus ada papan skor? Jawabnya adalah karena kita selalu ingin tahu posisi dan perkembangan menuju tujuan. Misalnya waktu kita baru gabung dengan penonton-penonton pertandingan Euro, otomatis yang pertama kita cek adalah berapa-berapa sih skornya. In English: what's the score?

Hati-hati ya dalam Bahasa Inggris bukan: how many the score? Lucu kan (tapi ini cerita lain - Y Pan). Balik lagi ke skor, intinya adalah dorongan manusiawi untuk tahu keadaan. Contoh lain sering terjadi dengan Aisyah, anak kami. Kalau kami jalan jauh, ke Palembang katakanlah, sering banget dia nanya: 'Masih lama nggak Yah?' Sekali dijawab dengan 'Lima jam lagi,' kontan dia nyahut, 'Kelamaan.' Kita sih sering bilang biar dia tidur aja biar cepet sampe. Ampuh juga. Sementara. Entar dia pasti nanya lagi. Masih lama nggak? Masih jauh ya?

Mengetahui skor adalah hal penting. Kita jadi tahu harus ngapain. Apakah tidur aja biar cepet tiba di tujuan seperti Aisyah? Ataukah nginjek gas lebih cekatan biar nyalibnya lebih kenceng dan mulus? Ataukah justru berhenti dulu buat makan atau ngisi bensin? Intinya skor itu penting. Covey mengatakan skor yang mesti dibuat harus diturunkan dari WIGs yang sudah ditentukan. Kan nggak lucu kalau tujuan kami ke Palembang dari Bekasi, terus si Aisyah sibuk nanya terus jauhnya Medan atau Surabaya. Nggak relevan lah. Kalau buat pengetahuan dia aja nggak masalah, asal nanyanya sekedar aja. Masak keseringan sambil ngotot lagi.

Kalau tujuan organisasi kita adalah memuaskan pelanggan, tentu kita perlu dong bikin survey. Puas nggak mereka? Nanyanya jangan ke pihak yang lain, misalnya ke konsultan. Nggak kena, kecuali kalau memang kita menyewa konsultan buat nanya ke pelanggan kita. Kalau kualitas produk yang konsisten adalah hal paling penting buat organisasi kita, tentu kita perlu mengukur dan memonitornya. Misalnya kalau jualan pempek kapal selam, kita nggak ingin sekali waktu beratnya 200 gram, lain waktu 50 gram, lain waktu lagi 150 gram. Mungkin kita perlu cek bahwa pegawai kita membuat tiap biji kapal selam antara 97 hingga 103 gram. Kalau nggak, ntar rugi loh atau pelanggan yang lari.

Itu tadi yang pertama. Skor harus terkait dengan WIGs. Yang kedua, skor harus ditampilkan menarik, atraktif. Menarik atau atraktif memang relatif. Untuk kasus tertentu perlu dihias dan ditempatkan sedemikian rupa agar mudah terlihat. Untuk kasus lain, cukup pengumuman berkala lewat speaker, seperti ke Aisyah atau kayak di Gambir. Eh, nggak ya, mestinya Gambir bisa lebih baik deh (tapi ini cerita lain). Saya rasa Anda paham yang saya maksud. Kadarnya bisa beda-beda. Prinsipnya papan skor harus dibuat agar yang berkepentingan dapat kembali ngecek dan ngecek dengan mudah. Kalau perlu website khusus di intranet perusahaan, ya silakan saja.

Skor atau indikator memiliki dimensi waktu lho. Ada yang sifatnya realtime. Jarum speedometer, misalnya. Ada yang bersifat lagging. Misalnya skor akhir pertandingan. Ada yang bersifat leading. Misalnya rata-rata tingkat pendidikan suatu masyarakat merupakan indikator awal (leading) produktivitas dan kemakmuran masyarakat tersebut. Yang mana yang penting? Semuanya! Indikator akhir (lagging) sebetulnya yang menentukan dan bersifat final. Ia menunjukkan hasil. Indikator saat ini (realtime) dapat men-trigger perubahaan tindakan yang bersifat jangka pendek, misalnya nginjak gas atau justru ngerem. Indikator awal (leading) dapat menjadi dasar antisipasi jangka panjang.

