Sudah tiga hari kakaknya Ahmad agak demam. Di tubuhnya ada sedikit bintik merah. Apakah ini akibat penularan dari Ahmad? Entahlah. Yang menarik adalah kemauannya untuk tetap mengikuti kegiatan sekolah. Kebetulan TKIT MMA, tempatnya sekolah, mengadakan wisata ke Taman Safari. Kemarin, pagi-pagi begitu bangun, dia sendiri yang minta minum obat. Lah, mungkin dia ingin sekali pergi ke Taman Safari bersama teman-teman dan gurunya.
Dulu waktu kuliah di Bandung, teman kos saya, Amal namanya, punya buku Toto Chan. Karena tertarik melihatnya, saya juga ikutan baca. Saya pernah dapat buku itu, kayaknya bekas, tapi lumayan. Sekarang masih awet di rak buku kami. Dalam ceritanya, digambarkan keistimewaan tempat sekolah gadis kecil Toto Chan. Menarik sekali gaya bertutur buku asal Jepang ini, namun poinnya adalah siswa jangan dibuat takut sekolah. Satu contoh saja, ketika Toto menguras septic tank sekolah karena mencari sesuatu, sang kepala sekolah yang hebat itu bertanya apa yang dilakukannya. Kurang lebih: eh sedang main apa, Toto? Tidak ada kemarahan dan hukuman. Gaya mendidik yang penuh inspirasi seperti juga dilakukan Bu Muslimah dalam Laskar Pelangi mungkin sudah luas diterapkan ya di sini?
Contoh pribadi, anak kami Hanif yang sangat ingin ke Taman Safari akhirnya kami izinkan dengan pertimbangan sakitnya nggak parah. Walaupun tidak bisa seaktif biasanya, tadi malam dia masih antusias menceritakan pengalaman itu. Saya sering mendengar juga bahwa dia sering pulang lebih lambat dari teman-temannya, karena ketika seharusnya dia belajar membaca Qiroati atau belajar berdo'a, dia malah main terus. Sebagai 'hukuman' belajarnya dilakukan di akhir waktu ketika temannya sudah pulang. Alhamdulillah, guru Hanif sangat sabar. Begitu pun di rumah, saya sering mendengar dialog lucu antara Hanif dan Ahmad dengan ustadz yang kami undang rutin ke rumah untuk mengajari mereka Al Qur'an. Ketika sang ustadz bercerita kisah penuh hikmah, yang sering terjadi adalah obrolan orisinal anak kecil yang mengundang geli. Waktu mendengar agenda belajar dari ustadz, Hanif malah mengkoreksi apa yang harusnya dilakukan dan bagaimana urutannya, sesuai keinginannya sendiri.
Anak kita memang berbeda dengan kita. Mereka akan menghadapi tantangan zaman yang berbeda juga. Apalagi pada knowledge society pembelajaran terus menerus akan menjadi kunci survival dalam kompetisi yang makin tinggi. Sebenarnya apa yang kita ingin terapkan kepada anak-anak kita untuk antisipasi masa depan dapat kita berlakukan buat diri sendiri. Memang mungkin belajar di masa dewasa diibaratkan seperti menulis di permukaan pasir atau air. Mudah hilang, namun kan nggak ada salahnya mencoba. Menurut Drucker, knowledge society akan memaksa orang untuk terus belajar sepanjang usia. Menurut Nabi Muhammad SAW, belajar wajib dilakukan mulai dari buaian hingga liang lahad dan meskipun harus ke Cina. Jadi, walaupun sulit, kalau kita patuh mencontoh Rasul, belajar nggak boleh kita tinggalkan. Pada artikel Pembelajaran: Pengolahan Informasi Paling Strategis, berdasarkan sumber teruji sepanjang sejarah, kita dapat menerapkan prinsip mengajar dan belajar. Mengajar didahulukan untuk menstimulasi proses belajar yang lebih aktif dan memberi makna belajar dilakukan bukan semata untuk diri sendiri.
