Beberapa hari terakhir ini, suasana politik Kota Bekasi semakin memanas. Beberapa calon walikota dan wakilnya mulai melakukan kampanye, yang sebetulnya sudah mereka lakukan jauh mendahului masa kampanye resmi. Sebelumnya, daerah penyangga Jakarta lainnya baru melaksanakan pesta pilkada dengan tabiat yang sama. Pada saat ini, secara hampir bersamaan Kabupaten Tangerang sedang memulai hiruk pikuk kekuasaan serupa, demikian halnya Propinsi Jawa Barat yang akan segera memilih gubernur baru.
Mungkin sebagian masyarakat sudah mulai bosan dengan kesibukan seperti itu. Sebagian lainnya justru semangat, entah karena idealisme atau karena beberapa juta atau puluh juta yang sedang menghujani turun deras dari kegiatan kampanye. Sulit dipungkiri bahwa pesta seperti ini, sebagaimana pesta lainnya, selalu meningkatkan bisnis, paling tidak bagi sebagian anggota masyarakat. Apakah pilihan yang akan dijatuhkan nantinya akan terpengaruh kegiatan bisnis ini atau lebih didominasi cita-cita mulia merupakan pertanyaan menarik bagi saya.
Sejalan dengan demokrasi, pasar -- apakah itu pasar tradisional, pasar OTC, pasar yang bersih, atau sebaliknya -- sedikit banyak memiliki sifat yang sama. Pembeli dan penjual secara kolektif akan menentukan produk mana yang bertahan dan pada tingkat harga berapa, tanpa koordinasi dan kerjasama yang disengaja. Fenomena Google, Wikipedia, Linux, dan Open Source mendemonstrasikan suksesnya mekanisme bottom up bahkan pada pasar yang transaksinya boleh jadi lebih rumit dari pasar keuangan. Tidak terlalu berlebihan kalau kita akui prestasi mekanisme pasar dan demokrasi dalam memberikan manfaat kepada masyarakat secara efisien.
James Surowiecki dalam bukunya The Wisdom of Crowds mengatakan suatu kelompok terutama jika anggotanya banyak, beragam, independen satu dengan lainnya, dan decentralized memiliki kecerdasan yang secara konsisten lebih tinggi dari individu paling cerdas sekalipun di dalam kelompok tersebut. Tentunya ini selaras banget dengan teori yang menjunjung tinggi kehebatan mekanisme pasar. Kalau dihubungkan dengan pilkada Kota Bekasi, artinya masyarakat Bekasi yang terdiri dari kaum terpelajar, nasionalis, religius, terbelakang, tersesat, dan seterusnya secara kolektif akan lebih cerdas dalam memilih pemimpinnya dibandingkan individu paling terpelajar sekalipun. Ini juga berarti nilai suara seorang Doktor tidak lebih berharga dari nilai suara (maaf) pencuri gembel sekalipun.
Demokrasi, menurut saya, perlu diuji sepanjang waktu dalam masa yang panjang untuk membuktikan janji-janjinya. Ujian seperti ini lebih mudah dilihat di pasar, walaupun pada pasar keuangan yang rentan terhadap fenomena bubble dan burst, 'kebenaran' perilaku kerumunan masih perlu diskusi lebih lanjut. Malangnya kalau sampai ada yang secara ekstrem memilih hanya kebijaksanaan kerumuman sebagai satu-satunya alternatif dalam memprediksi sesuatu atau memecahkan masalah. Meskipun tidak ekstrem, Surowiecki menurut hemat saya cenderung sangat pro dengan The Wisdom of Crowds. La iyalah, nggak heran ia telah menuliskan teorinya dalam buku tersebut, dengan menafikan peran CEO yang secara faktual masih dianggap orang yang paling bertanggung jawab atas nasib suatu korporasi. Bahkan ia agak genit ketika menuliskan CEO paling-paling hanya menambah sedikit saja value kepada perusahaan, untuk tidak mengatakan tiada, nothing.
Akhirnya, melanjutkan argumen bahwa mekanisme pasar ataupun demokrasi bukan satu-satunya alternatif, kita dapat dengan mudah mengambil contoh-contoh pendukung. Umpamanya suatu persoalan matematis telah diketahui jawaban pastinya oleh salah satu individu, sungguh tidak bijaksana untuk menanyakan persoalan tersebut kepada khalayak umum. OK, memang persoalan riil kehidupan jauh lebih rumit dari contoh sederhana tersebut, paling tidak tulis Surowiecki dalam melakukan kognisi, koordinasi, dan kerjasama. Namun demikian, dalam banyak kasus tetap saja ada satu badan atau individu yang berinisiatif mengagregasi kecerdasan kolektif dan pada akhirnya mengambil keputusan, di puncak kesendirian. Kalau tidak demikian, untuk apa ada pilkada. Individu di puncak kekuasaan akan ditanya dan harus bertanggung jawab. Kalau tidak sekarang, pasti nanti.
Senin, 14 Januari 2008
Demokrasi
Label:
demokrasi-politik,
nilai-nilai
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
addthis
Kategori
- bahasa-matematika (23)
- demokrasi-politik (51)
- ekonomi-bisnis (71)
- lebih personal (42)
- manajemen (111)
- nilai-nilai (137)
- review buku (68)
- sistem informasi (37)
4 komentar:
Empirical Knowledge: Intuitive, Demostrative, Sensitive. Sensitive, di area inilah paling besar kemungkinan terjadi: "kebenaran umum", "pasar yang menentukan", dll. Sensitive, di area ini juga peluang bisa didapat dan diperjuangkan. Sensitive, di area ini juga blog berkembang.
Pak Yudi, terima kasih atas komentarnya, sangat cerdas.
Saya sedikit tertarik dengan komentar abang tentang "Kalau tidak sekarang, pasti nanti". Artinya, kalau tidak sesuai dengan "pasar" nya sekarang, jangan jadi "pengelola pasar" dulu, kenali pasar lebih baik, akrab lah dengan pasar lebih dulu, tanpa harus takut kehilangan "jati diri".
Sdr/Sdri, saya tidak dapat menghalangi kalau Anda meloncat agak terlalu jauh, hingga sampai pada kesimpulan atau dugaan seperti itu. Sesungguhnya ketika mengatakan "Kalau tidak sekarang, pasti nanti," saya tidak sedang membicarakan orang yang mau atau akan menjadi pemimpin, tetapi membicarakan orang setelah jadi pemimpin... yang harus bertanggung jawab. Maaf komentar saya jadi kepanjangan.
Posting Komentar