Nah, selain memiliki dimensi waktu, indikator atau ukuran juga memiliki tingkat keefektifan (bukan efektivitas karena di bahasa asalnya nggak dikenal effectivity - Y Pan). Ada beberapa kriteria penentunya, sebagai berikut.
- Seberapa akurat ia mencerminkan progres menuju gol? Kalau jarak ke Medan yang dipantau padahal tujuan ke Palembang dari Bekasi, si pengemudi harus mempertimbangkan ganti indikator.
- Apakah inputnya mudah dimanipulasi? Misalnya penjualan naik, tapi tingkat retur juga naik. Produk cepat masuk pasar, tapi kualitas jelek. Kalau mudah dimanipulasi seperti itu, ganti aja secara iteratif.
- Apakah ia dalam kontrol atau sepenuhnya di luar kontrol? Nggak mungkin kan menugaskan penumpang yang tidak mengemudi untuk mempercepat laju.
- Apakah ia mendorong perilaku yang benar?
- Apakah ia juga mengukur hasil dan bukan hanya aktivitas?
- Apakah ia benar-benar dapat dicapai?
- Apakah manfaatnya lebih tinggi dari biaya untuk menyediakannya?

Semakin banyak kriteria terpenuhi, semakin efektif indikator tersebut. Selamat mencoba ya. Jangan takut salah karena ini proses iteratif. Mulailah dari diri sendiri, kemudian perluas pengaruh Anda ke tim, kemudian ke perusahaan, kemudian ke masyarakat, dan akhirnya ke dunia. TAPI mulai dari diri aja dulu. A small step could be a beginning of a great journey.

Selengkapnya.....

Minggu, 24 Agustus 2008

How Many the Score?

Apa arti pertanyaan di atas bagi Anda? Entahlah, tapi saya punya cerita lucu terkait pertanyaan itu. Ini memang cuma karangan saya aja, walaupun nggak tertutup kemungkinan pernah terjadi mungkin pada kenalan kita atau mungkin kita sendiri. Ceritanya berawal dari keberangkatan katakanlah namanya Budi ke New York. Dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi. Budi adalah orang yang sangat cerdas, tapi agak kesulitan berbahasa Inggris sesuai cara native speakers berbahasa Inggris. Maklumlah, sebelum dia mengeluarkan kata-katanya dalam Bahasa Inggris, dia menyusun kata-kata dulu dalam Bahasa Indonesia (kadang-kadang Jawa), lalu diterjemahkan ke Bahasa Inggris.

Cara seperti Budi di atas sebetulnya sih jamak. Sedikit sekali teman Budi yang berbicara Inggris langsung dengan pola Bahasa Inggris di kepalanya. Bahkan dalam tidurnya, teman Budi itu sering mengigau dalam Bahasa Inggris. Sementara, hampir semua teman Budi lainnya menggunakan cara yang sama dengan Budi. Cuma kadarnya beda-beda. Ada yang agak mending. Pola Bahasa Indonesia atau bahasa daerah aslinya sudah hampir tidak kelihatan lagi dalam komposisi Bahasa Inggrisnya. Ada yang biasa-biasa aja. Ada yang parah. Budi salah satunya. Nah, suatu hari Budi mau nonton pertandingan baseball - termasuk olahraga paling populer di Amerika di samping American football dan basket. Sebetulnya dia nggak begitu suka karena nggak begitu ngerti aturan permainannya, tapi karena diajak kawan-kawan seapartemen (biasanya mahasiswa Indonesia suka ngumpul sesama terus di New York, sampai lupa bergaul sama orang asli New York), ia putuskan berangkat ikutan.

Ketika memasuki stadion yang besar di kawasan Bronx itu, Budi dan kawan-kawan baru menyadari kalau mereka sudah telat. Akhirnya setelah terburu-buru mencari area tempat duduk mereka, mereka memasuki lift bergerombol. Ternyata ada satu bule yang juga telat masuk ke lift. Karena tombol lift ketutupan oleh gerombolan Budi, Budi yang baik hati menawarkan jasa baik ke si bule.

'How many floors do you want, Sir?'

Tentu saja ini adalah pertanyaan yang diterjemahkan Budi dari, 'Mau ke lantai berapa, Pak?' Kontan saja si bule bingung. 'Of course only one,' batinnya. Tapi setelah ngerti, si Bule dengan bijak tersenyum sambil berkata:

'Floor number three, please.'

Nah setelah mereka sendiri sampai ke lantai tujuan mereka, buru-buru mereka mengambil tempat. Excuse us. Excuse us. Excuse us. Fasih!

Begitu duduk, Budi langsung penasaran skor sudah berapa-berapa. Tanpa melihat papan skor lagi, dia dengan ramah bertanya ke penonton yang ada di belakangnya.

'How many is the score, Sir?'