Beberapa teman mengeluh betapa susahnya meningkatkan skor TOEFL. Mungkin prinsip mengajar dulu untuk belajar bisa digunakan oleh teman itu. Itu saja? Nggak. Itu yang pertama, bukan itu saja. Yang lainnya ada lagi. Membentuk komunitas belajar misalnya. Komunitas resmi belajar Bahasa Inggris cukup banyak, mungkin perlu juga komunitas yang lebih santai dan fun. Sekolah jangan dibikin susah. Bersama teman bertualang keluar negeri boleh jadi ide yang bagus. Kalau nggak bisa gimana? Mungkin bisa sambil main, meniru cara anak kecil. Bersama teman, adakan lomba menerjemah artikel. Atau iseng aja tiap ada waktu luang, baca artikel menarik sambil menerjemah. Nonton film bagus juga OK. Terus catat setiap kata dalam percakapan. Lain waktu bandingkan dengan subtitle-nya. Bagaimanapun, jangan bikin terlalu serius, ntar jadi beban. Kalau seperti itu bukan bermain sambil belajar lagi, tapi kayak belajar di sekolah kuno yang Toto Chan dan Hanif nggak antusias datang tiap hari, apalagi ngebelain datang walau sedikit nggak enak badan.
Jumat, 25 April 2008
Bermain sambil Belajar
Label:
lebih personal,
manajemen,
nilai-nilai
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
addthis
Kategori
- bahasa-matematika (23)
- demokrasi-politik (51)
- ekonomi-bisnis (71)
- lebih personal (42)
- manajemen (111)
- nilai-nilai (137)
- review buku (68)
- sistem informasi (37)
2 komentar:
Assalam muallaikum ....
entah bagaimana dan tak tau mengapa cerita belajar anak dan keridhoaan melihat semua kenakalan (kalau boleh disebut demikian)seorang anak menyentuh hati saya. Seorang anak dengan segala ketidak tauan memaksa untuk melakukan segala sesuatu yang jelas-jelas dimata kita orang tua akan membahayakan nya??? Akankah kita hanya tersenyum dan membiakannya berbuat yang dia suka??? Dilingkungan sekitar saya akan terdengar teriakan "JANGAN" ... "AWAS"...... "TIDAK BOLEH"... untuk anak saat mereka dianggap berbahaya melakukan suatu kegiatan atau saat mereka dianggap nakal. Menjadi beban hati dengan bertanya terus apakah yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua pada anaknya??. Begitu sulit menyampaikan ketakutan orangtua pada anak sampai akhirnya anak terdidik secara otoriter untuk mengikuti kemauan orangtua. Masya Allah...
Bila anak meupakan amanah bukankah yang terbaik yang diinginkan orangtua pada anaknya??? wassalam
Wa'alaikumussalam,
Terima kasih ya sudah berkunjung dan bersedia sharing. Memang ketika kita hendak mendidik anak, hakikatnya kita mendidik diri sendiri. Menurut saya harus seperti itu.
Dari pengalaman pribadi, saya pernah sangat keras pada anak, bahkan menggunakan tangan. Itu dulu. Bukan berarti nggak boleh, tapi menghukum fisik baiknya yang terakhir. Gitu saya diajarin. Sejak itu, saya menggunakan metode "time out" yang arti sebenarnya "menyetrap" anak. Awalnya mengurung di kamar mandi, tapi kemudian kembali saya dididik jangan begitu. Metodenya kemudian hukuman kurungan di kamar. Belakang lebih "canggih" lagi hanya menggunakan istilah kursi lengket untuk mengendalikan Hanif yang baru empat tahun lebih.
Kursi lengket hakikatnya setrap juga dengan mengurangi kebebasan anak selama beberapa lama dengan hanya duduk di kursi lengket itu. Beruntungnya Hanif patuh aja kalau sudah dihukum duduk di kursi lengket, walaupun matanya basah dan mimiknya melihatkan penyesalan. Jelas sekolahnya kelihatan menggunakan cara yang sama. Jadi, konsisten.
Untuk hukuman anak yang lebih gede, kami menarik fasilitas yang biasanya diberikan. Nggak boleh ikutan pergi selama seminggu, misalnya. Nggak boleh nonton TV selama seminggu. Janji memberi handphone dibatalkan atau ditunda. Ya, begitulah.
Tapi... anak-anak tetap anak-anak, apalagi masih balita. Semalam Hanif dan adiknya Ahmad menjadikan saya musuh bersama dalam skenario perang-perangan. Sebelumnya juga begitu, tapi semalam saya betul-betul kewalahan. Untung istri memberi ide cemerlang. Ayo... sini Ayah mau cerita. Baru deh tenang keduanya mendengar kisah pengembala kambing yang dirayu untuk menyerahkan satu saja kambingnya.
Posting Komentar