Copy and Paste

Anda bebas mengambil content blog ini, tapi mohon sebutkan alamat blog ini dalam tulisan Anda.

You are free to copy the content of my blog. However, please let your readers know my blog as your source.

Selasa, 15 Januari 2008

Kecurangan Organisasi

Kecurangan atau ketidakjujuran dapat terjadi pada siapa saja. Salah satu perilaku curang misalnya menyerobot antrian. Selain tidak jujur dan tidak adil pada pengantri yang telah datang lebih dulu, si pelaku terlebih lagi tidak jujur pada dirinya sendiri. Biarpun konsep curang versus adil dan jujur versus dusta sederhana aja, tetap kita saksikan curang dilakukan dengan cara yang paling konsisten.

Seorang mulai curang diikuti teman-teman dan musuh-musuhnya melahirkan sekelompok komunitas curang. Mulai dari satu RT, satu RW, satu kelurahan, hingga keseluruhan masyarakat bangsa. Pasti ada juga komunitas pendukung kejujuran dan keadilan, di antara satu seksi, satu bagian, hingga keseluruhan perusahaan. Apakah gerangan yang membuat trend curang kemudian menjadi prevalen? Adakah harga yang harus dibayar untuk kecurangan?

Beberapa tahun lalu dari salah satu majalah saya mendapatkan artikel mengenai The Hidden Cost of Organizational Dishonesty, dari MIT. Kalau Anda mencari melalui Google, Anda akan dapat dengan mudah menemukan situs-situs yang relevan dengan topik ini. Bila beruntung, Anda dapat download materi-materi terkait, mudah-mudahan tanpa bayar. Di sini saya akan coba rangkum artikel tersebut.

Bahaya dari kecurangan organisasi menurut artikel tersebut adalah (1) reputasi buruk dan return yang rendah, (2) ketidakcocokan dengan nilai-nilai yang dianut pegawai, dan (3) pengawasan yang terpaksa ditingkatkan. Masing-masing bahaya tersebut memiliki konsekuensi biaya yang harus dibayar.

Bahaya pertama, reputasi buruk dan return yang rendah secara langsung mengakibatkan berkurangnya keuntungan jangka panjang. Bahaya kedua, ketidakcocokan nilai memiliki konsekuensi yang sedikit rumit. Pegawai yang jujur akan merasa tidak cocok dengan kecurangan yang berlaku di organisasi. Pilihannya kemudian hanya dua: menyesuaikan diri seperti keluar dari agama yang dianut atau ngotot jujur yang berakibat meningkatnya stres, ketidakhadiran, ketidakpuasan, dan akhirnya banyak yang keluar, nggak tahan. Akibatnya tentu saja biaya yang meningkat.

Bagaimana dengan yang menyesuaikan diri? Pegawai seperti ini akan bergabung dengan pegawai-pegawai curang lainnya melakukan korupsi dan politisasi untuk melawan kepentingan perusahaan, yaitu kepentingan pemegang saham. Konsekuensinya sama... biaya yang meningkat. Akan tetapi cerita belum berakhir. Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan akan mencoba meningkatkan pengawasan, yang jika terpaksa sebetulnya adalah bahaya nomor tiga.

Bahaya yang terakhir ini menyebabkan (a) stres dan masalah kesehatan, (b) ketidakpercayaan antar pegawai dan permusuhan terselubung, (c) munculnya perilaku mencari celah pengawasan, (d) persepsi pegawai bahwa mereka sudah jujur padahal tidak demikian, dan (e) persepsi yang menipu dari manajer bahwa sistem pengawasan efektif memaksa pegawai untuk jujur yang kemudian mengeskalasi kebutuhan adanya sistem pengawasan yang lebih efektif. Semuanya ini memiliki konsekuensi meningkatnya biaya.

Bagaimana dengan perusahaan tempat kita bekerja? Bagaimana dengan institusi-institusi pemerintah? Pesan moralnya: cegahlah sebelum terlambat. Kalau sudah terlanjur, bagaimana dong? Hm... dapatkah kita mengandalkan the wisdom of crowds?

1 komentar:

Adhitya Dipohusodo mengatakan...

Wisdom of crowds boleh-boleh aja mas, asal nggak jadi collective hysteria hehehehe...

addthis

Live Traffic Feed