Ups, dengan lugas pemuda yang ditanya menjawab.

'Probably you are asking WHAT's the score.'
'Ya, ya, ya.'
'One - nil. You are not that late.'
'OK, thanks.'

Orang-orang pada mesem-mesem. Budi jadi salting. Tadi di lift, si bule juga senyum-senyum. Apa memang bener orang-orang New York sejak Guillani jadi walikota berubah jadi orang-orang paling ramah se-Amerika. Tapi senyumnya yang ini udah agak lain nih. Begitu batin Budi. Perasaannya tambah nggak keruan. Sementara di pojokan, temen Budi yang terkenal selalu paling ramah ke cewek-cewek bule sedang PDKT. Asyik banget dia walaupun dengan campuran Bahasa Tarzan. Sampai-sampai teman yang satu itu lupa melihat pertandingan sama sekali. Herannya si cewek juga mau lagi, udah bayar tiket, malah nggak nonton. Budi sendiri nggak kerasan selama pertandingan karena dua kejadian sebelumnya bikin perasaannya nggak keruan. Apalagi dia nggak bisa pindah tempat duduk, sementara orang-orang di belakannya kalau beradu pandang jadi makin ramah aja senyumnya.

Singkat cerita, setelah pertandingan usai, mereka buru-buru keluar. Budi yang sudah nggak tahan lagi berkeras agar rombongan cepetan raib dari pandangan orang-orang yang ramah itu. Karena kelupaan nanya alamat si cewek bule, bahkan namanya, si playboy terpaksa sedikit berteriak ke arah cewek yang sudah jalan menjauh itu.

'HOW MANY IS your phone number... ber... ber?'

Sampai bergema di telinga Budi, hehehe. Dia belajar banyak hari itu.

-Selesai-

Kamus:
Mau ke lantai berapa?
How many floors do you want? (terjemahan ala Budi dkk)
What floor, Sir? atau
What floor do you want, Sir (terjemahan yang benar)

Berapa skornya?
How many is the score? (terjemahan ala Budi dkk)
What is the score? (seharusnya)

Berapa nomor teleponmu?
How many is your phone number? (terjemahan ala Budi dkk)
What is your phone number? (yang benar)

Pelajaran moralnya:
Hat-hati bermatematika-ria dalam Bahasa Inggris

If x+y=6 and x-y=2, HOW MANY is x?



Selengkapnya.....

Sabtu, 23 Agustus 2008

Persiapan Ramadhan


Mengapa sih harus ada persiapan? Karena pentingnya bulan Ramadhan. Ramadhan adalah media mencapai taqwa dan kemudian kemuliaan di hadapan Allah. Seandainya ummat tahu betul semua fadhilah bulan Ramadhan, maka niscaya ummat menginginkan semua bulan adalah Ramadhan. Artikel ini saya tulis berdasarkan ceramah tarhib (menyambut) Ramadhan yang saya ikuti semalam di Masjid At-Taqwa, Taman Narogong, Rawalumbu, Bekasi.

Ada empat persiapan yang perlu kita lakukan. Pertama, persiapan mental. Bahkan Rasulullah telah mempersiapkan diri sejak awal bulan Rajab, dengan do'a: Ya Allah, berkahi kami di bulan Rajab dan Ramadhan, dan sampaikanlah kami ke Ramadhan. Selain mengungkap keistimewaan Ramadhan, do'a ini juga mengandung makna bahwa di luar Ramadhan seorang muslim tetap harus mengisinya dengan pengabdian kepada Allah.

Kedua, persiapan spiritual. Di bulan Sya'ban, Rasulullah memperbanyak puasa dan mengingatkan istri-istrinya untuk membayar hutang puasanya dan memperbanyak kebajikan. Seorang sahabat bertanya (mungkin malah mempertanyakan) atas perhatian Rasul yang sangat istimewa pada bulan Sya'ban. Sya'ban sering diabaikan (bulan kejepit) padahal kebajikan yang dilakukan di bulan Sya'ban sangat bernilai di sisi Allah. Demikian penjelasan Rasul. Di sinilah pemanasan spiritual dilakukan untuk menyambut Ramadhan.

Ketiga, persiapan fisik. Rasulullah sering bersiwak menjelang Ramadhan sehingga ketika memasuki Ramadhan kondisi mulut prima. Rasulullah melakukan bekam (check up) agar ibadah puasa berjalan lancar. Selain itu, upayakan diri tetap semangat. Jangan lesu. Jangan sakit-sakitan. Kumis, rambut, pakaian, dll dirapikan. Aspek fisik lainnya adalah prasarana pendukung. Masjid dan sajadah dibersihkan dan dirapikan. Rumah juga demikian. Dihiasi. Mushaf disiapkan. Dst. Harapannya ibadah Ramadhan dapat dilakukan dalam keadaan yang nyaman.

Keempat, persiapan ilmu. Tanpa ilmu, amal ibadah dapat berisiko salah, tidak sah, tidak dikabulkan, atau kalaupun sah, kualitasnya rendah. Serendah-rendah kualitas puasa adalah sebatas mendapat lapar dan dahaga. Nilainya NOL. Memang ilmu harus mendahului amal. Yang dimaksud adalah ilmu yang diinternalisasi atau ilmu yang diamalkan. Kalau saja puasa yang dilakukan dapat mencapai tingkat melebur dosa, tentu puasa ybs memiliki kualitas yang luar biasa.



Barangsiapa puasa Ramadhan dengan imanan wa (i)htisaban (dengan yakin dan semangat untuk melaksanakan dengan sebaik-baiknya serta dengan rakusnya mengharapkan dan mencari-cari ridho dan pahala-pahala dari Allah) maka akan diampunkan Allah dosa-dosanya yang lalu. Amal ibadah orang yang demikian benar-benar terjaga kualitasnya. Baca qur'an dengan tartil. Shalat jamaah di masjid di awal waktu. Shalat malam khusu'. Shadaqah yang dilakukan banyak dan seikhlas mungkin. Bahkan wudhu dilakukannya sesempurna mungkin.

Ayo, bersikap positiflah, tidak hanya melakukan amal seadanya atau minimal atau asal memenuhi syarat. Barangsiapa puasa Ramadhan dan mengetahui batasan-batasannya (mana yang bener, mana yang nggak) dan bener-bener menjaga apa yang harus dijaga (pikiran, emosi, lisan, pandangan, pendengaran, dll), maka dihapuslah dosanya. Maknanya sebagian adalah tidak punya pikiran jorok apalagi mengeluarkannya dengan ngomong jorok, tidak blo'on, tidak mudah marah. Mudah-mudahan Ramadhan kita kali ini lebih baik dari yang lalu-lalu. Lebih banyak dapet berkah. Amin.

Selengkapnya.....

Kamis, 21 Agustus 2008

The Four Disciplines of Execution 1

Kegagalan organisasi, baik yang berorientasi profit ataupun tidak, tidak disebabkan ketidakmampuan menyusun strategi yang bagus. Kalau menurut Stephen R Covey, penyebabnya lebih pada ketidakmampuan mengeksekusi. Survey-survey yang dilakukan Konsultan Franklin-Covey menunjukkan dengan jelas fenomena ini. Lebih lanjut lagi ketidakmampuan mengeksekusi disebabkan kurangnya disiplin - disiplin dalam mengeksekusi.

Tidak disiplin memang penyakit umum. Ia menjangkiti hampir semua orang, apalagi di komunitas yang tidak menyuburkan budaya disiplin. Kalau menurut Jim Collins dalam buku Good to Great (lihat ringkasannya), disiplin melakukan sesuatu yang sesuai dengan konsep bisnis / organisasi dan tidak melakukan sesuatu yang tidak sesuai konsep merupakan faktor penentu yang menyebabkan perusahaan biasa-biasa saja dapat menjelma menjadi perusahaan hebat. Faktor disiplin ini hanya di bawah faktor pemimpin (level 5), orang (sebelum sistem), dan konsep landak (konsep sederhana dan fokus, menjadi yang terbaik di dunia).

Four Disciplines, yang dimaksud Stephen R Covey, adalah (1) fokus pada tujuan yang sangat penting (focus on the wildly important goals); (2) ciptakan papan skor yang menarik (create a compelling scorecard); (3) terjemahkan gol ke dalam tindakan nyata (translate lofty goals into specific actions); (4) pastikan setiap pihak akuntabel setiap waktu (hold each other accountable all of the time). Demikianlah menurut Covey. Pada artikel ini, kita bahas displin pertama dulu.

Tujuan yang sangat penting (wildly important goals / WIGs) adalah tujuan yang jika tidak tercapai, maka hal lain dan pencapaian tujuan lain menjadi basi - nggak relevan. Analoginya adalah seperti tujuan menara pengendali lalu lintas lepas landas dan mendaratnya pesawat. Misinya tentu saja menghindari crash, atau lebih spesifik lagi adalah setiap pesawat yang mau mendarat dan yang mau lepas landas dapat melalui periode kritis tersebut dengan baik. Jadi, di setiap waktu, pengendali di menara pengawas fokus membantu pesawat terutama yang mendarat agar mendarat dengan sempurna, excellent.

Analogi mendaratkan pesawat dengan sempurna mengandung makna apabila terjadi crash maka hal lainnya nggak berarti lagi. Mau nggak mau, pengawas harus fokus pada tujuan mendaratkan pesawat dengan sempurna pada momen yang penting ini. Pesawat yang lainnya yang lagi ngantri gimana? Ya... walaupun tetap terpantau di radar, pesawat lainnya seolah diabaikan dulu. Nggak ding, yang pasti satu demi satu pesawat harus selamat. Itulah WIG-nya. Di situlah fokusnya.

Ada makna yang lain dari analogi di atas, yaitu pada satu saat idealnya hanya ada satu WIG. Memang ini nggak realistis. Mungkin dua atau tiga WIGs lah. Lebih dari tiga, apalagi kalau semua hal dianggap penting, penyelesaian tugas jauh menurun tingkat kesempurnaannya. Kalau hanya satu WIG, tingkat kesempurnaannya dapat mencapai 80%. Kalau dua, 64%. Demikian seterusnya, makin banyak WIGs, makin cepet turun kualitas pencapaian tujuan.

Menurut penelitian memang kemampuan fokus otak manusia sangat terbatas. Kalau orang diminta menggunakan kacamata dengan dua lensa yang berbeda, misalnya kiri merah sedangkan kanan hijau, maka yang bersangkutan pada satu waktu hanya dapat melihat satu warna saja. Merah atau hijau saja silih berganti. Dia tidak mampu melihat kombinasi keduanya. Keterbatasan seperti ini juga diungkap dalam buku The Tipping Point (lihat ringkasannya) karya Malcolm Gladwell. Penelitian yang dirujuk oleh Gladwell menghasilkan the magic number seven.

Covey sedikit ekstrem dengan mengungkapkan dalam hal pencapaian WIGs, jumlah 6, 8, atau 10 WIGs, atau bahkan lebih sangat tidak optimal. Cukup dua atau tiga saja. OK lah, argumen-argumen yang berbeda ini nggak usah kita pertentangkan. Saya pribadi sih dalam hal wildly important goals (bukan hanya important goals) cenderung setuju dengan Covey. Jangan banyak-banyak. Ntar nggak kepegang. Ini mirip kayaknya dengan the hedgehog concept dari Jim Collins.

Nah, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara mencari dan menentukan WIGs. Covey membuat tool untuk memfasilitasi proses ini. Intinya adalah kolaborasi atau brainstorming saja sebetulnya, tapi harus lebih terarah dan sistematis. Umpamanya masing-masing anggota kelompok diminta menyumbang tiga WIGs menurut perspektif masing-masing, sudah dapat terkumpul tiga kali sejumlah anggota tim. Dari katakanlah sepuluh sampai lima belas kandidat, persempit lagi menjadi tiga yang benar-benar WIGs. Gunakan prinsip Pareto (80-20). Cari 20% WIGs yang memiliki dampak 80% terhadap organisasi.

Dengan proses di atas, organisasi - apapun levelnya – dapat memiliki fokus. Tujuannya nggak kebanyakan. Sebaliknya, kondisinya tidak juga tanpa tujuan yang jelas. Sementara, dampaknya signifikan. Kunci lainnya dalam proses ini adalah proses penyelarasan dan klarifikasi. Hanya tujuan yang jelas atau clear (dan tentunya fokus / sedikit / sempit) yang dapat dipahami oleh seluruh pelaksana pekerjaan. Memang kemudian diperlukan komunikasi dua arah yang efektif. Jangan sampai hanya pimpinan saja yang merasa jelas dengan tujuan-tujuannya. Para ujung tombak pelaksana pekerjaan harus clear juga. Kata Covey justru: the front line produces the bottom line.

Selengkapnya.....

Selasa, 12 Agustus 2008

Tired

Do not know why.
Today I am not feeling well.
From very early to quite late in the office,
Thousands of words dance in my head.
I'm too one of the persons producing those dancing words.

Where is serenity?
Where is silent?
Where is that good feeling?
Probably, I am well too prepared in diving this busy-ness.
Probably, I long forget those lonely nights.
O goodness, please fill this frozen heart with your very good.

Selengkapnya.....

Senin, 11 Agustus 2008

Asyiknya PP Kantor lewat Monas

Sudah lama saya pergi ke kantor naik KRL Ekspres 6.25 dari Bekasi. Turun di Gambir, terus jalan kaki lewat kawasan Monas. Walaupun kawasan Monas sering jorok, terutama di hari Senin, saya masih dapat memakluminya. Nggak tahulah bagi beberapa orang bule yang saya dapati lewat di situ. Sesekali saya coba jalan di tempat khusus seperti di gambar ini. Sudah tahu kan?

Di area ini banyak juga ngendon penjual jasa pijat, menunggu calon pengguna jasa. Kadang mereka sambil tiduran di atas susunan batu tajam yang katanya memberikan efek ke sistem syaraf tubuh. Saya sendiri sedikit sekali tahu masalah pijat memijat. Namun demikian, sesekali saya menggunakan jasa pijat / urut. Lihat artikel lama saya berjudul Ketika Sakit. Waktu sakit lengan kiri dulu itu, saya amat merasakan manfaat pijat urut. Dasarnya nggak terlalu suka diurut, nggak sampai rutin. Geli!

Kembali ke topik, akhir-akhir ini saya berusaha menyempatkan berjalan di atas susunan "batu pijat" Monas. Lama-lama nggak terlalu terasa sakit. Wah, mungkin efeknya sudah main nih. Mungkin juga ini cuma perasaan saya aja. Apa pun, hanya merasa lebih baik sudah cukup baik dan positif buat saya, yang belakangan sering merasa kegendutan. Sebenarnya sih, di area refleksologi Monas ini disediakan juga papan besar berisi informasi ilmu refleksologi, tapi sampai saat ini saya belum sempat mempelajarinya. Ini fotonya.



Yang saya tahu masih minim sih. Misalnya, ada susunan batu yang besar-besar dan rapat. Ini mah gampang. Jalan di atasnya bisa nyantai aja. Hampir nggak terasa sakit. Jika Anda seorang pemula, cobalah mulai di jenis ini dulu. Kemudian, ada yang susunan batunya lebih jarang dikit. Tentu tekanan ke alas kaki terasa lebih menyakitkan. Yang paling ekstrem adalah susunan batu kecil. Parahnya, ujung runcing yang diarahkan ke atas, ke kaki-kaki kita. Belum lagi, susunannya sengaja direnggangkan. Oh... sakit! Di sini, disediakan pegangan buat yang nggak tahan. Hehehe, lagian siapa suruh langsung ke tingkat yang sulit.



Itu baru berangkatnya - pergi ke kantor. Pulang kantor biasanya saya naik ojek ke Stasiun Tanah Abang atau Gambir. Pekan lalu saya coba jalan dari kantor ke Gambir. Wah, ternyata enak juga. Buat saya yang sangat jarang olahraga, jalan kaki waktu pulang-pergi kantor (walaupun nggak penuh... 33 km bo', 66 kalau bolak balik) jadi kesempatan latihan yang baik. Seperti nggak disengaja gitu. Jadi, kalau saya bolak balik kantor-Gambir jalan kaki, saya berolahraga ringan selama dua puluh menit sekali jalan, empat puluh menit totalnya, lima kali sepekan! Setara dengan level berapa ya pada program latihan aerobik Dr Kenneth Cooper? Mbo lah.

Gitu deh, asyiknya pulang-pergi kantor lewat Gambir dan Monas. Jeleknya, seperti yang saya ungkapkan di awal, adalah sewaktu-waktu harus menyaksikan kotornya Monas, terutama di hari Senin. Lihat artikel saya sebelumnya, Kebersihan di Area Publik. Butuh perbaikan manajemen kebersihan ya, Pak Fauzi?

Selengkapnya.....

Selasa, 05 Agustus 2008

Tip dan Trik Membuat Data Model

Bersama Ginanjar lima pekan lalu saya ke Bandung. Kami diminta menjadi fasilitator sebuah workshop mengenai data model. Sesi kami dijadwalkan Rabu malam dan Kamis pagi. Berangkat dari Gambir jam 3.30 Rabu sore, dan tiba lagi di rumah sekitar jam 5.00 Kamis sore. Perjalanan pergi-pulang saya tempuh menggunakan Argo Gede. Lumayan nyaman, apalagi pas pulang bisa langsung turun di Bekasi.

Waktu berangkat ke Bandung hampir nggak dapet tempat duduk. Bermodal nekat dikit akhirnya saya dan satu penumpang lain yang senasib (Pak Rizal) dapet tempat duduk juga. Kami kemudian ngobrol panjang lebar mengenai knowledge management. Awalnya karena saya bawa buku bacaan mengenai KM. Dasar kelihatan suka interaksi, Pak Rizal nanya-nanya ke saya mengenai topik ini. Setelah ngobrol agak lama justru beliau yang mengajari saya. Katanya nggak mungkin hadits-hadits Nabi SAW dapat terkumpul dan terklasifikasi dengan baik jika para sahabat dan ulama masa itu tidak mempraktikkan KM.

Balik ke tujuan saya ke Bandung, di sesi pertama, saya mencoba memberikan presentasi singkat mengenai data model. Itung-itung memberi fondasi dasar yang sama untuk audiens yang agak beragam. Inti presentasi itu adalah (1) apa yang dimaksud data model, (2) apa manfaatnya, dan (3) gimana membuatnya. Setelah itu, Ginanjar dan saya mensetup suatu exercise untuk memberikan pengalaman hands-on bagi peserta. Salah satu perangkat yang kami gunakan adalah guntingan kata-kata benda atau konsep yang terkait dengan domain yang sedang dibicarakan, dalam hal ini BPR dan BPRS. Guntingan kertas itu sebelumnya disiapkan oleh Dina dan Laksmi di kantor.

Berbekal dua set guntingan kertas dari Dina dan Laksmi, kami meminta para peserta yang kami bagi jadi dua kelompok untuk menyusun guntingan-guntingan kertas itu. Susunannya mengikuti pengelompokan dan hubungan tertentu yang masuk akal bagi peserta. Tentunya peserta telah memiliki pengetahuan kolektif yang cukup memadai untuk melakukan permainan ini. Contoh hubungan: BI mengawasi BPR dan BPRS. Contoh lain: BPR mengeluarkan laporan keuangan. Nah, tentu Anda dapat menebak sebenarnya guntingan kertasnya adalah BI, BPR, BPRS, dan laporan keuangan. Predikat pada dua kalimat contoh di atas adalah hubungan yang harus dicari oleh peserta dan digambarkan dengan garis penghubung antara guntingan kata benda / konsep.

Kedua kelompok terlihat cukup asyik bermain. Awalnya tentu dinamika mencari leader. Harusnya yang paling menguasai domain BPR dan BPRS yang menjadi leader. Yang kurang menguasai tentu akan mundur pada akhirnya. Ini nggak berarti kecerdasan kolektif tidak diperlukan. Justru sangat diperlukan. Tinggal bagaimana mengelola keragaman. Akhirnya waktu habis. Satu kelompok masih terlalu asyik. Mungkin dinamika kelompok di awal permainan cukup memakan waktu, atau mungkin juga memang permainan ini mengasyikkan sampe susah berhenti.

Salah satu bagian dari permainan tersebut adalah uji atau try-out terhadap data model yang dihasilkan. Pengukurannya adalah seberapa cepat penguji mendapatkan data tertentu yang ditentukan secara acak. Setelah kedua kelompok benar-benar siap, saya minta dari keduanya untuk menunjuk wakil sebagai penguji. Wakil kelompok A akan menguji model kelompok B, dan sebaliknya. Saya meminta penguji mengambil guntingan kertas dari amplop saya secara acak. Sepuluh guntingan! Kemudian masing-masing mereka mencari padanannya di model yang dihasilkan. Cukup jelas terbukti ada model yang relatif lebih baik. Lebih mudah mencari sesuatu darinya!

Gimana sih model yang dihasilkan. Saya sebetulnya mengambil fotonya di bawah ini, tapi mungkin agak nggak jelas ya. Belum lagi, garis hubungan yang saya minta untuk digambarkan ternyata nggak digambar. Nggak perlu katanya. Pada sesi selanjutnya, saya jelaskan bahwa garis itu sebenarnya ada, tapi implisit. Model yang baik sebaiknya eksplisit.



Akhirnya, Kamis pagi, dibimbing oleh Ginanjar, peserta sekali lagi membuat model data secara bersama-sama. Berbekal pengalaman malam sebelumnya, model yang dihasilkan sebagai berikut. Ini memang bukan foto, tapi model yang dibuat dengan CMAP (Anda dapat men-download-nya dari http://cmap.ihmc.us/download/), adaptasi dari hasil kolektif peserta workshop.

Selengkapnya.....

Minggu, 03 Agustus 2008

Belajar Matematika Asyik Menyenangkan

Hari ini saya mengikuti pelatihan mengenai metode pembelajaran matematika. Instrukturnya adalah tokoh muda yang sudah lama malang melintang di dunia kompetisi olimpiade matematika. Kalau fisika punya Prof Yo, maka matematika punya tokoh ini: Ir Ridwan Hasan Saputra MSi. Sudah banyak blog yang ditulis mengenai beliau dan metodenya - coba deh hasil pencarian Google berikut ini dengan kata kunci Ridwan Hasan Saputra Matematika Nalaria Realistik - jadi saya nggak akan banyak ulas mengenai metodenya. Yang jelas T-O-P B-G-T.

Yang akan saya tulis adalah yang lokal saja, bahkan mungkin pribadi. Ketika berada di ruang kelas pelatihan yang mengambil tempat di SDIT Thariq bin Ziyad, Pondok Hijau Permai, Bekasi, ingatan saya sempat melayang ke puluhan tahun lalu. Waktu masih SD saya merasa metode pengajaran matematika yang saya alami bukanlah yang terbaik. Termasuk momen belajar dengan Ibunda yang penuh dengan tekanan. Maksudnya, tekanan itu justru tidak memudahkan saya lebih cepat ngerti. Namun demikian, tetap jasa Ibunda dan guru-guruku di SD Negeri 98 Palembang nggak boleh ditiadakan!

Hanya saja, saya merasa ingin kembali menjadi anak SD dan ingin diajari oleh Pak Ridwan untuk mengikuti olimpiade atau sekedar belajar matematika untuk kehidupan. Atau... angan-angan saya melayang gimana kalau saya jadi trainer menerapkan metode beliau sebagai sukarelawan. Untuk apa? Yah, buat mendukung beliau aja untuk kehidupan Indonesia yang lebih baik. Lebih bernalar dan realistik. Persoalannya kemungkinan saya bukan orang yang punya kemampuan yang tepat. Belum lagi tuntutan untuk ikhlas. Wah, jangan-jangan motivasi saya karena ingin dilihat orang.

Anyway, metode MNR dari Pak Ridwan penuh harapan. Harapan akan generasi yang lebih baik. Nah, untuk mendukung Pak Ridwan, simpelnya kita bisa mengikuti tip dari beliau sesuai pemahaman saya, minimal buat ngajarin anak kita masing-masing. (1) Jangan fitnah matematika, misalnya dengan mengatakan pada anak bahwa matematika itu sulit, padahal matematika itu asyik. (2) Bersikaplah sedemikian rupa hingga kita dicintai matematika, misalnya dengan berkorban semampunya. (3) Sebarluaskan matematika yang benar, misalnya dengan mempromosikan dan mendukung pengajaran metoda MNR di sekolah anak kita. (4) Ajarlah anak kita seolah mengajari anak orang lain, sehingga nyantai aja, nggak emosian. Terakhir (5) jangan mengharap anak mengejar nilai saja karena matematika adalah untuk berpikir, untuk kehidupan.



Pak Ridwan sempat juga menyampaikan beberapa faktor penghambat. (1) Mentalitas gimana nanti, kumaha engkek. (2) Kondisi nyaman yang bikin puas; nggak ada tekanan dan tantangan. (3) Kurang mau berkorban. (4) Berhenti pada konsep awal saja atau pada prosedur rutin; tidak mau eksplorasi lebih jauh untuk mengasah kreativitas. Padahal ada loh orang-orang yang mengkondisikan anaknya dengan perencanaan matang dan kondisi tidak nyaman, misalnya dengan mengajak anak melihat anak lain yang lebih maju dan serius. Ada juga orang-orang yang mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk bimbel anaknya. Satu anak sekali ketemu Pak Ridwan ngasih 500 ribu. Hehehe, tapi beliau kan tidak pasang tarif. Seikhlasnya.



OK, tanpa berpanjang lebar, kesan saya terhadap pelatihan di SDIT TBZ ini: sangat mengesankan dan menjanjikan. Terima kasih ke pihak-pihak yang telah memungkinkan saya mengikuti pelatihan ini, alhamdulilLah. Pertama ke istri saya yang jadi anggota panitia penyelenggara, karena dia mewajibkan saya ikutan. Buat ngeramein kali, padahal nyatanya penuh sesak. Lalu kepada pihak sekolah dan seluruh panitia dari POMG. Ini foto panitia bersama Pak Ridwan dan asistennya serta Kepala SDIT Thariq bin Ziyad. Ayo Bu Siti, bersama Pak Achyar, Pak Imam, Pak Agus, dan guru-guru lainnya. TINDAKLANJUTI!

Selengkapnya.....

addthis

Live Traffic Feed